Jane menatap telapak tangannya sendiri yang sejak tadi tak berhenti bergetar. Dia tahu dia masih merasakan bekas getaran gempa itu, bayangan mereka dikejar-kejar oleh mahluk seperti zombie hingga kematian Hanbin yang ada di depan matanya, semuanya masih tercetak jelas di dalam kepalanya. Dia masih sangat ingin menganggap semua ini hanyalah mimpi buruk, tapi melihat bagaimana tangannya tak berhenti bergetar, menyadari bahwa respon tubuhnya bahkan sudah tak bisa menahan ketakutannya sendiri.
Dia tahu semua ini adalah realita.
Terlebih setelah mereka berhasil keluar dan melihat keadaan yang ada, semua ini benar-benar membuatnya tak bisa berkata-kata.
Gadis itu menggenggam lengannya sendiri mencoba menahan tubuhnya agar berhenti bergetar, sebelum akhirnya memerhatikan Wonu yang kini menyetir membawa mobil mereka menembus jalanan rusak Jakarta.
“Kita akan kemana?” tanya Jane memerhatikan Wonu yang sedang memberikan sekotak tisu pada Nira, gadis itu masih menangis sejak tadi.
“Rumahku,” balas satu-satunya pemuda di dalam mobil itu. “Kalian semua berasal dari luar kota, kan? Hanya aku yang tinggal di sini, dan setidaknya kita harus temukan tempat aman dulu sebelum membentuk rencana yang lain.” Mata Wonu terfokus pada jalanan kota yang benar-benar hancur akibat tornado, sejak tadi dia mencoba mencari jalan aman agar mereka tetap bisa berada di dalam mobil dan sampai dengan cepat. “Walaupun aku juga tak yakin ada tempat aman di kota ini.”
Semua orang terdiam mendengar balasan panjang Wonu. Apa yang pemuda itu ucapkan memang benar adanya, terlebih mereka juga tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Gempa, munculnya mahluk seperti zombie, hingga tornado yang baru saja menjauh dari tempat mereka sudah cukup mengejutkan. Keempat orang itu tak tahu lagi apa yang akan mereka lakukan jika hal yang lebih dari ini akan terjadi.
Cuna sendiri masih mencoba mengatur napasnya, sama seperti Jane, gadis itu menggenggam lengannya sendiri sambil mencoba menenangkan dirinya agar tak lagi merasa takut ataupun panik. Dia tahu itu adalah respon yang wajar dari tubuhnya mengingat segala hal yang baru saja mereka lalui, tapi tetap saja dia harus mencoba lebih tenang, agar dia bisa berpikir dengan benar, agar setidaknya … dia tahu apa yang harus mereka lakukan setelah ini.
“Aku sudah tak bisa membayangkan hal-hal buruk yang lebih dari ini,” buka Nira sambil mencoba menghentikan isakkannya. “Jika ini adalah mimpi, aku ingin segera bangun. Jika bukan, kupikir bunuh diri adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Aku takkan sanggup hidup di dunia seperti ini.”
“Nira …” gumam Jane miris tanpa sadar, sedangkan Cuna hanya diam menatap gadis yang duduk di samping Wonu itu.
“Kau tak boleh berbicara seperti itu, Nira …” Wonu ikut membuka suara, seringai tipisnya terbentuk tanpa sadar. “Ini mungkin terdengar gila, tapi kau tahu? Dunia seperti ini akan membebaskan kita untuk membunuh siapapun, hukum moral yang negara ataupun lingkungan buat sudah tak berlaku lagi, kita bebas melakukan apapun. Bahkan tanpa harus menyematkan kata ‘atas nama kemanusiaan’ ck, sejujurnya aku membenci alasan sok mulia itu.”
Nira menatap pemuda itu dengan kesal, “Kau seakan sedang mengharapkan bahwa dunia seperti ini menjadi kenyataan Wonu, apa kau memang seingin itu mencoba membunuh sesuatu?”
“Aku selalu ingin mencoba membunuh sesuatu jika saja membunuh itu tak dilarang dan tak dosa,” balas pemuda itu cuek. Pemuda itu lalu mengangkat satu tangannya, memperlihatkan pada Nira respon tubuhnya yang sama seperti gadis itu. “Lihat, tanganku juga gemetaran. Aku menahan panikku, hingga tubuhku masih bergetar sampai detik ini. Tapi jujur saja … aku pernah mengharapkan dunia seperti ini ada, hingga rasanya aku tak begitu takut untuk menghadapinya.”
“Aku juga memikirkan hal itu,” balas Cuna akhirnya membuka suara.
Nira menoleh ke belakang menatap Cuna tak percaya, “Astaga! Aku tahu kau penulis horror terkenal itu tapi aku sama sekali tak tahu kau punya pikiran segila Wonu, Cuna!” kesal gadis itu membuat Jane tertawa.
Dia tak tahu apa yang lucu, tapi entah mengapa dia sangat ingin tertawa melihat reaksi Nira atas pernyataan Cuna dan Wonu. Sebab baginya, keinginan seperti itu sudah biasa bagi mereka yang sering sekali menulis kisah-kisah tragis, entah karena mereka memiliki imajinasi yang terlalu gila … atau terlalu naif.
“Aku juga pernah memikirkannya Ra, kupikir dunia seperti ini akan mengasikkan jika aku hidup di dalamnya.” Jane akhirnya ikut menambahi komentar Wonu.
Nira menghela napas dengan kasar mendengar hal itu, dia lalu kembali menatap ke depan dan memerhatikan kehancuran jalanan yang mereka lewati. “Imajinasi penulis seperti kalian itu memang mengerikan,” gumamnya tanpa sadar, “Aku takkan bisa bertahan di dunia seperti ini, kematian Hanbin bahkan masih sangat membekas di benakku dan itu benar-benar membuatku takut. Melihat kematian orang-orang di hadapanku, itu … menakutkan. Kupikir tak lama setelah ini aku akan gila jika aku tak bisa menghadapi rasa takutku sendiri.”
“Tapi kau tak bisa mati begitu saja dan kalah tanpa kisah, Nira. Setiap kehidupan itu ada karena kita layak mendapatkannya, jangan menyerah hanya karena hal kecil.”
“Hal kecil?” tanya Nira menatap pemuda di sampingnya itu dengan kesal, “Apa semua ini hal kecil? Bencana separah ini?!”
Cuna menghela napas mendengar Nira menaikkan nada suaranya beberapa oktaf, dia yakin gadis itu sedang sangat marah sekarang. “Aku tahu ini gila Nira …” gadis itu berujar dengan tenang, “Jika kau tak bisa bertahan hidup demi mempertahankan sesuatu yang kau sayangi, setidaknya jangan mati dulu sebelum kau berhasil menghancurkan hal yang kau benci,” tutup Cuna membuat Nira terperangah.
Gadis itu masih terdiam mendengar kalimat tersebut. Tiba-tiba saja wajah seseorang yang sangat dia benci terlintas di kepalanya dan itu membuatnya menahan diri untuk tak mengamuk. “Simple-nya, jika kau tak bisa membunuh atas nama kebaikan, maka jadilah pendosa untuk menghabisi segala hal. Iya bukan?” tanyanya dibenarkan oleh Cuna, sedangkan Wonu dan Jane tersenyum mendengar hal itu.
Nira menatap sekelilingnya, memang aneh berada disekitar orang-orang yang punya pemikiran segila mereka bertiga. Tapi Cuna tahu bahwa mungkin dia masih tetap menjadi waras jika teman-temannya seperti ini, mungkin saja … dia juga bisa hidup lebih lama untuk membalaskan rasa kecewanya.
“Apa masih jauh?” tanya Cuna menatap sekelilingnya.
“Sebentar lagi, tidak jauh dari ini kok.”
Jane terdiam, sedangkan Cuna juga masih membeku menyaksikan apa yang baru saja mereka lewati.
“Ini … benar-benar bukan mimpi kan?” gumam Jane yang sejak tadi mengikuti arah pandangan Cuna. Gadis yang mendengar ucapan Jane itu masih saja terdiam, masih mencoba mencerna apa yang baru saja mereka lihat.
“Apa? Kalian kenapa?” tanya Nira menoleh ke belakang, mencoba melihat apa yang Jane dan Cuna saksikan namun gadis itu tak dapat melihatnya. “Kalian menemukan apa?”
Hwek! “Fuck! Aku mual!” kesal Jane menutup mulutnya sendiri.
Nira masih menatap Jane tak paham, sedangkan Wonu hanya melirik Cuna dari kaca sepion. Pemuda yang memegang kemudi itu lantas mengangkat alis, seakan mempertanyakan apa yang mereka lihat ketika Cuna akhirnya memutar kepala dan menatapnya.
“Ada anak kecil tadi di pinggir jalan …” Gadis itu menelan salivanya tanpa sadar ketika ingin melanjutkan kalimatnya, “Dia sedang … memakan tangan korban yang tubuhnya sudah hancur karena tertimbun bangunan.”
Dua detik, tiga detik, Wonu dan Nira masih terdiam mencoba mencerna apa yang Cuna katakan. Hingga akhirnya pemuda itu dengan cepat menginjak rem membuat Cuna dan Jane hampir jatuh, serta Nira yang sudah menghantupkan kepalanya di pada mobil.
“Bangs—“
“Fuck! Memakan?!”
“MAAF!”
Jane dan Nira mengumpat bersamaan dengan Wonu yang langsung meminta maaf setelah tiba-tiba menghentikan mobil. Pemuda itu lalu kembali menjalankan mobilnya sambil menghela napas dengan kasar, dia lalu melirik Jane yang masih menatapnya dengan kesal, juga Nira yang masih memegangi kepalanya kesakitan.
“Maaf … ah, sial. Apa yang tadi kau katakan? Cuna?”
“Anak kecil itu, dengan mulut yang sudah penuh akan bercak darah, sedang memakan tangang manusia, tangan korban yang tubuhnya sudah hancur karena tertimpa bangunan.” Jane menggantikan Cuna untuk menjelaskan apa yang mereka lihat, “Hwek! Aku bahkan tak ingin membayangkannya, menjijikkan! Kenapa dengan anak kecil tadi?” kesalnya lagi.
“Mau melihatnya?” tawar Wonu.
“JANGAN!” teriak Jane dan Nira bersamaan.
“Jangan sekarang, lebih baik kita fokus pada tujuan awal kita dulu.” Cuna ikut memberi saran.
Wonu terdiam cukup lama melihat reaksi ketiga kawannya itu, dia lalu melirik sepion mobil untuk mencari keberadaan anak kecil itu namun dia sama sekali tak menemukannya. “Ok, anggaplah kalian hanya berhalusinasi karena aku tak melihat hal itu dengan mata kepalaku sendiri,” ucapnya membuat kesimpulannya sendiri. “Sebentar lagi kita sampai kok, kalian tetaplah di mobil dan aku akan masuk sendiri nanti.”
“Hah?” tanya Jane membalas pemuda itu dengan kesal.
“Dengar, lebih mudah jika kalian tetap menjaga mobil. Siapa yang bisa membawa mobil disini?” tanya pemuda itu dibalas Nira dan Cuna dengan acungan tangan, sedangkan Jane hanya menyandarkan punggungnya pada kursi mobil. “Okey, Cuna nanti memegang kemudi. Aku akan masuk sendiri, biarkan pintu terbuka ok?”
“Kenapa tak berdua saja?” kali ini Nira yang membuka tanya.
“Karena akan merepotkan, aku hanya akan masuk untuk mengecek keadaan. Jika keadaan baik, maka kalian akan kuajak masuk bersama, jika tidak aku hanya mengambil makanan dan kembali pergi dengan cepat. Aku tak ingin ada kematian lagi, ok?” ucapnya membuat Nira terdiam, sedangkan Jane dan Cuna mengangguk pelan memahami rencana Wonu.
Nira sama sekali tak membalas perintah Wonu, gadis itu lebih memilih untuk memerhatikan jalanan ketika mereka akhirnya memasuki kawasan perumahan. Dia menatap sekeliling tempat itu yang cukup hancur, namun dibandingkan jalanan pusat kota yang tadi mereka lewati, ini tak separah sebelumnya. Mungkin saja, disini masih banyak orang yang selamat.
Gadis itu tak ingin memikirkan Hanbin sekalipun isi kepalanya masih dipenuhi oleh ekspresi Hanbin yang mati tertusuk di hadapannya, entah mengapa pemuda itu bisa terlihat tenang, tidak terlihat takut ataupun kesakitan, Nira masih bisa mendengar suara Hanbin yang menyuruhnya lari sekalipun dia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Dia masih ingat bagaimana Hanbin masih mencoba menahan pintu itu sekalipun dia sedang mendekati ajalnya sendiri. Dia masih ingat semua kejadian itu dengan sangat jelas, kepanikannya, air mata, rasa kagetnya, suara, hingga bau kekacauan di hotel itu, dia masih sangatlah ingat dengan semua itu.
Mobil Wonu akhirnya berhenti di depan rumahnya. Tempat itu masih terlihat utuh sekalipun ada beberapa retakan di sekitar dindingnya, di sekitar mereka tak begitu banyak mayat ataupun mahluk yang mirip dengan zombie hingga dia pikir mungkin saja wilayah ini masih tergolong aman.
Pemuda itu akhirnya memilih keluar dari mobil tersebut, Cuna memindahkan posisi duduknya ke bangku kemudi sedangkan Nira ikut keluar dari mobil tersebut ketika Wonu hendak masuk ke dalam rumah.
“Kau mau kemana?” tanya Jane memerhatikan Nira.
“Aku?” tanya gadis itu tanpa sadar, Wonu kini sudah benar-benar masuk ke dalam rumah tersebut. “Aku ingin bersama Wonu.”
“Nira …” tegur Cuna membuat Nira menatapnya.
Gadis itu membiarkan pintu masuk mobil bagian depan terbuka, dia lalu mendengkus malas sambil berjalan menuju pintu belakang mobil dan siap untuk membukanya. “Bercanda, aku hanya ingin duduk dengan Jane. Biar Wonu yang di depan,” ucapnya tak mendapatkan jawaban dari kedua gadis itu.
Tangan Nira masih menggenggam pintu belakang mobil itu, dia lalu menatap sekelilingnya untuk melihat-lihat keadaan sedangkan Cuna dan Jane hanya terdiam sambil sesekali melirik Wonu yang belum keluar dari rumah tersebut, tak ada suara keributan di dalam sana.
Namun Nira, gadis itu membisu. Matanya terfokus pada sosok yang berjongkok di atas atap, di ujung perumahan tersebut.
Sosok itu memiliki rambut yang panjang, dengan sayap halus berwarna hitam pekat yang memeluk tubuhnya sendiri. Nira dapat melihat tanduk yang tumbuh dengan panjang berbeda di dahi sosok tersebut, juga dengan tulang-tulang putih yang mencuat runcing keluar dari punggung tangan sosok itu.
Nira meneguk salivanya tanpa sadar, lalu berucap terbata ketika melihat mahluk tersebut menyeringai, memperlihatkan taring dan sisi bibirnya yang penuh akan darah. Dia tak bisa melihat wajah mahluk itu dengan jelas karena rambutnya yang sangat panjang itu menutupi setengah wajah mahluk tersebut.
Namun jujur saja bagi Nira … seringai itu benar-benar sangat mengerikan.
“Guys, ap—ap-apa, ka—ka—“
“Nira kau kenapa?” tegur Jane tanpa sadar.
Nira mengengedipkan matanya dan detik itu juga mahluk tersebut menghilang, gadis itu membulatkan matanya tak percaya. “KA—KALIAN?! APA KALIAN LIHAT?!” paniknya menatap kedua gadis tersebut.
“Apa??!” tanya Jane ikut heboh.
“ITU! DI ATAP RUMAH UJUNG BANGUNAN! AH SIAL DIA MENGHILANG!” kesal gadis itu meremas rambutnya sendiri. “APA KALIAN BENAR-BENAR TAK MELIHATNYA?!” hebohnya lagi.
Cuna dan Jane mengikuti arah yang Nira maksud namun kedua gadis itu sama sekali tak bisa menemukan apapun, “Apa maksudmu? Tak ada apapun disa—“
“AAKHHH!” teriakan keras dari dalam rumah itu membuat ketiga gadis tersebut terdiam, lalu mengalihkan fokus mereka dengan segera.
“Itu … itu suara Wonu,” gumam Nira tanpa sadar. “Bi … biar aku saja yang ma—ma—“
“Lihat tanganmu!” dingin Cuna menghampiri Nira yang masih ada di luar mobil. “Kau masih gemetaran Nira, bahkan lebih parah dari sebelumnya!” Gadis itu akhirnya mengucapkan kalimat yang cukup panjang.
“Ambil alih kemudi, aku yang akan menghampiri Wonu.”
Cuna memaksa Nira masuk ke dalam mobil tersebut dan tanpa menutup pintunya, dia langsung pergi masuk ke dalam rumah tersebut, tak lupa membawa kayu besar yang dia temukan di depan rumah untuk berjaga-jaga.
Jane menatap Nira yang kini masih menggenggam kemudi dengan tangan gemetarannya, “Apa yang kau lihat? Nira?” tanya gadis itu, lalu matanya teralih pada Cuna yang baru saja memasuki rumah Wonu. “Apa yang—“
“Aku … melihat mahluk menyeramkan, dia bukan zombie,” gumam Nira masih mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Mahluk itu … memiliki sayap hitam di punggungnya.”
Setelah mereka sampai, Wonu dengan cepat mengatakan pada tiga gadis itu untuk tetap berjaga di mobil sedangkan dia pergi sendiri ke dalam rumah untuk melihat keadaan. Dari pemandangan jalan kompleks perumahannya, dia tak melihat banyak kerusakan, dan juga mahluk sejenis zombie hingga dia pikir mungkin saja wilayah ini sedikit lebih aman dibandingkan hotel tempat mereka kabur tadi. Pemuda itu membuka pintu rumahnya dengan perlahan, meja kaca di ruang tamu itu sudah pecah, lemari kecil yang menyimpan beberapa piala dan boneka-boneka kecil milik adiknya juga sudah rubuh. Dia yakin gempa sebelumnya cukuplah parah karena telah menghancurkan bagian dalam rumahnya seperti ini, Wonu lalu memilih mengambil tiang panjang tempat dia biasa meletakkan topi, dan menggenggamnya untuk berjaga-jaga. Dia mendengar suara yang sedikit berisik dari arah kamar orang tuanya. Pemuda itu memilih berjalan secara perlahan, dia juga tak ingin memanggil nama orang tuanya mengingat bahwa mungkin
Satu jam lebih mereka menyusuri riol untuk menemukan jalan keluar, sampai akhirnya mereka berempat berada di bagian paling ujung gorong-gorong tersebut. Suara sungai yang mengalir deras dan cahaya tipis yang menyambut mereka membuat keempat orang itu dengan segera bersemangat untuk keluar. “Seharusnya ini sudah malam, apa ponsel kalian ada yang masih menyala?” tanya Jane menatap teman-temannya itu. Wonu dan Cuna menggeleng, sedangkan Nira kini mencari ponsel yang sudah lama dia abaikan. “Ini jam setengah 8 malam,” balas gadis itu. Mereka akhirnya berhasil keluar dari riol tersebut, walaupun tak sepekat sebelumnya, kini bau dari air pembungan itu kini tak begitu mereka cium lagi. Wonu bernapas lega tanpa sadar. “Dimana ini?” tanya Cuna. “Sepertinya daerah pinggiran kota, kita harus berhati-hati pada zombie.” Wonu membalas dan ditanggapi dengan anggukan oleh ketiga gadis itu. “Ayo naik!” ajak Jane yang akhirnya menemukan tangga agar mere
“Kau mau mencoba mengigitku?” tanyanya sambil menyerahkan lengannya pada Jane. Gadis itu membulatkan matanya tak percaya ketika mendengar penawaran Cuna, “Kau gila?” tanyanya menatap lengan Cuna yang masih mengarah ke dirinya. Cuna lalu menarik tangannya kembali sambil mengangkat bahu tak acuh, “Ini kan hanya teoriku saja, tak ada salahnya mencoba.” Jane menggeleng cepat sambil melipat tangan di depan dada, “Tidak, bahkan jika teori itu berakhir benar, aku tetap takkan mau melakukannya.” Gadis itu menoleh menatap Jane sejenak lalu kembali fokus pada jalanan di hadapannya, “Kenapa?” tanyanya. “Tidak ada alasan lebih, aku hanya merasa bahwa kanibalisme bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi wajar untuk manusia.” Cuna mengangguk santai, “Hanya karena prinsip ya?” gumamnya tanpa sadar, “Menurutmu, apa aku adalah tipe yang berani memakan sesama untuk bertahan hidup?” tanyanya pada Jane. “Kau tipe yang berani mencoba hany
Setelah memasukan anak kecil itu ke dalam mobil, Nira dengan panik langsung berlari ke dalam minimarket dan memanggil kedua orang itu, setelahnya kembali berlari untuk menghampiri Jane. Tepat di waktu ketika Nira membawa anak itu pergi, Jane dengan sekuat tenaga mencoba mencari cara agar dia tetap bisa menahan pemuda itu di hadapannya. “KAU BODOH HUH?!” kesal pemuda itu mencoba mengejar anak kecil yang Nira bawa namun Jane dengan cepat menendangnya hingga ambruk, pemuda itu menggeram kesal menatap Jane. “Kau yang bodoh! Apa maksudmu ingin membuat adikmu hidup dengan memakan daging manusia?!” “Itu satu-satunya cara agar kita semua bisa bertahan! Kau tak tahu apapun huh?!” kesalnya bangkit berdiri, mencoba menyerang Jane namun gadis itu dengan sigap menahan serangannya. “Hanya dengan memakan sesama kita bisa hidup! Mereka telah merubah berbagai indra di tubuh kita!” Jane menatap pemuda itu tak paham, “Mereka siapa?!” “WRENA! KAU
Cuaca pagi hari menjelang siang itu sangatlah sejuk, Wonu bahkan sempat berkata bahwa ini pertamakalinya Jakarta memiliki cuaca sesejuk ini, bahkan jauh lebih sejuk dibandingkan Bandung. Walaupun upayanya membuka topik tetaplah gagal karena Jane sama sekali tak bersuara sedangkan Cuna kini sibuk menghabiskan susu kedelai untuk terus dia konsumsi. Setelah pernyataan Cuna bahwa dia merasa ingin terus mencoba menyantap manusia, gadis itu juga dengan cepat mengambil susu kedelai dan beberapa kacang untuk dia konsumsi. Dia dengan cepat membuat Jane tenang karena dia yakin gadis itu sudah cukup frustasi atas kematian Nira dan pembunuhan yang baru saja dia lakukan. Wonu juga tak ingin membahas lebih perihal apa yang baru saja mereka lewati karena dia tahu bahwa Jane masih sangatlah terluka akan hal itu. Dia tahu bahwa gadis itu memerlukan waktu untuk meluruskan isi pikirannya seperti saat dia pertama kali membunuh ayahnya sendiri. Pemuda itu malah tak begitu mengerti mengap
Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk sampai ke Bandung, rest area sebelumnya sudah membawa mereka pergi cukup jauh dari Jakarta dan kini mereka akhirnya sampai ke pembuka jalanan yang mulai memperlihatkan beberapa bangunan –tanda bahwa mereka sudah dekat dengan kota itu. Ketiganya terdiam, masih tak yakin dengan apa yang mereka lihat bersama, entah itu adalah kenyataan atau mereka hanya sedang berhalusinasi. “Apa … itu salju?” buka Jane pada akhirnya menyuarakan keraguannya sendiri. Wonu yang sejak tadi memegang kendali kemudi masih tak menjawab, cukup tak percaya dengan apa yang Jane katakan sekalipun dia juga melihatnya. Kumpulan salju itu turun dengan pelan layaknya sebuah kapas-kapas kecil yang berjatuhan. Perlahan juga jalanan yang mereka lewati mulai memperlihatkan tumpukkan-tumpukkan salju yang memenuhi pinggiran jalan dan bangunan. “Apa benar salju?” balas Wonu ikut bertanya. Cuna yang duduk di belakang masih terdia
“Masih lama?” tanya Jane ragu. Ini sudah dua jam berlalu semenjak mereka keluar dari mall dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya. Wonu sama sekali tak membalas pertanyaan Jane, dia yakin bahwa dia tidak tersesat mengingat bahwa pemuda itu sangat suka berpergian keluar kota sejak dia SMA, namun semua ini terasa begitu aneh. Hari sudah mulai sore dan matahari seakan terasa lebih cepat ketika hendak ternggelam. Pemuda itu hanya menatap sekelilingnya, dia tak merasa mereka melewati jalan yang sama, namun disisi lain juga, dia merasa bahwa mereka sejak tadi hanya berputar-putar saja. Di kursi belakang, Cuna menatap ke luar jendela memerhatikan bangunan tua yang memiliki patung gurita besar di atapnya. Dia tak begitu yakin, namun rasanya mereka sejak tadi hanya memutari pusat bangunan itu sejak dua jam yang lalu. “Rumah Gurita itu, bangunan lama ya?” tanya Cuna mengalihkan perhatian Jane dan Wonu yang sejak tadi sibuk dengan pikiran
Setelah kepergian Cuna menuju rumah gurita itu, Jane dan Wonu benar-benar disibukkan dengan berbagai tornado yang muncul di banyak tempat. Jane bertugas untuk melihat segala bahaya di berbagai arah, sedangkan Wonu terfokus pada kendali mobil agar mereka bisa terus melarikan diri. “Lebih baik menjadi Wrena dibandingkan Pati, sumpah!” kesal Wonu tanpa sadar. “Kita bisa saling gigit jika ingin menjadi wrena,” balas Jane masih dengan raut wajah seriusnya. Wonu terkekeh pelan mendengar hal itu, mereka lantas memutar haluan menyadari ada pusaran angin yang perlahan mulai membentuk tornado di hadapan mereka. “Pati!” jerit Jane cepat namun Wonu sama sekali tak menahan diri untuk menabrak sekumpulan manusia tak berjiwa itu. Apapun itu mereka harus selamat, lagi pula Pati takkan berbahaya selama mereka tak tiba-tiba menyerang Wonu dan Jane menggunakan tangan tajam mereka. “Arah jam 2, kosong!” ucap Jane cepat membuat Wonu kembali membanting stir.
[BAGIAN; DI UJUNG NAPAS YANG TERCEKAT]Dalam satu detik yang terasa begitu lama, Dirga menelan salivanya menatap sosok Arta yang kini baru saja menjatuhkan mayat Cuna di hadapan Jane dan Putra. Pemuda itu menahan napas sejenak, mencoba sekeras mungkin untuk mengabaikan apa yang dia lihat. Dirga lalu kembali mengalihkan atensinya ke arah Kendari ⸺mendapati wanita itu sedang terdesak dengan Gilang yang sedang mencengkeram belakang kepalanya⸺ dan dengan segera meloncat terbang hendak meninggalkan Dewiana jika saja wanita itu tidak dengan cepat menusuk lehernya menggunakan tongkat putih bercorak biru tersebut, lalu menjatuhkan pemuda itu, membuat wujud Barong Dirga jatuh ke menghempas kolam raksasa yang ada di dalam tembok.“Kau harus perhatikan lawanmu, Dirga.” Wanita itu menyeringai tanpa sadar, “Tak peduli apa pun yang sedang terjadi di sekitarmu.”Dirga menahan jeritannya, sedangkan tangan pemuda yang memegang pe
Jane dan Putra ada di dalam perisai yang Kintan ciptakan ketika Hindia pertama kali muncul di udara dengan sekumpulan salju yang mulai bersatu dan membentuk tubuh tingginya. Di detik setelahnya, seluruh salju yang melapisi tubuhnya itu seketika lenyap bersamaan dengan hujan salju di sekitar mereka yang kini berubah menjadi ribuan butir bola api. Mereka dalam diam menatap hujan itu mengingat bahwa mayoritas dari para prajurit pun kini juga ada di dalam perisai yang telah di ciptakan oleh beberapa Pilar. Api itu tak bisa menembus perisai yang telah mereka ciptakan, jadi mayoritas dari mereka berpikir ... semua akan aman selama perisai yang kini melindungi mereka tak terbuka. “Kota ini terlihat sepi jadi aku membawa sedikit pasukan,” ucap Hindia bersamaan dengan perisai milik Gandi yang dia buka secara tiba-tiba karena luapan api yang kian membesar di dalamnya. Beberapa pasukan yang ada di sekitar Gandi itu membuka seragam bagian terluar mereka karena bekas salju yang m
Dalam kurang dari satu detik setelah meminta izin secara sepihak pada Kendari, Andra kini sudah benar-benar ada di hadapan Hindia. Membuat wanita itu menahan rasa kaget sekaligus takjub karena aura panas mencekam yang tiba-tiba saja ingin membakar habis tubuhnya.Hindia selalu menikmati momen-momen ketika dia bisa melawan seseorang yang lebih kuat darinya. Hingga pada umumnya, wanita itu akan memanfaatkan waktu sebaik dan selama mungkin agar bisa membuat perkelahian mereka berjalan dengan sangat lama.Berbeda dengan seseorang yang dia anggap lebih lemah, dia akan membuat skenario baru seakan dia adalah sosok yang baik, yang membiarkan korbannya itu untuk hidup lebih lama. Lalu, dengan kelengahan yang korban itu miliki karena merasa telah selamat, dia akan memanfaatkan korban itu dan memainkannya seperti boneka di waktu-waktu yang tepat.Seperti apa yang dia lakukan pada Cuna.Tepat di satu detik setelahnya, tangan Andra sudah lebih dulu mencengke
Bisa dibilang, mereka direkrut sebagai anak buah para Cendrasa di waktu yang bersamaan. Sebagai angkatan yang cukup tua, baik Dewiana maupun Dirga sama-sama dianggap sebagai kandidat terkuat untuk menjadi anggota Cendrasa, bersama dengan Hindia.Dirga tahu persis sekuat apa Dewiana, begitu sebaliknya. Mereka mungkin jarang bertarung bersama, keduanya juga jarang dimasukkan ke dalam misi yang sama. Namun, mereka cukup dekat ketika rapat terjadi karena Dirga suka sekali memancing emosi Dewiana, sedangkan wanita itu juga terkadang suka menjaili Dirga dengan cara yang tak normal.Misalnya dengan tiba-tiba mendorong Dirga keluar dari Kastil dan membuatnya menghempas jatuh tenggelam ke Black Ocean yang ada di bawah Kastil itu. Tak semua orang bisa bertahan jika jatuh ataupun bersentuhan dengan Black Ocean karena bisa dibilang, itu adalah lautan yang tak pandang bulu dalam memakan sesuatu. Namun, Dewiana juga tahu bahwa Dirga memiliki sesuatu yang bisa membuatnya bertahan jik
“Ini baru lima menit pertama sejak kau muncul, Dewiana Surya ...” Suara itu menggema bersamaan dengan sekumpulan salju yang membentuk sebuah tubuh lengkap dengan gaun panjang, serta tiga bola api yang melayang berputar di atas telapak tangan kirinya. Perlahan, salju-salju itu menghilang dan digantikan oleh wujud sempurna Hindiana Putri, dengan rambut bergelombang yang menutupi sepanjang punggung sampai pinggulnya, dengan payung hitam yang menutupi pucuk kepalanya, bibir yang dipolesi warna merah darah, selaras dengan iris matanya. Wanita itu setinggi 200 sentimeter, dengan gaun berenda hitam yang melapisi seluruh tubuh tinggi semampainya.Hindia memasang senyuman miring sambil mengangkat payungnya, bersamaan dengan itu semua salju yang sebelumnya menghujani mereka, ⸺yang jatuh dan menutupi nyaris seluruh daratan serta pohon-pohon di pulau Bali⸺ kini kembali ke dalam wujud asli mereka, yaitu api.Dalam seke
“Dewiana, namanya ... Dewiana Surya.” Cuna membeku mendengar bisikan itu lagi di dalam kepalanya. Walaupun baru beberapa hari berlalu, rasanya seperti sudah lama sekali dia tak mendengar suara itu lagi.“Mungkinkah?” pikir gadis itu bersamaan dengan Arta dan Rolla yang terbang di sampingnya, mereka berada beberapa kilometer di hadapan Dewiana.“Kau bisa mendengarku kan, Cuna?” tegur suara itu. Cuna menelan salivanya tanpa sadar, benar-benar tak menyangka bahwa dia akan kembali mendengar suara itu dengan sangat jelas di dalam kepalanya.Gadis itu sama sekali tak bisa bereaksi atau pun membuka suara. Rasa takut itu perlahan menggerogoti tubuhnya, dia sama sekali tak bisa mengendalikan diri ataupun membalas ucapan Hindia di dalam kepalanya.“Kau tahu, ada hal yang sangat mustahil dilakukan manusia dengan mudah ketika dia pertama kali menjadi Wrena. Hal itu adalah ... me
Andra menatap dalam diam butiran salju yang perlahan turun ke lautan yang baru saja mereka ratakan menjadi daratan. Kedatangan Dewiana membuatnya tersadar tentang siapa yang akan datang menyambut mereka hari ini.Hari tiba-tiba saja berubah menjadi malam. Mereka sengaja tak menggunakan perisai karena milik Dirga tak begitu kuat, sedangkan perisai miliknya memiliki fungsi untuk menghancurkan bagian dalamnya, bukan menahan ataupun mengurung siapa pun yang ada di bagian dalam.Jika perisai milik Wiralaya yang menutupi pulau Jawa bisa mengeluarkan ribuan tornado dalam satu waktu, maka perisainya memiliki kekuatan untuk membakar habis siapa pun yang ada di dalamnya. Hal itu pula yang membuatnya tak bisa menggunakan perisai.Para Wrena yang dimiliki Bérawa belum punya cukup kekuatan untuk membuat perisai, dan rencana yang kini mereka coba bangun adalah untuk melawan seluruh musuh yang ada dengan kekuatan yang sudah mereka kuasai.“Kau bilang saat i
Jane menatap rintikkan salju yang mulai turun dengan sangat lambat di malam hari yang tiba-tiba datang itu. Dia menelan salivanya tanpa sadar, netranya menatap kosong langit biru tua dengan awan tipis di atas kepala mereka.“Dia datang, dia ... dia akan datang.” Gadis itu berucap tanpa sadar dengan sangat gugup sambil memundurkan langkahnya.Gadis itu sama sekali tak mendengar suara Putra yang sejak tadi terus-menerus memanggilnya, kepala Jane tanpa sadar sudah dipenuhi oleh ingatan-ingatan dirinya bersama Wonu saat terakhir kali puluhan salju itu menghilang dan mereka diserang habis-habisan oleh para Pati beserta tornado.Dari yang gadis itu ingat, Andra pernah berkata selama rapat bahwa kekuatan Hindia adalah memanipulasi apa pun menjadi sebuah salju, persis seperti yang dia alami ketika Hindia mengubah satu kota menjadi dunia salju yang kosong, dan tepat ketika dia sudah pada puncak rasa bosannya, dia akan mengubah segala hal itu ke bentuk asalnya
25 Februari 2020, seluruh bagian barat Bali —terutama di sepanjang pesisir Pantai Batu Bolong sampai ke Pura Luhur Uluwatu— dipenuhi oleh ribuan Prajurit yang berjaga di tiap pesisir dan tebing ujung pulau itu. Sementara para Pilar yang sejak rapat berakhir dini hari lalu, sudah mulai membuat daratan baru di laut perbatasan Bali itu, mereka melapisi daratan itu dari bagian dasar ke permukaan menggunakan 6 jenis kekuatan.Dimulai dari pesisir utara Bali sampai ke Alas Purwo yang ada di seberang mereka, Gandi lebih dulu melapisi bagian dasar lautan menggunakan kekuatan Batunya, setelah itu dilapisi lagi bagian atasnya dengan kekuatan Koral milik Olan, Kintan membantu melapisi bagian atasnya lagi menggunakan Kristalnya, setelah itu mendekati bagian permukaan diisi oleh Bella menggunakan Kapurnya dan dikeraskan, setelah itu ditutup oleh milik Ilyas dengan Lempung yang dikeraskan, dan terakhir dikuatkan dengan Tanaman-tanaman menjalar