Beranda / Romansa / 180 Derajat / 8. Bertahan

Share

8. Bertahan

Penulis: Ni wayan poppi
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-10 01:19:25

Sebagian hati Teresa membenci rumahnya sendiri. Itu benar. Jika ada pepatah bilang kalau rumahku adalah istanaku. Maka bagi Teresa: rumahku adalah nerakaku. Cewek itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah ini. Dulunya terasa hangat dan nyaman namun kini seluruh rasa itu telah hilang. Lenyap begitu saja. Tidak ada rasa hangat yang dulu melingkupi mereka. Sekarang yang ada hanya kekacauan. Semuanya terasa datar. Hambar.

Suara piring dipecahkan membuat refleks Teresa mundur. Lalu disusul suara panci jatuh ke lantai dan itu menimbulkan bunyi yang sangat tidak enak didengar.

"OH! JADI KAMU GITU MAS?! SAMA SI YULIA LAGI?! KAMU TIDUR DI RUMAH DIA? IYAKAN?!"

Teresa mundur. Badannya membentur pelan daun pintu rumahnya. Hampir setiap hari ia mendengar keributan ini.

"Kamu jangan teriak-teriak Thea! Saya lagi

capek."

"CAPEK APANYA? CAPEK APA KAMU? KAMU AJA SERING BOLOS NGANTOR!"

"Thea!"

"Apa?! Kamu mau nyangkal lagi?!"

"Atau kamu mau mukul lagi?"

"Thea tolong. Apa gak cukup masalah Teddy? Jangan ditambah-tambah lagi."

"TEDDY UDAH MENINGGAL! DAN KAMU YANG NAMBAH-NAMBAH MASALAH! ITU SEMUA GARA-GARA KAMU NGANGKAT ANAK SIALAN ITU!"

"Thea!"

"APA?! KAMU PIKIR AKU GAK CAPEK MAS?"

"Thea cukup Thea."

"CUKUP KAMU BILANG?! SEJAK KAMU NGANTOR DI SANA. KAMU BERUBAH TAU MAS! AKU JUGA CAPEK!"

"THEA!"

"APA?! MAU NYANGKAL APA LAGI KAMU?!"

Suara pukulan membuat Teresa memejamkan matanya. Setelah itu hening. Teresa tak mendengar apa-apa lagi. Kepalanya terasa pusing. Namun kali ini memang benar-benar hening setelah teriakan-teriakan itu. Teresa membuka matanya dengan perlahan. Ia masih belum berani menolong. Masih belum berani membela. Bagai patung. Ia hanya diam di tempat tanpa melakukan apa-apa.

"Kamu cuman bisanya mukul aja! Tapi tetep aku nggak bakalan diem!"

"Halah udahlah! Lama-lama saya capek juga!"

Teresa melihat Ayahnya, Theo berjalan keluar dari dapur. Theo kaget dengan kehadiran Teresa di rumah namun pria itu hanya menatapnya sekejap saja dan akhirnya tetap berjalan menuju keluar rumah-meninggalkan rumah yang dulu selalu memberikannya kenyaman. Meninggalkan rumah yang selalu menjadi tempat mereka berteduh dari sinar matahari dan hujan. Meninggalkan rumah yang sudah ditempati Teresa sejak kecil, sejak ia belum bisa merangkak dan berjalan.

Kadang kala di saat Teresa sendiri, ia memikirkan banyak hal dan merindukan suasana rumahnya yang dulu. Kenyamannya. Keamannya. Dan kegilaannya. Dulu di rumah ini, saat ada Teddy, rasanya begitu nyaman. Penuh canda dan tawa. Tak terhitung sudah berapa kali Teddy melakukan hal itu dengan mudah.

Namun setelah Teddy pergi, rumah ini terasa begitu hampa. Rumah ini seperti kehilangan penopangnya karena itu. Tidak ada lagi canda. Tidak ada lagi tawa. Dan tidak ada lagi senyuman yang mampu membuat Teresa merasa terlindungi olehnya. Tidak ada lagi Abang yang akan menjaganya dan cemas dengan keadaannya yang belum pulang atau bermain terlalu lama di rumah teman. Semuanya telah berlalu menjadi kenangan yang tidak akan pernah Teresa lupakan dalam hidupnya. Kita tidak akan pernah sadar bahwa waktu bisa berjalan secepat yang tidak kita duga.

Suara pecahan kembali terdengar yang membuat Teresa tersadar dari lamunannya dan berjalan dengan buru-buru menuju ke arah dapur. Keadaan dapur: hancur. Ia melihat Mamanya duduk di lantai dengan pecahan-pecahan kaca piring yang ada di dekatnya.

"Ma," panggil Teresa dengan suara lembut membuat Thea menatapnya. Teresa berjongkok di depannya dan menyingkirkan sedikit pecahan-pecahan itu. "Ma jangan na-"

"Mau ngapain kamu?!" Teresa tersentak mendengar itu. "Gak usah deket-deket!"

"Ma tapi-"

"Apa?! Sana-sana ke kamar kamu! Nggak usah urusin saya!"

"Ma jangan kaya gini."

"Kenapa emangnya?!" balas Thea dengan suara keras. "Seharusnya kamu yang mati bukan Teddy! Anak saya jadi meninggal gara-gara kamu. Tau?!"

"Mama Sa-"

"Nggak usah panggil saya Mama! Saya

nggak punya anak kaya kamu!" Teresa diam, membiarkan Thea meluapkan seluruh emosinya.

"Dasar anak pembawa sial!"

Teresa masih diam, menikmati seluruh caci maki yang semakin hari semakin membuka luka yang sudah menganga lebar di hatinya. Namun Teresa sama sekali tidak peduli. Perempuan rapuh itu mendekat dan sebelah tangannya terulur untuk mengusap pipi Mamanya yang berlinang air mata namun Thea menyentaknya sehingga Teresa mencobanya lagi. Tangannya sedikit bergetar menyentuh permukaan wajah Mamanya yang sedang menatapnya dengan pandangan kosong. Jenis pandangan melamun.

"Saya harus bagaimana lagi supaya Mama bisa sayang sama saya Ma?" tanya Teresa. Mata teduh itu menatapnya penuh luka. Sorot rindu itu menari-nari dan makin meliar di matanya. "Saya gak pernah minta apa-apa sama Mama. Saya tau kejadian itu pasti buat Mama tambah benci sama saya. Tapi apa gak bisa sekali aja Mama anggep saya sebagai anak Mama?" tanya Teresa sambil membersihkan air mata itu. 

Tiba-tiba saja ia teringat Teddy yang selalu mendapatkan seluruh curahan kasih sayang dari orang-orang yang ada di dekatnya. 

"Saya rela diperlakukan seperti apapun termasuk seperti binatang kalau itu bisa membuat Mama anggep saya sebagai anak Mama."

Teresa menjauhkan tangannya dan tersenyum kecil. Senyum yang hanya bisa diciptakan Teddy. Senyum yang mampu membuat Theo pulang ke rumah.

"Maafin Papa Ma. Mungkin dia lagi capek. Nanti saya telpon dia supaya pulang. Mama nggak usah khawatir."

"Bagus," kata Thea setelah lama terdiam. "Bagus kalau kamu nyadar harus ngelakuin apa."

"Kamu tau? Saya berharap kamu yang mati.

Bukan Teddy."

"Iya saya tau Ma."

"Seharusnya kamu pergi dari sini. Kamu cuman anak angkat. Seharusnya kamu sadar posisi kamu."

Teresa diam mendengarnya. Ia sudah diusir secara langsung dengan kata-kata itu. Tapi ia tidak mungkin pergi dari rumah ini. Cuman rumah ini tempat tinggalnya. Cuman rumah ini yang bisa menjadi tempatnya bersembunyi dari realitas yang ada. Teresa tidak mungkin meninggalkan Papa dan Mamanya. Teresa hanya punya mereka. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Asal-usulnya pun tidak jelas. Hal itu kembali membuatnya terpukul.

"Saya obatin luka Mama ya?" tanya Teresa mengalihkan pembicaraan ketika melihat luka kecil di dahi sebelah kiri Thea.

"Nggak usah. Saya bisa ngobatin sendiri."

Wanita itu berdiri yang membuat Teresa mendongak menatapnya lalu ikut berdiri namun tetap saja senyum penuh kesabaran itu tidak lepas dari bibirnya. Seberapa kali ia di caci. Seberapa kali ia disakiti. Seberapa kali ia diperlakukan tidak pantas. Teresa tidak akan pernah membalas. Ia masih 'tau diri' pada orang yang membesarkannya dulu meski sifat nakal yang ia miliki tidak akan pernah hilang dari Teresa.

"Seharusnya pas saya nemu kamu di teras saya buang aja kali ya di panti? Bodoh saya ngasi Theo ngangkat kamu sebagai anak."

Thea akhirnya memilih pergi meninggalkan Teresa. Teresa kemudian bersender di dinding dan menghela napas karena lagi-lagi perkataan yang keluar dari mulut Mamanya itu menyakiti hatinya. Ia mengambil handphone-nya dan mencari sebuah foto. Foto yang selalu menjadi penyemangat Teresa ketika Thea dan Theo tidak mau menyemangatinya. Mungkin Theo lupa dan Thea tidak mau peduli. Atau bisa jadi keduanya tidak peduli padanya.

Akhirnya foto itu ia lihat kembali. Fotonya dengan Teddy saat masih SD dengan seragam putih merah lengkap dengan topi upacara. Waktu itu acara 17 Agustus. Teresa terpilih sebagai pengibar bendera yang berada di samping kanan dan Teddy di sebelah kiri. Anak laki-laki itu terlihat senang sehingga mengajak Teresa berfoto saat upacara sudah selesai. Waktu itu yang memfoto mereka adalah Theo yang belum terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan.

Tapi kembali lagi pada kenyataan. Untuk yang kesekian kalinya, Teresa memilih tetap bertahan. Tetap begini dan mencoba sebisanya untuk membuat hati Thea luluh kepadanya.

Bab terkait

  • 180 Derajat   9. Dasar Ngerepotin

    Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-10
  • 180 Derajat   10. Luka

    Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • 180 Derajat   11. Rumah Raskal?

    Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • 180 Derajat   12. Mereka Bertengkar lagi

    "Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • 180 Derajat   13. Peduli?

    "Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-22
  • 180 Derajat   14. Tolong berhenti berpura - pura

    "Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-31
  • 180 Derajat   15. Setahun yang lalu

    "Kamu tidak harus tahu sisi gelapku. Cukup kamu ada di sampingku. Menemaniku di saat seluruh orang menjauh dan tidak menerima kehadiranku. Itu sudah lebih dari cukup."****Kelas XI. Satu tahun yang lalu."Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Teresa begitu Beling menaruh tas mereka berdua di sofa merah yang ada di dalam rumah sepi ini. Rumah ini cukup luas dan bertingkat. Namun Teresa tidak tau dia sedang berada di mana. Yang jelas, rumah ini menarik baginya. Ada piring-piring cekung yang sengaja dijadikan hiasan. Dindingnya juga ada yang dari bata merah, menambah kesan sederhana yang entah kenapa terlihat begitu seni."Pengen aja," jawab Beling lalu duduk di sofa. Teresa akhirnya duduk di sebelah Beling, melihat cowok itu yang sedang memejamkan mata."Ini rumah siapa?""Rumah Om aku.""Om kamu?""Iya sayang.""Apa sih sayang-sayang," cibir Teresa membuat Beling membuka mata lalu terkekeh dengan badan yang sudah kembali d

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-01
  • 180 Derajat   16. Belajar Bersama

    "Di sekitarku selalu ada banyak orang. Namun mereka tidak pernah peduli padaku. Aku selalu saja merasa sendiri dan akhirnya terlupa lagi."***Raskal yang baru saja dari kantin melihat Teresa berjalan linglung di koridor. Cowok itu akhirnya menuju ke Teresa, berjalan di sampingnya. Mengamati perempuan itu. Teresa sedang melamun tapi kakinya terus melangkah. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Raskal di sebelahnya."Sa?" perempuan itu seperti terkejut kecil dan mengarahkan matanya pada Raskal. "Kepentok tembok ntar baru tau rasa. Jalan tuh jangan melamun.""B aja sih.""Gue ada LKS Fisikanya Verrel. Udah isi banyak. Jadi ntar pas ke basecamp kita tinggal belajar aja.""Curang dong?""Curang gimana?""Ya itu minjem LKS temen lo.""Kita kan bisa belajar dari sana.""Tapi tetep aja keles. Sama aja kita nyontek.""Trus lo maunya apa?" Raskal berhenti hingga Teresa ikut berhenti. "Trus lo maunya kita belajar mati

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-01

Bab terbaru

  • 180 Derajat   17. Masa lalu 'mereka'

    "Tidak perlu risau. Tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah terbiasa dengan semuanya."***Teresa sedang duduk, mengawasi seseorang. Perempuan itu duduk di pojokan. Dia sedang berada di satu club malam yang dingin-tempat di mana orang-orang sedang berpesta pora tanpa menyadari sudah jam berapa saat ini. Teresa melihat ponsel yang ada di genggaman tangannya. Sudah jam 12 malam tepat. Seharusnya dia pergi dari sini namun hati kecilnya menyuruh untuk menetap di sini. Pandangannya masih menatap lurus ke arah depan-ke seorang laki-laki yang sedang merenung sendirian dengan minuman alkohol di tangannya."Ling yuk ikutan ke sana," ajak Nita. Beling menoleh padanya dengan wajah lelah namun dia hanya diam. Bibir itu seperti engan membalas ucapannya. "Masa kita ke sini tapi lo gak seneng-seneng sih?""Ling. Lo kenapa?" tangan perempuan itu sudah berada di pundaknya. Beling meliriknya dan menyingkirkannya dengan halus. "Ling?""Nggak lo aja.""Tapi Ling-"

  • 180 Derajat   16. Belajar Bersama

    "Di sekitarku selalu ada banyak orang. Namun mereka tidak pernah peduli padaku. Aku selalu saja merasa sendiri dan akhirnya terlupa lagi."***Raskal yang baru saja dari kantin melihat Teresa berjalan linglung di koridor. Cowok itu akhirnya menuju ke Teresa, berjalan di sampingnya. Mengamati perempuan itu. Teresa sedang melamun tapi kakinya terus melangkah. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Raskal di sebelahnya."Sa?" perempuan itu seperti terkejut kecil dan mengarahkan matanya pada Raskal. "Kepentok tembok ntar baru tau rasa. Jalan tuh jangan melamun.""B aja sih.""Gue ada LKS Fisikanya Verrel. Udah isi banyak. Jadi ntar pas ke basecamp kita tinggal belajar aja.""Curang dong?""Curang gimana?""Ya itu minjem LKS temen lo.""Kita kan bisa belajar dari sana.""Tapi tetep aja keles. Sama aja kita nyontek.""Trus lo maunya apa?" Raskal berhenti hingga Teresa ikut berhenti. "Trus lo maunya kita belajar mati

  • 180 Derajat   15. Setahun yang lalu

    "Kamu tidak harus tahu sisi gelapku. Cukup kamu ada di sampingku. Menemaniku di saat seluruh orang menjauh dan tidak menerima kehadiranku. Itu sudah lebih dari cukup."****Kelas XI. Satu tahun yang lalu."Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Teresa begitu Beling menaruh tas mereka berdua di sofa merah yang ada di dalam rumah sepi ini. Rumah ini cukup luas dan bertingkat. Namun Teresa tidak tau dia sedang berada di mana. Yang jelas, rumah ini menarik baginya. Ada piring-piring cekung yang sengaja dijadikan hiasan. Dindingnya juga ada yang dari bata merah, menambah kesan sederhana yang entah kenapa terlihat begitu seni."Pengen aja," jawab Beling lalu duduk di sofa. Teresa akhirnya duduk di sebelah Beling, melihat cowok itu yang sedang memejamkan mata."Ini rumah siapa?""Rumah Om aku.""Om kamu?""Iya sayang.""Apa sih sayang-sayang," cibir Teresa membuat Beling membuka mata lalu terkekeh dengan badan yang sudah kembali d

  • 180 Derajat   14. Tolong berhenti berpura - pura

    "Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t

  • 180 Derajat   13. Peduli?

    "Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di

  • 180 Derajat   12. Mereka Bertengkar lagi

    "Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa

  • 180 Derajat   11. Rumah Raskal?

    Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa

  • 180 Derajat   10. Luka

    Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De

  • 180 Derajat   9. Dasar Ngerepotin

    Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo

DMCA.com Protection Status