Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi.
“Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri.
Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya.
Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan.
“Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya.
Cuna yang duduk di belakang masih terdiam. Penglihatannya terasa aneh, dia juga melihat apa yang teman-temannya saksikan, namun sama halnya seperti Jane dan Wonu, sangat sulit baginya untuk mempercayai hal itu. Cuna menyentuhkan ujung jarinya pada kaca jendela sambil memerhatikan pemandangan di luar jendela mobil itu, merasakan dingin yang mulai menjalar di permukaan kulitnya serta angin-angin kencang yang mulai bisa dia lihat sedang menghantam dedaunan di luar sana, rasa penasaran gadis itu perlahan mulai memuncak.
“Jangan buka jendela!” ucap Wonu cepat memperingati Cuna yang tanpa sadar ingin membuka jendela untuk mengetahui secara langsung hal itu. “Kita tak tahu apa yang akan terjadi jika salju-salju itu masuk.”
Mereka terdiam. Semakin dalam mereka masuk ke kota itu, hujan salju perlahan semakin deras sekalipun tak menganggu penglihatan mereka. Ketiganya masih tak bersuara, mencoba mencerna apa yang terjadi di sekitar mereka walaupun hasilnya masihlah nihil.
“Kota ini sepi sekali,” gumam Cuna tanpa sadar. “Sejujurnya jika salju itu berbahaya, itu takkan berpengaruh padaku sebab aku Wrena, bukan manusia.”
“Mereka hanya bilang bahwa Wrena bisa bertahan dari tornado Cuna, bukan yang lain.” Wonu kembali membalas membuat Cuna terdiam, “Untuk sekarang kita perhatikan keadaan sekitar saja dulu. Kota ini sangat aneh jika terlalu sepi.”
Jane mengangguk membenarkan hal itu sambil terus memerhatikan sekeliling mereka. Bangunan-bangunan di sekitar mereka seakan tak memiliki penghuni, toko-toko tertutup dengan tak menunjukkan sedikitpun kehidupan manusia di dalamnya, seluruh rumah tertutup rapat. Bandung terlihat sangat sepi, tak ada bekas tornado, tak ada mayat-mayat yang berserakan, tak ada pati atau bahkan manusia yang berkeliaran.
Kota itu seakan sudah mati.
“Ayo ke mall.”
“Hah?!” tanya Jane dan Wonu bersamaan ketika mendengar ajakan Cuna.
Gadis itu terkekeh kecil mendengar balasan heran kedua kawannya itu, “Kubilang, ayo ke mall.”
“Aku tahu!” kesal Wonu tanpa sadar, “Apa maksud kalimatmu itu?”
“Jika memang tak ada orang ataupun tak ada bekas bencana, semuanya bisa kita lihat dari keadaan mall.” Gadis itu kembali menatap sekelilingnya, “Aku akan memastikan tempat itu aman dulu agar kalian bisa keluar dari mobil.”
“Belum ten—“
“Aku tahu,” potong Cuna cepat membalas ucapan Wonu yang bahkan belum selesai, “Tubuh Wrena ini bisa menyembuhkan dirinya sendiri sekalipun masih lambat, kupikir aku akan bertambah kuat tergantung seberapa banyak manusia atau Wrena lain yang bisa kumakan.”
“Kau berniat terus memakan manusia?” tanya Jane pada akhirnya.
Cuna menggeleng kecil, “Sejak awal aku tak mencicipi manusia Jane, darah yang tak sengaja kurasakan itu adalah darah Wrena.”
Mereka terdiam. Apa yang Cuna katakan memang benar, gadis itu bukan mencicipi manusia melainkan Wrena. Anak kecil itu bukanlah manusia lagi sebab sejak awal dia sudah menjadi Wrena ketika mereka menyelamatkannya.
“Kekuatan anak itu tersalur padaku,” lanjut Cuna sambil memerhatikan telapak tangannya sendiri. “Kupikir, jika aku memakan Wrena lain, maka aku akan mendapatkan kekuatan mereka juga.”
Cuna mengangkat bahu tak acuh sambil tersenyum miring menatap kedua kawannya itu, “Tenang saja, aku takkan memakan kalian kok. Kalian kan mahluk lemah.”
“Setan!” kesal Jane bersamaan dengan Wonu yang tersenyum miring, Cuna terkekeh kecil mendengar balasan gadis itu.
Mengabaikan suara tawa Cuna, gadis itu kembali menatap sekelilingnya. Jane mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi, sebab Wrena itu bilang bahwa Jawa telah ditaklukkan, namun rasanya sangat aneh melihat Bandung dalam keadaan aman.
Dia pikir ketika mereka sampai di Bandung, dia akan bertemu dengan satu atau dua Wrena dan mereka akan dihabisi di kota ini. Namun rasa aman yang tiba-tiba ini benar-benar membuatnya tak nyaman, rasanya begitu aneh.
“Apa kita harus masuk ke tempat parkirnya?” tanya Wonu ketika mereka sampai di jalan masuk meuju mall, pemuda itu melirik Jane dan Cuna secara bergantian.
“Trobos pintu masuknya aja lah, kejauhan kalau pergi ke parkirannya dulu.” Cuna memberi saran membuat Jane tersenyum senang tanpa sadar.
“Iya ya? Masuk dengan mobilnya saja gimana?” tanya gadis itu.
Wonu terkekeh kecil mendengar hal itu, “Baiklah.”
Pemuda itu menabrakkan mobil mereka masuk ke dalam mall, ketiganya terdiam beberapa detik setelah pintu kaca itu rusak akibat tabrakan mobil mereka, lalu menatap sekeliling tanpa mereka sadari.
“Sepertinya memang tak ada orang,” gumam Cuna dengan cepat keluar dari mobil mereka dan menutup pintu mobil itu dengan keras. “Aku aman,” lanjut gadis itu sambil melirik Wonu yang gagal meneriakinya.
Pemuda itu menarik senyuman lurus menatap Cuna yang ada di luar mobil. Bagian dalam mall itu benar-benar terasa kosong, tak ada manusia, tak ada satupun orang yang menjaga setiap toko di sana, semua tempat terlihat rapi dan bersih, tak ada bekas kekacauan jenis apapun di sana.
Cuna memimpin langkah dengan berjalan kaki sedangkan Jane dan Wonu mengikuti gadis itu di dalam mobil. Tanpa Wonu sadari, Jane membuka jendela mobil mereka dan mengeluarkan tangannya, mencoba memastikan bahwa tempat tersebut benar-benar aman.
“Kupikir kita aman di sini untuk sementara,” gumam gadis itu membuat Wonu menoleh ke arahnya, gadis itu tersenyum tanpa dosa ketika melihat raut wajah kesal Wonu yang seakan ingin mengomelinya. “Ayo kumpulkan persediaan makanan dan banda tajam,” ucapnya dibalas Wonu dengan merotasi matanya malas lalu mengangguk pelan.
“Ya, sepertinya memang aman.” Pemuda itu berujar sambil menghentikan mobil mereka.
Ketiganya lantas lebih dulu mengambil tas yang cukup besar, lalu mengambil persediaan untuk masing-masing orang dengan rata. Setiap tas berisikan persediaan makanan, pakaian, dan senjata yang sama rata agar jika sewaktu-waktu mereka terpisah, mereka tak harus mengkhawatirkan yang lain untuk terus bertahan hidup.
“Kita takkan melepaskan tas ini bahkan ketika kita ada di mobil,” ujar Wonu dengan santai. Kedua gadis itu menatapnya tak paham membuat Wonu menghela napas pelan, “Aku tak mau kejadian tornado seperti kemarin datang lagi, dan kita harus tiba-tiba keluar dari mobil tanpa sempat membawa apapun.”
“Oh ...” balas Jane paham, Cuna terkekeh mendengar ucapan pemuda tersebut.
“Ya, kau benar. Kita memang tak boleh melepaskan tas ini sepertinya,” balas gadis itu santai.
.
.
.
“Mereka menyebutnya Banaspati.”
Wanita itu menatap sosok di hadapannya dalam diam, alisnya sedikit berkerut sedangkan kepalanya kini tertunduk, lalu menatap bola api berukuran kecil yang kini melayang di atas telapak tangannya.
“Dewi pasti akan sangat marah karena aku memberikan hal ini padamu.” Sosok itu terkekeh, lalu menatap bola api berukuran kecil yang kini ada di atas telapak tangan anak buahnya.
“Dewi akan selalu marah kok,” balas wanita itu sambil tersenyum tipis.
“Mereka menyebut Banaspati sebagai roh jahat yang memiliki ilmu hitam cukup tinggi.” Wanita itu menatap bola api tersebut sambil menyimak penjelasan tipis dari sosok di hadapannya, “Dia tak lebih dari roh yang tercipta karena sebuah ketakutan sejujurnya,” ujar sosok itu. “Semakin bersih hati lawanmu, semakin mudah dia menghabisi bola api itu. Dia memintaku untuk memberikan ini padamu, sebab sepertinya Dewi takkan bisa menggunakannya.”
“Untuk apa ini?” tanya wanita itu dengan polosnya.
“Membakar, menghancurkan, membunuh. Apa lagi memangnya?” balas sosok tersebut membuat wanita itu tertawa pelan.
“Kau tahu aku tak suka membuat sebuah keributan.”
“Kalau begitu, gunakan akalmu seperti biasa. Aku tahu kau selalu pintar memilih lawan yang menarik, Hindia.”
Wanita yang dipanggil Hindia itu hanya tersenyum tipis. Dia tahu mengapa dia mendapatkan kekuatan kecil ini, terlebih juga sepertinya mahluk berukuran bola itu terlihat lucu ketika berada di dalam genggamannya. Perlahan, mahluk tersebut merobek kecil ujung pergelangan tanggan Hindia, lalu membuat garis tipis dan perlahan menyerap masuk lewat luka gores yang cukup dalam itu. Dirinya secara langsung akhirnya menjadi bagian dari tubuh Hindia.
Sosok di hadapannya hanya memasang senyuman miring melihat Hindia yang kini mengangkat kepala dan menatapnya. “Pergilah,” balas sosok itu membuat Hindia mengangguk pelan.
“Segera dilaksanakan, Ratu.”
“Masih lama?” tanya Jane ragu. Ini sudah dua jam berlalu semenjak mereka keluar dari mall dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Wonu sama sekali tak membalas pertanyaan Jane, dia yakin bahwa dia tidak tersesat mengingat bahwa pemuda itu sangat suka berpergian keluar kota sejak dia SMA, namun semua ini terasa begitu aneh. Hari sudah mulai sore dan matahari seakan terasa lebih cepat ketika hendak ternggelam. Pemuda itu hanya menatap sekelilingnya, dia tak merasa mereka melewati jalan yang sama, namun disisi lain juga, dia merasa bahwa mereka sejak tadi hanya berputar-putar saja. Di kursi belakang, Cuna menatap ke luar jendela memerhatikan bangunan tua yang memiliki patung gurita besar di atapnya. Dia tak begitu yakin, namun rasanya mereka sejak tadi hanya memutari pusat bangunan itu sejak dua jam yang lalu. “Rumah Gurita itu, bangunan lama ya?” tanya Cuna mengalihkan perhatian Jane dan Wonu yang sejak tadi sibuk dengan pikiran
Setelah kepergian Cuna menuju rumah gurita itu, Jane dan Wonu benar-benar disibukkan dengan berbagai tornado yang muncul di banyak tempat. Jane bertugas untuk melihat segala bahaya di berbagai arah, sedangkan Wonu terfokus pada kendali mobil agar mereka bisa terus melarikan diri. “Lebih baik menjadi Wrena dibandingkan Pati, sumpah!” kesal Wonu tanpa sadar. “Kita bisa saling gigit jika ingin menjadi wrena,” balas Jane masih dengan raut wajah seriusnya. Wonu terkekeh pelan mendengar hal itu, mereka lantas memutar haluan menyadari ada pusaran angin yang perlahan mulai membentuk tornado di hadapan mereka. “Pati!” jerit Jane cepat namun Wonu sama sekali tak menahan diri untuk menabrak sekumpulan manusia tak berjiwa itu. Apapun itu mereka harus selamat, lagi pula Pati takkan berbahaya selama mereka tak tiba-tiba menyerang Wonu dan Jane menggunakan tangan tajam mereka. “Arah jam 2, kosong!” ucap Jane cepat membuat Wonu kembali membanting stir.
Ketika kau terbiasa menikmati film ataupun cerita-cerita bertema horror maupun thriller, kau mungkin sudah sangat terbiasa dengan berbagai adegan sadis yang ada di dalam sana. Tak peduli seberapa menyeramkan rupa para mahluk yang datang, tak peduli seberapa sadis adegan yang sedang berputar, kau akan tetap menganggap itu hal biasa ―atau mungkin menyenangkan― karena kau tahu bahwa semua itu tak nyata, dan itu takkan membuatmu benar-benar ketakutan. Namun saat adegan itu berada di depan matamu. Ketika kau bisa mendengar suara jeritan itu dengan jelas, ketika kau bisa melihat sendiri bagaimana tubuh itu diremas, dirobek menjadi dua bagian, dikoyak, dan dihancurkan. Ketika kau benar-benar bisa melihat bagaimana rupa mengerikan itu sedang menyeringai saat menikmati daging segarnya, ketika kau dapat melihat dengan jelas bagaimana tangan itu habis tertelan masuk ke dalam mulutnya. Kau mungkin akan mendapatkan rasa baru yang berbeda, reaksi tubuhmu menunjukkan bahwa
“PORTAL HITAM ITU DATANG! CEPAT KE MOBIL!” teriak Cuna keras bersamaan dengan sosok siren raksasa yang kini muncul tepat di belakangnya. Ketiganya langsung berlari kencang menuju mobil yang ada di tengah atap gedung tersebut, namun ketika sebuah helaian rambut yang menajam itu menghantam mobil tersebut hingga hancur, Cuna dan Wonu tanpa sadar langsung terdiam. Sedangkan Jane yang nyaris saja sampai ke mobil itu langsung melompat menjauh untuk menghindari sisa-sisa bagian mobil yang terhempas itu. Cuna yang berdiri paling dekat dengan posisi siren raksasa itu sama sekali tak berani menoleh ke belakang, sedangkan Wonu yang berdiri jauh di hadapannya kini bisa melihat dengan jelas sosok siren tersebut. Pijakannya terasa melemah. Dewiana Surya, siren berukuran raksasa yang berada tepat di belakang Cuna itu terlihat mengerikan. Mahluk itu meletakkan satu tangannya pada rooftop bangunan, sedangkan tangan lainnya dia gunakan untuk menyangga daguny
Keraton Yogyakarta rata dengan tanah. Dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun kini telah rubuh dan memutuskan pintu dimensi menuju pusat kerajaan milik Sang Ratu di Pantai Selatan. Semua prajurit yang dikerakan sudah jatuh tanpa bisa berperang lebih lama, segala cara mereka lakukan untuk tetap bertahan hidup, namun para iblis yang datang secara tiba-tiba sama sekali tak memberi mereka ampun. Kota itu tak bisa kembali berdiri dengan megah. Banyak yang berharap bahwa Ratu akan datang mengingat bahwa mereka telah begitu setia mengabdi pada Sang Pemilik Tanah Jawa, semua orang beranggapan bahwa Ratu akan datang menolong mereka, atau setidaknya membiarkan orang-orang penting yang selama ini memiliki tahta tetap hidup. Mereka berharap bahwa setidaknya segala hal yang selama berabad-abad ini mereka jaga, tetap memiliki sisa dan tak hancur dengan sia-sia. Namun harapan tetaplah sebuah harapan. Tak ada keajaiban di dalam sebuah harap
“Nusa Cania Nitasa ...” Cuna melirik Hindia yang kini memanggilnya, menyebut nama lengkapnya sekalipun dia tak pernah yakin bahwa dia pernah memberitahukan nama lengkapnya pada wanita elok bergaun hitam itu atau tidak. “Aku menyukainya.” Mata gadis itu akhirnya bertemu langsung dengan netra merah milik Hindia. Tatapan wanita itu terasa hangat untuknya, senyuman tipis yang Hindia berikan padanya membuat Cuna tanpa sadar bisa bernapas dengan sangat lega sekalipun tubuh kecilnya masih digenggam oleh Dewiana. “Dia akan menangis jika kau membunuh dua kawannya itu, dan aku ...” Cuna membeku ketika menyadari ada sebuah tangan tipis yang menggenggam tangannya di dalam cengkraman Dewiana. Perlahan ... genggaman itu melebar ke seluruh tubuhnya, seakan sedang memdekapnya, memeluknya dengan sangat hangat. “... tak suka melihatnya menangis.” Tepat saat kalimat itu berakhir, Cuna baru menyadari bahwa kini dia sudah berpindah ke temp
“Mayoritas manusia disini hanya akan berubah menjadi Abdi Regar, atau mati dan menjadi pati.” Regar menatap iris mata Nika ketika mengucapkan kalimat itu. “Jika ada yang tak ingin menjadi abdiku, dan bertukar darah denganmu. Bunuh dia.” Nika mengangguk dengan polos, membiarkan mata kosongnya menatap netra Regar yang kini menunjukkan warna kuning gelap. “Jika ada wrena lain dengan ciri laki-laki, memiliki gigi kelinci yang sedikit menonjol, bermata sipit, dan suka melempari jalanan menggunakan api. Jangan bunuh dia, atau kau yang akan mati.” Gadis itu mengangguk lagi mendengar peringatan Regar. Pemuda itu menarik senyuman miring, ibu jari dan jari telunjuknya yang sejak tadi mencengkram lembut rahang Nika kini dia tarik ke atas, membuat ibu jarinya bisa menyentuh pipi Nika dan mengusapnya dengan sangat pelan. “Katakan, kau akan mengikuti perintahku.” “Aku akan mengikuti perintahmu, Regar.” “
“Kau gadis yang penurut,” gumam pemuda itu dengan nada rendahnya. “Aku menyukaimu.” Nika tak membalas kalimat itu dengan apapun, gadis itu hanya menatap Regar dengan sorot mata kosongnya. Pemuda itu menatap sekelilingnya yang dipenuhi mayat prajurit berserakan, dia lalu memusatkan pandangannya pada atap bangunan keraton yang kini sudah cukup rusak sambil bergumam pelan. “Aku tahu kalian ada di sana sejak awal.” “Ups!” “Oups!” balas dua suara secara bersamaan, setelahnya ketukan keras terdengar sebanyak dua kali dan disusuli dengan teriakan keras. “Akh! Berhenti memukul! Kita sudah ketahuan!” “Kalian bukan manusia,” lanjut Regar tanpa sadar. “Kenapa kalian tak membantuku menghancurkan mereka?” Kedua orang itu beranjak berdiri tepat di atas atap bangunan keraton itu sambil berkacak pinggang, tanpa sadar membuat Regar tahu bahwa kedua orang itu bukanlah wrena dari tempatnya melainkan manusia yang berubah menjadi wrena.
[BAGIAN; DI UJUNG NAPAS YANG TERCEKAT]Dalam satu detik yang terasa begitu lama, Dirga menelan salivanya menatap sosok Arta yang kini baru saja menjatuhkan mayat Cuna di hadapan Jane dan Putra. Pemuda itu menahan napas sejenak, mencoba sekeras mungkin untuk mengabaikan apa yang dia lihat. Dirga lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah Kendari ⸺mendapati wanita itu sedang terdesak dengan Gilang yang sedang mencengkeram belakang kepalanya⸺ dan dengan segera meloncat terbang hendak meninggalkan Dewiana jika saja wanita itu tidak dengan cepat menusuk lehernya menggunakan tongkat putih bercorak biru tersebut, lalu menjatuhkan pemuda itu, membuat wujud Barong Dirga jatuh ke menghempas kolam raksasa yang ada di dalam tembok.“Kau harus perhatikan lawanmu, Dirga.” Wanita itu menyeringai tanpa sadar, “Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di sekitarmu.”Dirga menahan jeritannya, sedangkan tangan pemuda yang memegang pe
Jane dan Putra ada di dalam perisai yang Kintan ciptakan ketika Hindia pertama kali muncul di udara dengan sekumpulan salju yang mulai bersatu dan membentuk tubuh tingginya. Di detik setelahnya, seluruh salju yang melapisi tubuhnya itu seketika lenyap bersamaan dengan hujan salju di sekitar mereka yang kini berubah menjadi ribuan butir bola api. Mereka dalam diam menatap hujan itu mengingat bahwa mayoritas dari para prajurit pun kini juga ada di dalam perisai yang telah di ciptakan oleh beberapa Pilar. Api itu tak bisa menembus perisai yang telah mereka ciptakan, jadi mayoritas dari mereka berpikir ... semua akan aman selama perisai yang kini melindungi mereka tak terbuka. “Kota ini terlihat sepi jadi aku membawa sedikit pasukan,” ucap Hindia bersamaan dengan perisai milik Gandi yang dia buka secara tiba-tiba karena luapan api yang kian membesar di dalamnya. Beberapa pasukan yang ada di sekitar Gandi itu membuka seragam bagian terluar mereka karena bekas salju yang m
Dalam kurang dari satu detik setelah meminta izin secara sepihak pada Kendari, Andra kini sudah benar-benar ada di hadapan Hindia. Membuat wanita itu menahan rasa kaget sekaligus takjub karena aura panas mencekam yang tiba-tiba saja ingin membakar habis tubuhnya.Hindia selalu menikmati momen-momen ketika dia bisa melawan seseorang yang lebih kuat darinya. Hingga pada umumnya, wanita itu akan memanfaatkan waktu sebaik dan selama mungkin agar bisa membuat perkelahian mereka berjalan dengan sangat lama.Berbeda dengan seseorang yang dia anggap lebih lemah, dia akan membuat skenario baru seakan dia adalah sosok yang baik, yang membiarkan korbannya itu untuk hidup lebih lama. Lalu, dengan kelengahan yang korban itu miliki karena merasa telah selamat, dia akan memanfaatkan korban itu dan memainkannya seperti boneka di waktu-waktu yang tepat.Seperti apa yang dia lakukan pada Cuna.Tepat di satu detik setelahnya, tangan Andra sudah lebih dulu mencengke
Bisa dibilang, mereka direkrut sebagai anak buah para Cendrasa di waktu yang bersamaan. Sebagai angkatan yang cukup tua, baik Dewiana maupun Dirga sama-sama dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menjadi anggota Cendrasa, bersama dengan Hindia.Dirga tahu persis sekuat apa Dewiana, begitu sebaliknya. Mereka mungkin jarang bertarung bersama, keduanya juga jarang dimasukkan ke dalam misi yang sama. Namun, mereka cukup dekat ketika rapat terjadi karena Dirga suka sekali memancing emosi Dewiana, sedangkan wanita itu juga terkadang suka menjaili Dirga dengan cara yang tak normal.Misalnya dengan tiba-tiba mendorong Dirga keluar dari Kastil dan membuatnya menghempas jatuh tenggelam ke Black Ocean yang ada di bawah Kastil itu. Tak semua orang bisa bertahan jika jatuh ataupun bersentuhan dengan Black Ocean karena bisa dibilang, itu adalah lautan yang tak pandang bulu dalam memakan sesuatu. Namun, Dewiana juga tahu bahwa Dirga memiliki sesuatu yang bisa membuatnya bertahan jik
“Ini baru lima menit pertama sejak kau muncul, Dewiana Surya ...” Suara itu menggema bersamaan dengan sekumpulan salju yang membentuk sebuah tubuh lengkap dengan gaun panjang, serta tiga bola api yang melayang berputar di atas telapak tangan kirinya. Perlahan, salju-salju itu menghilang dan digantikan oleh wujud sempurna Hindiana Putri, dengan rambut bergelombang yang menutupi sepanjang punggung sampai pinggulnya, dengan payung hitam yang menutupi pucuk kepalanya, bibir yang dipolesi warna merah darah, selaras dengan iris matanya. Wanita itu setinggi 200 sentimeter, dengan gaun berenda hitam yang melapisi seluruh tubuh tinggi semampainya.Hindia memasang senyuman miring sambil mengangkat payungnya, bersamaan dengan itu semua salju yang sebelumnya menghujani mereka, ⸺yang jatuh dan menutupi nyaris seluruh daratan serta pohon-pohon di pulau Bali⸺ kini kembali ke dalam wujud asli mereka, yaitu api.Dalam seke
“Dewiana, namanya ... Dewiana Surya.” Cuna membeku mendengar bisikan itu lagi di dalam kepalanya. Walaupun baru beberapa hari berlalu, rasanya seperti sudah lama sekali dia tak mendengar suara itu lagi.“Mungkinkah?” pikir gadis itu bersamaan dengan Arta dan Rolla yang terbang di sampingnya, mereka berada beberapa kilometer di hadapan Dewiana.“Kau bisa mendengarku kan, Cuna?” tegur suara itu. Cuna menelan salivanya tanpa sadar, benar-benar tak menyangka bahwa dia akan kembali mendengar suara itu dengan sangat jelas di dalam kepalanya.Gadis itu sama sekali tak bisa bereaksi atau pun membuka suara. Rasa takut itu perlahan menggerogoti tubuhnya, dia sama sekali tak bisa mengendalikan diri ataupun membalas ucapan Hindia di dalam kepalanya.“Kau tahu, ada hal yang sangat mustahil dilakukan manusia dengan mudah ketika dia pertama kali menjadi Wrena. Hal itu adalah ... me
Andra menatap dalam diam butiran salju yang perlahan turun ke lautan yang baru saja mereka ratakan menjadi daratan. Kedatangan Dewiana membuatnya tersadar tentang siapa yang akan datang menyambut mereka hari ini.Hari tiba-tiba saja berubah menjadi malam. Mereka sengaja tak menggunakan perisai karena milik Dirga tak begitu kuat, sedangkan perisai miliknya memiliki fungsi untuk menghancurkan bagian dalamnya, bukan menahan ataupun mengurung siapa pun yang ada di bagian dalam.Jika perisai milik Wiralaya yang menutupi pulau Jawa bisa mengeluarkan ribuan tornado dalam satu waktu, maka perisainya memiliki kekuatan untuk membakar habis siapa pun yang ada di dalamnya. Hal itu pula yang membuatnya tak bisa menggunakan perisai.Para Wrena yang dimiliki Bérawa belum punya cukup kekuatan untuk membuat perisai, dan rencana yang kini mereka coba bangun adalah untuk melawan seluruh musuh yang ada dengan kekuatan yang sudah mereka kuasai.“Kau bilang saat i
Jane menatap rintikkan salju yang mulai turun dengan sangat lambat di malam hari yang tiba-tiba datang itu. Dia menelan salivanya tanpa sadar, netranya menatap kosong langit biru tua dengan awan tipis di atas kepala mereka.“Dia datang, dia ... dia akan datang.” Gadis itu berucap tanpa sadar dengan sangat gugup sambil memundurkan langkahnya.Gadis itu sama sekali tak mendengar suara Putra yang sejak tadi terus-menerus memanggilnya, kepala Jane tanpa sadar sudah dipenuhi oleh ingatan-ingatan dirinya bersama Wonu saat terakhir kali puluhan salju itu menghilang dan mereka diserang habis-habisan oleh para Pati beserta tornado.Dari yang gadis itu ingat, Andra pernah berkata selama rapat bahwa kekuatan Hindia adalah memanipulasi apa pun menjadi sebuah salju, persis seperti yang dia alami ketika Hindia mengubah satu kota menjadi dunia salju yang kosong, dan tepat ketika dia sudah pada puncak rasa bosannya, dia akan mengubah segala hal itu ke bentuk asalnya
25 Februari 2020, seluruh bagian barat Bali —terutama di sepanjang pesisir Pantai Batu Bolong sampai ke Pura Luhur Uluwatu— dipenuhi oleh ribuan Prajurit yang berjaga di tiap pesisir dan tebing ujung pulau itu. Sementara para Pilar yang sejak rapat berakhir dini hari lalu, sudah mulai membuat daratan baru di laut perbatasan Bali itu, mereka melapisi daratan itu dari bagian dasar ke permukaan menggunakan 6 jenis kekuatan.Dimulai dari pesisir utara Bali sampai ke Alas Purwo yang ada di seberang mereka, Gandi lebih dulu melapisi bagian dasar lautan menggunakan kekuatan Batunya, setelah itu dilapisi lagi bagian atasnya dengan kekuatan Koral milik Olan, Kintan membantu melapisi bagian atasnya lagi menggunakan Kristalnya, setelah itu mendekati bagian permukaan diisi oleh Bella menggunakan Kapurnya dan dikeraskan, setelah itu ditutup oleh milik Ilyas dengan Lempung yang dikeraskan, dan terakhir dikuatkan dengan Tanaman-tanaman menjalar