Cuaca pagi hari menjelang siang itu sangatlah sejuk, Wonu bahkan sempat berkata bahwa ini pertamakalinya Jakarta memiliki cuaca sesejuk ini, bahkan jauh lebih sejuk dibandingkan Bandung. Walaupun upayanya membuka topik tetaplah gagal karena Jane sama sekali tak bersuara sedangkan Cuna kini sibuk menghabiskan susu kedelai untuk terus dia konsumsi.
Setelah pernyataan Cuna bahwa dia merasa ingin terus mencoba menyantap manusia, gadis itu juga dengan cepat mengambil susu kedelai dan beberapa kacang untuk dia konsumsi. Dia dengan cepat membuat Jane tenang karena dia yakin gadis itu sudah cukup frustasi atas kematian Nira dan pembunuhan yang baru saja dia lakukan.
Wonu juga tak ingin membahas lebih perihal apa yang baru saja mereka lewati karena dia tahu bahwa Jane masih sangatlah terluka akan hal itu. Dia tahu bahwa gadis itu memerlukan waktu untuk meluruskan isi pikirannya seperti saat dia pertama kali membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu malah tak begitu mengerti mengapa Cuna terlihat santai bahkan setelah dia tanpa sengaja menyantap darah tersebut.
Mereka akhirnya sampai di rest area tempat di mana ada pom bensin berada. Pemuda itu membiarkan kedua gadis tersebut sibuk dengan pikirannnya sendiri sedangkan dia memilih untuk pergi ke tanah kosong di ujung rest area setelah memeriksa keadaan, juga setelah mendapatkan cangkul.
Wonu sedikit heran karena tempat itu begitu sepi dan tak ada satupun mayat disana, dia juga sudah memeriksa ke berbagai bagian namun tak menemukan mahluk sejenis zombie ataupun kanibal, di sana bahkan tak ada jejak bekas tornado.
Namun tanpa ingin berpikir banyak, pemuda itu akhirnya memilih untuk mulai menggali dan membuat kuburan untuk Nira.
Setidaknya mereka harus membuat perpisahan yang layak untuk Nira selagi mereka bisa. Dia tak ingin asal meninggalkan seseorang seperti saat mereka meninggalkan Hanbin, dia tak ingin kematian yang sudah terjadi dengan tragis juga harus mereka tambah dengan perpisahan yang tak kalah miris.
Pemuda itu baru saja menyelesaikan setengah pekerjaan menggalinya ketika Cuna datang bersama Jane dengan mobil ke ujung tempat itu, Jane keluar lebih dahulu dan pergi ke bagasi untuk melihat Nira.
“Butuh bantuan?” tegur Cuna menatap Wonu yang kini sudah benar-benar berkeringat.
Pemuda itu menghentikan pekerjaannya sejenak dan memerhatikan Cuna serta Jane yang kini sudah berganti baju, “Apa kalian mandi juga?” tanyanya asal dan dibalas anggukan santai oleh Cuna, pemuda itu menghela napas mendengar balasan tersebut.
“Ada masjid dan di kamar mandinya banyak air, jadi kita mandi.” Cuna membalas dengan santai, “Mandilah setelah kita selesai menguburkan Nira.”
Wonu tak membalas dan kembali menggali sedangkan Cuna kini hanya memerhatikannya sambil tetap menyesap susu kedelainya yang baru. Jane memerhatikan kedua orang itu setelah melihat Nira, dia mendudukan diri di kap mobil sambil menatap kedua kawannya itu dalam diam.
Ini baru beberapa jam setelah matahari terbit namun dia sudah mengalami hal sebanyak ini, padahal semalam dia juga baru bilang pada Wonu bahwa dia takkan sanggup dengan kehilangan, sekalipun dia tahu dia bisa bertahan di dunia yang cukup biadap seperti ini.
Rasanya dia ingin tertawa melampiaskan rasa marahnya. Dia tak mengerti mengapa harus Hanbin dan Nira yang pergi duluan padahal kedua orang itu adalah orang yang paling paham bagaimana cara menghadapi kondisi seperti ini, sekalipun gampang panik, keduanya tetaplah tahu cara agar mereka bisa tetap bertahan dengan mental yang sehat.
Namun Hanbin mati, Nira juga mati, dia telah membunuhnya, Cuna kini sudah menjadi Wrena karena ulahnya juga. Jane mengigit bibirnya lagi tanpa sadar, lalu menatap punggung kedua orang itu dengan sorot rasa bersalah.
“Maaf …” cicitnya pelan membuat Cuna dan Wonu terdiam. “Nira mati karenaku.” Wonu menghela napas mendengar hal itu, “Cuna juga berpotensi menjadi kanibal karenaku.”
Cuna tak membalas hal itu sedangkan Wonu memilih berjalan melewati Jane, lalu pergi ke belakang mobil dan membuka bagasi setelah itu mengangkat Nira keluar. Keduanya sama sekali tak berniat membalas permintaan maaf Jane.
“Kita dikejar oleh zombie saat itu juga karenaku, hingga akhirnya Hanbin mati.”
“Menyesal takkan mengubah apapun Jane,” tegur Wonu santai sambil meletakkan Nira ke dalam lubang kuburan itu dengan pelan lalu mulai menguburnya. “Seperti apa yang Nira katakan saat itu, di dunia seperti ini … kita telah bebas. Kau tak perlu merasa berdosa untuk sesuatu yang memang perlu kau lakukan demi bertahan hidup,” ucapnya pelan. “Jika kau merasa bersalah, jadilah lebih kuat dan lebih baik dari sebelumnya. Bertahanlah lebih lama untuk kita semua.”
Cuna menoleh kebelakang dan tersenyum tipis pada Jane, “Kau tahu bahwa aku tak pernah mempermasalahkan hal itu Jane, itu bukan salahmu.”
Jane tak membalas kalimat itu, namun memilih untuk mendekat ke arah mereka dan membantu menguburkan Nira. Hal itu membuat Cuna dan Wonu merasa tenang karena gadis tersebut kembali pada suasana hatinya yang biasa, setidaknya mereka tak perlu mengkhawatirkan Jane dengan berlebihan lagi.
“Terima kasih,” gumam gadis itu sambil menancapkan ranting di ujung gundukan tanah tersebut. “Untuk kalian berdua juga,” lanjutnya tanpa menoleh ke arah Cuna dan Wonu.
Jane akhirnya memilih untuk mengisi bahan bakar mobil tersebut selagi Wonu pergi untuk membersihkan diri, sedangkan Cuna kini memilih masuk ke dalam minimarket rest area itu untuk kembali mengumpulkan makanan.
Dia sudah menghabiskan nyaris setengah dari persediaan makanan mereka demi menghentikan rasa panas dan lapar yang dia rasakan karena efek menyantap darah. Dia pikir mungkin itu adalah efek awal untuk orang-orang yang menjadi kanibal hingga mereka berakhir menjadi sangat rakus dan tak bisa terkontrol.
Walaupun efek kacang-kacangan itu cukup lambat untuk meredakan keinginannya menyantap daging manusia, namun setidaknya dia berhasil menahan itu dan kini dia sudah tak menginginkannya lagi. Biasanya dia bukanlah orang yang tahan mengunyah makanan begitu lama, namun tadi dia benar-benar menghabiskan waktu nyaris 3 jam hanya untuk mempersibuk mulutnya sendiri memakan kacang-kacangan dan meminum susu kedelai.
Gadis itu bersyukur bahwa minimarket itu menyediakan cukup banyak makanan dan minuman berbahan dasar kacang, sehingga dia bisa mengisi ulang kekosongan bahan makanan yang tadi dia habiskan.
Cuna keluar dari minimarket tersebut bersamaan dengan Wonu yang baru saja keluar dari kamar mandi, sedangkan Jane kini duduk bersandar pada mobil setelah mengisi ulang bahan bakar kendaraan. Gadis itu lalu memanggil Wonu dan Cuna untuk bergegas ke arahnya dan menonton berita baru yang ada di tv umum di rest area tersebut.
Keduanya membeku melihat apa yang Jane temukan.
TV itu menampilkan siaran dari seseorang yang benar-benar tak mereka kenali. Sosok itu memiliki taring yang mencuat keluar dari gigi bagian bawahnya, ada dua kuping kucing berwarna hitam pekat sisi kepalanya, sedangkan matanya memiliki dua warna yang berbeda –merah dan ungu.
Sosok itu menyeringai, membiarkan ekornya yang terbentuk dari kumpulan tulang tipis tergoyang lembut ke kanan dan ke kiri.
“Halo … untuk kalian yang selamat, maka selamat datang.
“Kalian pasti sangat kuat karena berhasil melewati berbagai tornado dan masih waras menjadi manusia.
“Untuk kalian yang masih buta dan tak tahu apapun, aku akan mengabarkan pada kalian bahwa menjadi manusia takkan bisa membuat kalian bertahan hidup.
“Tornado itu akan selalu datang, setiap 1-3 jam sekali dengan jangkauan 175-300 km/jam, dan lebar yang bisa mencapai satu kilometer. Kalian, para manusia akan berubah menjadi Pati jika kalian terkena tornado itu, jiwa kalian akan menghilang dan menyisakan tubuh yang berjalan mengikuti rasa lapar yang menyiksa, tubuh kalian akan terkoyak habis selama dua sampai tiga hari lalu akhirnya mati.
“Jika kalian ingin tetap bertahan hidup, maka jadilah seperti kita. Para Wrena, kalian hanya perlu memakan sesama kalian, menjadi kanibal.” Sosok itu mengangkat alisnya sambil tersenyum miring, berlagak meremehkan. “Menjadi Wrena akan membuat kalian bisa bertahan dari efek tornado dan takkan menjadi Pati, fisik kalian akan berkali-kali lipat lebih kuat, dan kalian bisa hidup lebih lama, tergantung berapa banyak manusia yang sudah kalian konsumsi.
“Namun jika kalian tetap bertahan menjadi manusia, maka …” Pemuda itu merentangkan tangannya sambil tersenyum manis, “Selamat datang! Para mangsa menyegarkan!
“Tak ada tempat aman, Jawa telah dikalahkan dalam sehari. Pilihan kalian hanyalah menjadi Wrena untuk bertahan hidup, atau tetap menjadi manusia dan siap dijadikan mangsa. Silahkan memilih … sebab pesta ini, baru akan dimulai.”
Seringai lebar itu menjadi penutup dari berita sekilas yang membuat ketiga orang tersebut membeku. Jane kini mengerti maksud dari kalimat yang pagi lalu disampaikan oleh sosok yang telah dia bunuh.
Cuna menatap tangannya sendiri yang tadi memiliki bekas cakaran dari anak kecil tersebut, namun luka itu sudah sembuh dan menghilang, dia akhirnya memahami apa yang Wrena tadi maksud.
Sedangkan Wonu kini tak bisa berkata-kata lagi, Wrena tadi berkata bahwa Jawa bukanlah tempat yang aman sedangkan sangat mustahil bagi mereka pergi keluar pulau jawa seperti kalimantan ataupun sumatra dalam keadaan seperti ini.
“Tak ada tempat aman di Jawa,” gumam Wonu tanpa sadar. “Lalu kemana kita akan pergi?”
Mereka terdiam cukup lama setelah mendengar pertanyaan itu. Bahkan informasi tersebut juga sangatlah ambigu bagi mereka dan hanya membuat lebih banyak pertanyaan yang membingungkan.
“Bali,” cicit Cuna pelan sambil mengigit kuku ibu jarinya. “Mereka hanya bilang bahwa Jawa sudah kalah, mungkin bagian barat pulau Jawa telah mereka kuasai, tapi tidak dengan pulau lain.” Gadis itu mengangkat kepala menatap kedua kawannya itu, “Setidaknya kita bisa mencapai Bali bersama sambil terus mencari informasi tentang semua ini, Wrena tadi tak memberitahu kita bahwa manusia bisa mengonsumsi kacang-kacangan dan mungkin saja itu adalah salah satu dari tujuan mereka. Setidaknya informasi itu sangat penting, kita hanya perlu bertahan lebih lama, mengumpulkan informasi lebih banyak dan mengambil keputusan terbaik sesuai dengan apa yang sudah kita dapatan.”
Cuna lalu tersenyum lebar setelah mengatakan semua itu, “Bukankah ini menjadi lebih menarik? Setidaknya kita akan tahu akhir sejarah ini akan pergi ke mana jika kita tetap bertahan hidup.”
Jane menatap gadis itu dengan heran sambil melipat tangan di depan dada, “Bukan kah kau adalah orang yang semalam berkata sudah siap mati dan menganggap dunia ini membosankan?”
“Hehe, aku tahu ini gila. Tapi kupikir kekacauan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar, aku ingin melihat sejauh apa mereka bisa mengejutkan orang gila sepertiku.”
Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi. “Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri. Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya. Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan. “Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya. Cuna yang duduk di belakang masih terdia
“Masih lama?” tanya Jane ragu. Ini sudah dua jam berlalu semenjak mereka keluar dari mall dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Wonu sama sekali tak membalas pertanyaan Jane, dia yakin bahwa dia tidak tersesat mengingat bahwa pemuda itu sangat suka berpergian keluar kota sejak dia SMA, namun semua ini terasa begitu aneh. Hari sudah mulai sore dan matahari seakan terasa lebih cepat ketika hendak ternggelam. Pemuda itu hanya menatap sekelilingnya, dia tak merasa mereka melewati jalan yang sama, namun disisi lain juga, dia merasa bahwa mereka sejak tadi hanya berputar-putar saja. Di kursi belakang, Cuna menatap ke luar jendela memerhatikan bangunan tua yang memiliki patung gurita besar di atapnya. Dia tak begitu yakin, namun rasanya mereka sejak tadi hanya memutari pusat bangunan itu sejak dua jam yang lalu. “Rumah Gurita itu, bangunan lama ya?” tanya Cuna mengalihkan perhatian Jane dan Wonu yang sejak tadi sibuk dengan pikiran
Setelah kepergian Cuna menuju rumah gurita itu, Jane dan Wonu benar-benar disibukkan dengan berbagai tornado yang muncul di banyak tempat. Jane bertugas untuk melihat segala bahaya di berbagai arah, sedangkan Wonu terfokus pada kendali mobil agar mereka bisa terus melarikan diri. “Lebih baik menjadi Wrena dibandingkan Pati, sumpah!” kesal Wonu tanpa sadar. “Kita bisa saling gigit jika ingin menjadi wrena,” balas Jane masih dengan raut wajah seriusnya. Wonu terkekeh pelan mendengar hal itu, mereka lantas memutar haluan menyadari ada pusaran angin yang perlahan mulai membentuk tornado di hadapan mereka. “Pati!” jerit Jane cepat namun Wonu sama sekali tak menahan diri untuk menabrak sekumpulan manusia tak berjiwa itu. Apapun itu mereka harus selamat, lagi pula Pati takkan berbahaya selama mereka tak tiba-tiba menyerang Wonu dan Jane menggunakan tangan tajam mereka. “Arah jam 2, kosong!” ucap Jane cepat membuat Wonu kembali membanting stir.
Ketika kau terbiasa menikmati film ataupun cerita-cerita bertema horror maupun thriller, kau mungkin sudah sangat terbiasa dengan berbagai adegan sadis yang ada di dalam sana. Tak peduli seberapa menyeramkan rupa para mahluk yang datang, tak peduli seberapa sadis adegan yang sedang berputar, kau akan tetap menganggap itu hal biasa ―atau mungkin menyenangkan― karena kau tahu bahwa semua itu tak nyata, dan itu takkan membuatmu benar-benar ketakutan. Namun saat adegan itu berada di depan matamu. Ketika kau bisa mendengar suara jeritan itu dengan jelas, ketika kau bisa melihat sendiri bagaimana tubuh itu diremas, dirobek menjadi dua bagian, dikoyak, dan dihancurkan. Ketika kau benar-benar bisa melihat bagaimana rupa mengerikan itu sedang menyeringai saat menikmati daging segarnya, ketika kau dapat melihat dengan jelas bagaimana tangan itu habis tertelan masuk ke dalam mulutnya. Kau mungkin akan mendapatkan rasa baru yang berbeda, reaksi tubuhmu menunjukkan bahwa
“PORTAL HITAM ITU DATANG! CEPAT KE MOBIL!” teriak Cuna keras bersamaan dengan sosok siren raksasa yang kini muncul tepat di belakangnya. Ketiganya langsung berlari kencang menuju mobil yang ada di tengah atap gedung tersebut, namun ketika sebuah helaian rambut yang menajam itu menghantam mobil tersebut hingga hancur, Cuna dan Wonu tanpa sadar langsung terdiam. Sedangkan Jane yang nyaris saja sampai ke mobil itu langsung melompat menjauh untuk menghindari sisa-sisa bagian mobil yang terhempas itu. Cuna yang berdiri paling dekat dengan posisi siren raksasa itu sama sekali tak berani menoleh ke belakang, sedangkan Wonu yang berdiri jauh di hadapannya kini bisa melihat dengan jelas sosok siren tersebut. Pijakannya terasa melemah. Dewiana Surya, siren berukuran raksasa yang berada tepat di belakang Cuna itu terlihat mengerikan. Mahluk itu meletakkan satu tangannya pada rooftop bangunan, sedangkan tangan lainnya dia gunakan untuk menyangga daguny
Keraton Yogyakarta rata dengan tanah. Dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun kini telah rubuh dan memutuskan pintu dimensi menuju pusat kerajaan milik Sang Ratu di Pantai Selatan. Semua prajurit yang dikerakan sudah jatuh tanpa bisa berperang lebih lama, segala cara mereka lakukan untuk tetap bertahan hidup, namun para iblis yang datang secara tiba-tiba sama sekali tak memberi mereka ampun. Kota itu tak bisa kembali berdiri dengan megah. Banyak yang berharap bahwa Ratu akan datang mengingat bahwa mereka telah begitu setia mengabdi pada Sang Pemilik Tanah Jawa, semua orang beranggapan bahwa Ratu akan datang menolong mereka, atau setidaknya membiarkan orang-orang penting yang selama ini memiliki tahta tetap hidup. Mereka berharap bahwa setidaknya segala hal yang selama berabad-abad ini mereka jaga, tetap memiliki sisa dan tak hancur dengan sia-sia. Namun harapan tetaplah sebuah harapan. Tak ada keajaiban di dalam sebuah harap
“Nusa Cania Nitasa ...” Cuna melirik Hindia yang kini memanggilnya, menyebut nama lengkapnya sekalipun dia tak pernah yakin bahwa dia pernah memberitahukan nama lengkapnya pada wanita elok bergaun hitam itu atau tidak. “Aku menyukainya.” Mata gadis itu akhirnya bertemu langsung dengan netra merah milik Hindia. Tatapan wanita itu terasa hangat untuknya, senyuman tipis yang Hindia berikan padanya membuat Cuna tanpa sadar bisa bernapas dengan sangat lega sekalipun tubuh kecilnya masih digenggam oleh Dewiana. “Dia akan menangis jika kau membunuh dua kawannya itu, dan aku ...” Cuna membeku ketika menyadari ada sebuah tangan tipis yang menggenggam tangannya di dalam cengkraman Dewiana. Perlahan ... genggaman itu melebar ke seluruh tubuhnya, seakan sedang memdekapnya, memeluknya dengan sangat hangat. “... tak suka melihatnya menangis.” Tepat saat kalimat itu berakhir, Cuna baru menyadari bahwa kini dia sudah berpindah ke temp
“Mayoritas manusia disini hanya akan berubah menjadi Abdi Regar, atau mati dan menjadi pati.” Regar menatap iris mata Nika ketika mengucapkan kalimat itu. “Jika ada yang tak ingin menjadi abdiku, dan bertukar darah denganmu. Bunuh dia.” Nika mengangguk dengan polos, membiarkan mata kosongnya menatap netra Regar yang kini menunjukkan warna kuning gelap. “Jika ada wrena lain dengan ciri laki-laki, memiliki gigi kelinci yang sedikit menonjol, bermata sipit, dan suka melempari jalanan menggunakan api. Jangan bunuh dia, atau kau yang akan mati.” Gadis itu mengangguk lagi mendengar peringatan Regar. Pemuda itu menarik senyuman miring, ibu jari dan jari telunjuknya yang sejak tadi mencengkram lembut rahang Nika kini dia tarik ke atas, membuat ibu jarinya bisa menyentuh pipi Nika dan mengusapnya dengan sangat pelan. “Katakan, kau akan mengikuti perintahku.” “Aku akan mengikuti perintahmu, Regar.” “
[BAGIAN; DI UJUNG NAPAS YANG TERCEKAT]Dalam satu detik yang terasa begitu lama, Dirga menelan salivanya menatap sosok Arta yang kini baru saja menjatuhkan mayat Cuna di hadapan Jane dan Putra. Pemuda itu menahan napas sejenak, mencoba sekeras mungkin untuk mengabaikan apa yang dia lihat. Dirga lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah Kendari ⸺mendapati wanita itu sedang terdesak dengan Gilang yang sedang mencengkeram belakang kepalanya⸺ dan dengan segera meloncat terbang hendak meninggalkan Dewiana jika saja wanita itu tidak dengan cepat menusuk lehernya menggunakan tongkat putih bercorak biru tersebut, lalu menjatuhkan pemuda itu, membuat wujud Barong Dirga jatuh ke menghempas kolam raksasa yang ada di dalam tembok.“Kau harus perhatikan lawanmu, Dirga.” Wanita itu menyeringai tanpa sadar, “Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di sekitarmu.”Dirga menahan jeritannya, sedangkan tangan pemuda yang memegang pe
Jane dan Putra ada di dalam perisai yang Kintan ciptakan ketika Hindia pertama kali muncul di udara dengan sekumpulan salju yang mulai bersatu dan membentuk tubuh tingginya. Di detik setelahnya, seluruh salju yang melapisi tubuhnya itu seketika lenyap bersamaan dengan hujan salju di sekitar mereka yang kini berubah menjadi ribuan butir bola api. Mereka dalam diam menatap hujan itu mengingat bahwa mayoritas dari para prajurit pun kini juga ada di dalam perisai yang telah di ciptakan oleh beberapa Pilar. Api itu tak bisa menembus perisai yang telah mereka ciptakan, jadi mayoritas dari mereka berpikir ... semua akan aman selama perisai yang kini melindungi mereka tak terbuka. “Kota ini terlihat sepi jadi aku membawa sedikit pasukan,” ucap Hindia bersamaan dengan perisai milik Gandi yang dia buka secara tiba-tiba karena luapan api yang kian membesar di dalamnya. Beberapa pasukan yang ada di sekitar Gandi itu membuka seragam bagian terluar mereka karena bekas salju yang m
Dalam kurang dari satu detik setelah meminta izin secara sepihak pada Kendari, Andra kini sudah benar-benar ada di hadapan Hindia. Membuat wanita itu menahan rasa kaget sekaligus takjub karena aura panas mencekam yang tiba-tiba saja ingin membakar habis tubuhnya.Hindia selalu menikmati momen-momen ketika dia bisa melawan seseorang yang lebih kuat darinya. Hingga pada umumnya, wanita itu akan memanfaatkan waktu sebaik dan selama mungkin agar bisa membuat perkelahian mereka berjalan dengan sangat lama.Berbeda dengan seseorang yang dia anggap lebih lemah, dia akan membuat skenario baru seakan dia adalah sosok yang baik, yang membiarkan korbannya itu untuk hidup lebih lama. Lalu, dengan kelengahan yang korban itu miliki karena merasa telah selamat, dia akan memanfaatkan korban itu dan memainkannya seperti boneka di waktu-waktu yang tepat.Seperti apa yang dia lakukan pada Cuna.Tepat di satu detik setelahnya, tangan Andra sudah lebih dulu mencengke
Bisa dibilang, mereka direkrut sebagai anak buah para Cendrasa di waktu yang bersamaan. Sebagai angkatan yang cukup tua, baik Dewiana maupun Dirga sama-sama dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menjadi anggota Cendrasa, bersama dengan Hindia.Dirga tahu persis sekuat apa Dewiana, begitu sebaliknya. Mereka mungkin jarang bertarung bersama, keduanya juga jarang dimasukkan ke dalam misi yang sama. Namun, mereka cukup dekat ketika rapat terjadi karena Dirga suka sekali memancing emosi Dewiana, sedangkan wanita itu juga terkadang suka menjaili Dirga dengan cara yang tak normal.Misalnya dengan tiba-tiba mendorong Dirga keluar dari Kastil dan membuatnya menghempas jatuh tenggelam ke Black Ocean yang ada di bawah Kastil itu. Tak semua orang bisa bertahan jika jatuh ataupun bersentuhan dengan Black Ocean karena bisa dibilang, itu adalah lautan yang tak pandang bulu dalam memakan sesuatu. Namun, Dewiana juga tahu bahwa Dirga memiliki sesuatu yang bisa membuatnya bertahan jik
“Ini baru lima menit pertama sejak kau muncul, Dewiana Surya ...” Suara itu menggema bersamaan dengan sekumpulan salju yang membentuk sebuah tubuh lengkap dengan gaun panjang, serta tiga bola api yang melayang berputar di atas telapak tangan kirinya. Perlahan, salju-salju itu menghilang dan digantikan oleh wujud sempurna Hindiana Putri, dengan rambut bergelombang yang menutupi sepanjang punggung sampai pinggulnya, dengan payung hitam yang menutupi pucuk kepalanya, bibir yang dipolesi warna merah darah, selaras dengan iris matanya. Wanita itu setinggi 200 sentimeter, dengan gaun berenda hitam yang melapisi seluruh tubuh tinggi semampainya.Hindia memasang senyuman miring sambil mengangkat payungnya, bersamaan dengan itu semua salju yang sebelumnya menghujani mereka, ⸺yang jatuh dan menutupi nyaris seluruh daratan serta pohon-pohon di pulau Bali⸺ kini kembali ke dalam wujud asli mereka, yaitu api.Dalam seke
“Dewiana, namanya ... Dewiana Surya.” Cuna membeku mendengar bisikan itu lagi di dalam kepalanya. Walaupun baru beberapa hari berlalu, rasanya seperti sudah lama sekali dia tak mendengar suara itu lagi.“Mungkinkah?” pikir gadis itu bersamaan dengan Arta dan Rolla yang terbang di sampingnya, mereka berada beberapa kilometer di hadapan Dewiana.“Kau bisa mendengarku kan, Cuna?” tegur suara itu. Cuna menelan salivanya tanpa sadar, benar-benar tak menyangka bahwa dia akan kembali mendengar suara itu dengan sangat jelas di dalam kepalanya.Gadis itu sama sekali tak bisa bereaksi atau pun membuka suara. Rasa takut itu perlahan menggerogoti tubuhnya, dia sama sekali tak bisa mengendalikan diri ataupun membalas ucapan Hindia di dalam kepalanya.“Kau tahu, ada hal yang sangat mustahil dilakukan manusia dengan mudah ketika dia pertama kali menjadi Wrena. Hal itu adalah ... me
Andra menatap dalam diam butiran salju yang perlahan turun ke lautan yang baru saja mereka ratakan menjadi daratan. Kedatangan Dewiana membuatnya tersadar tentang siapa yang akan datang menyambut mereka hari ini.Hari tiba-tiba saja berubah menjadi malam. Mereka sengaja tak menggunakan perisai karena milik Dirga tak begitu kuat, sedangkan perisai miliknya memiliki fungsi untuk menghancurkan bagian dalamnya, bukan menahan ataupun mengurung siapa pun yang ada di bagian dalam.Jika perisai milik Wiralaya yang menutupi pulau Jawa bisa mengeluarkan ribuan tornado dalam satu waktu, maka perisainya memiliki kekuatan untuk membakar habis siapa pun yang ada di dalamnya. Hal itu pula yang membuatnya tak bisa menggunakan perisai.Para Wrena yang dimiliki Bérawa belum punya cukup kekuatan untuk membuat perisai, dan rencana yang kini mereka coba bangun adalah untuk melawan seluruh musuh yang ada dengan kekuatan yang sudah mereka kuasai.“Kau bilang saat i
Jane menatap rintikkan salju yang mulai turun dengan sangat lambat di malam hari yang tiba-tiba datang itu. Dia menelan salivanya tanpa sadar, netranya menatap kosong langit biru tua dengan awan tipis di atas kepala mereka.“Dia datang, dia ... dia akan datang.” Gadis itu berucap tanpa sadar dengan sangat gugup sambil memundurkan langkahnya.Gadis itu sama sekali tak mendengar suara Putra yang sejak tadi terus-menerus memanggilnya, kepala Jane tanpa sadar sudah dipenuhi oleh ingatan-ingatan dirinya bersama Wonu saat terakhir kali puluhan salju itu menghilang dan mereka diserang habis-habisan oleh para Pati beserta tornado.Dari yang gadis itu ingat, Andra pernah berkata selama rapat bahwa kekuatan Hindia adalah memanipulasi apa pun menjadi sebuah salju, persis seperti yang dia alami ketika Hindia mengubah satu kota menjadi dunia salju yang kosong, dan tepat ketika dia sudah pada puncak rasa bosannya, dia akan mengubah segala hal itu ke bentuk asalnya
25 Februari 2020, seluruh bagian barat Bali —terutama di sepanjang pesisir Pantai Batu Bolong sampai ke Pura Luhur Uluwatu— dipenuhi oleh ribuan Prajurit yang berjaga di tiap pesisir dan tebing ujung pulau itu. Sementara para Pilar yang sejak rapat berakhir dini hari lalu, sudah mulai membuat daratan baru di laut perbatasan Bali itu, mereka melapisi daratan itu dari bagian dasar ke permukaan menggunakan 6 jenis kekuatan.Dimulai dari pesisir utara Bali sampai ke Alas Purwo yang ada di seberang mereka, Gandi lebih dulu melapisi bagian dasar lautan menggunakan kekuatan Batunya, setelah itu dilapisi lagi bagian atasnya dengan kekuatan Koral milik Olan, Kintan membantu melapisi bagian atasnya lagi menggunakan Kristalnya, setelah itu mendekati bagian permukaan diisi oleh Bella menggunakan Kapurnya dan dikeraskan, setelah itu ditutup oleh milik Ilyas dengan Lempung yang dikeraskan, dan terakhir dikuatkan dengan Tanaman-tanaman menjalar