Bel pulang sekolah berbunyi. Aku yang sedang di kelas segera mengakhiri pembelajaran dan murid-murid di kelasnya memberi salam. Semua siswa be rhamburan dengan riangnyamemenuhi depan halaman sekolah untuk menunggu jemputan dari orang tuanya maupun yang sedang menunggu angkot. Aku yang bejalan menuju kantor ditemui oleh Bu Iswa. Ia membawakan sebuah surat pemberitahuan dari Dinas Pendidikan. Setelah dibuka, suratnya berisi bahwa diriku terpilih untuk pergi ke Jakarta dalam rangka mengikuti pelatihan pembuatan modul pembelajaran terbaru, yang termasuk proyek nasional Kementerian Pendidikan. Belum sampai separuhnya, aku kaget karena pelatihan tersebut dilaksanakan selama satu bulan di kampus Universitas Pandawa. Bingung bagaimana nasib siswaku ditinggal selama satu bulan di Jakarta, terlebih campur aduk pikiranku mengenai biaya ke sana karena aku hanyalah guru honorer di SMP Nusantara yang gajinya berasal dari jumlah jam mengajarnya. Gak cukup !!! "Jangan khawatir Bu, di sini bisa di han
Sesosok dua wanita tengah mondar mandir di basement parkiran. Sampai akhirnya, seseorang datang untuk menuju mobil sport warna merah. Salah seorang wanita meminta temannya untuk bersiap-siap dan mengecek baju serta makeup-nya.Ternyata, dua wanita tadi sengaja menunggu Prabu yang selesai nge-gym. Saat Prabu akan memasuki mobilnya, dua wanita tadi menghadang Prabu. Salah satu wanita berambut warm hazelnut maju dan menutup pintu mobil Prabu. Ia kemudian duduk di kap mobilnya, kemudian membuka cardigan yang menutupi sampai pahanya. Ia sengaja memperlihatkan kemulusan tubuhnya karena ia hanya memakai celana pendek dan tank topnya."Hai, tampan. Kamu mau pulang?" goda wanita itu sambil tangannya menyentuh wajah serta tubuh Prabu."Namaku Merin, aku sudah lama mengincarmu. Namamu Prabu, kan?" goda lagi wanita itu dengan mendesah."Oh iya, how do you know me?" tanya Prabu."Well, kita nge-gym ditempat yang sama dan aku mencari tahu siapa kamu. Aku rasa, aku suka kamu. Kamu hot! idaman aku." d
Hari pembukaan telah dimulai. Yup, bertepatan dengan hari Sabtu di bulan Oktober akhir. Semua peserta yang terdiri dari guru se-Indonesia mulai memasuki kawasan kampus tersebut, termasuk Aku. Beberapa mahasiswa menyambut dan membagikan sebuah road map untuk membantu peserta pelatihan menyusuri kampus. Di satu sisi, para panitia mulai sibuk bersiap-siap, antara lain Alvaro dan Denias. Mereka berdua tengah kebingungan mencari keberadaan Prabu yang belum nongol di Balairung Hastinapura."Varo, nih anak satu dimana sih? Jam segini belum nyampe! Awas lo kalau telat Prab!" keluh Denias kepada Alvaro yang kesal dengan Prabu yang belum datang saat acara genting."Paling nih anak kebanyakan pacaran sama motornya nih." keluh Alvaro.Padahal, sebenarnya Prabu tengah mengendarai motornya terjebak macet karena ada pohon tumbang di jalan yang sering ia lewati. Akhirnya, ia memutuskan untuk putar arah dan mencari jalan alternatif lain karena terburu-buru. Dan setelah beberapa waktu, akhirnya Prabu da
Enam bulan yang lalu, melalui grup chat kantor. Kepala Sekolahku yaitu Bu Siti mengirimkan sebuah poster mengenai lomba membuat desain modul yang kreatif dan komunikatif. Jika desainnya bagus dan 3 peserta mendapatkan nilai tertinggi, maka akan mendapatkan hadiah berupa uang tunai sebesar tiga juta sampai sepuluh juta Rupiah dan juga mendapatkan kesempatan untuk terlibat langsung dalam proyek nasional Kementerian Pendidikan yaitu membuat Modul Nasional. Proyek tersebut dikhususkan untuk membuat modul pembelajaran yang akan digunakan secara merata di seluruh Indonesia. Maka, peserta lomba tersebut terdiri dari guru-guru se-Indonesia. Jadi, setiap tingkatan jenjang sekolah dasar sampai menengah atas dan per mata pelajarannya, hanya 102 peserta yang bisa lolos untuk bisa masuk ke proyek ini. Jika di total akan ada dua ribu orang yang terlibat dalam proyek ini. Fasilitas yang didapatkan adalah pelatihan gratis, jalan-jalan gratis serta sertifikat untuk bisa menambah jenjang karir karena di
Semua peserta berhamburan di kampus Pandawa. Mereka memanfaatkan momen untuk berfoto bersama, ada yang selfie bahkan bersantai sambil menikmati pemandangan di kampus tersebut. Tak terasa, jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Semua handphone peserta berbunyi secara sahut menyaut yang menandakan bahwa mereka harus memasuki nomor ruangan yang di instruksikan. Mereka pun akhirnya satu per satu berpisah. Termasuk Ulma dan Aku. Tapi, kami hanya bersebelahan kelas saja."Eka, aku di gedung Sadewa lantai 3F. Kamu dapat dimana?" tanya Ulma."Aku dapat di gedung Sadewa lantai 3E." jawabku.Kami berdua kegirangan karena mereka bisa bersama walau hanya berpisah beberapa jam di ruang terpisah. Ulma sempat menyayangkan tidak bisa satu kelas denganku karena tidak bisa ngobrol lebih lama. Aku menenangkan Ulma agar menerima keputusaan yang sudah ditetapkan.Sesampainya di gedung Sadewa lantai 3, kami berdua berpisah. Ulma masuk ke kelas F, dan Aku memasuki kelas E yang dimana terdapat 4 barisan meja panjan
Jam dinding Hawai Bar menunjukkan waktu delapan malam. Prabu tiba di sana lebih dulu. Sekitar sepuluh menit ia duduk, lantas segera menghubungi temannya kembali menanyakan keberadaan mereka. Tak lama menunggu sekitar tujuh menit, Alvaro dan Denias turun dari taxi. Mereka berdua memasuki Bar tersebut dan Prabu yang melihat segera melambaikan tangan kepada dua sahabatnya itu untuk memberikan tanda tempat nongkrongnya. Mereka berdua kemudian menuju ke tempat Prabu duduk. “Lo berdua lagi balas dendam sama gue ya!” sindir Prabu kepada kedua sahabatnya yang telat datang. Sama halnya saat Prabu telat datang di perhelatan tadi pagi. “Makanya, lain kali jangan mulai dulu. Tumbenan lo kalau urusan alkohol nomor satu lo!” jawab Denias yang balik menyindir. Alvaro melerai perdebatan kecil mereka dan meminta Prabu segera menyiapkan pesanan. “Hei, you two! kalian ini dosen tapi sekali ribut kaya anak SD. Oke Prab, sebelum kita mendengar permintaan maaf dari lo, beernya siapkan dahulu dong.” pint
Weekend terakhir sudah terlewati, hari pelatihan pertama pun tiba. Semua rombongan yang saat hari sabtu kemarin kembali menapaki halaman Universitas Pandawa, bedanya mereka tidak ke Balairung lagi. Jika dilihat, nampak sekilas seperti anak kampus yang berangkat kuliah di gedung. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, beberapa orang mulai memasuki ruangan masing-masing termasuk Aku. Di dalam gedung Sadewa ruangan 3E, Aku berdo’a agar selama pelatihan nanti berjalan lancar, tidak terjadi masalah dan tidak membuat kesalahan kepada Pak Prabu. Tak lama, tim desain yang satu kelompok denganku datang. Kami akhirnya berkenalan. Pertama, yang menjadi ketua kelompok tiga bernama Pak Emil dari Bandung, berikutnya yang umurnya tak jauh dari Pak Emil adalah Bu Zeva yang berasal dari Palangkaraya, dan yang terakhir ia guru yang paling muda di kelompok bernama Bu Nafis yang berasal dari Makasar. Mereka pun sempat berbincang dan bercanda, walau di lubuk hatiku di hantui rasa was-was akan pelatihan hari pe
Setelah introspeksi tiga kesalahannya di waktu lalu, ditambah masih ada 25 hari aku masih bertempur di kampus tersebut dan tahu bahwa perjalanan ini bakal lebih berat. Dengan mengucapkan basmalah, aku merapikan jilbab, kemudian melangkahkan kaki keluar dari pagar kos untuk siap mengahadapi sisa waktu di Universitas Pandawa. Pelatihan hari keempat dimulai. Seperti biasa, kampus penuh dengan para peserta pelatihan proyek. Ulma yang berada di parkiran motor menungguku di atas joknya. Tak lama ada suara memanggilnya dari kejauhan. “Ulma!” teriakku. Ulma berbalik dan menghampiri. “Eka, are you ready today?” tanya Ulma yang penuh semangat, karena temannya itu sedang berusaha bangkit agar tidak insecure lagi. Hal itu ku jawab dengan teriakan “iya” secara lantang sembari mengepalkan kedua tangan. Akhirnya, kami berdua menuju ke lantai 3 gedung Sadewa, tempat pelatihan kami. Kebersamaan tersebut akhirnya berhenti saat di ruangan 3E, dimana tempat tersebut merupakan ruangan pelatihanku. Kami
Aku benar-benar bisa gila. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat nominal sembilan digit ini di dalam rekeningku. Paling maksimal saja cuma tujuh digit saja. Tak pernah lebih dari itu. Harus ku apakan semua uang ini. Karena terlalu banyak berpikir, tukang ojek yang aku pesan memintaku untuk segera membayarnya karena ia akan lanjut mengambil orderan. "Baik Pak, maaf sebentar lagi ya," balasku.Ia pun menuruti. Aku mulai menjernihkan pikiranku. Dan segera mengatur anggaran yang harus dikeluarkan. Manakah yang anggaran yang paling urgensi dulu. Setelah aku pertimbangkan."Bayar biaya rumah sakit, setelahnya melunasi hutang Ibuku dahulu. Sip!" Kemudian aku mengambil uang sebesar satu juta untuk keperluan Ibuku selama di Rumah sakit. Setelah itu, membayar segala administrasinya secara kontan."SERRRR .... KLEKK" bunyi ATM yang melakukan transaksi. Uang lembaran seratus ribu keluar dari mulut mesin itu. Setelah ku rasa nominalnya sudah benar, aku kemudian keluar dan membayar tagihan oje
Matanya mengeluarkan aura yang sangat tajam. Kali ini ia tidak boleh ada kata GAGAL, agar bisa mempertahankan warisan dari Nyonya Mirna. Kali ini aku terjebak oleh permainannya. Ia sudah mengetahui apa yang menjadi kelemahanku saat ini yaitu Ibuku. "Kalau aku jadi kau, aku tak terima jika hal itu terjadi pada keluargaku. Walau yang menghina adalah kerabat terdekatku. Solusi dariku adalah pisahkan Ibumu dari Eyangmu. Kita lihat apakah ia mampu bertahan dan buat dia semakin jera karena menyesal melakukan tindakan bodoh itu!" desaknya. Tak lama, ia menyodorkan surat yang sudah diberi meterai dan nama terangku. "Don't waste the time! gunakan kesempatan emasmu ini!" ucapnya dengan seringai. Aku mulai melihat sekilas surat kontrak itu. Kemudian menghela napas. "Satu tahun ?" tanyaku. "Kata dokter, usia nenek bertahan satu tahun lagi. Kemungkinan bisa panjang, bisa juga tidak." jelasnya. Satu tahun, aku harus hidup dengannya dengan penuh sandiwara kemudian setelah ditinggal Nyonya Mirn
Aku menceritakan apa yang terjadi setelah Reza menanyakan hasilnya. Ibu mendengar, langsung menangis sesenggukan. Dipeluklah ia oleh Reza dan berusaha menenangkan. Baru kali ini aku melihat mata Reza yang berkaca-kaca. Mungkin, sebagai anak laki-lakai berpikir bahwa sudah saatnya dia harus memikul beban keluarga juga. Lalu, bagaimana dengan kuliahnya? Walaupun sudah dibantu dengan biaya Bidikmisi, tapi sama saja belum cukup untuk membantu orangtuanya itu. Hatiku semakin tersayat mengingat sebagai anak pertama dan perempuan. Sempat ada rasa sesal karena tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, aku ingin membantu ekonomi keluarga, tapi pekerjaan sebagi guru honorer tak bisa membantu apa-apa kepada keluargaku.Ibu setelah menjalani perawatan kemudian tertidur pulas. Terlihat wajahnya yang sudah lelah itu. Belum juga pasti kepikiran perkataan nenek tadi. Di lantai, Reza juga tertidur pulas. Tak lama, seorang perawat masuk untuk pengecekan pasien. Setelahnya, ia memanggilku dan meminta untuk
Keesokan harinya, Ulma bangun dari tidur nyenyaknya. Kebetulan juga ia mau menunaikan salat subuh berjama’ah di mushola penginapan tersebut. Sembari memakai mukena, tak lupa ia mengecek sesuatu. Dengan harapan, ia bisa bertemu dengan Denias. Tak lama, adzan subuh berkumandang. Inilah saatnya Ulma beraksi. Ia keluar dari kamarnya dan tak lupa menguncinya. Setelahnya, ia berjalan menuju ke mushola, sesekali ia memantau sekitar untuk melihat batang hidung dosen idolanya itu. Sesampainya di depan mushola, ia beberapa kali menunggu kehadiran Denias. Tapi, tak kunjung muncul juga. Sampai akhirnya, Tuti yang datang lebih dahulu di masjid, menengok kelakuan Ulma yang tak kunjung masuk masjid. Ia pun meninggalkan sajadahnya dan menghampiri Ulma. “Duh, dari tadi gak nongol-nongol ya. Di dalam juga gak ada, apa dia salat sendiri?” gumam Ulma. Tuti kemudian berada di belakangnya, dan mendengar omongan darinya. Melihat temannya sedang risau, sebuah kaplokan kencang dari Tutut terhempas di punggu
Prabu masih tak percaya mengenai kampus yang memperlakukannya seperti ini. Lantas, Alvaro pun menyanggahnya dengan melihatkan bukti berupa surat keterangan dari kampusnya secara resmi di hadapan Prabu. Terlebih, ia juga sudah mengkonfirmasi dengan sang ketua program studi, Pak Abimana dan dikonfirmasi bahwa benar ia tidak masuk dalam daftar dosen pendamping PKM tahun ini. Prabu mengeluarkan kekecewaannya karena ia tak dianggap, padahal beberapa tahun silam ia meloloskan beberapa tim-nya bahkan hampir semuanya lolos. Denias menenangkannya, dengan alasan mungkin kampus ingin adanya pembaruan. Sehingga, mau tidak mau kampus harus meregulasi semua timnya. Ia juga menambahkan, bahwa dosen pendamping yang tahun lalu yang meloloskan selain Prabu juga tidak diikutkan. Dengan begitu, Prabu merasa setidaknya ia tak sendiri. Ia pun bernapas lega. Sayangnya, berita lebih buruknya adalah besok subuh mereka harus pulang lebih awal karena mereka berdua wajib hadir dalam rapat dengan dosen pendamping
Ulma menyodorkan bukti struk pembayaran ke Tuti perihal pemesanan kamar penginapan. Setelah selesai, Tuti menanyakan kondisi Ibuku dan keadaan keluarga, terlebih mereka yang paling tahu tentangkeadaan keluarga dan problema yang ku hadapi. Beberapa kali mereka menjadi tempat curhatanku di kala sedang bermasalah. Betapa pahamnya mereka mengenai kondisiku. Tak lama, namanya naluri cewek pasti ingin bergosip. Tuti menceritakan beberapa tamu yang memesan penginapan, karena rata-rata tempat penginapannya di dominasi oleh kaum pria. Rata-rata pekerjaannya adalah sopir truk, sales dan beberapa yang sedang melakukan perjalanan dinas. Dan salah satunya, ia menceritakan pria yang bekerja sebagai sales yang diakui sebagai gebetannya yang bernama Reno. Itu dikarenakan ia telah mengenal pria tersebut selama 5 tahun. Dan ditambah bahwa Reno merupakan pelanggan setia yang selalu menginap di Hotel Jati Sari. Belum lagi, mereka mulai akrab ketika Reno ketika berkeluh kesah perihal pekerjaannya ketika s
Pandangan Prabu terpaku dengan seorang wanita dengan memakai kerudung segiempat berwarna dark grey tengah linglung berjalan sambil menyeruput air minuman kemasan. Tak tahu mengapa, Prabu seperti tak asing dengan melihatnya berjalan.“Kok, aku pernah lihat ya? Tapi dimana?” ragu Prabu.Kemudian, wanita yang ia sorot itu beberapa kali menengok ke arah kanannya karena bunyi klakson mobil yang lewat. Seketika mata Prabu membulat, akhirnya ia bertemu denganku. Saat akan mengejar, petugas keamanan rumah sakit tersebut menutup gerbang yang khusus untuk orang-orang yang menjaga pasien. Karena tak berhasil, ia pun segera berbalik dan menghampiri teman-temannya. Sesampainya di bagian informasi, Ulma menanyakan ruangan Ibuku dirawat.“Halo, selama sore Ibu. Ada yang bisa dibantu?” sapa resepsionis itu.“Permisi mbak. Untuk pasien atas nama Ibu Isti, dirawat di kamar nomor berapa mbak?” tanya Ulma. Resepsionis meminta Ulma dan kawan-kawan menunggu. Secepatnya ia mencari data di komputernya. Setela
Pak Bejo akhirnya kepada mereka berempat bahwa saat ini dia butuh tambahan uang untuk membayar pajak mobil dalam kurun waktu terdekat. Sehingga, ia rela melakukan pekerjaan driver online dan offline agar penghasilannya bertambah. Tapi, tak disangka pada aplikasi driver online-nya ia lupa mematikan notifikasinya. Sehingga, ketika Ulma menelpon, ia sempat kaget tapi ia butuh uang juga. Akhirnya, ia mengaku salah dan mempersilahkan mereka berempat masuk secara bersamaan. “Hemm … jadinya kita naik taxi online rasa angkot ya,” sindir Denias yang ditujukan kepada Alvaro. Sontak Alvaro berdecak. Prabu dengan segera meminta Pak Bejo mengantarkan mereka, terlebih mereka menuju ke orang yang sama, yaitu Aku. Ia meminta Ulma duduk di depan sebagai penunjuk jalan ke arah rumahku. Ulma pun menyanggupi. Akhirnya, Pak Bejo pun mengangkut barang-barang mereka dan pergi menuju ke rumahku. *** Sesampainya mereka tiba di kediamanku. Ada kakek yang menemui mereka, dan ia pun sekilas melihat Ulma. Deng
Ibu dilarikan ke rumah sakit. Badan dan tangan gemetar seperti orang menggigil. Wajahnya pucat, mata sembab dan bibirnya yang pucat. Sang perawat membawanya ke ruang tindakan cepat agar Ibu ditangani secara cepat. Perawat kemudian menyuntikkan beberapa cairan obat ke tubuh Ibuku. Sampai akhirnya, dokter memutuskan untuk segera membawanya untuk mencari kamar dan meminta memasang infus untuk di-opname. Aku dan Reza menunggu di luar dan berharap Ibu baik-baik saja. “Mbak, apa aku tak keluar kuliah saja. Aku akan cari kerja saja. Biar ibu gak kepikiran bayar hutangnya,” tegas Reza. Aku menoleh dan memintanya tidak bertindak secara gegabah. Lantas, Aku menolak mentah-mentah keinginannya itu. “Gak boleh, kamu kuliah saja. Urusan seperti ini buat orang dewasa,” tolakku kepada adikky. Justru, hal tersebut membuatnya tak terima. “Aku ini sudah gedhe (besar) mbak, aku juga gak tega lihat Ibuku sakit-sakitan seperti ini terus. Selalu saja berakhir seperti ini. Aku sebagai anak dan aku cowok,