"Jadi lo gak mau cerita gitu Sa?"
Perkataan Varra membuat Teresa yang sedari tadi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan mengintip dari sela-sela jarinya. Mereka bertiga sedang berada di kantin dan duduk di satu meja panjang. Letak meja itu ada di dekat pedagang yang sedang melayani banyak murid yang berebutan membeli nasi.
Rivka menatap Teresa dengan alis mengerut, bertanya-tanya. Ada apa dengannya. Varra yang ditatap Rivka pun hanya mengendikan bahunya, tidak tau. Ia benar-benar tidak tau kan? Dan juga Teresa sedari tadi tidak mau berbicara sejak masuk ke dalam kelas. Setelah keluar dari ruang kepala sekolah tentunya.
Merasa didiamkan meski ditatap oleh Teresa membuat Varra kembali bertanya, "Kalau gitu lo lo pada gak mau makan nih? Kita ke sini mau makan kan? Gue udah laper," keluh Varra. "Gue mau beli siomay. Lo berdua gak makan?"
Teresa merasa mood makannya hilang hari ini. Gimana bisa ia makan kalau pikirannya melayang-layang pada kejadian tadi? Andai ia tidak datang di jam yang sama dengan Raskal. Andai ia tidak manjat dengan Raskal. Andai kejadian tadi tidak di lihat Bu Is. Andai..., ah terlalu banyak kata andai dan Teresa tau penyesalan selalu datang terakhir.
"Gue nggak makan deh. Lo berdua aja," akhirnya Teresa membuka suara.
"Ntar awas lo laper. Inget maag lo pernah kambuh di kelas gara-gara gak makan," peringat Rivka.
"Gak deh. Lo aja berdua."
"Trus lo nontonin kita berdua makan, gitu?" tanya Varra.
"Yah, itung-itung gue ngirit."
"Ngirit-ngirit. Besok aja lo belanja baju di mall."
"Ya udah sih Var. Yuk kita beli makan.
Eh Sa kita beli makan dulu ya. Lo jangan
kemana-mana. Jagain ni tempat."
"Hm." hanya itu balasan dari Teresa. Perempuan itu lebih memilih diam di tempatnya sambil mengamati keadaan sekitar setelah Varra dan Rivka pergi.
Di sekolahnya hanya ada satu kantin. Dan letak kantin ini ada di belakang, tepat di kawasan kelas X. Oleh karena itu yang merajai kantin ini adalah angkatan Teresa, yaitu kelas XII.
Begitu pandangan Teresa tertuju pada pintu kantin sekolah, tiga cowok baru saja tiba di kantin dengan wajah yang... lumayan terlihat kesal. Tapi itu hanya asumsi Teresa semata. Begitu pandangan Teresa dan Beling bertemu, cewek itu mengalihkan pandangnya.
Cowok itu, mantannya mempunyai sejuta rahasia yang Teresa sendiri tidak pernah ketahui dan pahami. Dulu, sewaktu Teresa masih pacaran dengannya, cewek itu bahkan merasakan bahwa ia tidak mengenal Beling sama sekali yang notabene adalah pacaranya.
"Hai, Sa," sapanya ketika cowok itu berhasil menghampiri Teresa. Dan Teresa tidak bisa bohong pada dirinya sendiri kalau ia selalu menyukai cara Beling tersenyum. "Sendiri?"
"Nggak," katanya dengan nada dijutek-jutekkan. "Sama Varra sama Rivka."
"Gue boleh duduk?"
Teresa ingin menolaknya namun cowok itu sudah lebih dulu duduk di depannya. Yogi dan Saka sudah mengungsi di satu meja dekat mereka. Kedua cowok itu tampak memesan es teh poci di dekatnya. Terus terang, ketika mengingat bagaimana brengseknya seorang Beling membuatnya Teresa kembali merasa muak.
"Sa-"
"Lo ngapain sih duduk di sini?!" tanya Teresa galak.
"Ya kenapa? Lagian boleh-boleh aja kan?" Beling berkata santai. "Gak mau manggil aku Gama lagi?"
Teresa hanya diam. Lebih memilih mendiamkannya mungkin keputusan yang tepat. Nama cowok itu sebenarnya adalah Gamanio Nicholas Martanta. Namun sejak dulu, banyak orang yang memanggilnya Beling atau menyeletuk nama Beling untuknya dan sampai sekarang nama itu terbukti terkenal di mana-mana. Bukan hanya di sekolah ini tapi di kampus dan di sekolah dekat sini cowok itu juga dikenal sebagai sosok yang paling sering dibicarakan.
Oh ingatkan Teresa bahwa Raskal juga.
"Gak usah pake aku-kamu. Basi tau gak?"
"Loh emang kenapa? Dulu waktu kita pacaran kita ngomong pake aku-kamu."
"Itu dulu. Sebelum gue tau gimana brengseknya lo," kata Teresa mencengkram erat-erat roknya yang ada di bawah meja. Sengaja ia menekankan kata brengsek di ucapannya agar Beling sadar betapa tak sukanya Teresa pada cowok itu.
"Oke," Beling memberi jeda untuk mengambil napas sebentar. "Kayanya kita ganti topik aja. Lo gak makan?" tanya Beling, halus. Mencoba mengalihkan pembicaraan yang sempat diungkit Teresa tadi. Namun, Teresa masih diam. Menatap Beling dengan seribu satu rasa benci yang ia tanam pada dirinya sendiri untuk cowok yang ada di hadapannya.
"Lo mau tau jawabannya?" tanya Teresa sambil berdiri. Sumpah, berlama-lama di sini apalagi bersama Beling membuatnya jengkel. "Jawabannya. ENG GAK," kata Teresa lalu pergi meninggalkan Beling.
Rivka dan Varra yang menyaksikan itu dari jauh hanya bisa diam. Tidak mau ikut campur. Beling menatap Teresa dengan pandangan yang hanya dirinya sendiri yang bisa mengerti arti tatapan itu.
Bersalah dan menyesal.
Saat ini Teresa sedang berjalan di koridor dan selama jam istirahat di hari ini, ia tidak akan ke kantin lagi. Tidak dengan Beling dan kedua temannya, Saka dan Yogi. Ia bahkan tidak memberitahu Rivka dan Varra. Sedikit lagi ia sampai di kelasnya namun seseorang menarik sebelah tangannya. "What the-" Raskal langsung menarik Teresa ke kamar mandi yang ada di dekat sana. Tidak kasar namun itu terlalu terburu-buru dan Teresa hanya bisa melihat sebentar wajah Raskal karena cowok itu sudah berbalik badan dan menariknya masuk ke dalam kamar mandi. Setelah Raskal melepaskan tarikannya, ia langsung mendengar teriakan Teresa. "LO TUH APA-APAAN SIH?!" Raskal menjauh, refleks. "Jangan teriak-teriak bego. Ntar dikiranya gue ngapa-ngapain lo." "Terus ngapain lo ngajak gue ke sini?!" kalimat itu keluar begitu lancar dari mulut Teresa tak lupa dengan nada galaknya. "Udah gue bilang jangan teriak-teriak. Dengerin gue dulu." "Apa?" kata
"EH GLAS! Sumpeh lo udah mesen rujak berapa kali? Itu cabe. Astaga," Gathenk geleng-geleng kepala, benar-benar heran ketika melihat Douglas yang membawa sepiring rujak di tangan kanannya.Douglas berjalan untuk duduk di depannya dengan mulut kepedasan lalu cowok itu mengambil minuman esnya yang ada di atas meja. Wajahnya pun sudah merah merambat hingga telinga dan lehernya. Kalau di keadaan seperti ini Douglas tidak terlihat seperti sosok Kakak kelas yang harus ditakuti seperti dulu tetapi lebih mirip sosok teman yang sebaya dengan mereka. Itu mungkin karena kini mereka terbiasa bersama."Itu cabe berapa Glas?" tanya Raskal keheranan. "Kuat banget lo sama pedes.""Yang namanya cowok itu harus kuat sama yang namanya pedes. Ini baru pedes cabe. Gimana sama pedesnya omongan istri lo nanti?" tanyanya Douglas, masih menahan pedas di bibirnya."Ntar kalau perut lo kenapa-napa baru ngeluh-ngeluh. Baru nyesel," kata Verrel yang sedang mengaduk-ngaduk es tehnya de
Sebagian hati Teresa membenci rumahnya sendiri. Itu benar. Jika ada pepatah bilang kalau rumahku adalah istanaku. Maka bagi Teresa: rumahku adalah nerakaku. Cewek itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah ini. Dulunya terasa hangat dan nyaman namun kini seluruh rasa itu telah hilang. Lenyap begitu saja. Tidak ada rasa hangat yang dulu melingkupi mereka. Sekarang yang ada hanya kekacauan. Semuanya terasa datar. Hambar. Suara piring dipecahkan membuat refleks Teresa mundur. Lalu disusul suara panci jatuh ke lantai dan itu menimbulkan bunyi yang sangat tidak enak didengar. "OH! JADI KAMU GITU MAS?! SAMA SI YULIA LAGI?! KAMU TIDUR DI RUMAH DIA? IYAKAN?!" Teresa mundur. Badannya membentur pelan daun pintu rumahnya. Hampir setiap hari ia mendengar keributan ini. "Kamu jangan teriak-teriak Thea! Saya lagicapek." "CAPEK APANYA? CAPEK APA KAMU? KAMU AJA SERING BOLOS NGANTOR!" "Thea!""Apa?! Kamu mau nyangkal lagi?!""Atau kamu mau mukul lagi
Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo
Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De
Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa
"Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa
"Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di
"Tidak perlu risau. Tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah terbiasa dengan semuanya."***Teresa sedang duduk, mengawasi seseorang. Perempuan itu duduk di pojokan. Dia sedang berada di satu club malam yang dingin-tempat di mana orang-orang sedang berpesta pora tanpa menyadari sudah jam berapa saat ini. Teresa melihat ponsel yang ada di genggaman tangannya. Sudah jam 12 malam tepat. Seharusnya dia pergi dari sini namun hati kecilnya menyuruh untuk menetap di sini. Pandangannya masih menatap lurus ke arah depan-ke seorang laki-laki yang sedang merenung sendirian dengan minuman alkohol di tangannya."Ling yuk ikutan ke sana," ajak Nita. Beling menoleh padanya dengan wajah lelah namun dia hanya diam. Bibir itu seperti engan membalas ucapannya. "Masa kita ke sini tapi lo gak seneng-seneng sih?""Ling. Lo kenapa?" tangan perempuan itu sudah berada di pundaknya. Beling meliriknya dan menyingkirkannya dengan halus. "Ling?""Nggak lo aja.""Tapi Ling-"
"Di sekitarku selalu ada banyak orang. Namun mereka tidak pernah peduli padaku. Aku selalu saja merasa sendiri dan akhirnya terlupa lagi."***Raskal yang baru saja dari kantin melihat Teresa berjalan linglung di koridor. Cowok itu akhirnya menuju ke Teresa, berjalan di sampingnya. Mengamati perempuan itu. Teresa sedang melamun tapi kakinya terus melangkah. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Raskal di sebelahnya."Sa?" perempuan itu seperti terkejut kecil dan mengarahkan matanya pada Raskal. "Kepentok tembok ntar baru tau rasa. Jalan tuh jangan melamun.""B aja sih.""Gue ada LKS Fisikanya Verrel. Udah isi banyak. Jadi ntar pas ke basecamp kita tinggal belajar aja.""Curang dong?""Curang gimana?""Ya itu minjem LKS temen lo.""Kita kan bisa belajar dari sana.""Tapi tetep aja keles. Sama aja kita nyontek.""Trus lo maunya apa?" Raskal berhenti hingga Teresa ikut berhenti. "Trus lo maunya kita belajar mati
"Kamu tidak harus tahu sisi gelapku. Cukup kamu ada di sampingku. Menemaniku di saat seluruh orang menjauh dan tidak menerima kehadiranku. Itu sudah lebih dari cukup."****Kelas XI. Satu tahun yang lalu."Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Teresa begitu Beling menaruh tas mereka berdua di sofa merah yang ada di dalam rumah sepi ini. Rumah ini cukup luas dan bertingkat. Namun Teresa tidak tau dia sedang berada di mana. Yang jelas, rumah ini menarik baginya. Ada piring-piring cekung yang sengaja dijadikan hiasan. Dindingnya juga ada yang dari bata merah, menambah kesan sederhana yang entah kenapa terlihat begitu seni."Pengen aja," jawab Beling lalu duduk di sofa. Teresa akhirnya duduk di sebelah Beling, melihat cowok itu yang sedang memejamkan mata."Ini rumah siapa?""Rumah Om aku.""Om kamu?""Iya sayang.""Apa sih sayang-sayang," cibir Teresa membuat Beling membuka mata lalu terkekeh dengan badan yang sudah kembali d
"Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t
"Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di
"Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa
Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa
Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De
Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo