Belum selesai suasana haru akibat ditolong Caroline, namun rombongan orang-orang yang menyejarnya sudah semakin mendekat. Secepat mungkin ia menarik tangan Caroline untuk bersembunyi di ruang ganti pakaian."Kamu sudah menemukan Ciel?" tanya Luke sembari merapatkan tirai.Caroline mengangguk. "Dia ada di lantai satu."Terdengar suara langkah kaki ramai yang semakin mendekat. Luke mendecih pelan, ia memegangi dua sisi tirai agar tidak tersingkap jika ada angin."Sepertinya mereka tidak ada di sini.""Belum tentu. Mari kita periksa satu per satu ruang ganti pakaian."Luke melirik ke arah Caroline. Gadis itu terlihat sangat panik. Bisa dilihat dari kebiasaan menggigit kukunya saat sedang merasa gelisah.Tiba-tiba saja Luke teringat dengan syal yang selalu ia lingkarkan di pinggang. Secepat mungkin ia mengeluarkan benda tersebut. Lalu ia menyodorkannya pada Caroline."Tutupi kepalamu dengan ini," bisik Luke.Caroline mendelik. "Mereka tetap bisa mengenaliku, Joan.""Tidak akan. Percaya pa
"Di mana Joan?" tanya Ciel.Caroline menundukkan kepalanya. Ia tidak mengatakan apa pun. Namun semua pertanyaan Ciel langsung terjawab saat rombongan orang berkemeja cokelat berjalan dengan membawa Luke."I-itu—"Secepat mungkin Caroline menutup mulut gadis di sampingnya. Ia menggeleng dan mengubah arah jalan mereka menuju pintu keluar. Sebab saat ini, rombongan orang itu mengarah ke basement.Begitu tiba di luar, barulah mereka melepas syal tersebut. Secara ajaib, orang-orang di sekitar langsung mengenali Caroline. Kilat dari kamera mulai bersahut-sahutan ke arah Caroline."Sial! Mereka mengenaliku!"Ciel langsung menarik tangan Caroline untuk mencari tempat yang lebih sepi agar tidak menarik perhatian. Hingga mereka tiba di sudut taman."Sepertinya sudah aman," ujar Ciel, ia masih terus menoleh ke segala arah.Caroline mengangguk pelan. Napasnya sudah terengah-engah. Secepat mungkin ia meraih ponsel dari sakunya. Ia berniat untuk melacak keberadaan Luke."Dia dibawa ke basement."Ci
"Bos? Bagaimana ini? Sepertinya dia sudah mati."Robert mengerutkan dahinya. Lalu ia menyenggol bahu Luke dengan ujung sepatunya. Tidak ada pergerakan, namun masih bernapas walau sudah melemah."Dia belum mati."Robert menoleh ke arah anak buahnya. "Cepat bawakan air.""Untuk apa, Bos?""Kita siram saja. Dia pasti bangun!"Secepat mungkin anak buahnya menghambur, mereka berusaha mencari sisa air mineral di tempat sampah sekitar. Setelah cukup banyak, mereka kembali berkumpul.Robert mengambil salah satu botol dan langsung menyiramkan air tepat di atas kepala Luke. Namun masih tidak ada pergerakan. Tentu saja itu membuat Robert sedikit kesal. Ia mengambil satu botol lagi. Kali ini siramannya sedikit lebih kasar karena dihentakkan ke wajah Luke.Pria itu menyeringai saat melihat Luke sedikit bergerak. Ia kembali mengambil satu botol lagi. Namun saat hendak disiramkan, air itu tiba-tiba saja menghilang.Kekuatan utama : Teleportasi setengah sempurna."Si-sial! Apa-apaan itu?!"Robert dan
Luke terus mengamati telapak tangannya. Sejak menggunakan kekuatan yang dibelinya dari Reddious, muncul luka berbentuk api. Tiap kali menggenggam benda cair, tangannya terasa perih."Apa memang tidak boleh terkena air ya? Lalu bagaimana caranya aku mandi?" gumam Luke.Muncul ide di kepala Luke. Secepat mungkin ia mengambil handuk kecil dan melilitkannya di telapak tangan. Kegiatannya terhenti saat pintu kamarnya diketuk berulang kali.Luke berjalan ke arah pintu, lalu mengintip ke luar melalui lubang. Rupanya Caroline yang mengunjunginya. Secepat mungkin ia membuka pintu. Gadis itu mendecak sembari menyodorkan kotak obat."Apa ini, Caroline?" tanya Luke.Caroline mendecih, ia menarik tangan Luke dan meletakkan kotak itu di atas tangannya. "Obati lukamu.""Bagaimana kamu tau aku terluka?""Berisik!"Gadis itu langsung berbalik. Namun saat hendak pergi, Luke langsung menahan tangannya. Caroline sontak berbalik, dahinya berkerut dengan alis yang bertautan."Apa lagi?" tanya Caroline."Di
"Cari penyihir itu sekarang!"Bran menatap Luke dengan sorot tajam. Sedikit saja Luke menarik sudut bibirnya, ia bisa langsung dijadikan tersangka. Untung saja ia sudah terlatih mengatur ekspresinya sejak kecil karena berhadapan dengan Yang Mulia Raja.Semua penjaga berlarian ke segala arah. Mereka bahkan langsung memberikan informasi ke penjaga bagian depan untuk menutup akses keluar masuk bangunan tersebut."Baik. Walaupun keadaan sempat kacau, tapi kita harus melanjutkan pembicaraan ini," ujar Galiard.Bran mendengus pelan. Ia harus rela duduk di samping Luke karena kursi di samping Caroline mendadak hilang. Setelah itu, semua orang di dalam ruangan dilarang bicara sebelum Galiard menyelesaikan ucapannya."Aku akan mengakhiri pertunangan Joan dan Caroline jika sampai bulan depan, Joan masih belum bisa melaksanakan tugasnya dengan benar. Tentu saja sesuai dengan surat perjanjian."Luke mengerutkan dahinya. Ia sangat ingin protes, namun masih belum diizinkan untuk bicara. Ia melirik
"Joan!!!"Luke berusaha keras untuk menulikan telinganya. Amarah kini sudah berpusat di kepalan tangan. Pikirannya hanya tertuju pada Bran. Jika pria itu terlihat sedikit saja, kepalan Luke pasti langsung melayang.Greb!"Berhenti, Joan!"Luke mendesis pelan, lalu berbalik dengan terpaksa. "Apa? Kenapa lagi, Caroline?""Kau ... marah?""Jangan ajak aku bicara, Caroline. Aku sedang ingin sendiri."Baru saja hendak berbalik pergi, Caroline kali ini menarik bagian belakang baju Luke. Ia merasa sedikit kesal hingga ingin menangis."Kau bodoh ya?" kata Caroline dengan suara nyaris tidak terdengar.Luke mengerutkan dahinya. Ia langsung menarik pakaiannya dan berbalik menatap gadis tersebut. Sorot matanya begitu tajam. Namun saat air mata Caroline menetes, ekspresinya kini berubah terkejut. Secepat mungkin ia melepas kemeja bagian luarnya."Mengapa kamu menangis?" tanya Luke sembari mengelap air mata di pipi gadis tersebut.Tangisan Caroline semakin menjadi-jadi hingga membuat beberapa pelay
"Joan ...,""Aku tahu kau tidak akan datang."Brak!!Ciel dibuat melotot saat melihat sosok yang menendang pintu setengah terbuka. Bukan Luke, melainkan gadis berambut pirang dikuncir kuda dengan topi baseball."Jangan berani menyebut nama tunanganku!" ujar Caroline.Matanya menatap lurus ke arah empat pria yang ada di ruangan tersebut. Di luar dugaan, Caroline sempat berpikir kalau hanya akan ada satu atau dua pria yang ditugaskan untuk melukai Ciel. Tapi ternyata ...Sebanyak ini?"Wah, lihat! Ciel sekarang berteman dengan anak konglomerat!"Caroline mendecih pelan mendengar ucapan pria yang berdiri tepat di depannya. Ia melirik Ciel melalui ekor matanya. Rupanya gadis itu sudah mendapat cukup banyak luka."Kau bisa berdiri?" tanya Caroline.Ciel mengangguk pelan sembari berusaha bangun walau perutnya terasa sangat sakit. Setelah berdiri ternyata rasa nyerinya perlahan sirna."Sepertinya aku masih sanggup berlari," ujar Ciel diiringi kekehannya.Caroline mengangguk pelan. Ia melirik
Caroline membuka matanya terlebih dahulu. Ia menoleh ke samping, ia mendapati Ciel tertidur di sofa. Sementara Luke tergeletak di lantai berbantal lengannya sendiri.Ponsel di samping pria itu terus berdering. Caroline segera turun, lalu meraih benda tersebut. Nama Suster Elle terpampang di sana. Pasti wanita itu sangat khawatir pada anak asuhnya."Halo, Suster.""No-Nona Caroline? Apakah Nona bersama dengan Tuan Joan?"Caroline melirik ke arah Luke, lalu mengangguk. "Ya, kami ada di hotel.""HAH?! Ho-hotel?""Ya, jadi ada apa kau menghubungi Joan sampai sebegitu banyaknya?"Elle tidak langsung menjawab. Ia diam cukup lama, lebih dari 5 menit hingga Caroline sempat menjauhkan ponsel dari telinganya. Ia mengira Elle sudah mengakhiri panggilan."Suster Elle?" panggil Caroline."Ah, itu ... Tuan Galiard menunggu di rumah.""Rumah siapa?""Rumah Anda, Nona.""HAH?!"Caroline langsung mengakhiri panggilan. Lalu ia mengguncang tubuh Luke berulang kali. Wajahnya terlihat sangat panik, apalag