26 Januari 2011
‘Dapat melihat cahayamu sebelum kamu kembali kerumah
Hanya itu yang membuatku merasa lebih baik
Mungkin kelak mataku tak mampu lagi menatapmu
Sedalam aku melakukannya saat ini
Perasaan ini tak semestinya ada
Dan tak seharusnya terlalu lama
Tapi hanya dengan seperti ini
Aku dapat merasakanmu, dekat dan hangat
Awanku,
Aku tepat 90 derajat diatasmu
Dan hingga detik ini
Jantungku masih berdetak untuk alasan yang sama
Awanku,
Sajak ke-187 ini masih untukmu’
“Awanku, kamu pasti akan sedih juga bukan melihat pandangan nyinyir mereka kepadaku? Manusia selalu menghakimi apa yang mereka lihat, apa yang dilihat oleh mata telanjang tidak selalu dapat menjelaskan segalanya.” Gadis berwajah sendu itu lantas mengepak notebook miliknya dalam messanger bag bermotif kotak ungu dengan background hitam dan lantas beranjak pulang.
Tidak terlalu jauh kakinya beranjak, mata Bianka beradu. Lawan matanya itu memandang dirinya dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. Begitu menghangatkan dan juga menyejukkan. Kedua bola mata itu begitu tulus dan jujur.
“Sampai kapan kamu akan seperti ini? Sejujurnya, aku sangat ingin tidak peduli terhadapmu, tapi...” Pemuda yang jauh dari istilah ‘itik buruk rupa’ itu menggantung kalimatnya. Dia berpikir itu akan menyakiti Bianka. Dan memutuskan cukup pada kata ‘tapi’ dan selanjutnya hanya dia dan mata yang jujur itu yang mampu mengisi titik-titik kosong.
Hanya sesaat kakak berubah dari sosok yang terlihat menyenangkan menjadi menyebalkan. Huh.
“Tapi kenapa? Aku mohon berhentilah menyuruhku untuk berhenti, Kak, aku tahu kapan harus berhenti dan mengakhiri kebiasaanku ini.” Mata Bianka seolah gagal menerjemahkan titik-titik kosong kalimat Pandu yang berada di hadapannya.
“Kamu tidak akan pernah tahu kenapa aku seperti ini, karena kamu tidak pernah mencintai sesuatu begitu dalam, begitu dalam hingga membuat kita mengabaikan rasionalitas dan akal sehat.” Mata gadis itu meneruskan bias pandangannya. Pandangan yang tulus dan jujur. Tapi di sisi lain juga penuh kebingungan.
Biar saja kalau kakak anggap ini merusak akal sehat. Menjadi masuk akal seperti yang kakak agung-agungkan sepertinya tidak menjamin akan membuatku bahagia juga, kan?
“Kamu tidak berhak mengucapkan kalimat tadi! Hanya saja, tidakkah kamu merasa bodoh, duduk dibawah pohon dan memandang awan berjam-jam, orang yang membuatmu seperti ini pasti...” Dan lagi kalimat itu menggantung tanpa tanda titik mengakhirinya.
Mata terkadang terlalu lugas. Begitu juga mata gadis bermata sayu itu. Airmata yang merembesi kedua pipinya seolah menyentak benak Pandu. Dia baru saja mengutarakan kata-kata yang terlalu keras kepada Bianka. Pandu sangat paham Bianka sosok yang sangat perasa dan perkataanya barusan yang akan melukainya.
“Maaf,” Pemuda itu merengkuh gadis di hadapannya. Dia menyesalkan bibirnya yang merespon lebih cepat daripada otaknya, “Kita pulang saja.” Dan peraduan itupun berakhir kabur. Bukan untuk siapa yang menang dan kalah. Tapi untuk kalimat yang tak sempat terwakilkan.
“Tapi aku tidak bisa, Mong, aku begitu peduli tentangmu, begitu peduli hingga rasanya begitu sakit.” Kalimat yang seharusnya menggantikan ‘tapi’ dan berakhir dalam hati.
Sepanjang perjalanan menuju kediaman yang mereka lakukan hanyalah diam. Karena berkatapun tidak akan membuat lebih baik, kedua hati itu perlu saling menyelami. Apa yang ingin mereka katakan, hati merekalah yang pada akhirnya menjadi kawan bicara. Karena begitu akan jauh lebih baik.
“Mong, selamat malam! kita akan tetap seperti biasa esok hari, mengerti?” Kalimat itu bernada menenangkan dan meyakinkan. Memang begitu kenyataannya yang dia harapkan. Bibir gadis itu pada akhirnya mengumbar sedikit senyum untuk pria didepannya.
Dan keduanyapun berpisah. Diam-diam Bianka mengamati punggung Pandu dari kejauhan. Sekali lagi dia tersenyum. Senyum untuk rasa yang kabur dan Bianka tidak mencoba mengerti rasa apa itu.
Melihat punggungmu kadang membuatku bertanya, apakah kakak juga menyembunyikan sesuatu sepertiku?
***
27 Januari 2011
Awanku,
Ijinkan aku berbincang tentangnya
Terlalu sering aku ingin berhenti
Dan terlalu lelah bahkan sebelum aku memulai
Begitu juga dengan dia
Mungkin dia juga terlalu lelah untuk peduli
Mungkin peduli hanya membuat dia terluka
Awanku,
Punggung itu seperti menyimpan tanya
Aku tau dia sedang bersedih
Apakah peduli membuatnya begitu sedih?
Awanku,
Terlalu sering aku ingin berhenti
Karena akalkupun berkata demikian
Tapi selama jantungku masih mengenalimu
Selama hatiku masih merasa sama
Kurasa aku hanya perlu menjadi tuli
Dan Bianka mengakhiri hari itu dengan rasa yang kabur. Pergolakan antara hati dan pikirannya membuatnya lelah, fisik dan mental. Dan selalu seperti itu, sebelum meregang ke alam bawah sadar, Bianka selalu menyempatkan diri menyapa sosok di depannya.
“Hanya dengan melihatmu seperti ini, selalu bisa membuatku merasa lebih baik, seandainya aku tahu siapa dirimu. Mungkin kamu yang sekarang sudah menjadi pemuda tampan kaya raya yang digilai banyak wanita, iya kan? Selamat malam, Awanku.” Dan malam itu tanpa sadar Bianka terlelap sembari mendekap pigura kesayangannya.
Ya, kesayangannya karena sosok ‘nya’ yang ada di dalamnya. Sosok lelaki kecil dengan senyum dan wajah malaikat. Dan teringat kembali tangan yang meraihnya saat dia dalam keadaan kritis.
Sudah pasti hal ini menggelikan, karena sosok itulah yang dipanggil oleh Bianka ‘Awan’. Dan dia pula yang selama ini menjadi tokoh utama dalam sajak-sajak Bianka. Sejak kehadiran pemuda misterius itu dalam mimpi Bianka, dia tidak mampu melupakannya.
Sejak kecelakaan yang dialami Bianka dua tahun yang lalu sosok yang dipanggil olehnya ‘Awan’ kerap muncul dipikiran Bianka secara tiba-tiba. Ya, sangat tiba-tiba, dan selalu membuat jantungnya berdetak kencang. Sosok lelaki kecil dengan rupa identik dengan ‘Awan’ dalam pigura kesayangannya.
Sosok itu begitu nyata baginya, hingga Bianka merasa bagian darinya. Begitu dekat dan terikat. Ya, Bianka begitu yakin sosok itu seseorang yang ditakdirkan untuknya. Bukan berarti Bianka sejenis pedofil, hanya saja dirinya yakin Tuhan mengirimkan klue itu untuknya. Klue bagi Bianka menemukan frase menggelikan bernama cinta sejati.
Begitu cepat waktu berlalu. Dan begitu retoris pernyataan seperti itu. Tanpa sadar minggu memasuki penghujung. Menyapa kedua mata yang sempat terlelap sembari mendekap erat benda kesayangannya. Sebuah figura sesosok anak kecil yang Bianka panggil "Awan" selama ini.Bianka selalu menantikan Awan hadir kembali dalam mimpinya sama seperti saat sosok itu mengulurkan tangannya dan menyelematkan nyawa Bianka saat dia dalam keadaan kritis dua tahun yang lalu. Namun mimpi itulah satu-satunya kenangan yang mengingatkannya tentang Awan.Dan setiap kali Bianka mengingatnya, hatinya merasa begitu terikat kuat pada sosok itu. Bianka tidak mampu menjelaskan dan selama ini dia tidak pernah merasakan hal serupa dengan siapapun. Dia hanya mengingat Awan sebagai penyelamat hidupnya.“Bianka, bangun, sayang! Bunda sudah siapkan sarapan untukmu.” Belaian itu membangunkan Bianka dari tidur lelapnya.“Bunda, jam berapa sekarang? Aku kesiangan lagi ya? Ahh..si
31 Januari 2011Kusapa pagi ini dengan senyum raguJelas karena ada pikir sebelum lelapkuTentang punggung itu, tentang rasa yang raguAwanku,Ingatan yang sama masih berputar tanpa celaBagian itu jua rinci aku ingatYang kupandang sebelum kujelangwaktu senjaMasih rasa untuk sosok yang samaAwanku,Selalu seperti ini pada akhirnyaDengan begini caraku untuk tahuMengenalmu, untuk tidak melupakanmuSajakku masih bercerita untuk objek yang samaKamu.Bianka gagal menyadari bahwa seseorang tengah seksama mengawasinya sedari tadi. Tepat di belakangnya. Mematung. Perlahan Pandu memperkecil jaraknya dari objek pandang. Hingga berada tepat disampingnya.Fokus Bianka pun pecah. Oleh bau yang sudah tidak asing. Tepat disampingnya,
25 Januari 2009... Meskipun Bianka tidak sepenuhnya sadar, namun batinnya cukup kuat merasakan dan mendengar. Langkah kaki, airmata, dan suara parau. Kekhawatiran. Dia mendengar orang-orang itu diliputi kekhawatiran dalam alam bawah sadarnya. Dan suara itu kini tidak hanya satu, tapi berlipat. “Mong... Mong...” Saat itu seperti terakhir kalinya Bianka mendengarkan suaranya. Suara itu tidak seperti biasanya. Suara yang biasanya terdengar merdu saat itu terdengar parau. Dan Bianka merasakan kelu dihatinya, seolah apa yang dia rasakan saat ini begitu nyata. “Kenapa dengan suara mereka? Kenapa begitu banyak isakan? Dan apakah semua itu untukku? Aku kenapa, Tuhan?” Ya, Bianka tidak tertidur di alam bawah sadarnya dia meracaukan berbagai kekhawatirannya, dia yakin saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Yang dia rasakan begitu nyata. Jelas dia tidak sedang bermimpi. Tapi semuanya tampak gelap, Bianka tidak begitu mengenali lagi sekelilingnya
Dua tahun kemudian..25 Januari 2011Ada apa dengan Awanku?Sepertinya dia ingin menangisSungguh terlihat dari visualnya yang suramAda apa gerangan, Awanku?Kita memang berbeda. Ya aku tahuTapi tidak lantas menghalangiku untukmendengarkan bimbangmuAku pun barangkali tidak membuat ringan pundakmuYa akupun pahamTapi aku mendengarkanmu dengan hatikuJika memang kesedihan itu terasa begitu pedihDan jika memang kebimbangan membutakan arahmuAku disini. Masih di titik yang sama dan seksamaMenunggumu, melihatmu,Dan berharap yang merisaukan hatimu cepat berlaluLihatlah aku, Awanku!Dan seharusnya tidak lagi ada alasan atas sedih dan bimbangmuSaat anak manusia meya
31 Januari 2011Kusapa pagi ini dengan senyum raguJelas karena ada pikir sebelum lelapkuTentang punggung itu, tentang rasa yang raguAwanku,Ingatan yang sama masih berputar tanpa celaBagian itu jua rinci aku ingatYang kupandang sebelum kujelangwaktu senjaMasih rasa untuk sosok yang samaAwanku,Selalu seperti ini pada akhirnyaDengan begini caraku untuk tahuMengenalmu, untuk tidak melupakanmuSajakku masih bercerita untuk objek yang samaKamu.Bianka gagal menyadari bahwa seseorang tengah seksama mengawasinya sedari tadi. Tepat di belakangnya. Mematung. Perlahan Pandu memperkecil jaraknya dari objek pandang. Hingga berada tepat disampingnya.Fokus Bianka pun pecah. Oleh bau yang sudah tidak asing. Tepat disampingnya,
Begitu cepat waktu berlalu. Dan begitu retoris pernyataan seperti itu. Tanpa sadar minggu memasuki penghujung. Menyapa kedua mata yang sempat terlelap sembari mendekap erat benda kesayangannya. Sebuah figura sesosok anak kecil yang Bianka panggil "Awan" selama ini.Bianka selalu menantikan Awan hadir kembali dalam mimpinya sama seperti saat sosok itu mengulurkan tangannya dan menyelematkan nyawa Bianka saat dia dalam keadaan kritis dua tahun yang lalu. Namun mimpi itulah satu-satunya kenangan yang mengingatkannya tentang Awan.Dan setiap kali Bianka mengingatnya, hatinya merasa begitu terikat kuat pada sosok itu. Bianka tidak mampu menjelaskan dan selama ini dia tidak pernah merasakan hal serupa dengan siapapun. Dia hanya mengingat Awan sebagai penyelamat hidupnya.“Bianka, bangun, sayang! Bunda sudah siapkan sarapan untukmu.” Belaian itu membangunkan Bianka dari tidur lelapnya.“Bunda, jam berapa sekarang? Aku kesiangan lagi ya? Ahh..si
26 Januari 2011‘Dapat melihat cahayamu sebelum kamu kembali kerumahHanya itu yang membuatku merasa lebih baikMungkin kelak mataku tak mampu lagi menatapmuSedalam aku melakukannya saat iniPerasaan ini tak semestinya adaDan tak seharusnya terlalu lamaTapi hanya dengan seperti iniAku dapat merasakanmu, dekat dan hangatAwanku,Aku tepat 90 derajat diatasmuDan hingga detik iniJantungku masih berdetak untuk alasan yang samaAwanku,Sajak ke-187 ini masih untukmu’“Awanku, kamu pasti akan sedih juga bukan melihat pandangan nyinyir mereka kepadaku? Manusia selalu menghakimi apa yang mereka lihat, apa yang dilihat oleh mata telanjang tidak selalu dapat menjelaskan segalanya.” Gadis berwajah sendu itu lant
Dua tahun kemudian..25 Januari 2011Ada apa dengan Awanku?Sepertinya dia ingin menangisSungguh terlihat dari visualnya yang suramAda apa gerangan, Awanku?Kita memang berbeda. Ya aku tahuTapi tidak lantas menghalangiku untukmendengarkan bimbangmuAku pun barangkali tidak membuat ringan pundakmuYa akupun pahamTapi aku mendengarkanmu dengan hatikuJika memang kesedihan itu terasa begitu pedihDan jika memang kebimbangan membutakan arahmuAku disini. Masih di titik yang sama dan seksamaMenunggumu, melihatmu,Dan berharap yang merisaukan hatimu cepat berlaluLihatlah aku, Awanku!Dan seharusnya tidak lagi ada alasan atas sedih dan bimbangmuSaat anak manusia meya
25 Januari 2009... Meskipun Bianka tidak sepenuhnya sadar, namun batinnya cukup kuat merasakan dan mendengar. Langkah kaki, airmata, dan suara parau. Kekhawatiran. Dia mendengar orang-orang itu diliputi kekhawatiran dalam alam bawah sadarnya. Dan suara itu kini tidak hanya satu, tapi berlipat. “Mong... Mong...” Saat itu seperti terakhir kalinya Bianka mendengarkan suaranya. Suara itu tidak seperti biasanya. Suara yang biasanya terdengar merdu saat itu terdengar parau. Dan Bianka merasakan kelu dihatinya, seolah apa yang dia rasakan saat ini begitu nyata. “Kenapa dengan suara mereka? Kenapa begitu banyak isakan? Dan apakah semua itu untukku? Aku kenapa, Tuhan?” Ya, Bianka tidak tertidur di alam bawah sadarnya dia meracaukan berbagai kekhawatirannya, dia yakin saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Yang dia rasakan begitu nyata. Jelas dia tidak sedang bermimpi. Tapi semuanya tampak gelap, Bianka tidak begitu mengenali lagi sekelilingnya