"Caroline!!! Buka matamu!!!"Mata Caroline yang semula terpejam langsung terbuka lebar mendengar suara yang begitu familiar. Ia tidak menyangka akan melihat sosok Joan, walau dengan kondisi yang sangat berantakan.Dia ... benar-benar masih hidup, batin Caroline.Sementara itu Luke terus berusaha memacu langkahnya. Ia bisa melihat kepala kereta dari kejauhan. Ia berlari semakin cepat. Tidak peduli nyeri di sekujur kakinya akibat melompat dari jarak yang cukup tinggi.Begitu tiba di samping Caroline, Luke menoleh ke segala arah. Ia mencoba untuk menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk memutus tali.Hingga ia teringat dengan pisau lipat pemberian Ciel. Secepat mungkin ia mengambilnya dari saku celananya. Luke tersenyum saat tali yang mengikat Caroline terlepas. Namun tanpa disadari, kereta sudah berada sangat dekat dengan mereka. Secepat mungkin Luke mendorong gadis itu dan membiarkan tubuhnya tertabrak kereta.Caroline terdiam cukup lama. Pandangannya kosong ke arah kereta yang mela
Christoper Brandon? Sepertinya aku pernah dengar nama itu, batin Luke.Ciel mendeham pelan saat melihat Luke termenung cukup lama. Gadis itu berdiri, lalu mengambil figura yang ada di atas meja televisi. Kemudian ia menyodorkan benda itu pada Luke."Mereka keluargaku. Mungkin kau pernah melihatnya," ujar Ciel.Luke langsung mengambil figura itu, lalu ia mengamati setiap wajah yang ada di sana. Dahinya berkerut, rasanya mereka sangat familiar di mata Luke. Namun ia tidak ingat kapan dan di mana melihat mereka."Sejak kapan mereka ditangkap?" tanya Luke.Ciel terdiam cukup lama. Ia mencoba mengingat kejadian saat Christoper Brandon memaksa masuk ke rumah dan menangkap keluarganya. Hanya dengan membawa surat hutang, pria itu berhasil membuat Ciel tidak berdaya."Terpatnya lima tahun lalu. Selain keluargaku, dia juga mengambil rumah dan perusahaan ayahku."Sebelah alis Luke langsung naik, ia nampak bingung. "Perusahaan? Bagaimana bisa dia mengambilnya?""Ini semua salahku. Aku dijebak," k
"Kau sudah siap?"Luke langsung menutup rapat lemari pakaian itu, padahal ia belum mengambil satu pun. Ia segera berbalik dengan senyuman kaku. Sementara Ciel terlihat meringis."Pakai bajumu," katanya.Luke menunduk, lalu kedua sudut bibirnya sedikit tertarik. "Ah ya, aku melupakan bajunya. Apa kau bisa menunggu di luar?"Gadis itu langsung menutup pintu. Luke kembali membuka lemarinya. Surat itu sudah tidak ada. Namun muncul cahaya dari celah-celah pakaiannya."Jangan lupa tugasmu, Kesatria. Waktunya sampai satu minggu."Luke mendengus pelan, lalu menarik salah satu pakaian dari sana. Sebab waktu sudah semakin siang. Bisa-bisa mereka tidak bisa tiba di tempat berkumpul Christoper dengan anak buahnya.Saat hendak keluar ruangan, tiba-tiba saja cahaya itu kembali bersuara."Tunggu sebentar, Kesatria!""Apa lagi?" tanya Luke sembari berbalik.Tiba-tiba saja muncul sebuah kain yang mirip seperti syal melayang di atas kepalanya. Luke nampak bingung, namun detik berikutnya, benda itu lang
Luke hanya diam saat diseret ke parkiran oleh Caroline. Sementara Ciel terus mengikuti dari belakang dengan berhati-hati. Untung saja tidak cukup banyak orang di cafe saat ini."Kamu benar-benar mau membawaku pulang ya?" tanya Luke begitu tiba di depan mobil.Caroline mengerutkan dahinya. "Menurutmu untuk apa aku datang jauh-jauh ke sini?""Berlibur?""Cepat masuk!"Luke langsung menoleh ke arah Ciel. "Tunggu sebentar Caroline. Aku akan menemui dia sebentar."Caroline langsung membulatkan matanya. Ia tidak percaya Joan yang selalu patuh, kini membuatnya menunggu hanya karena perempuan lain. Apalagi pria itu tidak menunggu jawabannya. Benar-benar berubah!"Ciel, aku tidak akan melupakan perjanjian kita."Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya. "Kalau begitu, besok kita bertemu lagi di sini, di jam yang sama."Luke mengangguk. "Kalau begitu aku pergi."Setelah berpamitan, Luke langsung berlari menuju Caroline. Wajah gadis itu sudah masam dengan tangan terlipat di dada. Tentu saja pasti
"Butuh sesuatu?"Caroline yang baru saja membuka pintu kamar langsung dibuat terkejut dengan keberadaan Luke. Pria itu sudah tampak segar dan rapi. Padahal hari masih sangat pagi."Apa yang kau lakukan di depan kamarku, Joan?!" tanya Caroline.Luke semakin menarik kedua sudut bibirnya. Hingga Caroline untuk pertama kalinya sadar, pria itu memiliki sebelah lesung pipi yang indah."Kenapa malah tersenyum begitu? Aneh!""Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Luke sekali lagi.Caroline mendecak, lalu ia sedikit mendorong Luke agar bisa lewat. Pria itu terus mengikuti langkahnya. Walau tidak mengatakan apa pun, namun tentunya berhasil membuat Caroline risih.Gadis itu langsung berhenti dan berbalik. "Apa? Kau mau apa? Mengapa sikapmu berubah seperti ini?"Luke menaikkan sebelah alisnya. "Apakah aneh kalau aku ingin membantumu?""Ya! Selama ini kau selalu berusaha untuk tidak berurusan denganku!" sahut Caroline."Anggap saja aku ingin menebus kesalahan selama ini."Caroline mendengus, ia tidak men
"Suster! Sekarang! Aku butuh mobilnya sekarang! Ini menyangkut nyawa seseorang!""Nyawa siapa?"Luke dan Elle menoleh serentak. Nampak Caroline yang kini sudah menatap mereka dengan wajah penasaran. Ia mengangkat sebelah tangannya yang membawa kunci mobil."Butuh bantuan?" katanya.Luke menelan ludahnya dengan kasar. Sejujurnya ia tidak ingin melibatkan Caroline dalam masalahnya sendiri. Tapi jika tidak bergegas, ia takut terjadi apa-apa dengan Ciel.Akhirnya Luke mengangguk dan langsung disambut senyum angkuh Caroline. Gadis itu berjalan mendahuluinya menuju ke parkiran. Begitu tiba di depan mobil, Caroline berbalik menatap Luke cukup lama."Sebelum kita pergi, jawab pertanyaanku."Luke menaikkan kedua alisnya. "Ya?""Siapa yang ingin kau selamatkan sampai berani berteriak pada Suster Elle?"Luke terdiam. Ia tidak mungkin memberitahu Caroline kalau ingin menyelamatkan Ciel. Bisa-bisa terjadi salah paham dan membuat gadis itu tidak jadi membantunya."Hanya teman," jawab Luke sekenanya
Belum selesai suasana haru akibat ditolong Caroline, namun rombongan orang-orang yang menyejarnya sudah semakin mendekat. Secepat mungkin ia menarik tangan Caroline untuk bersembunyi di ruang ganti pakaian."Kamu sudah menemukan Ciel?" tanya Luke sembari merapatkan tirai.Caroline mengangguk. "Dia ada di lantai satu."Terdengar suara langkah kaki ramai yang semakin mendekat. Luke mendecih pelan, ia memegangi dua sisi tirai agar tidak tersingkap jika ada angin."Sepertinya mereka tidak ada di sini.""Belum tentu. Mari kita periksa satu per satu ruang ganti pakaian."Luke melirik ke arah Caroline. Gadis itu terlihat sangat panik. Bisa dilihat dari kebiasaan menggigit kukunya saat sedang merasa gelisah.Tiba-tiba saja Luke teringat dengan syal yang selalu ia lingkarkan di pinggang. Secepat mungkin ia mengeluarkan benda tersebut. Lalu ia menyodorkannya pada Caroline."Tutupi kepalamu dengan ini," bisik Luke.Caroline mendelik. "Mereka tetap bisa mengenaliku, Joan.""Tidak akan. Percaya pa
"Di mana Joan?" tanya Ciel.Caroline menundukkan kepalanya. Ia tidak mengatakan apa pun. Namun semua pertanyaan Ciel langsung terjawab saat rombongan orang berkemeja cokelat berjalan dengan membawa Luke."I-itu—"Secepat mungkin Caroline menutup mulut gadis di sampingnya. Ia menggeleng dan mengubah arah jalan mereka menuju pintu keluar. Sebab saat ini, rombongan orang itu mengarah ke basement.Begitu tiba di luar, barulah mereka melepas syal tersebut. Secara ajaib, orang-orang di sekitar langsung mengenali Caroline. Kilat dari kamera mulai bersahut-sahutan ke arah Caroline."Sial! Mereka mengenaliku!"Ciel langsung menarik tangan Caroline untuk mencari tempat yang lebih sepi agar tidak menarik perhatian. Hingga mereka tiba di sudut taman."Sepertinya sudah aman," ujar Ciel, ia masih terus menoleh ke segala arah.Caroline mengangguk pelan. Napasnya sudah terengah-engah. Secepat mungkin ia meraih ponsel dari sakunya. Ia berniat untuk melacak keberadaan Luke."Dia dibawa ke basement."Ci