Satu jam lebih mereka menyusuri riol untuk menemukan jalan keluar, sampai akhirnya mereka berempat berada di bagian paling ujung gorong-gorong tersebut. Suara sungai yang mengalir deras dan cahaya tipis yang menyambut mereka membuat keempat orang itu dengan segera bersemangat untuk keluar.
“Seharusnya ini sudah malam, apa ponsel kalian ada yang masih menyala?” tanya Jane menatap teman-temannya itu.
Wonu dan Cuna menggeleng, sedangkan Nira kini mencari ponsel yang sudah lama dia abaikan. “Ini jam setengah 8 malam,” balas gadis itu.
Mereka akhirnya berhasil keluar dari riol tersebut, walaupun tak sepekat sebelumnya, kini bau dari air pembungan itu kini tak begitu mereka cium lagi. Wonu bernapas lega tanpa sadar.
“Dimana ini?” tanya Cuna.
“Sepertinya daerah pinggiran kota, kita harus berhati-hati pada zombie.” Wonu membalas dan ditanggapi dengan anggukan oleh ketiga gadis itu.
“Ayo naik!” ajak Jane yang akhirnya menemukan tangga agar mereka bisa keluar dari pinggiran sungai tersebut.
Keempat orang tersebut terdiam, perumahan kumuh di daerah pinggir kota itu jauh lebih mengerikan dari daerah pusat kota yang sebelumnya mereka lewati. Seluruh rumah menjadi rata, banyak tumpukkan tubuh yang tertimbun bangunan dan sampah-sampah. Nira menutup hidungnya sendiri mencoba menghalangi bau sampah yang bercampur dengan bau mayat-mayat baru, gadis itu menatap sekelilingnya.
“Ayo segera pergi,” gumam Cuna dengan cepat disetujui oleh mereka semua.
Listrik benar-benar mati, mereka juga memilih untuk tak menggunakan senter karena takut memancing orang-orang yang memakan manusia ataupun zombie yang bisa mendekat ke arah mereka. Jane memimpin langkah melewati beberapa rumah rusak, diikuti Nira, Cuna, dan Wonu di belakangnya.
Gadis itu menyandarkan punggungnya pada tembok rumah itu, lalu memberikan kode pada ketiga temannya untuk berhenti bergerak sementara karena dia mendengar suara kaki yang terseret.
Mereka semua dengan cepat terdiam, membiarkan sunyi menyelemuti malam itu sebelum akhirnya melihat dua zombie yang berjalan melewati rumah tersebut.
Penglihatan mereka tak bagus? Pikir Jane menyimpulkan sendiri.
Mahluk itu memiliki bentuk yang sama dengan apa yang mereka temukan di hotel sebelumnya, rambut panjang dengan tubuh membungkuk lemah, serta beberapa luka cakaran di sekitar lengan dan kaki mahluk tersebut.
Cukup lama mereka terdiam membiarkan mahluk tersebut lewat, sampai akhirnya Jane kembali memberi kode untuk jalan tanpa suara. Gadis itu lalu memasuki rumah rusak tersebut setelah memastikan bahwa di dalam sana tak ada siapapun.
“Apa yang kau lakukan!” cicit Wonu menyadari Jane yang bertindak seenaknya.
“Diam! Kita perlu ganti baju!” kesal gadis itu, “Aku akan menyiapkanmu baju jika kau mau, dan Nira, Cuna, kalian ikut aku masuk.” Jane lalu menunjuk Wonu sebagai satu-satunya pria disana, “Kau, tunggu di luar! Jangan mengintip!”
“Ya, cepatlah!” balas Wonu tanpa sadar.
Kedua gadis itu lantas mengikuti Jane masuk ke dalam rumah tersebut, dia dengan cepat mencari lemari dan mengambil baju asal agar mereka bertiga bisa ganti baju bersama. “Aku tak kuat, baju ini bau sekali!” cicit Jane mencoba agar bisa meredam suaranya sekecil mungkin, agar tak memancing perhatian mahluk lain. “Kalian cepatlah ganti, aku akan menghampiri Wonu dengan baju-baju ini.”
“Baiklah,” balas Nira santai.
Jane lalu memilih untuk menghampiri Wonu sambil membawa baju ganti untuk pemuda itu, “Ini, pergi ke bagian samping rumah dan gantilah bajumu. Setidaknya kita tak sebau sebelumnya,” ucap gadis itu.
Wonu berdecak kesal, “Bisa-bisanya kau memikirkan bau badan disaat seperti ini.”
Jane hanya terkekeh kecil, “Kita harus menggunakan segala kesempatan di saat-saat sempit seperti ini,” balasnya membela diri.
Gadis itu lalu menoleh ke belakang menatap Cuna dan Nira yang baru saja keluar dari rumah tersebut, Cuna menunjukkan apa yang baru saja mereka temukan di dalam rumah tersebut. “Roti, kau mau?” ucapnya pada Jane.
Mata gadis itu membulat dengan senang, “Tentu saja!” ucapnya bersemangat, Cuna tersenyum halus melihat hal itu, “Ayo kita bagi nanti.”
Setelah Wonu kembali dengan setelan barunya, mereka lalu langsung melanjutkan perjalanan menuju pinggiran jalan kota untuk keluar dari pemukiman kumuh itu. Cuna membagikan roti itu menjadi empat bagian dan memberikannya pada ketiga temannya itu, setelah bergumam terima kasih dan kembali melanjutkan perjalanan.
Mereka berempat memakan sepotong roti tersebut secara bersamaan, lalu sama-sama terdiam ketika menyadari rasa dari roti tersebut. Jane membulatkan matanya tak percaya, lalu dengan cepat memuntahkan roti tersebut dan disusul oleh ketiga kawannya.
“Rasanya seperti ikan mentah yang sudah busuk!” cicit Jane ketika ketiga temannya masih sibuk memuntahkan makanan tersebut.
Cuna membersihkan mulutnya sendiri lalu kembali menegakkan tubuhnya dan menatap Jane, “Kalaupun itu roti kadaluarsa, harusnya rasanya tak semengerikan itu.”
“Tapi itu benar-benar roti kan?” tanya Wonu pada kedua gadis itu.
“Itu roti,” cicit Nira pelan. “Apa yang terjadi?” lanjut gadis itu tak paham.
“Aku ingin berkata bahwa itu halusinasiku saja tapi kita semua merasakan hal yang sama,” gumam Jane tanpa sadar. “Tak mungkin roti terasa seperti itu,” lanjutnya lagi.
“Kita sepertinya harus memastikan hal baru lagi,” balas Cuna.
Nira dan Wonu mengangguk pelan mendengar hal itu. “Ada kemungkinan bukan hanya roti yang tak bisa kita makan,” ucap Wonu membuka pembahasan, “Mungkin juga bahan makanan lain, mungkin juga semua jenis makanan tak bisa kita konsumsi.”
Mereka terdiam, sekalipun kaki mereka tetap melanjutkan perjalanan seperti sebelumnya, namun pikiran mereka kini benar-benar kacau atas apa yang baru saja mereka alami. Jane bahkan masih bisa merasakan bekas makanan tersebut hingga membuatnya ingin muntah lagi.
“Kita juga tak ada minum sejak awal,” gumam Nira membuat mereka semua tersadar. “Bukankah aneh? Setelah semua hal yang kita lalui seharian ini, kita tak haus ataupun merasa butuh minum.”
Mereka sama sekali tak bersuara setelah mendengar pendapat Nira. Jane yang sejak tadi memimpin jalanan mencoba untuk berpikir lebih tentang semua hal yang menimpa mereka, namun otaknya tak pernah bisa sampai ke titik yang jelas.
“Otakku terasa sangat panas,” keluh Jane tak mendapatkan balasan oleh ketiga temannya itu. “Tapi kita tetap merasa lelah kan? Mungkin kita masih butuh istirahat juga.”
Sunyi, masih tak ada yang membalas ucapan gadis itu. Jane menghela napas pelan, “Jangan dipikir jika kita tak punya petunjuk apapun,” gumamnya pelan. “Mari cari tempat istirahat, dan berjaga sambil mengistirahatkan diri. Setelah itu kita atur ulang semuanya besok.”
“Pertama, besok kita harus ke minimarket dan mencoba makanan apapun agar kita tahu makanan apa yang bsia kita konsumsi.” Cuna membuka saran yang langsung dibenarkan oleh ketiga rekannya itu.
“Kita juga harus mencari mobil agar kita bisa pergi lebih jauh.” Wonu ikut berkomentar.
“Ok, sekarang kita harus mencari tempat untuk beristirhat dulu.” Jane berujar dengan santai. “Yang dekat dengan jalan raya, atau setidaknya dekat dengan banyak kendaraan agar kita lebih mudah mencuri mobil milik orang yang sudah mati.”
Ketiga kawannya itu membenarkan kalimat Jane, membuat mereka tanpa sadar kembali bersemangat untuk melanjutkan perjalanan malam itu.
Mereka akhirnya sampai di pinggiran jalan kecil setelah keluar dari perumahan kumuh tersebut, Cuna menyarankan mereka untuk tetap berjalan sampai mereka menemukan jalanan besar dan tempat istirahat yang cocok. Keempat orang itu berjalan dalam diam, tanpa menyalakan senter atau penerang lainnya demi meminimalisir keberadaan mereka agar tak disadari oleh para zombie, Jane sendiri yang sejak tadi memimpin perjalanan tanpa sadar menatap langit malam itu yang terlihat sangat bersih.
Suasana sunyi malam itu, langit dengan warna biru tua dan bintang-bintang yang mengiasinya, membuat gadis itu tersenyum miris. “Aku tak paham bagaimana bisa semesta seakan sedang merayakan penderitaan kami? Apa segala hal indah yang datang sedetik setelah kehancuran adalah tanda bahwa kita seharusnya bisa tahu diri?” pikirnya tanpa sadar, “Untuk apa kehancuran semengerikan ini? Untuk menyadarkan kita dari apa?”
“Bulannya berwarna merah kebiruan,” gumam Nira menyadarkan lamunan Jane. “Kita seperti sedang berada di dunia yang berbeda.”
“Mungkin saja ini memang bukan bumi lagi,” balas Cuna mengangkat bahu tak acuh.
“Mungkin saja seseorang telah merubah isi dari bumi ini menjadi hal lain,” buka Jane ikut menimpali, “Mungkin perlu sedikit perubahan kecil agar mahluk-mahluk lain bisa hidup disini juga.”
“Jangan terlalu berisik,” ujar Wonu memperingati, mereka kembali terdiam. “Jangan menambah beban pikiran.”
Mereka tak lagi bersuara, dan membiarkan suara jangkrik serta angin-angin yang berhembus tipis mengisi kekosongan bunyi malam itu. Jane menghentikan langkahnya ketika mereka sampai di sebuah jembatan, gadis itu dengan pelan memberikan kode pada seluruh temannya yang ada di belakang untuk tetap mengikutinya.
Gadis itu lalu menyembunyikan diri di balik pagar jembatan bersamaan dengan suara raungan binatang, mereka berempat membeku mendengar raungan tersebut, bahkan tanpa sadar menahan napas dan membiarkan raungan tersebut berbunyi berkali-kali.
Bulan purnama berwarna merah kebiruan itu kini tertutup dengan awan gelap, membuat malam kali ini jauh lebih gelap dibandingkan sebelumnya. “Shh! Wonu!” tegur gadis itu pada pemuda yang ada di barisan paling belakang. “Kau lihat mobil itu kan?” tanyanya.
“Aku punya mata,” balas Wonu kesal.
“Aku hanya memastikan bahwa kau belum buta.”
Cuna menghela napas mendengar perkelahian kecil dari dua orang tersebut, “Ikut aku mengambil mobil itu, kita harus pastikan dulu di dalam sana tak ada zombie.”
Wonu mengangguk cepat, Jane lalu menatap Nira dan Cuna lalu berujar pelan, “Kalian jaga dari sini, kabari kami jika ada sesuatu.” Kedua orang itu mengangguk mengerti.
Jane dan Wonu lalu berjalan pelan menuju mobil tersebut, keduanya dengan saling memberikan kode memilih untuk jalan terpisah ke sisi kanan dan kiri mobil itu. Jane mengambil salah satu kayu yang dia temukan di dekat mobil tersebut, sedangkan Wonu menunduk dan mengintip ke dalam mobil untuk melihat siapa yang ada di dalam sana.
Pemuda itu terdiam, hanya ada satu orang di dalam mobil tersebut di bagian kemudi. Wonu dapat menyadari rambut pajang dan suara geraman kecil yang dihasilkan dari orang tersebut, dia lalu dengan pelan mengetuk kaca dari pintu masuk mobil tersebut.
Suara geraman itu masih terdengar tapi mahluk tersebut sama sekali tak bereaksi dengan ketukan yang Wonu berikan, dia lalu memberikan kode pada Jane untuk melemparkan kayu tersebut padanya. Gadis itu dengan cepat menurut, dan tepat saat Wonu mendapatkan kayu tersebut, dia langsung membuka pintu itu hingga mahluk yang ada di dalamnya jatuh ke bawah.
Pemuda itu menusuk keras mata mahluk tersebut, lalu menusuk berkali-kali tangan mahluk itu hingga putus, dia lalu menoleh ke arah pinggir jembatan melihat Cuna dan Nira yang sudah bersiap lari.
“AYO!” teriaknya dengan cepat memasuki mobil itu, lalu disusul dengan Jane, Nira, dan Cuna yang sudah masuk.
Mereka langsung meninggalkan tempat itu tanpa sepatahkatapun, Jane menghela napasnya pelan bersamaan dengan hujan gerimis yang mulai turun. “Aku sudah takut mahluk itu akan memperkuat tangannya seperti saat dia membunuh Hanbin,” ujarnya dibenarkan oleh Wonu.
“Aku teringat akan hal itu, karenanya aku langsung menghabisi tangan mahluk itu.”
Cuna menoleh ke belakang, memerhatikan mahluk tersebut yang mulai berdiri namun berjalan seperti orang linglung ke arah yang berlawanan dengan mereka. “Dia tidak mati,” gumam gadis itu membuat Nira mengikuti arah yang Cuna lihat.
“Iya, dia masih bisa berdiri.” Nira ikut berujar.
“Tapi dia tak mengejar ke sini kan?” tanya Jane melirik kedua gadis itu dari kaca spion. Keduanya mengangguk santai membalas pertanyaan Jane. “Baiklah,” balas Jane kembali menatap ke depan sambil menyandarkan kepalanya pada kursi, “Sekarang istirahatlah, kita akan bertukar tugas setiap tiga jam sekali.”
Mereka mengangguk santai mendengar ujaran Jane. Kedua gadis yang duduk di belakang itu mencoba untuk segera mengistirahatkan diri mengingat bahwa mereka telah melewati banyak hal hari ini, sedangkan Wonu berfokus menyetir untuk pergi ke jalanan besar, agar mereka bisa dengan segera meninggalkan kota ini.
Jane sendiri memerhatikan langit yang kini masih menggelap, juga rintikan hujan yang kini menemani perjalanan mereka. Udara dingin malam ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya, hujan yang tak begitu deras seakan sedang membersihkan kekacaukan yang terjadi hari ini.
Gadis itu menghela napas pelan, sampai detik ini pun, dia masih berharap bahwa semua yang telah mereka lewati hanyalah sebuah mimpi buruk semata.
“Kau mengharapkan apa dengan terjaga seperti itu?” sinis Wonu melirik gadis itu sekilas lalu kembali fokus mengemudi.
“Aku berharap ini hanyalah mimpi,” gumam Jane pelan, “Aku bisa bertahan, aku yakin aku bisa. Tapi tidak jika harus melewati berbagai kematian.”
“Aku sudah menerima ini sejak awal,” gumam Wonu pelan. “Aku tahu ini terdengar sangat jahat, tapi aku benar-benar berharap bahwa dunia ini ada, dan ketika Tuhan mengabulkan hal itu … kupikir ini adalah takdir yang harus kuterima, atas ide gila yang sejak dulu selalu kuharapkan untuk ada.
“Walaupun sama sepertimu, aku takkan bisa bertahan ketika melihat berbagai kematian di hadapanku. Kita sama-sama selalu menaruh rasa lebih pada sesuatu yang telah ikut bersama kita ketika dunia sedang kacau-kacaunya, secara natural … kita selalu berharap orang-orang yang ikut susah bersama kita itu, bisa hidup selamanya bersama kita.
“Kita selalu berharap tak ada kematian yang membuat kita merasa kehilangan, berbeda kasus jika kita sudah merelakan orang tersebut bahkan ketika dia belum mati.”
“How deep,” gumam Jane tanpa sadar.
Gadis itu lalu tersenyum tipis, hujan perlahan mulai mereda, awan gelap yang sejak tadi menutupi bulan berwarna merah kebiruan itu kini mulai memudar, dan cahaya rembulan itu … kini kembali bersinar, bahkan lebih terang dibandingkan sebelumnya.
“Masih ada banyak hal yang perlu kita ketahui,” gumam Jane pelan, “Apapun itu, aku tetap berharap bahwa kita bisa menghadapi semuanya bersama, berempat.”
Wonu mengangguk santai, “Grup ini sudah cukup bagiku, tidak ada yang egois, semuanya tahu cara bersikap dan cara untuk saling menguatkan. Aku tak yakin bisa menemukan grup yang lebih bagus dari ini, untuk dunia yang sudah kacau seperti sekarang.”
Keduanya lalu terdiam mendengar suara gumaman pelan dari Nira yang sudah tertidur, mereka lalu memilih membisu sepanjang perjalanan dan membiarkan segalanya menjadi sunyi. Jane benar-benar masih terjaga bahkan ketika tiga jam telah berlalu, mereka sudah melewati banyak hal mengerikan, suasana tenang dan rasa aman ini malah membuat gadis itu tak bisa menapas lega.
Dia memikirkan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi, kepalanya terasa sangat penuh, dan respon tubuhnya bahkan tak menunjukkan bahwa dia sedang kelelahan.
“Kau tak tidur?” tegur seseorang, kali ini bukan Wonu melainkan Cuna.
Gadis itu akhirnya bertukar tempat duduk dengan Wonu, dan kini mengambil alih kemudi. Jane menggeleng kecil melihat Cuna yang kini sudah siap mengemudi, sedangakan Wonu di belakang sudah mempernyaman kepalanya yang bersandar pada kursi dan bersiap untuk tidur.
“Tak banyak zombie, tapi jangan mengebut.” Wonu memperingati sebelum akhirnya benar-benar terlelap.
Cuna dan Jane tak membalas peringatan itu, keduanya kembali terfokus pada perjalanan sedangkan Cuna masih memerhatikan Jane yang matanya sampai saat ini masih terlihat segar.
“Kau takut akan terjadi sesuatu ketika kau tertidur?” tanya Cuna mengalihkan perhatian Jane pada jalanan di depannya.
Gadis itu mengangguk pelan, “Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti, aku tak bisa tenang terlebih jika suasananya terasa seaman ini.”
Cuna tak menjawab, gadis itu lalu menatap sekeliling mobil tersebut dan akhirnya menemukan sebotol minuman yang tergeletak di dekat kakinya. Dia lalu mengambilnya dan memberikannya pada Jane.
“Mau coba?” tanyanya sambil menyerahkan air mineral tersebut pada Jane.
Jane terdiam melihat minuman itu, mengingat terakhir kali dia mencoba roti pemberian Cuna dan langsung muntah, kini dia benar-benar ragu untuk mencoba minuman itu.
“Mengapa tak kau saja?” tanya gadis itu.
“Aku sedang mengemudi,” alasannya membuat Jane merotasi bola matanya dengan malas, Cuna terkekeh kecil melihat hal itu. “Cobalah.”
Gadis itu menurut, lalu mencoba menyantap sedikit air mineral itu dan langsung menyemburkannya ke luar jendela setelah lidahnya bersentuhan dengan air tersebut.
“Anjing! Rasanya kayak oli!” kesalnya tanpa sadar. Dia lalu membuang minuman tersebut lalu kembali menyadarkan punggungnya pada kursi mobil.
“Ok, berarti roti tak bisa kita makan, dan air mineral juga?” buka Cuna membuat kesimpulan, Jane mengangguk pelan mendengar hal itu. “Apa kau ingat tentang anak kecil yang memakan tangan orang? Yang kita lihat waktu itu?” tanya gadis itu membuat Jane terdiam.
Mata gadis itu membulat sempurna setelah memahami maksud pertanyaan Cuna, “Ayah Wonu juga,” gumamnya tanpa sadar.
Cuna mengangguk santai, “Ini hanya teoriku, tapi … apa mungkin kita hanya bisa memakan sesama kita?” Jane membeku mendengar hal itu, “Kau mau mencoba mengigitku?” tanyanya sambil menyerahkan lengannya pada Jane.
“Kau mau mencoba mengigitku?” tanyanya sambil menyerahkan lengannya pada Jane. Gadis itu membulatkan matanya tak percaya ketika mendengar penawaran Cuna, “Kau gila?” tanyanya menatap lengan Cuna yang masih mengarah ke dirinya. Cuna lalu menarik tangannya kembali sambil mengangkat bahu tak acuh, “Ini kan hanya teoriku saja, tak ada salahnya mencoba.” Jane menggeleng cepat sambil melipat tangan di depan dada, “Tidak, bahkan jika teori itu berakhir benar, aku tetap takkan mau melakukannya.” Gadis itu menoleh menatap Jane sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya, “Kenapa?” tanyanya. “Tidak ada alasan lebih, aku hanya merasa bahwa kanibalisme bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi wajar untuk manusia.” Cuna mengangguk santai, “Hanya karena prinsip ya?” gumamnya tanpa sadar, “Menurutmu, apa aku adalah tipe yang berani memakan sesama untuk bertahan hidup?” tanyanya pada Jane. “Kau tipe yang berani mencoba hany
Setelah memasukan anak kecil itu ke dalam mobil, Nira dengan panik langsung berlari ke dalam minimarket dan memanggil kedua orang itu, setelahnya kembali berlari untuk menghampiri Jane. Tepat di waktu ketika Nira membawa anak itu pergi, Jane dengan sekuat tenaga mencoba mencari cara agar dia tetap bisa menahan pemuda itu di hadapannya. “KAU BODOH HUH?!” kesal pemuda itu mencoba mengejar anak kecil yang Nira bawa namun Jane dengan cepat menendangnya hingga ambruk, pemuda itu menggeram kesal menatap Jane. “Kau yang bodoh! Apa maksudmu ingin membuat adikmu hidup dengan memakan daging manusia?!” “Itu satu-satunya cara agar kita semua bisa bertahan! Kau tak tahu apapun huh?!” kesalnya bangkit berdiri, mencoba menyerang Jane namun gadis itu dengan sigap menahan serangannya. “Hanya dengan memakan sesama kita bisa hidup! Mereka telah merubah berbagai indra di tubuh kita!” Jane menatap pemuda itu tak paham, “Mereka siapa?!” “WRENA! KAU
Cuaca pagi hari menjelang siang itu sangatlah sejuk, Wonu bahkan sempat berkata bahwa ini pertamakalinya Jakarta memiliki cuaca sesejuk ini, bahkan jauh lebih sejuk dibandingkan Bandung. Walaupun upayanya membuka topik tetaplah gagal karena Jane sama sekali tak bersuara sedangkan Cuna kini sibuk menghabiskan susu kedelai untuk terus dia konsumsi. Setelah pernyataan Cuna bahwa dia merasa ingin terus mencoba menyantap manusia, gadis itu juga dengan cepat mengambil susu kedelai dan beberapa kacang untuk dia konsumsi. Dia dengan cepat membuat Jane tenang karena dia yakin gadis itu sudah cukup frustasi atas kematian Nira dan pembunuhan yang baru saja dia lakukan. Wonu juga tak ingin membahas lebih perihal apa yang baru saja mereka lewati karena dia tahu bahwa Jane masih sangatlah terluka akan hal itu. Dia tahu bahwa gadis itu memerlukan waktu untuk meluruskan isi pikirannya seperti saat dia pertama kali membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu malah tak begitu mengerti mengap
Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi. “Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri. Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya. Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan. “Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya. Cuna yang duduk di belakang masih terdia
“Masih lama?” tanya Jane ragu. Ini sudah dua jam berlalu semenjak mereka keluar dari mall dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Wonu sama sekali tak membalas pertanyaan Jane, dia yakin bahwa dia tidak tersesat mengingat bahwa pemuda itu sangat suka berpergian keluar kota sejak dia SMA, namun semua ini terasa begitu aneh. Hari sudah mulai sore dan matahari seakan terasa lebih cepat ketika hendak ternggelam. Pemuda itu hanya menatap sekelilingnya, dia tak merasa mereka melewati jalan yang sama, namun disisi lain juga, dia merasa bahwa mereka sejak tadi hanya berputar-putar saja. Di kursi belakang, Cuna menatap ke luar jendela memerhatikan bangunan tua yang memiliki patung gurita besar di atapnya. Dia tak begitu yakin, namun rasanya mereka sejak tadi hanya memutari pusat bangunan itu sejak dua jam yang lalu. “Rumah Gurita itu, bangunan lama ya?” tanya Cuna mengalihkan perhatian Jane dan Wonu yang sejak tadi sibuk dengan pikiran
Setelah kepergian Cuna menuju rumah gurita itu, Jane dan Wonu benar-benar disibukkan dengan berbagai tornado yang muncul di banyak tempat. Jane bertugas untuk melihat segala bahaya di berbagai arah, sedangkan Wonu terfokus pada kendali mobil agar mereka bisa terus melarikan diri. “Lebih baik menjadi Wrena dibandingkan Pati, sumpah!” kesal Wonu tanpa sadar. “Kita bisa saling gigit jika ingin menjadi wrena,” balas Jane masih dengan raut wajah seriusnya. Wonu terkekeh pelan mendengar hal itu, mereka lantas memutar haluan menyadari ada pusaran angin yang perlahan mulai membentuk tornado di hadapan mereka. “Pati!” jerit Jane cepat namun Wonu sama sekali tak menahan diri untuk menabrak sekumpulan manusia tak berjiwa itu. Apapun itu mereka harus selamat, lagi pula Pati takkan berbahaya selama mereka tak tiba-tiba menyerang Wonu dan Jane menggunakan tangan tajam mereka. “Arah jam 2, kosong!” ucap Jane cepat membuat Wonu kembali membanting stir.
Ketika kau terbiasa menikmati film ataupun cerita-cerita bertema horror maupun thriller, kau mungkin sudah sangat terbiasa dengan berbagai adegan sadis yang ada di dalam sana. Tak peduli seberapa menyeramkan rupa para mahluk yang datang, tak peduli seberapa sadis adegan yang sedang berputar, kau akan tetap menganggap itu hal biasa ―atau mungkin menyenangkan― karena kau tahu bahwa semua itu tak nyata, dan itu takkan membuatmu benar-benar ketakutan. Namun saat adegan itu berada di depan matamu. Ketika kau bisa mendengar suara jeritan itu dengan jelas, ketika kau bisa melihat sendiri bagaimana tubuh itu diremas, dirobek menjadi dua bagian, dikoyak, dan dihancurkan. Ketika kau benar-benar bisa melihat bagaimana rupa mengerikan itu sedang menyeringai saat menikmati daging segarnya, ketika kau dapat melihat dengan jelas bagaimana tangan itu habis tertelan masuk ke dalam mulutnya. Kau mungkin akan mendapatkan rasa baru yang berbeda, reaksi tubuhmu menunjukkan bahwa
“PORTAL HITAM ITU DATANG! CEPAT KE MOBIL!” teriak Cuna keras bersamaan dengan sosok siren raksasa yang kini muncul tepat di belakangnya. Ketiganya langsung berlari kencang menuju mobil yang ada di tengah atap gedung tersebut, namun ketika sebuah helaian rambut yang menajam itu menghantam mobil tersebut hingga hancur, Cuna dan Wonu tanpa sadar langsung terdiam. Sedangkan Jane yang nyaris saja sampai ke mobil itu langsung melompat menjauh untuk menghindari sisa-sisa bagian mobil yang terhempas itu. Cuna yang berdiri paling dekat dengan posisi siren raksasa itu sama sekali tak berani menoleh ke belakang, sedangkan Wonu yang berdiri jauh di hadapannya kini bisa melihat dengan jelas sosok siren tersebut. Pijakannya terasa melemah. Dewiana Surya, siren berukuran raksasa yang berada tepat di belakang Cuna itu terlihat mengerikan. Mahluk itu meletakkan satu tangannya pada rooftop bangunan, sedangkan tangan lainnya dia gunakan untuk menyangga daguny
[BAGIAN; DI UJUNG NAPAS YANG TERCEKAT]Dalam satu detik yang terasa begitu lama, Dirga menelan salivanya menatap sosok Arta yang kini baru saja menjatuhkan mayat Cuna di hadapan Jane dan Putra. Pemuda itu menahan napas sejenak, mencoba sekeras mungkin untuk mengabaikan apa yang dia lihat. Dirga lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah Kendari ⸺mendapati wanita itu sedang terdesak dengan Gilang yang sedang mencengkeram belakang kepalanya⸺ dan dengan segera meloncat terbang hendak meninggalkan Dewiana jika saja wanita itu tidak dengan cepat menusuk lehernya menggunakan tongkat putih bercorak biru tersebut, lalu menjatuhkan pemuda itu, membuat wujud Barong Dirga jatuh ke menghempas kolam raksasa yang ada di dalam tembok.“Kau harus perhatikan lawanmu, Dirga.” Wanita itu menyeringai tanpa sadar, “Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di sekitarmu.”Dirga menahan jeritannya, sedangkan tangan pemuda yang memegang pe
Jane dan Putra ada di dalam perisai yang Kintan ciptakan ketika Hindia pertama kali muncul di udara dengan sekumpulan salju yang mulai bersatu dan membentuk tubuh tingginya. Di detik setelahnya, seluruh salju yang melapisi tubuhnya itu seketika lenyap bersamaan dengan hujan salju di sekitar mereka yang kini berubah menjadi ribuan butir bola api. Mereka dalam diam menatap hujan itu mengingat bahwa mayoritas dari para prajurit pun kini juga ada di dalam perisai yang telah di ciptakan oleh beberapa Pilar. Api itu tak bisa menembus perisai yang telah mereka ciptakan, jadi mayoritas dari mereka berpikir ... semua akan aman selama perisai yang kini melindungi mereka tak terbuka. “Kota ini terlihat sepi jadi aku membawa sedikit pasukan,” ucap Hindia bersamaan dengan perisai milik Gandi yang dia buka secara tiba-tiba karena luapan api yang kian membesar di dalamnya. Beberapa pasukan yang ada di sekitar Gandi itu membuka seragam bagian terluar mereka karena bekas salju yang m
Dalam kurang dari satu detik setelah meminta izin secara sepihak pada Kendari, Andra kini sudah benar-benar ada di hadapan Hindia. Membuat wanita itu menahan rasa kaget sekaligus takjub karena aura panas mencekam yang tiba-tiba saja ingin membakar habis tubuhnya.Hindia selalu menikmati momen-momen ketika dia bisa melawan seseorang yang lebih kuat darinya. Hingga pada umumnya, wanita itu akan memanfaatkan waktu sebaik dan selama mungkin agar bisa membuat perkelahian mereka berjalan dengan sangat lama.Berbeda dengan seseorang yang dia anggap lebih lemah, dia akan membuat skenario baru seakan dia adalah sosok yang baik, yang membiarkan korbannya itu untuk hidup lebih lama. Lalu, dengan kelengahan yang korban itu miliki karena merasa telah selamat, dia akan memanfaatkan korban itu dan memainkannya seperti boneka di waktu-waktu yang tepat.Seperti apa yang dia lakukan pada Cuna.Tepat di satu detik setelahnya, tangan Andra sudah lebih dulu mencengke
Bisa dibilang, mereka direkrut sebagai anak buah para Cendrasa di waktu yang bersamaan. Sebagai angkatan yang cukup tua, baik Dewiana maupun Dirga sama-sama dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menjadi anggota Cendrasa, bersama dengan Hindia.Dirga tahu persis sekuat apa Dewiana, begitu sebaliknya. Mereka mungkin jarang bertarung bersama, keduanya juga jarang dimasukkan ke dalam misi yang sama. Namun, mereka cukup dekat ketika rapat terjadi karena Dirga suka sekali memancing emosi Dewiana, sedangkan wanita itu juga terkadang suka menjaili Dirga dengan cara yang tak normal.Misalnya dengan tiba-tiba mendorong Dirga keluar dari Kastil dan membuatnya menghempas jatuh tenggelam ke Black Ocean yang ada di bawah Kastil itu. Tak semua orang bisa bertahan jika jatuh ataupun bersentuhan dengan Black Ocean karena bisa dibilang, itu adalah lautan yang tak pandang bulu dalam memakan sesuatu. Namun, Dewiana juga tahu bahwa Dirga memiliki sesuatu yang bisa membuatnya bertahan jik
“Ini baru lima menit pertama sejak kau muncul, Dewiana Surya ...” Suara itu menggema bersamaan dengan sekumpulan salju yang membentuk sebuah tubuh lengkap dengan gaun panjang, serta tiga bola api yang melayang berputar di atas telapak tangan kirinya. Perlahan, salju-salju itu menghilang dan digantikan oleh wujud sempurna Hindiana Putri, dengan rambut bergelombang yang menutupi sepanjang punggung sampai pinggulnya, dengan payung hitam yang menutupi pucuk kepalanya, bibir yang dipolesi warna merah darah, selaras dengan iris matanya. Wanita itu setinggi 200 sentimeter, dengan gaun berenda hitam yang melapisi seluruh tubuh tinggi semampainya.Hindia memasang senyuman miring sambil mengangkat payungnya, bersamaan dengan itu semua salju yang sebelumnya menghujani mereka, ⸺yang jatuh dan menutupi nyaris seluruh daratan serta pohon-pohon di pulau Bali⸺ kini kembali ke dalam wujud asli mereka, yaitu api.Dalam seke
“Dewiana, namanya ... Dewiana Surya.” Cuna membeku mendengar bisikan itu lagi di dalam kepalanya. Walaupun baru beberapa hari berlalu, rasanya seperti sudah lama sekali dia tak mendengar suara itu lagi.“Mungkinkah?” pikir gadis itu bersamaan dengan Arta dan Rolla yang terbang di sampingnya, mereka berada beberapa kilometer di hadapan Dewiana.“Kau bisa mendengarku kan, Cuna?” tegur suara itu. Cuna menelan salivanya tanpa sadar, benar-benar tak menyangka bahwa dia akan kembali mendengar suara itu dengan sangat jelas di dalam kepalanya.Gadis itu sama sekali tak bisa bereaksi atau pun membuka suara. Rasa takut itu perlahan menggerogoti tubuhnya, dia sama sekali tak bisa mengendalikan diri ataupun membalas ucapan Hindia di dalam kepalanya.“Kau tahu, ada hal yang sangat mustahil dilakukan manusia dengan mudah ketika dia pertama kali menjadi Wrena. Hal itu adalah ... me
Andra menatap dalam diam butiran salju yang perlahan turun ke lautan yang baru saja mereka ratakan menjadi daratan. Kedatangan Dewiana membuatnya tersadar tentang siapa yang akan datang menyambut mereka hari ini.Hari tiba-tiba saja berubah menjadi malam. Mereka sengaja tak menggunakan perisai karena milik Dirga tak begitu kuat, sedangkan perisai miliknya memiliki fungsi untuk menghancurkan bagian dalamnya, bukan menahan ataupun mengurung siapa pun yang ada di bagian dalam.Jika perisai milik Wiralaya yang menutupi pulau Jawa bisa mengeluarkan ribuan tornado dalam satu waktu, maka perisainya memiliki kekuatan untuk membakar habis siapa pun yang ada di dalamnya. Hal itu pula yang membuatnya tak bisa menggunakan perisai.Para Wrena yang dimiliki Bérawa belum punya cukup kekuatan untuk membuat perisai, dan rencana yang kini mereka coba bangun adalah untuk melawan seluruh musuh yang ada dengan kekuatan yang sudah mereka kuasai.“Kau bilang saat i
Jane menatap rintikkan salju yang mulai turun dengan sangat lambat di malam hari yang tiba-tiba datang itu. Dia menelan salivanya tanpa sadar, netranya menatap kosong langit biru tua dengan awan tipis di atas kepala mereka.“Dia datang, dia ... dia akan datang.” Gadis itu berucap tanpa sadar dengan sangat gugup sambil memundurkan langkahnya.Gadis itu sama sekali tak mendengar suara Putra yang sejak tadi terus-menerus memanggilnya, kepala Jane tanpa sadar sudah dipenuhi oleh ingatan-ingatan dirinya bersama Wonu saat terakhir kali puluhan salju itu menghilang dan mereka diserang habis-habisan oleh para Pati beserta tornado.Dari yang gadis itu ingat, Andra pernah berkata selama rapat bahwa kekuatan Hindia adalah memanipulasi apa pun menjadi sebuah salju, persis seperti yang dia alami ketika Hindia mengubah satu kota menjadi dunia salju yang kosong, dan tepat ketika dia sudah pada puncak rasa bosannya, dia akan mengubah segala hal itu ke bentuk asalnya
25 Februari 2020, seluruh bagian barat Bali —terutama di sepanjang pesisir Pantai Batu Bolong sampai ke Pura Luhur Uluwatu— dipenuhi oleh ribuan Prajurit yang berjaga di tiap pesisir dan tebing ujung pulau itu. Sementara para Pilar yang sejak rapat berakhir dini hari lalu, sudah mulai membuat daratan baru di laut perbatasan Bali itu, mereka melapisi daratan itu dari bagian dasar ke permukaan menggunakan 6 jenis kekuatan.Dimulai dari pesisir utara Bali sampai ke Alas Purwo yang ada di seberang mereka, Gandi lebih dulu melapisi bagian dasar lautan menggunakan kekuatan Batunya, setelah itu dilapisi lagi bagian atasnya dengan kekuatan Koral milik Olan, Kintan membantu melapisi bagian atasnya lagi menggunakan Kristalnya, setelah itu mendekati bagian permukaan diisi oleh Bella menggunakan Kapurnya dan dikeraskan, setelah itu ditutup oleh milik Ilyas dengan Lempung yang dikeraskan, dan terakhir dikuatkan dengan Tanaman-tanaman menjalar