Saat ini Teresa sedang berjalan di koridor dan selama jam istirahat di hari ini, ia tidak akan ke kantin lagi. Tidak dengan Beling dan kedua temannya, Saka dan Yogi. Ia bahkan tidak memberitahu Rivka dan Varra. Sedikit lagi ia sampai di kelasnya namun seseorang menarik sebelah tangannya.
"What the-"
Raskal langsung menarik Teresa ke kamar mandi yang ada di dekat sana. Tidak kasar namun itu terlalu terburu-buru dan Teresa hanya bisa melihat sebentar wajah Raskal karena cowok itu sudah berbalik badan dan menariknya masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah Raskal melepaskan tarikannya, ia langsung mendengar teriakan Teresa.
"LO TUH APA-APAAN SIH?!"
Raskal menjauh, refleks. "Jangan teriak-teriak bego. Ntar dikiranya gue ngapa-ngapain lo."
"Terus ngapain lo ngajak gue ke sini?!" kalimat itu keluar begitu lancar dari mulut Teresa tak lupa dengan nada galaknya.
"Udah gue bilang jangan teriak-teriak. Dengerin gue dulu."
"Apa?" kata Teresa namun kali ini suaranya tidak sekencang tadi.
"Gue nggak bisa besok. Tadi temen-temen gue ngajakin buat ke basecamp sama main billiard. Intinya gue nggak bisa besok."
Teresa jelas melongo namun ia langsung bisa mengendalikan raut wajahnya.
Apa-apaan tuh? pikir Teresa
"Lo pikir gue bisa besok?" ujar Teresa dengan nada tinggi. "Tadi kan lo yang ngotot buat belajar besok!"
"Suara lo tuh pelanin dikit!" Raskal membentak membuat Teresa mundur namun kini Raskal sadar akan kesalahannya. Tidak seharusnya ia membentak seperti itu. Apalagi hanya karena masalah ini. Padahal dengan perempuan lain Raskal jarang begini. Kecuali pada perempuan yang bersikap kurang ajar padanya. Akhirnya ia menghela napas, "Maaf. Gue gak maksud," katanya. Dan ini adalah kali pertama seorang Raskal minta maaf padanya.
"Terus lo maunya kapan?"
"Kapan?" Raskal malah balik bertanys.
"Kok lo malah balik nanya sih?"
Raskal menghela napas, memilih mengalah. "Terus kapan?" tanyanya. "Gimana kalau hari Rabu sama Jum'at?"
"Gue gak bisa Rabu."
"Emang lo ngapain hari Rabu?"
"Kepo banget lo."
Raskal mendengus. "Kalau gitu hari Kamis sama Jum'at. Gimana?"
"Gue nggk-"
"Gue nggak denger penolakan!"
"Gue nggak bisa Jum'at!"
"Lo harus bisa Jum'at. Inget nilai kita seminggu ini harus bagus."
Teresa memasang tampang keberatannya. Namun tak urung juga ia menyetujuinya. "Oke-oke Jum'at bisa," jawaban dengan wajah
terpaksa itu membuat Raskal menarik sudut
bibirnya. "Tempatnya di mana?"
"Jangan di rumah gue!"
"Jangan di rumah gue!"
Keduanya saling tatap setelah sama-sama mengucapkan hal itu. Mereka hanya diam namun akhirnya Teresa kembali membuka suara.
"Jangan di rumah gue," katanya.
"Gue juga gak mau di rumah gue. Ntar dikiranya lo tuh pacar gue."
"Idih najis banget sih. Siapa juga yang mau dikira pacar lo? Gue sih ogah banget."
"Pokoknya jangan di rumah gue," ucap Raskal.
"Terus di mana?"
"Di mana pun asal jangan di kolong jembatan," kata-kata Raskal membuat Teresa ingin memenggal kepala cowok itu detik ini juga. Terdengar berlebihan tapi kalau kalian berada di posisi Teresa, kalian juga pasti akan setuju dengan pemikiran itu. Lagian Raskal di saat-saat seperti ini masih bisa berkata seperti itu. Dengan gampangnya pula.
"Bisa serius dikit gk lo?"
"Oke serius. Di café aja. Di atasnya-"
"Jangan di café! Gak bakalan konsen. Lo tuh gimana sih," omelnya.
"Terus di mana?"
"Ya mana gue tau."
Raskal tiba-tiba terdiam sejenak dan teringat tempat yang menurutnya cocok untuk belajar. "Di basecamp temen-temen gue mau? Ntar gue bilangin."
"Tenang temen-temen gue orangnya gak seserem yang lo pikir," tambah Raskal.
"Asal gak ada Douglas gue mau."
Tiba-tiba Raskal terkekeh, "Kenapa sama temen gue si Douglas? Dari dulu kan dia ngejar-ngejar lo. Harusnya lo seneng."
"Tuh Kakak kelas sinting banget! Enggak-enggak. Gue nggak mau."
"Takut digrepe-grepe kan?" dua alis Raskal naik turun.
"Gue pernah liat dia nyolek pan-"
"Jangan diterusin!" potong Teresa cepat sebelum Raskal menuntaskan kata-kata biadabnya.
Raskal tertawa geli mengingat betapa gilanya Douglas. Dasar otak cabul. Untung sewaktu itu cowok berbadan besar itu tidak dilempari satu mangkuk kuah bakso yang masih panas oleh Teresa.
"Oke," Raskal masih tertawa. "Jadi gimana? Deal?" ia berdehem pelan untuk meredakan tawanya.
Masih terbayang di kepalanya kejadian itu.
Teresa diam. Ia masih ragu namun akhirnya ia mengangguk, "Deal."
"EH GLAS! Sumpeh lo udah mesen rujak berapa kali? Itu cabe. Astaga," Gathenk geleng-geleng kepala, benar-benar heran ketika melihat Douglas yang membawa sepiring rujak di tangan kanannya.Douglas berjalan untuk duduk di depannya dengan mulut kepedasan lalu cowok itu mengambil minuman esnya yang ada di atas meja. Wajahnya pun sudah merah merambat hingga telinga dan lehernya. Kalau di keadaan seperti ini Douglas tidak terlihat seperti sosok Kakak kelas yang harus ditakuti seperti dulu tetapi lebih mirip sosok teman yang sebaya dengan mereka. Itu mungkin karena kini mereka terbiasa bersama."Itu cabe berapa Glas?" tanya Raskal keheranan. "Kuat banget lo sama pedes.""Yang namanya cowok itu harus kuat sama yang namanya pedes. Ini baru pedes cabe. Gimana sama pedesnya omongan istri lo nanti?" tanyanya Douglas, masih menahan pedas di bibirnya."Ntar kalau perut lo kenapa-napa baru ngeluh-ngeluh. Baru nyesel," kata Verrel yang sedang mengaduk-ngaduk es tehnya de
Sebagian hati Teresa membenci rumahnya sendiri. Itu benar. Jika ada pepatah bilang kalau rumahku adalah istanaku. Maka bagi Teresa: rumahku adalah nerakaku. Cewek itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah ini. Dulunya terasa hangat dan nyaman namun kini seluruh rasa itu telah hilang. Lenyap begitu saja. Tidak ada rasa hangat yang dulu melingkupi mereka. Sekarang yang ada hanya kekacauan. Semuanya terasa datar. Hambar. Suara piring dipecahkan membuat refleks Teresa mundur. Lalu disusul suara panci jatuh ke lantai dan itu menimbulkan bunyi yang sangat tidak enak didengar. "OH! JADI KAMU GITU MAS?! SAMA SI YULIA LAGI?! KAMU TIDUR DI RUMAH DIA? IYAKAN?!" Teresa mundur. Badannya membentur pelan daun pintu rumahnya. Hampir setiap hari ia mendengar keributan ini. "Kamu jangan teriak-teriak Thea! Saya lagicapek." "CAPEK APANYA? CAPEK APA KAMU? KAMU AJA SERING BOLOS NGANTOR!" "Thea!""Apa?! Kamu mau nyangkal lagi?!""Atau kamu mau mukul lagi
Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo
Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De
Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa
"Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa
"Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di
"Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t
"Tidak perlu risau. Tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah terbiasa dengan semuanya."***Teresa sedang duduk, mengawasi seseorang. Perempuan itu duduk di pojokan. Dia sedang berada di satu club malam yang dingin-tempat di mana orang-orang sedang berpesta pora tanpa menyadari sudah jam berapa saat ini. Teresa melihat ponsel yang ada di genggaman tangannya. Sudah jam 12 malam tepat. Seharusnya dia pergi dari sini namun hati kecilnya menyuruh untuk menetap di sini. Pandangannya masih menatap lurus ke arah depan-ke seorang laki-laki yang sedang merenung sendirian dengan minuman alkohol di tangannya."Ling yuk ikutan ke sana," ajak Nita. Beling menoleh padanya dengan wajah lelah namun dia hanya diam. Bibir itu seperti engan membalas ucapannya. "Masa kita ke sini tapi lo gak seneng-seneng sih?""Ling. Lo kenapa?" tangan perempuan itu sudah berada di pundaknya. Beling meliriknya dan menyingkirkannya dengan halus. "Ling?""Nggak lo aja.""Tapi Ling-"
"Di sekitarku selalu ada banyak orang. Namun mereka tidak pernah peduli padaku. Aku selalu saja merasa sendiri dan akhirnya terlupa lagi."***Raskal yang baru saja dari kantin melihat Teresa berjalan linglung di koridor. Cowok itu akhirnya menuju ke Teresa, berjalan di sampingnya. Mengamati perempuan itu. Teresa sedang melamun tapi kakinya terus melangkah. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Raskal di sebelahnya."Sa?" perempuan itu seperti terkejut kecil dan mengarahkan matanya pada Raskal. "Kepentok tembok ntar baru tau rasa. Jalan tuh jangan melamun.""B aja sih.""Gue ada LKS Fisikanya Verrel. Udah isi banyak. Jadi ntar pas ke basecamp kita tinggal belajar aja.""Curang dong?""Curang gimana?""Ya itu minjem LKS temen lo.""Kita kan bisa belajar dari sana.""Tapi tetep aja keles. Sama aja kita nyontek.""Trus lo maunya apa?" Raskal berhenti hingga Teresa ikut berhenti. "Trus lo maunya kita belajar mati
"Kamu tidak harus tahu sisi gelapku. Cukup kamu ada di sampingku. Menemaniku di saat seluruh orang menjauh dan tidak menerima kehadiranku. Itu sudah lebih dari cukup."****Kelas XI. Satu tahun yang lalu."Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Teresa begitu Beling menaruh tas mereka berdua di sofa merah yang ada di dalam rumah sepi ini. Rumah ini cukup luas dan bertingkat. Namun Teresa tidak tau dia sedang berada di mana. Yang jelas, rumah ini menarik baginya. Ada piring-piring cekung yang sengaja dijadikan hiasan. Dindingnya juga ada yang dari bata merah, menambah kesan sederhana yang entah kenapa terlihat begitu seni."Pengen aja," jawab Beling lalu duduk di sofa. Teresa akhirnya duduk di sebelah Beling, melihat cowok itu yang sedang memejamkan mata."Ini rumah siapa?""Rumah Om aku.""Om kamu?""Iya sayang.""Apa sih sayang-sayang," cibir Teresa membuat Beling membuka mata lalu terkekeh dengan badan yang sudah kembali d
"Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t
"Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di
"Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa
Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa
Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De
Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo