“Apa Jakarta memang sesejuk ini?” tanya Anjani Erikalia, atau mereka biasa memanggilnya menggunakan nama penanya –Jane, “Yang kutahu tempat ini sangat panas, jauh lebih panas dibandingkan Samarinda.”
Mara Sintanira, gadis yang kini tinggal di Jogja itu terkekeh kecil mendengar pertanyaan Jane, “Ya, dulu juga sangat panas. Tapi cuaca di Jawa akhir-akhir ini memang sejuk, tak begitu panas, dan selalu hujan setiap malam.”
“Ah … iya, tadi malam juga hujan.”
Jane kembali menatap pemandangan di luar jendela. Hari ini mereka akan pergi ke aula hotel untuk menghadiri penutupan acara sekaligus pengumuman pemenang. Dia sudah ada di Jakarta sejak dua hari yang lalu, perlombaan menulis nasional sangat jarang membawa para pesertanya untuk turun ke lapangan seperti ini namun periode kali ini memang dibuat lebih meriah dibandingkan sebelumnya.
Nira –teman barunya, baru sampai ke Jakarta tadi malam. Mereka sama-sama penulis yang mengikuti perlombaan ini, Nira terkenal dengan tulisan-tulisan fiksi remaja, sedangkan peserta yang lain seperti Wonu, Cuna, dan Hanbin lebih terfokus pada kisah-kisah mitos-sejarah, misteri, horror, dan thriller.
Mereka baru-baru saja kenal dan tak begitu dekat, Jane juga tak pernah yakin dia bisa dekat dengan semua orang yang akan dia temui nanti. Mengingat bahwa dia memang tak begitu pandai dalam berinteraksi dan wajahnya yang tergolong ke dalam sekumpulan wajah jahat jika tak tersenyum. Walaupun Jane tahu akan hal itu, dia tetap saja tak bisa tersenyum hanya demi bisa mendapatkan teman.
“Apa yang akan kau lakukan setelah perlombaan ini?”
Jane terdiam mendengar hal itu, “Entahlah …” Gadis itu menghela napas pelan, namun kesunyian yang Nira berikan seakan memaksanya untuk kembali melanjutkan kalimatnya, “Aku tak ingin pulang.”
“Mau ikut bersamaku? Aku tinggal di kosan, di Jogja.”
Gadis itu menoleh menatap Nira, “Kau tinggal sendiri? Tidak bersama keluargamu?”
“Aku tak suka keluargaku,” balas Nira lalu terkekeh kecil. Terlalu sering menceritakan hal seperti itu pada orang-orang di sekitarnya membuatnya terbiasa dan tak merasa bahwa kalimat tersebut terlalu sensitif untuk dibahas.
Jane tersenyum tipis mendengar balasan Nira, “Aku juga tak suka keluargaku, ah … mereka bukan keluarga, ayah ibuku sudah mati jadi mereka hanya sebatas pengasuh-ku saja.”
Tok, tok! “Apa kalian belum siap?!” teriak seseorang dari luar ruangan itu bersamaan suara ketukan pintu yang berbunyi berkali-kali.
“Itu pasti Hanbin,” gumam Jane beranjak untuk pergi mendekat ke pintu keluar ruangan. “Ayo pergi,” ajaknya dibalas anggukkan oleh Nira.
Hardian Binagara, atau dia biasa memperkenalkan dirinya sebagai Hanbin. Pemuda itu menatap bosan Jane dan Nira yang baru saja keluar dari ruangannya, “Ayo, Wonu dan Cuna sudah meninggalkan kita.”
“Dua manusia aneh itu memang tak suka menunggu,” balas Jane asal dan langsung pergi meninggalkan Hanbin.
Nira terkekeh kecil mendengar Hanbin yang mengumpat pelan karena Jane ikut memperlakukannya dengan dingin, seperti Cuna dan Wonu. “Mengapa mereka berlagak angkuh sih? Memang mereka sudah jelas menjadi pemenang gitu?” kesalnya.
“Mereka memang seperti itu Hanbin, tak perlu tersinggung.”
Hanbin menghela napas mendengar hal itu, dia lalu tersenyum tipis sambil merangkul Nira agar mereka bisa pergi bersama ke aula hotel. Satu-satunya gadis yang bisa dia ajak bersenang-senang hanyalah Nira, gadis itu begitu ramah dan Hanbin sangatlah suka dengan karakter orang yang seperti itu.
“Untung ada kau yang selalu bersikap manis di sini!” ujarnya bersemangat, “Aku tak tahu apa jadinya acara ini tanpa kau Nira, auranya pasti akan sangat mencekam jika hanya diisi oleh mereka bertiga.”
Nira terbahak mendengar hal itu sambil memukul pelan dada Hanbin. Dia tahu, Nusa Cania Nitasa atau yang mereka kenal sebagai Cuna itu memang pendiam, namun dibandingkan Jane, Cuna jauh lebih sopan dan terlihat tenang, sedangkan Nusabudi Wahyu atau si penulis horror dengan nama pena Wonu, dia lebih mirip dengan Jane, sama-sama cuek dan jarang sekali berbicara, kedua manusia dingin itu bahkan tak memberitahu nama langkap mereka saat berkenalan. Namun meskipun begitu, Nira tahu bahwa mereka semua bukanlah orang yang jahat.
“Apa yang akan kau lakukan jika kau memenangkan hadiahnya?” tanya Hanbin ketika mereka sudah duduk di bangku khusus peserta, menyaksikan acara yang kini sedang dimulai.
“Aku ingin ke Bromo, berlibur.” Nira membalas dengan asal, “kau sendiri?”
“Aku ingin beli ipad untuk adikku, agar dia bisa fokus belajar menggambar.”
Nira terkekeh kecil mendengar hal itu, “Kau sangat menyayangi adikmu ya?”
“Hanya dia yang kumiliki, Nira.” Hanbin tersenyum tipis sambil menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal, “Aku akan lakukan apapun agar bisa menyenangkannya.”
“Such a good brother,” gumam Jane tanpa sadar.
“Semoga kau menang, Hanbin.” Wonu ikut berkomentar.
Hanbin menatap kesal kedua orang itu, “Kalian mengejekku huh?!”
“Aku memuji,” balas Jane menoleh menatap pemuda itu.
“Same.” Wonu membalas tanpa menoleh menatap Hanbin, Nira yang sejak tadi memerhatikan interaksi kecil itu lantas tertawa pelan melihat ekspresi kesal Hanbin.
“Kepada peserta yang sudah sampai ke posisi 5 besar, dipersilahkan naik ke atas panggung~”
Mereka terdiam mendengar pengumam itu. Cuna dengan santai memimpin langkah untuk naik ke atas panggung, diikuti oleh Hanbin, Nira, Jane, dan Wonu. Mereka berlima kini bisa melihat orang-orang penting yang datang ke acara ini, sudah pasti akan banyak penerbit yang ingin merekrut mereka.
Selagi MC sibuk membacakan ucapan selamat serta pidato singkat dari pemilik acara, mata Cuna menangkap keributan yang terjadi di luar ruangan lewat pintu keluar aula hotel yang tak tertutup dengan rapat. Mata gadis itu menatap sekelilingnya, beberapa orang yang fokus pada ponselnya, sedangkan pelayan mulai tak bisa berdiri dengan tenang. Cuna menggedipkan matanya berkali-kali ketika sadar bahwa gelas yang ada di salah satu meja mulai memperlihatkan geraknya, air disana sedikit demi sedikit bergoyang, lalu mulai bergeser bersamaan teriakan panik dari salah satu tamu undangan yang menyuarakan ketakutannya.
“GEMPA! INI GEMPA!”
Dari atas panggung itu, mereka dapat melihat dengan jelas orang-orang yang berlari berdesak-desakan untuk keluar dari aula hotel. Atap gedung itu mulai memperlihatkan rapuhnya, angin kencang mulai memaksa masuk, sedangkan jeritan yang saling sahut-menyahut mulai menambah kepanikkan yang ada.
“BAWA NIRA!” gertak Wonu pada Jane menyadarkan lamunan Cuna, gadis itu dengan cepat menatap kepergian Wonu dan langsung menarik Hanbin yang masih shock untuk ikut bersamanya.
Tak ada waktu untuk panik, pikir Cuna mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Ap-apa yang terjadi?!” heboh Hanbin yang baru benar-benar sadar dari keterkejutannya.
Cuna tak menjawab, gadis itu memilih untuk tetap berlari mengikut Wonu. Mereka akhirnya sampai di salah satu tumpukkan meja, ketiganyaa dengan cepat memaksa Jane dan Nira untuk sembunyi di bawah dua meja, lalu menarik meja lain dan menyusun meja-meja itu untuk menutupi segala sisi kosong yang dapat terlihat, membentuknya seperti benteng. Setelah itu barunya mereka bertiga masuk ke dalam meja tersebut dan bersembunyi.
Getaran itu sama sekali tak berhenti. Wonu menatap Cuna yang kini berada di hadapannya bersampingan dengan Hanbin, sedangkan dirinya berada di antara Jane dan Nira. Fokus pemuda itu beralih pada Nira yang sejak tadi tertunduk dengan salah satu tangan yang memeluk kedua lututnya sedangkan tangan lain dia dekatkan pada wajahnya, lalu mengigit jarinya sendiri untuk menahan gugup.
Teriakan tadi pasti menambah kepanikan di dalam diri gadis itu, Wonu juga tak begitu tahu apa yang terjadi di luar meja namun dia yakin ada hal besar yang jatuh dan menghabisi beberapa orang. Wajah pemuda itu otomatis mundur ketika tangan Jane melewati tubuhnya dan mencoba meraih Nira yang ada di sampingnya.
“Apa?” tegur Wonu tak paham.
“Berikan ini padanya,” balas Jane masih dengan tangan yang ada di depan wajahnya, “jangan mengigit jari.”
Wonu memerhatikan tangan Jane yang bergetar kecil sebelum akhirnya mengambil sapu tangan itu dan memberikannya pada Nira. “Gigit ini saja,” ucap pemuda itu memecah fokus Nira. “Ujung jarimu berdarah.”
“O-oh!” cicit Nira tanpa sadar hanya membuat Wonu dan Jane terdiam. “Te-terima kasih.”
Mereka tak membalas, “Hanbin! Bantu aku!” Cuna berteriak sekalipun suara tak begitu terdengar. Meja mereka terus bergerak karena getaran gempa tersebut, “Hanbin!”
“HAH?!” panik Hanbin menatap Cuna.
“Jangan panik!” kesal gadis itu menatap tangan Hanbin yang terus bergetar, “Bantu aku!”
“A-aku juga berusaha agar tak panik!” balas pemuda itu dengan kesal.
Keduanya sibuk mempertahankan kaki meja agar tetap bertahan sekalipun getaran itu sama sekali tak terlihat akan berhenti. “Kau yakin ini akan membuat kita selamat?” tanya Cuna pada pemuda di hadapannya, --Wonu.
Wonu menatapnya tak paham, “Semua kemungkinan di situasi seperti ini hanya bernilai 50:50,” balas pemuda itu terlihat tenang, “Jika tak selamat, ya kita mati.”
“Kau terlihat siap mati, Wonu.” Jane berkomentar dengan sinis tanpa sadar.
“Apa yang mau kau harapkan dari situasi seperti ini? Diselamatkan?”
Suasana mendadak sunyi setelah gempa itu berakhir. Tak ada lagi suara keributan dari orang-orang yang panik berlarian ataupun suara barang-barang yang berjatuhan, Nira mengangkat kepalanya sambil melirik sekelilingnya yang kini masih tak bereaksi. Mereka pingsan? Pikirnya menatap keempat orang yang ada di sekitarnya. Gadis itu tanpa sadar menyentuh tangan Wonu lalu berpindah pada Jane, senyuman tipisnya terukir tipis saat menyadari bahwa tubuh mereka masih hangat, mereka belum mati. “Seseorang … anakku …” Nira membulatkan matanya tanpa sadar ketika mendengar suara kecil yang disambung dengan suara langkah terseret, “Anakku … tolonglah ….” Gadis itu menutup kedua telinganya dan kembali menundukkan kepala, tak ingin mendengar lagi hal-hal seperti itu dan membuat kepalanya memutarkan berbagai adegan mengerikan yang sering dia lihat di film-film. “Seseorang … to—AKH!”
Jane menatap telapak tangannya sendiri yang sejak tadi tak berhenti bergetar. Dia tahu dia masih merasakan bekas getaran gempa itu, bayangan mereka dikejar-kejar oleh mahluk seperti zombie hingga kematian Hanbin yang ada di depan matanya, semuanya masih tercetak jelas di dalam kepalanya. Dia masih sangat ingin menganggap semua ini hanyalah mimpi buruk, tapi melihat bagaimana tangannya tak berhenti bergetar, menyadari bahwa respon tubuhnya bahkan sudah tak bisa menahan ketakutannya sendiri. Dia tahu semua ini adalah realita. Terlebih setelah mereka berhasil keluar dan melihat keadaan yang ada, semua ini benar-benar membuatnya tak bisa berkata-kata. Gadis itu menggenggam lengannya sendiri mencoba menahan tubuhnya agar berhenti bergetar, sebelum akhirnya memerhatikan Wonu yang kini menyetir membawa mobil mereka menembus jalanan rusak Jakarta. “Kita akan kemana?” tanya Jane memerhatikan Wonu yang sedang memberikan sekotak tisu pada Nira, gadis itu masih m
Setelah mereka sampai, Wonu dengan cepat mengatakan pada tiga gadis itu untuk tetap berjaga di mobil sedangkan dia pergi sendiri ke dalam rumah untuk melihat keadaan. Dari pemandangan jalan kompleks perumahannya, dia tak melihat banyak kerusakan, dan juga mahluk sejenis zombie hingga dia pikir mungkin saja wilayah ini sedikit lebih aman dibandingkan hotel tempat mereka kabur tadi. Pemuda itu membuka pintu rumahnya dengan perlahan, meja kaca di ruang tamu itu sudah pecah, lemari kecil yang menyimpan beberapa piala dan boneka-boneka kecil milik adiknya juga sudah rubuh. Dia yakin gempa sebelumnya cukuplah parah karena telah menghancurkan bagian dalam rumahnya seperti ini, Wonu lalu memilih mengambil tiang panjang tempat dia biasa meletakkan topi, dan menggenggamnya untuk berjaga-jaga. Dia mendengar suara yang sedikit berisik dari arah kamar orang tuanya. Pemuda itu memilih berjalan secara perlahan, dia juga tak ingin memanggil nama orang tuanya mengingat bahwa mungkin
Satu jam lebih mereka menyusuri riol untuk menemukan jalan keluar, sampai akhirnya mereka berempat berada di bagian paling ujung gorong-gorong tersebut. Suara sungai yang mengalir deras dan cahaya tipis yang menyambut mereka membuat keempat orang itu dengan segera bersemangat untuk keluar. “Seharusnya ini sudah malam, apa ponsel kalian ada yang masih menyala?” tanya Jane menatap teman-temannya itu. Wonu dan Cuna menggeleng, sedangkan Nira kini mencari ponsel yang sudah lama dia abaikan. “Ini jam setengah 8 malam,” balas gadis itu. Mereka akhirnya berhasil keluar dari riol tersebut, walaupun tak sepekat sebelumnya, kini bau dari air pembungan itu kini tak begitu mereka cium lagi. Wonu bernapas lega tanpa sadar. “Dimana ini?” tanya Cuna. “Sepertinya daerah pinggiran kota, kita harus berhati-hati pada zombie.” Wonu membalas dan ditanggapi dengan anggukan oleh ketiga gadis itu. “Ayo naik!” ajak Jane yang akhirnya menemukan tangga agar mere
“Kau mau mencoba mengigitku?” tanyanya sambil menyerahkan lengannya pada Jane. Gadis itu membulatkan matanya tak percaya ketika mendengar penawaran Cuna, “Kau gila?” tanyanya menatap lengan Cuna yang masih mengarah ke dirinya. Cuna lalu menarik tangannya kembali sambil mengangkat bahu tak acuh, “Ini kan hanya teoriku saja, tak ada salahnya mencoba.” Jane menggeleng cepat sambil melipat tangan di depan dada, “Tidak, bahkan jika teori itu berakhir benar, aku tetap takkan mau melakukannya.” Gadis itu menoleh menatap Jane sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya, “Kenapa?” tanyanya. “Tidak ada alasan lebih, aku hanya merasa bahwa kanibalisme bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi wajar untuk manusia.” Cuna mengangguk santai, “Hanya karena prinsip ya?” gumamnya tanpa sadar, “Menurutmu, apa aku adalah tipe yang berani memakan sesama untuk bertahan hidup?” tanyanya pada Jane. “Kau tipe yang berani mencoba hany
Setelah memasukan anak kecil itu ke dalam mobil, Nira dengan panik langsung berlari ke dalam minimarket dan memanggil kedua orang itu, setelahnya kembali berlari untuk menghampiri Jane. Tepat di waktu ketika Nira membawa anak itu pergi, Jane dengan sekuat tenaga mencoba mencari cara agar dia tetap bisa menahan pemuda itu di hadapannya. “KAU BODOH HUH?!” kesal pemuda itu mencoba mengejar anak kecil yang Nira bawa namun Jane dengan cepat menendangnya hingga ambruk, pemuda itu menggeram kesal menatap Jane. “Kau yang bodoh! Apa maksudmu ingin membuat adikmu hidup dengan memakan daging manusia?!” “Itu satu-satunya cara agar kita semua bisa bertahan! Kau tak tahu apapun huh?!” kesalnya bangkit berdiri, mencoba menyerang Jane namun gadis itu dengan sigap menahan serangannya. “Hanya dengan memakan sesama kita bisa hidup! Mereka telah merubah berbagai indra di tubuh kita!” Jane menatap pemuda itu tak paham, “Mereka siapa?!” “WRENA! KAU
Cuaca pagi hari menjelang siang itu sangatlah sejuk, Wonu bahkan sempat berkata bahwa ini pertamakalinya Jakarta memiliki cuaca sesejuk ini, bahkan jauh lebih sejuk dibandingkan Bandung. Walaupun upayanya membuka topik tetaplah gagal karena Jane sama sekali tak bersuara sedangkan Cuna kini sibuk menghabiskan susu kedelai untuk terus dia konsumsi. Setelah pernyataan Cuna bahwa dia merasa ingin terus mencoba menyantap manusia, gadis itu juga dengan cepat mengambil susu kedelai dan beberapa kacang untuk dia konsumsi. Dia dengan cepat membuat Jane tenang karena dia yakin gadis itu sudah cukup frustasi atas kematian Nira dan pembunuhan yang baru saja dia lakukan. Wonu juga tak ingin membahas lebih perihal apa yang baru saja mereka lewati karena dia tahu bahwa Jane masih sangatlah terluka akan hal itu. Dia tahu bahwa gadis itu memerlukan waktu untuk meluruskan isi pikirannya seperti saat dia pertama kali membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu malah tak begitu mengerti mengap
Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi. “Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri. Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya. Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan. “Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya. Cuna yang duduk di belakang masih terdia
[BAGIAN; DI UJUNG NAPAS YANG TERCEKAT]Dalam satu detik yang terasa begitu lama, Dirga menelan salivanya menatap sosok Arta yang kini baru saja menjatuhkan mayat Cuna di hadapan Jane dan Putra. Pemuda itu menahan napas sejenak, mencoba sekeras mungkin untuk mengabaikan apa yang dia lihat. Dirga lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah Kendari ⸺mendapati wanita itu sedang terdesak dengan Gilang yang sedang mencengkeram belakang kepalanya⸺ dan dengan segera meloncat terbang hendak meninggalkan Dewiana jika saja wanita itu tidak dengan cepat menusuk lehernya menggunakan tongkat putih bercorak biru tersebut, lalu menjatuhkan pemuda itu, membuat wujud Barong Dirga jatuh ke menghempas kolam raksasa yang ada di dalam tembok.“Kau harus perhatikan lawanmu, Dirga.” Wanita itu menyeringai tanpa sadar, “Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di sekitarmu.”Dirga menahan jeritannya, sedangkan tangan pemuda yang memegang pe
Jane dan Putra ada di dalam perisai yang Kintan ciptakan ketika Hindia pertama kali muncul di udara dengan sekumpulan salju yang mulai bersatu dan membentuk tubuh tingginya. Di detik setelahnya, seluruh salju yang melapisi tubuhnya itu seketika lenyap bersamaan dengan hujan salju di sekitar mereka yang kini berubah menjadi ribuan butir bola api. Mereka dalam diam menatap hujan itu mengingat bahwa mayoritas dari para prajurit pun kini juga ada di dalam perisai yang telah di ciptakan oleh beberapa Pilar. Api itu tak bisa menembus perisai yang telah mereka ciptakan, jadi mayoritas dari mereka berpikir ... semua akan aman selama perisai yang kini melindungi mereka tak terbuka. “Kota ini terlihat sepi jadi aku membawa sedikit pasukan,” ucap Hindia bersamaan dengan perisai milik Gandi yang dia buka secara tiba-tiba karena luapan api yang kian membesar di dalamnya. Beberapa pasukan yang ada di sekitar Gandi itu membuka seragam bagian terluar mereka karena bekas salju yang m
Dalam kurang dari satu detik setelah meminta izin secara sepihak pada Kendari, Andra kini sudah benar-benar ada di hadapan Hindia. Membuat wanita itu menahan rasa kaget sekaligus takjub karena aura panas mencekam yang tiba-tiba saja ingin membakar habis tubuhnya.Hindia selalu menikmati momen-momen ketika dia bisa melawan seseorang yang lebih kuat darinya. Hingga pada umumnya, wanita itu akan memanfaatkan waktu sebaik dan selama mungkin agar bisa membuat perkelahian mereka berjalan dengan sangat lama.Berbeda dengan seseorang yang dia anggap lebih lemah, dia akan membuat skenario baru seakan dia adalah sosok yang baik, yang membiarkan korbannya itu untuk hidup lebih lama. Lalu, dengan kelengahan yang korban itu miliki karena merasa telah selamat, dia akan memanfaatkan korban itu dan memainkannya seperti boneka di waktu-waktu yang tepat.Seperti apa yang dia lakukan pada Cuna.Tepat di satu detik setelahnya, tangan Andra sudah lebih dulu mencengke
Bisa dibilang, mereka direkrut sebagai anak buah para Cendrasa di waktu yang bersamaan. Sebagai angkatan yang cukup tua, baik Dewiana maupun Dirga sama-sama dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menjadi anggota Cendrasa, bersama dengan Hindia.Dirga tahu persis sekuat apa Dewiana, begitu sebaliknya. Mereka mungkin jarang bertarung bersama, keduanya juga jarang dimasukkan ke dalam misi yang sama. Namun, mereka cukup dekat ketika rapat terjadi karena Dirga suka sekali memancing emosi Dewiana, sedangkan wanita itu juga terkadang suka menjaili Dirga dengan cara yang tak normal.Misalnya dengan tiba-tiba mendorong Dirga keluar dari Kastil dan membuatnya menghempas jatuh tenggelam ke Black Ocean yang ada di bawah Kastil itu. Tak semua orang bisa bertahan jika jatuh ataupun bersentuhan dengan Black Ocean karena bisa dibilang, itu adalah lautan yang tak pandang bulu dalam memakan sesuatu. Namun, Dewiana juga tahu bahwa Dirga memiliki sesuatu yang bisa membuatnya bertahan jik
“Ini baru lima menit pertama sejak kau muncul, Dewiana Surya ...” Suara itu menggema bersamaan dengan sekumpulan salju yang membentuk sebuah tubuh lengkap dengan gaun panjang, serta tiga bola api yang melayang berputar di atas telapak tangan kirinya. Perlahan, salju-salju itu menghilang dan digantikan oleh wujud sempurna Hindiana Putri, dengan rambut bergelombang yang menutupi sepanjang punggung sampai pinggulnya, dengan payung hitam yang menutupi pucuk kepalanya, bibir yang dipolesi warna merah darah, selaras dengan iris matanya. Wanita itu setinggi 200 sentimeter, dengan gaun berenda hitam yang melapisi seluruh tubuh tinggi semampainya.Hindia memasang senyuman miring sambil mengangkat payungnya, bersamaan dengan itu semua salju yang sebelumnya menghujani mereka, ⸺yang jatuh dan menutupi nyaris seluruh daratan serta pohon-pohon di pulau Bali⸺ kini kembali ke dalam wujud asli mereka, yaitu api.Dalam seke
“Dewiana, namanya ... Dewiana Surya.” Cuna membeku mendengar bisikan itu lagi di dalam kepalanya. Walaupun baru beberapa hari berlalu, rasanya seperti sudah lama sekali dia tak mendengar suara itu lagi.“Mungkinkah?” pikir gadis itu bersamaan dengan Arta dan Rolla yang terbang di sampingnya, mereka berada beberapa kilometer di hadapan Dewiana.“Kau bisa mendengarku kan, Cuna?” tegur suara itu. Cuna menelan salivanya tanpa sadar, benar-benar tak menyangka bahwa dia akan kembali mendengar suara itu dengan sangat jelas di dalam kepalanya.Gadis itu sama sekali tak bisa bereaksi atau pun membuka suara. Rasa takut itu perlahan menggerogoti tubuhnya, dia sama sekali tak bisa mengendalikan diri ataupun membalas ucapan Hindia di dalam kepalanya.“Kau tahu, ada hal yang sangat mustahil dilakukan manusia dengan mudah ketika dia pertama kali menjadi Wrena. Hal itu adalah ... me
Andra menatap dalam diam butiran salju yang perlahan turun ke lautan yang baru saja mereka ratakan menjadi daratan. Kedatangan Dewiana membuatnya tersadar tentang siapa yang akan datang menyambut mereka hari ini.Hari tiba-tiba saja berubah menjadi malam. Mereka sengaja tak menggunakan perisai karena milik Dirga tak begitu kuat, sedangkan perisai miliknya memiliki fungsi untuk menghancurkan bagian dalamnya, bukan menahan ataupun mengurung siapa pun yang ada di bagian dalam.Jika perisai milik Wiralaya yang menutupi pulau Jawa bisa mengeluarkan ribuan tornado dalam satu waktu, maka perisainya memiliki kekuatan untuk membakar habis siapa pun yang ada di dalamnya. Hal itu pula yang membuatnya tak bisa menggunakan perisai.Para Wrena yang dimiliki Bérawa belum punya cukup kekuatan untuk membuat perisai, dan rencana yang kini mereka coba bangun adalah untuk melawan seluruh musuh yang ada dengan kekuatan yang sudah mereka kuasai.“Kau bilang saat i
Jane menatap rintikkan salju yang mulai turun dengan sangat lambat di malam hari yang tiba-tiba datang itu. Dia menelan salivanya tanpa sadar, netranya menatap kosong langit biru tua dengan awan tipis di atas kepala mereka.“Dia datang, dia ... dia akan datang.” Gadis itu berucap tanpa sadar dengan sangat gugup sambil memundurkan langkahnya.Gadis itu sama sekali tak mendengar suara Putra yang sejak tadi terus-menerus memanggilnya, kepala Jane tanpa sadar sudah dipenuhi oleh ingatan-ingatan dirinya bersama Wonu saat terakhir kali puluhan salju itu menghilang dan mereka diserang habis-habisan oleh para Pati beserta tornado.Dari yang gadis itu ingat, Andra pernah berkata selama rapat bahwa kekuatan Hindia adalah memanipulasi apa pun menjadi sebuah salju, persis seperti yang dia alami ketika Hindia mengubah satu kota menjadi dunia salju yang kosong, dan tepat ketika dia sudah pada puncak rasa bosannya, dia akan mengubah segala hal itu ke bentuk asalnya
25 Februari 2020, seluruh bagian barat Bali —terutama di sepanjang pesisir Pantai Batu Bolong sampai ke Pura Luhur Uluwatu— dipenuhi oleh ribuan Prajurit yang berjaga di tiap pesisir dan tebing ujung pulau itu. Sementara para Pilar yang sejak rapat berakhir dini hari lalu, sudah mulai membuat daratan baru di laut perbatasan Bali itu, mereka melapisi daratan itu dari bagian dasar ke permukaan menggunakan 6 jenis kekuatan.Dimulai dari pesisir utara Bali sampai ke Alas Purwo yang ada di seberang mereka, Gandi lebih dulu melapisi bagian dasar lautan menggunakan kekuatan Batunya, setelah itu dilapisi lagi bagian atasnya dengan kekuatan Koral milik Olan, Kintan membantu melapisi bagian atasnya lagi menggunakan Kristalnya, setelah itu mendekati bagian permukaan diisi oleh Bella menggunakan Kapurnya dan dikeraskan, setelah itu ditutup oleh milik Ilyas dengan Lempung yang dikeraskan, dan terakhir dikuatkan dengan Tanaman-tanaman menjalar