"WOI RASKAL!"
Raskal yang baru saja masuk ke dalam kelas langsung disambut heboh oleh ketiga temannya. Mereka sedang duduk santai di belakang dan bersender di dinding. Ketiga lelaki itu sedang mengipasi wajah mereka dengan buku tulis masing-masing. Guratan-guratan merah tampak jelas di dahi mereka. Keringat juga mengalir di lehernya.
"Gila lu Gan," kata Douglas. "Jam berapa nih?" tanyanya sambil melihat jam dinding bulat hijau yang ada di atas papan tulis. "Udah jam sembilan habis upacara lo baru dateng. Memang-memang."
"Time is money, Bro!"
"Ter-ba-ik," timpal Gathenk mengikuti logat salah satu tokoh film kartun negara sebelah. "Pasti lo manjat lagi ya Kal?" tanyanya yang duduk di sebelah Douglas.
"Itu lo tau Thenk," kata Raskal lalu duduk di depan ketiganya. Cowok itu menyisir rambutnya dengan asal.
"Emang Bu Is gak marah Kal?" tanya Verrel. "Tuh guru tau lo telat?"
"Tau," kata Raskal biasa. "Ya dia marahlah. Sampe teriak-teriak tadi. Orang gue sama Teresa ketangkep basah manjat lagi," katanya.
"Teresa?" beo Douglas langsung menegakkan badannya. "Serius sama Teresa Kal?" tanyanya lagi membuat Raskal mengangguk.
"Lo kalau udah cewek aja cepet," kata Raskal. "Mata lo udah ijo noh kaya liat duit," katanya lagi membuat Douglas terkekeh.
"Tau tuh Douglas. Gue kesel banget. Dari tadi ribut banget pas baris di belakang godain adik kelas 11. Mana gue yang dimarahin Pak Ahmad lagi. Kan sialan ya," kata Verrel.
"Ya elah Rel. Gue kan udah minta maaf. Lagian tadi bukan gue aja. Gathenk juga tuh," katanya lagi sambil melirik Gathenk.
"Kok gue?"
"Ya lo juga."
"Gue aja terus. Gue aja. Gue selalu salah."
"Cepet amat lo baper."
"Ribut lo bertiga," kata Raskal.
"Gila nih kelas udah kaya sauna aja!" kata Douglas sambil melirik dua AC yang ada di dalam kelasnya. Tangannya masih bergerak untuk mengipasi wajahnya sementara Gathenk membuka seragam sekolahnya dan mulai mengipasi dirinya.
"Bayar SPP aja mahal tapi AC gak pernah hidup!"
Gathenk, cowok warnet alias pencinta game online akut. Sering bolos karena tidak bisa lepas dari game online yang sudah merupakan separuh jiwanya. Ia terbiasa tidur di warnet dan juga mojok di kelas dengan laptopnya. Biasanya mungkin anak lelaki nonton yang aneh-aneh apalagi saat mojok namun Gathenk akan lebih memilih bermain game-nya.
Verrel, cowok yang terlihat mungkin lebih berwibawa dari keduanya. Hal itu mungkin karena ia anak seorang pejabat. Meski begitu, Verrel sama nakalnya dengan Duoglas, Gathenk dan Raskal. Berteman dengan mereka bertiga membuat Verrel merasa beruntung karena ketiga kawannya itu merupakan pentolan sekolah yang sangat disegani di SMA Nusantara.
Terutama Raskal yang namanya sangat tersohor. Itu semua karena laki-laki itu sangat aktif pada tawuran dan berbagai petarungan dengan murid-murid sekolah lain. Semua sekolah yang ada di kawasan dekat sekolahnya sudah pernah ia jajah. Maka tidak heran Douglas pun takluk padanya padahal dulu mereka saling bermusuhan karena beda angkatan.
"Eh diluar yok, panes banget gue gak tahan," kata Gathenk.
"Nah ide bagus tuh Thenk mumpung belum ada guru," kata Verrel.
"Eeeh, mantan senior. Awas lo didenger sama guru-guru. Bahaya Glas," kata Gathenk.
"Bodo amat gue," ujarnya cuek. "Emangnya di sekolah ini yang berani sama gue siapa? Gue hajar nanti."
"Gue," kata Raskal polos.
"Ya nggak lo juga kali Kal! Yang lain gitu selain kalian. Lo kan atasan gue. Ah gimana sih," katanya.
Raskal hanya bergumam mendengarnya.
Douglas, cowok badan gede tukang bantai adik kelas yang lemah. Sebenarnya Douglas adalah senior mereka karena cowok itu tidak naik selama 1 kali saat kelas 11. Kalau sudah melihat ia berada di lorong kelas 10 dan 11 maka sudah pasti ia sedang melancarkan aksinya untuk memalak uang jajan para adik kelas. Kesan pertama bertemu Douglas mungkin cowok itu terlihat menyeramkan, tidak mau berbaur dengan teman-temannya, sombong dan juga penentang segala peraturan sekolah yang terlalu ketat. Namun sebenarnya laki-laki itu adalah orang yang ramah-pada orang-orang tertentu.
Keempatnya mulai berjalan keluar kelas namun ketika seorang murid lelaki melewati mereka, keempatnya berhenti dan memandangnya yang langsung duduk di bangku yang letaknya tepat berada di meja guru.
Raskal mendekatinya dan berdiri di depan meja cowok itu dengan kedua tangan memegang ujung meja. "Eh, Erwin," panggilnya membuat Erwin mendongak dan menatap Raskal. Sekarang Raskal terlihat sedang menatapnya dengan tatapan itu. Tatapan yang kerap kali membuat Erwin merasa dirinya menciut dan takut.
Erwin berdehem. "Kenapa Kal?" tanyanya meski sekarang ia sudah takut setengah mati melihat wajah Raskal.
Tiga minggu yang lalu Raskal marah besar padanya dan melempar kursi kelas pada Erwin karena tidak mau menuruti perkataannya. Meski tidak kena, namun tetap saja bayangan tentang itu berbekas di kepalanya yang membuat Erwin masih takut bukan main pada Raskal. Selama satu kelas dengan Raskal, Erwin tau cowok itu memang memiliki sifat yang pemaksa. Apa yang ia inginkan harus ia dapatkan. Ia selalu berkuasa penuh pada orang-orang yang tunduk padanya.
"Gue belum piket. Bisa lo piket sekarang?"
"Gue?"tanya Erwin.
"Enggak tapi Bapak lo," kata Raskal. "Yaiyalah lo! Emang siapa lagi?" bentakan Raskal membuat Erwin makin menciut di tempatnya.
"Buruan sebelum gue marah lagi," katanya membuat Erwin langsung berdiri. Tanpa menatap Raskal, cowok itu berjalan cepat menuju ke pojok belakang untuk mengambil sapu.
"Nyapu yang bersih," ujar Raskal. "Eh Ilo gue udah piket ya," katanya pada Ilo yang hanya diam di tempat duduknya. Cowok yang mejabat sebagai ketua kelas itu hanya mengehela napasnya ketika melihat Raskal dan ketiga temannya keluar kelas diiringin gelak tawa bahagia.
Bahagia di atas penderitaan orang lain.
******
"Teresa lo kok baru dateng? Kirain gue lo bolos," suara cewek imut itu terdengar. Ia berlari menuju ke Teresa yang baru saja masuk ke dalam kelas. Teresa melihat Varra dan Rivka berjalan menuju padanya.
"Lo telat lagi Sa?" tanya Rivka.
"Lo tuh gimana sih Riv. Yaiyalah gue telat. Gak liat apa?"
Rivka cengengesan. "Ya gue kan bertanya. Apa salahnya?"
"Udah ah gue mau masuk kelas."
"Eh lo kok bisa telat?" tanya Varra. "Pasti lo kemarin clubbing ya makanya telat?"
"Kaya yang lo bilang Ra."
"Gue selalu tau lo kan?"
"Hm."
"Dah ah gue mau ke kelas. Bahaya kalau Bu Is sampe liat gue. Gue lagi jadi buronan tuh guru BK sekarang."
"Emang tuh guru tau lo telat?"
"Tau banget," katanya. "Sialnya lagi gue sama Raskal ketauan telat bareng."
"Raskal?" tanya Varra dan Rivka spontan bersamaan.
Teresa mengangguk. "Bikin mood gue turun banget. Tadi gak sengaja bareng lewat belakang sekolah dan kita manjat."
"Lo berdua emang gila," ungkap Rivka geleng-geleng kepala. Meski Rivka dan Varra memiliki perilaku yang hampir sama dengan Teresa namun sampai sekarang keduanya tidak pernah sampai sebegitunya. Mereka hanya berani ketika bersama Teresa.
"Gue tau itu."
"Ya udah sih jangan dipikirin," ucap Varra sambil membenarkan anak rambutnya yang terbang karena angin. "Mending kita masuk kelas aja."
Ketika ketiganya hendak masuk ke dalam kelas, belum beberapa langkah pengeras suara yang ada di sekolah mereka bersuara. Suara dari kepala sekolahnya.
Panggilan untuk Teresa Rajata dan Raskal Dananjaya agar segera datang ke ruangan saya.
"Oh shit," kata Teresa sambil menjambak pelan rambutnya yang terurai.
BRAK. Suara gebrakan meja itu membuat keduanya tersentak kaget. "Jadi katakan kenapa kalian terlambat dan manjat tembok belakang sekolah? Kalian tau itu melanggar peraturan sekolah!" Keduanya yang diomeli oleh kepala sekolah wanita mereka hanya diam. Baik Raskal dan Teresa sama-sama tidak mengeluarkan suara. Mereka seperti dijebak. Di depan mereka ada tiga orang yang lebih tua dari mereka. Dua guru BK dan kepala sekolah. Bu Is dan Pak Ahmad berdiri di samping kepala sekolah mereka yang sedang duduk di kursi. "Bu kita cuman terlambat. Lagian lebih baik terlambat ke sekolah daripada bolos," kata Raskal yang sedang duduk santai seperti ia duduk di warpeng. Warung pengkol sekolah yang merupakan tempat tongkrongan bagi murid-murid tipe seperti Raskal. "Diem kamu! Saya belum nyuruh kalian ngomong!" Raskal akhirnya diam. Ia melirik Teresa yang sedang sibuk meniup-niup poni panjangnya ke atas. Kebiasaan yang sudah Raskal hafal. Oh buka
"Eh muka lo kenapa kusut gitu Kal?" tanya Douglas ketika Raskal berjalan menuju ke arah pertigaan koridor kelas X dan XI. Ada 3 alasan mengapa teman-temannya berdiam di sini. YANG PERTAMA, mereka di sini mau MALAK uang jajan adik kelas dengan embel-embel senior. YANG KEDUA, mau CAPER ke adik kelas. YANG KETIGA, males ke kantin karena sedang ramai. Lagi pula, siapa yang tidak takut dengan badan besar Douglas? Baru saja mereka, alias adik kelas yang keluar dari kelas itu hendak menuju ke kantin, mereka langsung mengambil jalur pintas agar tidak melewati Douglas, Verrel, dan Gathenk. Sebagian dari mereka pun memilih masuk kembali ke dalam kelas. Benar-benar payah, pikir Raskal. "Lo kaya habis kena kurang point dari Pak Ahmad," kata Gathenk. "50 apa 100 Kal?" tanyanya. "Berisik lo Babi," kata Raskal spontan. "Gue bukan Babi," gerutu Gathenk. "Ngejawab lagi lo!" seru Raskal tiba-tiba galak. "Berantem-berantem aja lo berdua," Verrel
"Jadi lo gak mau cerita gitu Sa?" Perkataan Varra membuat Teresa yang sedari tadi menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan mengintip dari sela-sela jarinya. Mereka bertiga sedang berada di kantin dan duduk di satu meja panjang. Letak meja itu ada di dekat pedagang yang sedang melayani banyak murid yang berebutan membeli nasi. Rivka menatap Teresa dengan alis mengerut, bertanya-tanya. Ada apa dengannya. Varra yang ditatap Rivka pun hanya mengendikan bahunya, tidak tau. Ia benar-benar tidak tau kan? Dan juga Teresa sedari tadi tidak mau berbicara sejak masuk ke dalam kelas. Setelah keluar dari ruang kepala sekolah tentunya. Merasa didiamkan meski ditatap oleh Teresa membuat Varra kembali bertanya, "Kalau gitu lo lo pada gak mau makan nih? Kita ke sini mau makan kan? Gue udah laper," keluh Varra. "Gue mau beli siomay. Lo berdua gak makan?" Teresa merasa mood makannya hilang hari ini. Gimana bisa ia makan kalau pikirannya melayang-layang pada kejadian
Saat ini Teresa sedang berjalan di koridor dan selama jam istirahat di hari ini, ia tidak akan ke kantin lagi. Tidak dengan Beling dan kedua temannya, Saka dan Yogi. Ia bahkan tidak memberitahu Rivka dan Varra. Sedikit lagi ia sampai di kelasnya namun seseorang menarik sebelah tangannya. "What the-" Raskal langsung menarik Teresa ke kamar mandi yang ada di dekat sana. Tidak kasar namun itu terlalu terburu-buru dan Teresa hanya bisa melihat sebentar wajah Raskal karena cowok itu sudah berbalik badan dan menariknya masuk ke dalam kamar mandi. Setelah Raskal melepaskan tarikannya, ia langsung mendengar teriakan Teresa. "LO TUH APA-APAAN SIH?!" Raskal menjauh, refleks. "Jangan teriak-teriak bego. Ntar dikiranya gue ngapa-ngapain lo." "Terus ngapain lo ngajak gue ke sini?!" kalimat itu keluar begitu lancar dari mulut Teresa tak lupa dengan nada galaknya. "Udah gue bilang jangan teriak-teriak. Dengerin gue dulu." "Apa?" kata
"EH GLAS! Sumpeh lo udah mesen rujak berapa kali? Itu cabe. Astaga," Gathenk geleng-geleng kepala, benar-benar heran ketika melihat Douglas yang membawa sepiring rujak di tangan kanannya.Douglas berjalan untuk duduk di depannya dengan mulut kepedasan lalu cowok itu mengambil minuman esnya yang ada di atas meja. Wajahnya pun sudah merah merambat hingga telinga dan lehernya. Kalau di keadaan seperti ini Douglas tidak terlihat seperti sosok Kakak kelas yang harus ditakuti seperti dulu tetapi lebih mirip sosok teman yang sebaya dengan mereka. Itu mungkin karena kini mereka terbiasa bersama."Itu cabe berapa Glas?" tanya Raskal keheranan. "Kuat banget lo sama pedes.""Yang namanya cowok itu harus kuat sama yang namanya pedes. Ini baru pedes cabe. Gimana sama pedesnya omongan istri lo nanti?" tanyanya Douglas, masih menahan pedas di bibirnya."Ntar kalau perut lo kenapa-napa baru ngeluh-ngeluh. Baru nyesel," kata Verrel yang sedang mengaduk-ngaduk es tehnya de
Sebagian hati Teresa membenci rumahnya sendiri. Itu benar. Jika ada pepatah bilang kalau rumahku adalah istanaku. Maka bagi Teresa: rumahku adalah nerakaku. Cewek itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah ini. Dulunya terasa hangat dan nyaman namun kini seluruh rasa itu telah hilang. Lenyap begitu saja. Tidak ada rasa hangat yang dulu melingkupi mereka. Sekarang yang ada hanya kekacauan. Semuanya terasa datar. Hambar. Suara piring dipecahkan membuat refleks Teresa mundur. Lalu disusul suara panci jatuh ke lantai dan itu menimbulkan bunyi yang sangat tidak enak didengar. "OH! JADI KAMU GITU MAS?! SAMA SI YULIA LAGI?! KAMU TIDUR DI RUMAH DIA? IYAKAN?!" Teresa mundur. Badannya membentur pelan daun pintu rumahnya. Hampir setiap hari ia mendengar keributan ini. "Kamu jangan teriak-teriak Thea! Saya lagicapek." "CAPEK APANYA? CAPEK APA KAMU? KAMU AJA SERING BOLOS NGANTOR!" "Thea!""Apa?! Kamu mau nyangkal lagi?!""Atau kamu mau mukul lagi
Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo
Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De
"Tidak perlu risau. Tidak perlu mencemaskanku. Aku sudah terbiasa dengan semuanya."***Teresa sedang duduk, mengawasi seseorang. Perempuan itu duduk di pojokan. Dia sedang berada di satu club malam yang dingin-tempat di mana orang-orang sedang berpesta pora tanpa menyadari sudah jam berapa saat ini. Teresa melihat ponsel yang ada di genggaman tangannya. Sudah jam 12 malam tepat. Seharusnya dia pergi dari sini namun hati kecilnya menyuruh untuk menetap di sini. Pandangannya masih menatap lurus ke arah depan-ke seorang laki-laki yang sedang merenung sendirian dengan minuman alkohol di tangannya."Ling yuk ikutan ke sana," ajak Nita. Beling menoleh padanya dengan wajah lelah namun dia hanya diam. Bibir itu seperti engan membalas ucapannya. "Masa kita ke sini tapi lo gak seneng-seneng sih?""Ling. Lo kenapa?" tangan perempuan itu sudah berada di pundaknya. Beling meliriknya dan menyingkirkannya dengan halus. "Ling?""Nggak lo aja.""Tapi Ling-"
"Di sekitarku selalu ada banyak orang. Namun mereka tidak pernah peduli padaku. Aku selalu saja merasa sendiri dan akhirnya terlupa lagi."***Raskal yang baru saja dari kantin melihat Teresa berjalan linglung di koridor. Cowok itu akhirnya menuju ke Teresa, berjalan di sampingnya. Mengamati perempuan itu. Teresa sedang melamun tapi kakinya terus melangkah. Bahkan ia tidak menyadari kehadiran Raskal di sebelahnya."Sa?" perempuan itu seperti terkejut kecil dan mengarahkan matanya pada Raskal. "Kepentok tembok ntar baru tau rasa. Jalan tuh jangan melamun.""B aja sih.""Gue ada LKS Fisikanya Verrel. Udah isi banyak. Jadi ntar pas ke basecamp kita tinggal belajar aja.""Curang dong?""Curang gimana?""Ya itu minjem LKS temen lo.""Kita kan bisa belajar dari sana.""Tapi tetep aja keles. Sama aja kita nyontek.""Trus lo maunya apa?" Raskal berhenti hingga Teresa ikut berhenti. "Trus lo maunya kita belajar mati
"Kamu tidak harus tahu sisi gelapku. Cukup kamu ada di sampingku. Menemaniku di saat seluruh orang menjauh dan tidak menerima kehadiranku. Itu sudah lebih dari cukup."****Kelas XI. Satu tahun yang lalu."Kok kamu ngajak aku ke sini?" tanya Teresa begitu Beling menaruh tas mereka berdua di sofa merah yang ada di dalam rumah sepi ini. Rumah ini cukup luas dan bertingkat. Namun Teresa tidak tau dia sedang berada di mana. Yang jelas, rumah ini menarik baginya. Ada piring-piring cekung yang sengaja dijadikan hiasan. Dindingnya juga ada yang dari bata merah, menambah kesan sederhana yang entah kenapa terlihat begitu seni."Pengen aja," jawab Beling lalu duduk di sofa. Teresa akhirnya duduk di sebelah Beling, melihat cowok itu yang sedang memejamkan mata."Ini rumah siapa?""Rumah Om aku.""Om kamu?""Iya sayang.""Apa sih sayang-sayang," cibir Teresa membuat Beling membuka mata lalu terkekeh dengan badan yang sudah kembali d
"Teresa."Teresa menoleh dan menghela napasnya ketika melihat Beling ada cukup berjarak di sebelahnya. Namun pandangan itu seperti mereka masih memiliki hubungan. Pandangan yang dulu cowok itu sering berikan tiap kali mata itu tertuju padanya. Namun ada yang ganjil. Ada sesuatu di nada suara Beling tadi. Seperti marah, namun tidak berhak. Itulah yang Teresa dengar tadi."Sa?"Teresa yang sedang berada di dalam mobilnya keluar lalu menutup pintu mobilnya dan dengan sengaja memainkan handphone-nya. Mengabaikan Beling. Kemarin Raskal membawa mobilnya pulang tanpa lecet sedikitpun."Sa kamu nggak denger?""Teresa!"Beling maju dan menghalangi jalan Teresa membuat cewek itu tetap menghindar. Akhirnya Beling mencekal pergelangan tangan perempuan itu sehingga pandangan Teresa yang tadinya tertuju pada handphone-nya jadi teralihkan pada Beling."Ngapain lagi sih lo?""Semalem kamu ke mana?""Urusan lo banget gitu?""Sa, t
"Lo nyuri uang Papa lo cuman buat beliin temen-temen lo baju baru, Sa?" Raskal bertanya lalu menatap ke arah depan. Mereka sedang berada di sebuah warung makan dekat rumah Teresa. Perempuan yang ada di hadapannya ini hanya tertunduk, bagai tak berdaya. Raskal memikirkan banyak hal. Seperti. Kenapa Teresa harus mencuri? Kenapa perempuan ini terlalu 'nakal' untuk murid SMA pada umumnya. Bukankah itu terlalu. Mencuri. Kenapa gak minta aja? "Kenapa lo nggak minta aja uang sama Papa lo?" tanyanya. "Gue nggak percaya lo bisa ngelakuin itu." Raskal masih belum bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya macam-macam. Banyak sekali pertanyaan yang mulai meletup di kepalanya. "Gue cuman pake dikit, kok. Enam juta." "Cuman buat beliin Rivka sama Varra baju? Enam juta? Lo gila." "Selain itu uangnya lo pake apa lagi?" "Jangan-jangan semalem. Pas di club. Lo juga pake uang itu buat minum?" Raskal menggeleng tak percaya. Sungguh, dalam imajinasinya. Di
"Jadi, lo bisa jelasin kenapa gue di rumah lo?" tanya Teresa. "Maksud gue kenapa harus elo gitu?" Raskal sedang duduk di sofa. Menyulut rokoknya di asbak. Teresa memandangnya jengkel karena sejak tadi yang dilakukan cowok itu hanya duduk dan diam sambil mengisap sebatang rokok. Benda berapi di ujungnya serta mengeluarkan asap itu sangat mengganggu pernapasannya. "Kalau lo gak jawab-jawab pertanyaan gue. Gue mau pulang. Kunci mobil gue mana?" Teresa menengadahkan tangannya pada Raskal namun cowok itu bergeming di tempatnya. Hal itu membuat Teresa menggaruk kepalanya, kesal. "Raskal lo denger gak sih?!" "Lo gak bakalan bisa pergi dari rumah gue. Gerbang rumah udah gue kunci." Teresa memandang gerbang rumah Raskal. Gerbang besar dan kokoh itu memang tertutup tanpa celah sedikitpun. "Gue mau tanya sama lo." mata Raskal menyisir rambutnya dengan tangan kiri. "Lo sama Beling masih pacaran?" "Kenapa lo nanya-nanya gitu?" Teresa merasa
Cahaya matahari mulai mengusik ketenangannya yang masih bermimpi, yang masih tenggelam dalam damai tidur yang terasa sangat panjang. Ketika kedua mata itu terbuka dan mengerjap perlahan, kesadarannya belum pulih total. Badannya kaku dan juga terasa sakit seketika. Kepalanya pun pusing. Seperti habis terhantam ke dinding. Teresa mengamati sekelilingnya. Ini bukan rumahnya. Ini sama sekali bukan kamarnya. Matanya mengerjap cepat untuk berpikir di mana ia sekarang. Gue di mana nih? Teresa duduk lalu menyenderkan badannya ke kepala ranjang. Kepalanya masih pusing. Sangat pusing. Bahkan berdenyut-denyut yang membuatnya jadi susah melihat. Kamar ini berwarna cokelat bernuansa vintage. Gara-gara mabuk nih. Gue di mana sekarang? Teresa menyingkap selimut yang menyelimutinya tadi lalu berjalan menuju keluar kamar. Ternyata bajunya juga sudah diganti. Berbagai pikiran negatif mulai bersarang di kepalanya. Rumah besar ini bukan rumahnya. Lalu rumah siapa
Mulanya rintik-rintik air menetes pelan ke bumi, jatuh ke mana saja yang ia suka. Perlahan-lahan namun pasti tetes-tetes itu merebak, mulai merembet ke mana-mana hingga seluruhnya jadi basah dan hujan pun tak terelakan. Dinginnya udara serta suara hujan yang semakin keras di luar rumahnya membuat niat Raskal untuk bergelung di kasur serta selimutnya jadi semakin besar. Namun keinginan itu sepertinya tidak bisa terlaksana karena ada seorang perempuan yang sedang tidur di dalam sebuah kamar. Ralat. Perempuan itu memang sedang tiduran namun mulutnya masih saja berceloteh tak jelas. Membawa seorang perempuan mabuk dan menyetir seorang diri itu susah. Tidak segampang yang terlihat. Raskal merasakan sejenak dingin hujan lalu menutup pintu rumahnya dan berbalik. Ketika berbalik ia melihat Bi Ami menghampirinya. "Den Raskal, itu temennya udah Bibik gantiin baju," katanya dengan suara penuh keibuan. Kedua matanya tampak khawatir. Sejenis khawatir Ibu pada anaknya. "De
Hari ini trek-trekan batal. Ada polisi di sana.Chat itu masuk sekitar 5 detik yang lalu ke handphone Raskal setelah cowok itu membersihkan badannya. Sejam yang lalu Raskal baru saja pulang dari ngumpul-ngumpul bersama teman-temannya. Chat itu dikirim oleh Beling. Ada polisi? Berarti di tempat itu sudah tidak aman untuk trek-trekan. Memang, tempat itu sudah lama menjadi incaran para polisi. Bahkan ada yang pernah diciduk langsung. Verrel Bramantyo: Kal hari ini trek-trekan batal. Beling ada PC lo? Raskal Dananjaya: Ada barusan. Verrel Bramantyo: Gue bosen di rumah. Temenin gue ke club gimana? Raskal terdiam melihat chat Verrel. Club malam? Boleh juga. Lagian Raskal memang malas di rumah. Ia juga malas mengerjakan PR-nya. PR bisa besok pagi ia buat di sekolah secara kebut-kebutan. Kebiasaan rutin yang tidak akan pernah hilang dari Raskal. Murid memang selalu begitu. PR kadang kala dijadikan pekerjaan sekolah. Verrel Bramantyo