Beranda / Romansa / 180 Derajat / 4. Jujur Lo kenapa?

Share

4. Jujur Lo kenapa?

Penulis: Ni wayan poppi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-19 10:48:46

"Eh muka lo kenapa kusut gitu Kal?" tanya Douglas ketika Raskal berjalan menuju ke arah pertigaan koridor kelas X dan XI.

Ada 3 alasan mengapa teman-temannya berdiam di sini. YANG PERTAMA, mereka di sini mau MALAK uang jajan adik kelas dengan embel-embel senior. YANG KEDUA, mau CAPER ke adik kelas. YANG KETIGA, males ke kantin karena sedang ramai.

Lagi pula, siapa yang tidak takut dengan badan besar Douglas? Baru saja mereka, alias adik kelas yang keluar dari kelas itu hendak menuju ke kantin, mereka langsung mengambil jalur pintas agar tidak melewati Douglas, Verrel, dan Gathenk. Sebagian dari mereka pun memilih masuk kembali ke dalam kelas. Benar-benar payah, pikir Raskal.

"Lo kaya habis kena kurang point dari Pak Ahmad," kata Gathenk. "50 apa 100 Kal?" tanyanya.

"Berisik lo Babi," kata Raskal spontan.

"Gue bukan Babi," gerutu Gathenk.

"Ngejawab lagi lo!" seru Raskal tiba-tiba galak.

"Berantem-berantem aja lo berdua," Verrel melerai Raskal dan Gathenk. Gathenk lantas memasang wajah tak berdosanya.

"Najis muka lo gak usah sok imut Thenk," kata Douglas.

"Adek salah apa Bang Raskal?" kata Gathenk bersembunyi di belakang badan Douglas. Dengan alaynya dia mengerjapkan mata secara lambat-lambat pada Raskal yang suasana hatinya sedang panas. "Aku tuh gak bisa diginiiinnnnnn," katanya lagi dengan nada di lebay-lebay-kan yang justru terdengar sangat aneh untuk seorang cowok.

"Lo kaya meme-meme di I*******m," ujar Verrel jijik. "Lo cowok. Jangan melambai gitu ah."

"Gue cuman pengin merubah suasana. Kayanya tuh cowok taksiran gue lagi panas hati."

"Jadi lo naksir Raskal?" kata Douglas menoleh ke belakang, raut wajahnya tampak jelas benar-benar jijik.

"Kalau gue cewek sih iya," jawab Gathenk. "Mungkin kalau gue lahir kembali ke kehidupan nanti jadi cewek, gue bakalan naksir Raskal. Cowok aja panes dingin ngeliat Raskal."

"Sabar Douglas, untung Gathenk temen lo," kata Douglas pada dirinya sendiri. Gathenk yang mendengar itu meringis pelan.

"Gue bercanda kali. Tapi serius. Yang, 'cowok juga panes dingin kali ngeliat Raskal' nah itu bener."

"Wei-wei ada yang mau lewat. Waspada-waspada. Gue udah laper," kata Douglas.

"Lo sih makan aja Glas. Apa-apa makan. Apa-apa makan," cibir Verrel. "Pantes lo gak kurus-kurus."

"Yaiyalah. Makan itu nggak ada duanya. Makan itu juga ibadah tau. Lagian lo mau mati gara-gara gak makan?"

"Sejak kapan makan itu ibadah?" bisik Gathenk pada Verrel membuat cowok itu mengendikkan bahunya, tak peduli.

"Eh gue denger," toleh Douglas ketika ia mulai menghadang koridor sendirian. Raskal terlihat berdiri di sebelah Verrel dengan menatap lurus pada Douglas yang sebentar lagi akan menangkap mangsanya.

"Gak ikutan lo Thenk? Lumayan buat beli kartu wifi.id," kata Verrel menggoda Gathenk.

Mendengar itu Gathenk langsung semangat. "Ikut-ikut gue. Kalau itu sih gak nolak!" ujarnya semangat.

Padahal kalau Gathenk mau, Gathenk bisa ke rumah Raskal karena di rumah Raskal ada fasilitas wifi yang selalu cowok itu gunakan untuk bermain sosial media atau game online. Contohnya DOTA seperti permainan kesukaan Gathenk atau Get Rich seperti permainan yang Verrel suka. Selama dihukum, Raskal hanya bisa menghilangkan jenuhnya dengan PS kesayangannya.

"Eh bagi duit dong. Lima ribu," kata Gathenk pada seorang cowok yang baru saja akan melewati mereka. "Cepetan bagi. Buset dah lo lama bener," paksanya. Cowok itu akhirnya memberi Gathenk uang lima ribu.

"Nah gini dong. Jadi kan lo boleh lewat," katanya menepuk-nepuk punggung cowok itu selama tiga kali, sok akrab. Cowok itu akhirnya berlalu dari mereka setelah memberi uang.

"Cari mati tuh orang," kata Raskal ketika melihat Teguh berjalan mendekati mereka. Teguh merupakan satu spesies dengan Erwin cuman bedanya cowok itu beda kelas dengan Raskal sehingga kesempatan untuk 'memperbudak' cowok itu hanya sedikit.

"Eh Teguh sini lo!" kata Douglas dengan suara yang sengaja diseram-seramkan. Teguh yang baru sadar di depannya ada Douglas, langsung berputar balik dan ingin lari darinya namun Douglas sudah menarik cowok itu dan membawanya mendekat.

"Main kabur-kabur aja. Mau ke kantin kan lo?" tanyanya. "Woi gue ngomong sama lo!

Jangan dikacangin! Tuli lo?"

Teguh meneguk ludahnya, "Iya gue mau ke kantin," cicit Teguh.

"Nah berhubung lo mau ke kantin. Beliin gue makanan gih sono. Apa aja terserah yang penting gue makan. Bakso juga boleh. Dibungkus tanpa kuah."

"Tapi gue cuman bekel 10 ribu."

"Ya itu masalah elo. Pokoknya gue gak mau tau. Lo harus beliin gue itu. Lima menit lo gak balik-balik, gue robohin itu warung Nyak lo."

"E-eh jangan," kata Teguh panik lalu menghela napas. Alamat ia tidak makan hari ini. Douglas itu kalau ngacem emang suka gak main-main. "Iya-iya gue beliin," katanya lagi.

"Ya udah sana lo," kata Douglas mendorong badan Teguh. "Sana!" bentak Douglas membuat Teguh merasa mengecil seperti kurcaci lalu ia mengangguk dan cepat-cepat menuju ke kantin.

"Nama doang Teguh, digertak aja takut!"

ucap Douglas.

Gathenk tertawa, "Lo tuh Glas. Emangnya Nyak dia punya warung?"

"Punya. Deket rumah dia. Itu tuh yang ada dikiri jalan. Namanya warung Bu Ani."

"Untung gak warung Bu Sabar," kekeh Verrel. 

"Waktu gue jemput adik gue yang lagi main layangan di lapangan, gue liat dia bantuin Nyaknya di warung. Lagi nyuci piring," kata Douglas dengan kedua tangan di pinggang.

"Lo bertiga gak kantin?"

"Gue sih gimana si Raskal. Gue gak laper-laper banget," kata Gathenk melirik Raskal yang ternyata tengah melamun.

"EH TERESA!" teriak Douglas membuat Raskal menoleh dengan secepat kilat. Namun detik berikutnya wajah laki-laki itu kembali datar karena sadar telah dibohongi oleh temannya.

Douglas, Gathenk dan Verrel lantas tertawa bersama. "Ketauan ni yeee lagi mikirin Teresa," Douglas memberi senyum paling menyebalkan yang pernah Raskal lihat. "Tuh adik kelas gue emang paling montok banget dari dulu," katanya lagi dengan suara tok berlebihan di kata montok.

"Eh inget lo masih kelas XII," kata Ghatenk.

"Yang penting gue pernah jadi senior lo-lo pada."

Gathenk melipat tangannya di dada. "Kalau diinget-inget geli banget gue dulu manggil Douglas pake Kakak. Kak Douglas. Kak Douglas."

"Lo kan dulu takut sama gue," kata Douglas dengan alis naik turunnya. "Cuman ni curut aja yang berani sama gue," katanya menunjuk Raskal.

"Jangan lupain dia juga," kata Raskal. Mata cowok itu sudah tertuju pada seorang lelaki yang sedang berjalan di tengah-tengah dua temannya. Namanya Beling. Rumor yang beredar selama ini adalah bahwa cowok itu tengah menanam tanaman Ganja di rumahnya. Pernah ketauan membawa sekotak tembakau ke sekolah. Dan yang terakhir, nama cowok itu akan dicatat buku kelulusan sekolah sebagai berandalan kelas berat di SMA Nusantara. Berdampingan dengan nama Raskal.

"Beling," sebut Raskal.

"Eh ada Yogi sama Saka juga tuh," kata Gathenk. Sekarang ketiga orang itu menatap Raskal, Douglas, Verrel dan Gathenk. Para cowok biasanya akan tersinggung ditatap seperti itu oleh orang yang jenis gendernya sama dengan mereka.

Sejak kelas X. Kelompok Raskal dan Beling tidak pernah bisa akur. Rasa selalu ingin 'diatas' selalu menjadi perkara mereka. Saat-saat di mana ego sedang tinggi-tingginya memang menguasai masa-masa remaja. Apalagi SMA.

"Kenapa lo berempat ngeliat gue kaya gitu?" tanya Beling ketika ia sudah berada di dekat keempatnya. Laki-laki itu dengan angkuh menatap Raskal yang menaikan sebelah alisnya. "Merasa sok jagoan?" tanya Beling.

"Jangan di sini Anjing," desis Raskal pelan, menahan dirinya untuk tidak menerjang Beling sekarang juga.

"Jaga tuh mata," kata Beling. Beling akhirnya berjalan meninggalkan tempat itu. Keempatnya berdiam menatap cowok itu dengan pandangan geram. Raskal yang sudah tidak bisa menahan dirinya langsung saja berjalan menuju Beling dan mendorong Beling dengan sebelah tangannya ke depan.

"Kal," kata Verrel kaget dengan apa yang dilakukan Raskal. Kejadian itu begitu cepat.

"Maju lo!"

Douglas menggertakkan giginya. Ia tau Beling memang sengaja memancing kemarahan Raskal. Terlebih lagi Raskal memang mudah terpancing.

"Ling dia nantang!" kata Saka.

"Habisin aja Ling," kata Yogi, menimpali perkataan Saka.

"Lo pikir gue takut?" kata Raskal.

"Apa maksud lo?" tanya Beling. Badan cowok itu sudah berada di depan Raskal.

"Seharusnya gue yang nanya. Apa maksud lo ngomong itu?" tanya Raskal. "Lo pikir gue sama temen-temen gue takut?"

Akhirnya Douglas memilih maju, bertindak. Kalau ia tidak segera bertindak untuk melerai sudah pasti mereka akan dikerumuni banyak murid. Dan terus terang Douglas malas. Terlebih lagi hanya karena masalah sepele.

"Buruan lo cabut," kata Douglas pada Beling. "Eh, cabut!" suruhnya lagi.

"Douglas!" seru Raskal marah.

"Lo diem," tunjuk Douglas pada Raskal yang terlihat geram. "Buruan cabut sana. Jangan lewat-lewat sini lagi lo bertiga," katanya membuat Beling akhirnya mengalah. Kalau bukan saja karena Douglas memiliki banyak teman alias seniornya yang lebih ganas dari mereka, sudah pasti Beling akan meladeni Raskal. Akhirnya Beling memilih pergi bersama dengan Yogi dan Saka.

Setelah itu Raskal tanpa aba-aba langsung menarik kerah seragam Douglas. Satu tangannya hendak menonjok wajah Douglas namun kepalan tangan itu jadi melayang di udara. Wajah Douglas tampak datar sedatar-datarnya.

"Gak jadi mukul gue?" tanyanya membuat Raskal mengembuskan napas keras lalu menghempaskan kerah baju itu. Dia tidak bisa melakukan itu. "Jujur lo kenapa Kal?" tanyanya. Kini Douglas, Verrel, dan Gathenk menatap Raskal penuh tanda tanya.

Raskal masih tetap diam. Ketika melihat Teresa, Rivka, dan Varra yang sedang berjalan jauh di depan membuat Raskal berdecak pelan.

"Gue disuruh belajar Fisika selama 3 bulan sama Teresa."

Bab terkait

  • 180 Derajat   5. Just Ex

    "Jadi lo gak mau cerita gitu Sa?" Perkataan Varra membuat Teresa yang sedari tadi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan mengintip dari sela-sela jarinya. Mereka bertiga sedang berada di kantin dan duduk di satu meja panjang. Letak meja itu ada di dekat pedagang yang sedang melayani banyak murid yang berebutan membeli nasi. Rivka menatap Teresa dengan alis mengerut, bertanya-tanya. Ada apa dengannya. Varra yang ditatap Rivka pun hanya mengendikan bahunya, tidak tau. Ia benar-benar tidak tau kan? Dan juga Teresa sedari tadi tidak mau berbicara sejak masuk ke dalam kelas. Setelah keluar dari ruang kepala sekolah tentunya. Merasa didiamkan meski ditatap oleh Teresa membuat Varra kembali bertanya, "Kalau gitu lo lo pada gak mau makan nih? Kita ke sini mau makan kan? Gue udah laper," keluh Varra. "Gue mau beli siomay. Lo berdua gak makan?" Teresa merasa mood makannya hilang hari ini. Gimana bisa ia makan kalau pikirannya melayang-layang pada kejadian

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-19
  • 180 Derajat   6. DEAL!

    Saat ini Teresa sedang berjalan di koridor dan selama jam istirahat di hari ini, ia tidak akan ke kantin lagi. Tidak dengan Beling dan kedua temannya, Saka dan Yogi. Ia bahkan tidak memberitahu Rivka dan Varra. Sedikit lagi ia sampai di kelasnya namun seseorang menarik sebelah tangannya. "What the-" Raskal langsung menarik Teresa ke kamar mandi yang ada di dekat sana. Tidak kasar namun itu terlalu terburu-buru dan Teresa hanya bisa melihat sebentar wajah Raskal karena cowok itu sudah berbalik badan dan menariknya masuk ke dalam kamar mandi. Setelah Raskal melepaskan tarikannya, ia langsung mendengar teriakan Teresa. "LO TUH APA-APAAN SIH?!" Raskal menjauh, refleks. "Jangan teriak-teriak bego. Ntar dikiranya gue ngapa-ngapain lo." "Terus ngapain lo ngajak gue ke sini?!" kalimat itu keluar begitu lancar dari mulut Teresa tak lupa dengan nada galaknya. "Udah gue bilang jangan teriak-teriak. Dengerin gue dulu." "Apa?" kata

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • 180 Derajat   7. Misteri Tulisan Di Mading

    "EH GLAS! Sumpeh lo udah mesen rujak berapa kali? Itu cabe. Astaga," Gathenk geleng-geleng kepala, benar-benar heran ketika melihat Douglas yang membawa sepiring rujak di tangan kanannya.Douglas berjalan untuk duduk di depannya dengan mulut kepedasan lalu cowok itu mengambil minuman esnya yang ada di atas meja. Wajahnya pun sudah merah merambat hingga telinga dan lehernya. Kalau di keadaan seperti ini Douglas tidak terlihat seperti sosok Kakak kelas yang harus ditakuti seperti dulu tetapi lebih mirip sosok teman yang sebaya dengan mereka. Itu mungkin karena kini mereka terbiasa bersama."Itu cabe berapa Glas?" tanya Raskal keheranan. "Kuat banget lo sama pedes.""Yang namanya cowok itu harus kuat sama yang namanya pedes. Ini baru pedes cabe. Gimana sama pedesnya omongan istri lo nanti?" tanyanya Douglas, masih menahan pedas di bibirnya."Ntar kalau perut lo kenapa-napa baru ngeluh-ngeluh. Baru nyesel," kata Verrel yang sedang mengaduk-ngaduk es tehnya de

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • 180 Derajat   8. Bertahan

    Sebagian hati Teresa membenci rumahnya sendiri. Itu benar. Jika ada pepatah bilang kalau rumahku adalah istanaku. Maka bagi Teresa: rumahku adalah nerakaku. Cewek itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah ini. Dulunya terasa hangat dan nyaman namun kini seluruh rasa itu telah hilang. Lenyap begitu saja. Tidak ada rasa hangat yang dulu melingkupi mereka. Sekarang yang ada hanya kekacauan. Semuanya terasa datar. Hambar. Suara piring dipecahkan membuat refleks Teresa mundur. Lalu disusul suara panci jatuh ke lantai dan itu menimbulkan bunyi yang sangat tidak enak didengar. "OH! JADI KAMU GITU MAS?! SAMA SI YULIA LAGI?! KAMU TIDUR DI RUMAH DIA? IYAKAN?!" Teresa mundur. Badannya membentur pelan daun pintu rumahnya. Hampir setiap hari ia mendengar keributan ini. "Kamu jangan teriak-teriak Thea! Saya lagicapek." "CAPEK APANYA? CAPEK APA KAMU? KAMU AJA SERING BOLOS NGANTOR!" "Thea!""Apa?! Kamu mau nyangkal lagi?!""Atau kamu mau mukul lagi

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-10
  • 180 Derajat   9. Dasar Ngerepotin

    Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-10
  • 180 Derajat   10. Luka

    Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • 180 Derajat   11. Rumah Raskal?

    Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • 180 Derajat   12. Mereka Bertengkar lagi

    "Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13

Bab terbaru

  • 180 Derajat   17. Masa lalu 'mereka'

    "Tidak perlu risau. Tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah terbiasa dengan semuanya."***Teresa sedang duduk, mengawasi seseorang. Perempuan itu duduk di pojokan. Dia sedang berada di satu club malam yang dingin-tempat di mana orang-orang sedang berpesta pora tanpa menyadari sudah jam berapa saat ini. Teresa melihat ponsel yang ada di genggaman tangannya. Sudah jam 12 malam tepat. Seharusnya dia pergi dari sini namun hati kecilnya menyuruh untuk menetap di sini. Pandangannya masih menatap lurus ke arah depan-ke seorang laki-laki yang sedang merenung sendirian dengan minuman alkohol di tangannya."Ling yuk ikutan ke sana," ajak Nita. Beling menoleh padanya dengan wajah lelah namun dia hanya diam. Bibir itu seperti engan membalas ucapannya. "Masa kita ke sini tapi lo gak seneng-seneng sih?""Ling. Lo kenapa?" tangan perempuan itu sudah berada di pundaknya. Beling meliriknya dan menyingkirkannya dengan halus. "Ling?""Nggak lo aja.""Tapi Ling-"

  • 180 Derajat   16. Belajar Bersama

    "Di sekitarku selalu ada banyak orang. Namun mereka tidak pernah peduli padaku. Aku selalu saja merasa sendiri dan akhirnya terlupa lagi."***Raskal yang baru saja dari kantin melihat Teresa berjalan linglung di koridor. Cowok itu akhirnya menuju ke Teresa, berjalan di sampingnya. Mengamati perempuan itu. Teresa sedang melamun tapi kakinya terus melangkah. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Raskal di sebelahnya."Sa?" perempuan itu seperti terkejut kecil dan mengarahkan matanya pada Raskal. "Kepentok tembok ntar baru tau rasa. Jalan tuh jangan melamun.""B aja sih.""Gue ada LKS Fisikanya Verrel. Udah isi banyak. Jadi ntar pas ke basecamp kita tinggal belajar aja.""Curang dong?""Curang gimana?""Ya itu minjem LKS temen lo.""Kita kan bisa belajar dari sana.""Tapi tetep aja keles. Sama aja kita nyontek.""Trus lo maunya apa?" Raskal berhenti hingga Teresa ikut berhenti. "Trus lo maunya kita belajar mati

  • 180 Derajat   15. Setahun yang lalu

    "Kamu tidak harus tahu sisi gelapku. Cukup kamu ada di sampingku. Menemaniku di saat seluruh orang menjauh dan tidak menerima kehadiranku. Itu sudah lebih dari cukup."****Kelas XI. Satu tahun yang lalu."Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Teresa begitu Beling menaruh tas mereka berdua di sofa merah yang ada di dalam rumah sepi ini. Rumah ini cukup luas dan bertingkat. Namun Teresa tidak tau dia sedang berada di mana. Yang jelas, rumah ini menarik baginya. Ada piring-piring cekung yang sengaja dijadikan hiasan. Dindingnya juga ada yang dari bata merah, menambah kesan sederhana yang entah kenapa terlihat begitu seni."Pengen aja," jawab Beling lalu duduk di sofa. Teresa akhirnya duduk di sebelah Beling, melihat cowok itu yang sedang memejamkan mata."Ini rumah siapa?""Rumah Om aku.""Om kamu?""Iya sayang.""Apa sih sayang-sayang," cibir Teresa membuat Beling membuka mata lalu terkekeh dengan badan yang sudah kembali d

  • 180 Derajat   14. Tolong berhenti berpura - pura

    "Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t

  • 180 Derajat   13. Peduli?

    "Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di

  • 180 Derajat   12. Mereka Bertengkar lagi

    "Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa

  • 180 Derajat   11. Rumah Raskal?

    Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa

  • 180 Derajat   10. Luka

    Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De

  • 180 Derajat   9. Dasar Ngerepotin

    Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo

DMCA.com Protection Status