BRAK.
Suara gebrakan meja itu membuat keduanya tersentak kaget.
"Jadi katakan kenapa kalian terlambat dan manjat tembok belakang sekolah? Kalian tau
itu melanggar peraturan sekolah!"
Keduanya yang diomeli oleh kepala sekolah wanita mereka hanya diam. Baik Raskal dan Teresa sama-sama tidak mengeluarkan suara. Mereka seperti dijebak. Di depan mereka ada tiga orang yang lebih tua dari mereka. Dua guru BK dan kepala sekolah. Bu Is dan Pak Ahmad berdiri di samping kepala sekolah mereka yang sedang duduk di kursi.
"Bu kita cuman terlambat. Lagian lebih baik terlambat ke sekolah daripada bolos," kata Raskal yang sedang duduk santai seperti ia duduk di warpeng. Warung pengkol sekolah yang merupakan tempat tongkrongan bagi murid-murid tipe seperti Raskal.
"Diem kamu! Saya belum nyuruh kalian ngomong!"
Raskal akhirnya diam. Ia melirik Teresa yang sedang sibuk meniup-niup poni panjangnya ke atas. Kebiasaan yang sudah Raskal hafal. Oh bukan Raskal saja tapi kebanyakan murid Nusantara suka melihatnya.
"Bisa gak kalian sehariiii aja gak bikin saya pusing?" tanya kepala sekolahnya itu heran. "Kamu juga Teresa. Cewek tapi kelakuannya kaya cowok," tudingnya pada Teresa.
"Bu sekarang saya ada ulangan Kimia. Kalau nilai saya tu--"
"Nyusul!"
Teresa yang dibentak mengalihkan pandang. Ia lebih memilih menatap kalender yang ada di sampingnya. Coba saja Bu Is tidak melihat mereka, mereka pasti tidak akan ada di sini dan ia juga tidak akan terjebak dengan Raskal.
"Atau kalian mau di DO?"
Teresa dan Raskal refleks langsung menatap kepala sekolahnya dengan pandangan kaget.
"Bu apa pun asal jangan DO. Saya janji bakalan berubah," kata Teresa.
"Kamu itu. Janji-janji aja. Sampe sekarang gak berubah-berubah. Kelakuan kamu tetep sama."
"Bu. Ibu boleh ngehukum kita apa aja tapi jangan DO Bu. Kita udah kelas 12," ujar Raskal.
"Tapi sifat kalian bukan sifat anak kelas 12. Seharusnya kalau kalian merasa sudah kelas 12, kalian bisa mikir. Mana yang baik dan mana yang gak baik."
Raskal menatap Bu Is yang berdiri di sebelah Pak Ahmad. Guru BK itu menghela napasnya.
"Bu tolong dipertimbangin. DO gak menyelesaikan masalah," kata Bu Is. "Lagian kita bisa hukum mereka."
"Bener Bu. Mereka sebentar lagi akan ujian. DO bukan solusi yang bijak," kata Pak
Ahmad.
"Kalau dihukum saja mereka nggak bakalan jera," kata kepala sekolahnya. lagian mereka sudah banyak melanggar peraturan sekolah. Sudah banyak catatan tentang kenakalan mereka berdua."
Peraturan dibuat memang untuk dilanggar. Bagi Raskal memang seperti itu. Lagian bukan hanya mereka berdua saja yang sering melanggar. Banyak murid yang sering melanggar. Banyak murid yang sering terlambat datang ke sekolah. Hanya saja mungkin mereka beruntung lolos dari BK. guru
Kepala sekolah mereka mengetuk meja dengan jari telunjuknya, menimbulkan suara ketukan yang mengisi ruangan hening itu. Raskal dan Teresa tau wanita itu sedang merencanakan sesuatu.
"Nilai kamu sering jeblok kan Raskal?" tanya guru itu membuat Teresa mengerutkan kening sementara Raskal mengangguk pelan. "Pelajaran apa yang gak kamu suka?"
"Fisika Bu," jawabnya jujur.
"Kalau gitu kalian pilih. DO atau belajar kelompok bersama," katanya membuat Teresa dan Raskal sama-sama mengerutkan alis mereka.
"Bu!" seru keduanya.
"Tinggal pilih," ucapnya. "DO atau kerja kelompok. Selama tiga bulan kalian harus belajar kelompok bersama. Terserah tempatnya di mana. Terserah berapa kali dalam seminggu. Dan minggu ini Ibu harus dengar nilai kalian membaik di mata pelajaran Fisika."
"Bu, jangan kerja kelompok. Saya gak mungkin kerja kelompok sama dia," kata Teresa melirik Raskal.
"Saya juga gak mau Bu. Mending saya les privat," ujar Raskal.
"Ya udah les privat aja lo sana. Gue juga gak mau capek-capek kali."
"Sekarang kalian pilih. DO atau belajar berdua. Kalau kalian pilih DO. Hari ini juga kalian akan dipulangkan ke rumah masing-masing."
Keduanya mendengus.
3 bulan? Yang benar saja! Bisa-bisa kepala Teresa pecah.
"Saya gak mau di DO Bu," kata Raskal tegas. Cowok itu sudah duduk tegak dengan benar. "Saya pilih kerja kelompok 3 bulan."
***
"LO TUH!!"
"Aduh-aduh!"
Raskal menjauhkan dirinya ketika Teresa memukul-mukul lengannya. Mereka baru saja keluar dari ruang kepala sekolah.
"Lo tuh kenapa sih?"
"Gue gak mau kerja kelompok sama lo!"
"Terus lo pikir gue mau?"
"Tapi kan-"
"Emang lo mau di DO?"
Teresa diam namun raut wajahnya tertekuk. Benar-benar kesal sekaligus tak bisa berbuat apa.
"Lagian gue gak mau kenal masalah lagi sama orangtua gue."
"Trus seminggu ini nilai Fisika kita harus bagus? Yang bener aja!" Teresa melipat tangannya di dada. Matanya memandang ke arah depan sementara Raskal menatap perempuan di sampingnya dengan pandangan datar. "Mana hari Rabu gue ulangan Fisika."
"Lo pikir lo aja yang ulangan? Hari Sabtu juga gue ulangan Fisika," kata Raskal. "Gak ada cara lain. Cuman itu satu-satunya."
"Kenapa lo gak les privat kaya yang tadi lo bilang di dalem?"
"Gue lagi dihukum. Semua fasilitas kecuali motor gue disita," kata Raskal. "Kenapa gak lo aja?"
Teresa mengusap wajahnya. "ATM gue diblokir," ujarnya.
Keduanya saling pandang. Teresa mengerang
kesal.
"Terus gimana?"
"Gak ada cara lain."
"Kerja kelompok gitu? Lo sama gue?" ucap Teresa sambil menunjuk dirinya membuat Raskal mengangguk.
"Besok. Gimana?"
"Besok?!"
"Sialan jangan kenceng-kenceng," protes Raskal.
"Lo yakin besok?"
"Menurut lo?"
Teresa memutar kedua matanya. "Oke besok. Di mana?"
"Tempatnya lo yang atur."
"Oke gampang," kata Teresa namun masih wajah kesalnya terlihat. "Kalau gak gara-gara diancem DO. Gue gak bakalan mau!"
"Ya terserah. Inget besok dan lo jangan kabur."
"Hm."
Teresa meninggalkan Raskal, melewati sebuah lorong lalu melihat sebuah kaca panjang yang bertuliskan "Sudah rapikah saya?" di atas kaca itu. Sejenak Teresa diam. Pandangannya tertuju pada pantulan dirinya.
Gue gak rapi dan gak akan pernah rapi.
"Eh muka lo kenapa kusut gitu Kal?" tanya Douglas ketika Raskal berjalan menuju ke arah pertigaan koridor kelas X dan XI. Ada 3 alasan mengapa teman-temannya berdiam di sini. YANG PERTAMA, mereka di sini mau MALAK uang jajan adik kelas dengan embel-embel senior. YANG KEDUA, mau CAPER ke adik kelas. YANG KETIGA, males ke kantin karena sedang ramai. Lagi pula, siapa yang tidak takut dengan badan besar Douglas? Baru saja mereka, alias adik kelas yang keluar dari kelas itu hendak menuju ke kantin, mereka langsung mengambil jalur pintas agar tidak melewati Douglas, Verrel, dan Gathenk. Sebagian dari mereka pun memilih masuk kembali ke dalam kelas. Benar-benar payah, pikir Raskal. "Lo kaya habis kena kurang point dari Pak Ahmad," kata Gathenk. "50 apa 100 Kal?" tanyanya. "Berisik lo Babi," kata Raskal spontan. "Gue bukan Babi," gerutu Gathenk. "Ngejawab lagi lo!" seru Raskal tiba-tiba galak. "Berantem-berantem aja lo berdua," Verrel
"Jadi lo gak mau cerita gitu Sa?" Perkataan Varra membuat Teresa yang sedari tadi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan mengintip dari sela-sela jarinya. Mereka bertiga sedang berada di kantin dan duduk di satu meja panjang. Letak meja itu ada di dekat pedagang yang sedang melayani banyak murid yang berebutan membeli nasi. Rivka menatap Teresa dengan alis mengerut, bertanya-tanya. Ada apa dengannya. Varra yang ditatap Rivka pun hanya mengendikan bahunya, tidak tau. Ia benar-benar tidak tau kan? Dan juga Teresa sedari tadi tidak mau berbicara sejak masuk ke dalam kelas. Setelah keluar dari ruang kepala sekolah tentunya. Merasa didiamkan meski ditatap oleh Teresa membuat Varra kembali bertanya, "Kalau gitu lo lo pada gak mau makan nih? Kita ke sini mau makan kan? Gue udah laper," keluh Varra. "Gue mau beli siomay. Lo berdua gak makan?" Teresa merasa mood makannya hilang hari ini. Gimana bisa ia makan kalau pikirannya melayang-layang pada kejadian
Saat ini Teresa sedang berjalan di koridor dan selama jam istirahat di hari ini, ia tidak akan ke kantin lagi. Tidak dengan Beling dan kedua temannya, Saka dan Yogi. Ia bahkan tidak memberitahu Rivka dan Varra. Sedikit lagi ia sampai di kelasnya namun seseorang menarik sebelah tangannya. "What the-" Raskal langsung menarik Teresa ke kamar mandi yang ada di dekat sana. Tidak kasar namun itu terlalu terburu-buru dan Teresa hanya bisa melihat sebentar wajah Raskal karena cowok itu sudah berbalik badan dan menariknya masuk ke dalam kamar mandi. Setelah Raskal melepaskan tarikannya, ia langsung mendengar teriakan Teresa. "LO TUH APA-APAAN SIH?!" Raskal menjauh, refleks. "Jangan teriak-teriak bego. Ntar dikiranya gue ngapa-ngapain lo." "Terus ngapain lo ngajak gue ke sini?!" kalimat itu keluar begitu lancar dari mulut Teresa tak lupa dengan nada galaknya. "Udah gue bilang jangan teriak-teriak. Dengerin gue dulu." "Apa?" kata
"EH GLAS! Sumpeh lo udah mesen rujak berapa kali? Itu cabe. Astaga," Gathenk geleng-geleng kepala, benar-benar heran ketika melihat Douglas yang membawa sepiring rujak di tangan kanannya.Douglas berjalan untuk duduk di depannya dengan mulut kepedasan lalu cowok itu mengambil minuman esnya yang ada di atas meja. Wajahnya pun sudah merah merambat hingga telinga dan lehernya. Kalau di keadaan seperti ini Douglas tidak terlihat seperti sosok Kakak kelas yang harus ditakuti seperti dulu tetapi lebih mirip sosok teman yang sebaya dengan mereka. Itu mungkin karena kini mereka terbiasa bersama."Itu cabe berapa Glas?" tanya Raskal keheranan. "Kuat banget lo sama pedes.""Yang namanya cowok itu harus kuat sama yang namanya pedes. Ini baru pedes cabe. Gimana sama pedesnya omongan istri lo nanti?" tanyanya Douglas, masih menahan pedas di bibirnya."Ntar kalau perut lo kenapa-napa baru ngeluh-ngeluh. Baru nyesel," kata Verrel yang sedang mengaduk-ngaduk es tehnya de
Sebagian hati Teresa membenci rumahnya sendiri. Itu benar. Jika ada pepatah bilang kalau rumahku adalah istanaku. Maka bagi Teresa: rumahku adalah nerakaku. Cewek itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah ini. Dulunya terasa hangat dan nyaman namun kini seluruh rasa itu telah hilang. Lenyap begitu saja. Tidak ada rasa hangat yang dulu melingkupi mereka. Sekarang yang ada hanya kekacauan. Semuanya terasa datar. Hambar. Suara piring dipecahkan membuat refleks Teresa mundur. Lalu disusul suara panci jatuh ke lantai dan itu menimbulkan bunyi yang sangat tidak enak didengar. "OH! JADI KAMU GITU MAS?! SAMA SI YULIA LAGI?! KAMU TIDUR DI RUMAH DIA? IYAKAN?!" Teresa mundur. Badannya membentur pelan daun pintu rumahnya. Hampir setiap hari ia mendengar keributan ini. "Kamu jangan teriak-teriak Thea! Saya lagicapek." "CAPEK APANYA? CAPEK APA KAMU? KAMU AJA SERING BOLOS NGANTOR!" "Thea!""Apa?! Kamu mau nyangkal lagi?!""Atau kamu mau mukul lagi
Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo
Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De
Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa
"Tidak perlu risau. Tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah terbiasa dengan semuanya."***Teresa sedang duduk, mengawasi seseorang. Perempuan itu duduk di pojokan. Dia sedang berada di satu club malam yang dingin-tempat di mana orang-orang sedang berpesta pora tanpa menyadari sudah jam berapa saat ini. Teresa melihat ponsel yang ada di genggaman tangannya. Sudah jam 12 malam tepat. Seharusnya dia pergi dari sini namun hati kecilnya menyuruh untuk menetap di sini. Pandangannya masih menatap lurus ke arah depan-ke seorang laki-laki yang sedang merenung sendirian dengan minuman alkohol di tangannya."Ling yuk ikutan ke sana," ajak Nita. Beling menoleh padanya dengan wajah lelah namun dia hanya diam. Bibir itu seperti engan membalas ucapannya. "Masa kita ke sini tapi lo gak seneng-seneng sih?""Ling. Lo kenapa?" tangan perempuan itu sudah berada di pundaknya. Beling meliriknya dan menyingkirkannya dengan halus. "Ling?""Nggak lo aja.""Tapi Ling-"
"Di sekitarku selalu ada banyak orang. Namun mereka tidak pernah peduli padaku. Aku selalu saja merasa sendiri dan akhirnya terlupa lagi."***Raskal yang baru saja dari kantin melihat Teresa berjalan linglung di koridor. Cowok itu akhirnya menuju ke Teresa, berjalan di sampingnya. Mengamati perempuan itu. Teresa sedang melamun tapi kakinya terus melangkah. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Raskal di sebelahnya."Sa?" perempuan itu seperti terkejut kecil dan mengarahkan matanya pada Raskal. "Kepentok tembok ntar baru tau rasa. Jalan tuh jangan melamun.""B aja sih.""Gue ada LKS Fisikanya Verrel. Udah isi banyak. Jadi ntar pas ke basecamp kita tinggal belajar aja.""Curang dong?""Curang gimana?""Ya itu minjem LKS temen lo.""Kita kan bisa belajar dari sana.""Tapi tetep aja keles. Sama aja kita nyontek.""Trus lo maunya apa?" Raskal berhenti hingga Teresa ikut berhenti. "Trus lo maunya kita belajar mati
"Kamu tidak harus tahu sisi gelapku. Cukup kamu ada di sampingku. Menemaniku di saat seluruh orang menjauh dan tidak menerima kehadiranku. Itu sudah lebih dari cukup."****Kelas XI. Satu tahun yang lalu."Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Teresa begitu Beling menaruh tas mereka berdua di sofa merah yang ada di dalam rumah sepi ini. Rumah ini cukup luas dan bertingkat. Namun Teresa tidak tau dia sedang berada di mana. Yang jelas, rumah ini menarik baginya. Ada piring-piring cekung yang sengaja dijadikan hiasan. Dindingnya juga ada yang dari bata merah, menambah kesan sederhana yang entah kenapa terlihat begitu seni."Pengen aja," jawab Beling lalu duduk di sofa. Teresa akhirnya duduk di sebelah Beling, melihat cowok itu yang sedang memejamkan mata."Ini rumah siapa?""Rumah Om aku.""Om kamu?""Iya sayang.""Apa sih sayang-sayang," cibir Teresa membuat Beling membuka mata lalu terkekeh dengan badan yang sudah kembali d
"Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t
"Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di
"Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa
Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa
Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De
Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo