Semua peserta berhamburan di kampus Pandawa. Mereka memanfaatkan momen untuk berfoto bersama, ada yang selfie bahkan bersantai sambil menikmati pemandangan di kampus tersebut. Tak terasa, jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Semua handphone peserta berbunyi secara sahut menyaut yang menandakan bahwa mereka harus memasuki nomor ruangan yang di instruksikan. Mereka pun akhirnya satu per satu berpisah. Termasuk Ulma dan Aku. Tapi, kami hanya bersebelahan kelas saja.
"Eka, aku di gedung Sadewa lantai 3F. Kamu dapat dimana?" tanya Ulma.
"Aku dapat di gedung Sadewa lantai 3E." jawabku.
Kami berdua kegirangan karena mereka bisa bersama walau hanya berpisah beberapa jam di ruang terpisah. Ulma sempat menyayangkan tidak bisa satu kelas denganku karena tidak bisa ngobrol lebih lama. Aku menenangkan Ulma agar menerima keputusaan yang sudah ditetapkan.
Sesampainya di gedung Sadewa lantai 3, kami berdua berpisah. Ulma masuk ke kelas F, dan Aku memasuki kelas E yang dimana terdapat 4 barisan meja panjang. Saat memasuki ruangan itu, Aku duduk di meja nomor 3 yang berisikan 4 bangku. Semakin lama, ruangan itu menjadi penuh. Dugaanku bahwa 3 orang yang duduk di meja ini merupakan orang-orang yang akan menjadi rekan satu timku nanti.
Tak butuh waktu lama, tiga orang mulai memasuki ruangan itu. Orang pertama yang masuk adalah seorang laki-laki memakai jas almamater kampus, terkesan seperti wajah mahasiswa. Kedua adalah laki-laki paruh baya, rambutnya sudah terlihat 10% rambutnya berwarna putih memakai kacamata, berpakaian batik, sepertinya dari pihak Kementerian. Satunya lagi, pria muda kisaran umur mendekati 30 tahun, gagah, tinggi, tipe kulit light beige, berjalannya bak model yang membuat seisi ruangan terpana, kecuali Akuyang sibuk mengeluarkan buku catatan dan pulpen yang entah terselip dimana.
Laki-laki yang memakai jas almamater itu membuka acara dan memperkenalkan diri. Ia bernama Nadeo. Mahasiswa semester 6 di Universitas Pandawa. Selama pelatihan, ia bertugas membantu secara teknis dan menjadi MC (biar irit anggaran). Dilanjutkan ia mempersilahkan dua pria disebelahnya untuk memperkenalkan diri.
Pria paruh baya atau biasa dipanggil dengan Pak Nofal. Ia menjelaskan secara singkat mengenai riwayat hidupnya serta menjelaskan prosedur selama menjalani proyek ini. Dimana, nantinya Pak Noval akan bergantian dengan pria yang di sebelahnya untuk membimbing peserta bisa menghasilkan modul yang kreatif, menarik tetapi pesannya tersampaikan. Setiap kelas, akan dibimbing oleh satu orang dinas dan satu orang dosen jurusan Desain Komunikasi Visual dari universitas terbaik di Indonesia dan salah satunya dari Universitas Pandawa.
Aku pun akhirnya menemukan bolpen yang terselip di dalam tas. Saat giliran pria yang terakhir akan memperkenalkan diri, tiba-tiba pandanganku terhalang oleh ibu-ibu di depan yang sedang mencari posisi memotret untuk membuat stories media sosial mereka.
"Duh, ganteng banget si. Kalau bisa jadi mantuku." kata Ibu pertama.
"Foto dulu, lumayan biar heboh grup chat. Bisa ku kenalin ke anak-anakku." kata Ibu kedua.
Pria terakhir mulai memperkenalkan dirinya.
"Perkenalkan, saya Prabu Bagaskara. Bisa Anda panggil saya Prabu. Usia 29 tahun. Saya dosen Universitas Pandawa mengajar program studi Desain Komunikasi Visual di sini. Salam kenal semuanya, saya harap ilmu saya bisa membantu kalian semua." Prabu yang memperkenalkan dirinya.
Sontak membuat perempuan di sana heboh reaksinya, lagi-lagi kecuali diriku. Hanya bisa kaget melihat reaksi heboh ibu-ibu satu ruangan. Hanya saja, aku seperti pernah mendengar nama Prabu baru-baru ini tetapi tidak ingat dimana.
Nadeo pun menjelaskan bahwa setelah acara pembukaan selesai, berikutnya adalah menentukan kelompok kerjanya. Dan benar saja dugaanku, bahwa akan masuk ke kelompok 3 karena penentuan kelompok berdasarkan meja yang di tempati dan ketua kelompoknya berdasarkan siapa yang di barisannya duduk di kursi yang terdapat tali hijau. Untungnya aku tidak melihat adanya pita warna hijau di kursinku. Hah ... syukurlah. Dan ternyata yang dapat di barisanku adalah bapak-bapak.
Agenda berikutnya adalah sesi perkenalan peserta pelatihan dengan menyebutkan nama dan asal kotanya saja dengan cara berdiri. Satu per satu mulai memperkenalkan diri. Sampailah tiba giliranku.
"Halo semua, saya Eka Febrina. Bisa panggil saya Eka. Asal dari kota Kendal. Terima kasih." Eka memperkenalkan diri.
Namun, saat menghadap ke depan, mataku terbelalak. Kaget, karena tak disangka Aku bertemu lagi dengan orang yang songong di jalan kampus tadi pagi, dan kebetulan juga pria itu juga terkejut melihatku juga.
"Bu Eka, silahkan duduk Bu. Selanjutnya!" sahut Nadeo yang membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk dan perlahan duduk di kursi. Sesekali curi-curi pandang ke depan melihat wajah pria itu untuk meyakinkannya dengan orang di kejadian tadi pagi. Kemudian ku mencoba mengingat lagi, Aku sepertinya pernah mendengar nama Prabu. Setelah berusaha mengingat, ternyata terlintas memori saat Aku dan laki-laki itu berdebat, datanglah Pak Satpam dan berbincang kepada pria itu.
"Mas Prabu, segera ke Balairung gih, Pak Menteri mau datang." kata Pak Satpam yang akhirnya handphonenya berdering dan pria itu mengangkat panggilan tersebut.
Aku pun syok dan kaget ternyata orang yang tadi pagi berdebat dengannya gara-gara hampir menabrak Bu Sri adalah Pak Prabu, yang saat ini di depanku. Ini merupakan pertemuan kali keduanya dalam satu hari. Dan saat ini juga Prabu mengawasiku dengan tatapan sangar wajahnya, seolah-olah ia memiliki dendam karena dipermalukan di depan jalan tadi. Harapku semoga selama pelatihan satu bulan ini tidak terjadi hal yang aneh-aneh yang menimpa diriku.
Perkenalan pun selesai. Nadeo membacakan agenda pada hari senin depan dan membawa peralatan apa saja. Selama satu bulan, mereka diberi jatah libur hari minggu agar bisa menikmati dan bersantai di Jakarta.
Sebelum Nadeo menutup pertemuan, Prabu menyela.
"Ada yang penting lagi!" Prabu menyela. Semua terdiam.
"Maaf Nadeo, saya potong karena ini menyangkut kegiatan kedepannya. Namanya dosen, pasti ada aturan yang harus dibuat untuk menunjang kuliahnya," pinta Prabu kepada Nadeo yang dijawab dengan anggukan Nadeo.
"Selama saya menjadi mentor, ada beberapa hal yang harus diperhatikan berlaku bagi semua. Yang pertama, saya saya ingin semua terlibat aktif. Kedua, kerja kelompok sangat penting, semakin banyak ide dan diskusi semakin bagus. Jika mematuhi hal tersebut, saya akan langsung berikan nilai bagus dan menjamin sertifikat cepat selesai," Aturan Prabu yang membuat semua orang diruangan terdiam.
Kemudian, ia melanjutkan perkataannya sambil memandang marah kepadaku.
"Yang terakhir, ini adalah hal yang saya tidak suka," kata Prabu mengancam.
"Pertama, saya tidak suka orang yang tidak disiplin, lelet dan stuck idenya. Kedua, saya paling benci dengan orang yang ikut campur dalam urusan saya. Saya tipe orang jika sudah benci kepada orang itu, saya tidak segan-segan membuat perhitungan dengan dia. Bisa jadi, saya tidak segan-segan mengeluarkan dari tim saya. Bahkan, saya tidak akan memberikan sertifikatnya, oh atau.." Prabu menghentikkan kalimatnya dan membuat semua orang semakin berderbar karena penasaran, termasuk Aku.
"Sertifikatnya saya robek dihadapannya." kata Prabu dengan tegas.
Semua orang didalam ruangan tersebut menelan ludahnya, walau Prabu ganteng tetapi dia killer. Tak segan kepada pesertanya yang jauh lebih senior.
"Hukum Newton 3. Dimana ada aksi, maka timbul reaksi. Isn't true, Bu Eka?" ucap Prabu yang mengarah secara otodidak kepadaku. Aku hanya terdiam dan mengangguk sambil merapatkan mulut. Prabu pun puas bisa memberikan ancaman tersebut. Nadeo mengakhiri tugasnya. Acara telah selesai.
Ulma yang keluar dari ruangannya aku tarik keluar dan meminta menemani ke pusat Informasi.
"Eka, ada apa? sampai lari-lari gini, emang ada gempa? gedungnya mau roboh?" tanya Ulma yang heran dengan sikapku.
"Ul, gawat... gawat.. bantuin aku. Nanti aku cerita pas sudah sampai ke pusat informasi saja." pintaku kepada Ulma.
Sesampainya ke tempat Informasi. Aku meminta petugas untuk pindah ke kelas lain. Namun, sekeras apapun meminta dan beralasan, tetap tidak diterima oleh petugas. Karena menghindari isu-isu yang tidak sedap, seolah-olah bisa saja aku mendapatkan hak istimewa dan itu dilarang oleh kementerian.
Akhirnya aku memilih jalan pasrah, dengan keluar dari ruang informasi. Ulma yang didepan menunggu kemudain menghampiriku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku menceritakan secara singkat kejadian tadi pagi dan saat acara perkenalan. Ketakutanku karena Prabu mengancam jika membuatnya sampai benci, bakal dikeluarkan dari timnya. Aku tidak mau hal itu terjadi, karena bakal mengecewakan sekolah dan guru-guru yang sudah banyak membantu. Ulma pun mencoba menenangkan.
"Sudahlah Ka, gak papa kok. Kan cuman satu bulan pelatihan. Sabar aja. Kamu pasti bisa. Aku mau bantu, tapi bagaimana kalau sudah ditetapkan. Aku gak bisa merubah." kata Ulma yang beberapa dari kalimatnya pernah Aku sampaikan beberapa waktu lalu alias copy paste.
"Kamu nyindir aku?" tanyaku kepada Ulma.
Ulma pun tertawa dan mencoba menenangkanku bahwa hal itu pasti akan segera dilupakan karena manusia cepat sekali dengan lupa. Kami berdua akhirnya pulang karena hari semakin sore. Sesampainya di Kost Tiara, Aku mulai memikirkan strategi agar tidak didepak oleh dosen sombong, Prabu Bagaskara.
Jam dinding Hawai Bar menunjukkan waktu delapan malam. Prabu tiba di sana lebih dulu. Sekitar sepuluh menit ia duduk, lantas segera menghubungi temannya kembali menanyakan keberadaan mereka. Tak lama menunggu sekitar tujuh menit, Alvaro dan Denias turun dari taxi. Mereka berdua memasuki Bar tersebut dan Prabu yang melihat segera melambaikan tangan kepada dua sahabatnya itu untuk memberikan tanda tempat nongkrongnya. Mereka berdua kemudian menuju ke tempat Prabu duduk. “Lo berdua lagi balas dendam sama gue ya!” sindir Prabu kepada kedua sahabatnya yang telat datang. Sama halnya saat Prabu telat datang di perhelatan tadi pagi. “Makanya, lain kali jangan mulai dulu. Tumbenan lo kalau urusan alkohol nomor satu lo!” jawab Denias yang balik menyindir. Alvaro melerai perdebatan kecil mereka dan meminta Prabu segera menyiapkan pesanan. “Hei, you two! kalian ini dosen tapi sekali ribut kaya anak SD. Oke Prab, sebelum kita mendengar permintaan maaf dari lo, beernya siapkan dahulu dong.” pint
Weekend terakhir sudah terlewati, hari pelatihan pertama pun tiba. Semua rombongan yang saat hari sabtu kemarin kembali menapaki halaman Universitas Pandawa, bedanya mereka tidak ke Balairung lagi. Jika dilihat, nampak sekilas seperti anak kampus yang berangkat kuliah di gedung. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, beberapa orang mulai memasuki ruangan masing-masing termasuk Aku. Di dalam gedung Sadewa ruangan 3E, Aku berdo’a agar selama pelatihan nanti berjalan lancar, tidak terjadi masalah dan tidak membuat kesalahan kepada Pak Prabu. Tak lama, tim desain yang satu kelompok denganku datang. Kami akhirnya berkenalan. Pertama, yang menjadi ketua kelompok tiga bernama Pak Emil dari Bandung, berikutnya yang umurnya tak jauh dari Pak Emil adalah Bu Zeva yang berasal dari Palangkaraya, dan yang terakhir ia guru yang paling muda di kelompok bernama Bu Nafis yang berasal dari Makasar. Mereka pun sempat berbincang dan bercanda, walau di lubuk hatiku di hantui rasa was-was akan pelatihan hari pe
Setelah introspeksi tiga kesalahannya di waktu lalu, ditambah masih ada 25 hari aku masih bertempur di kampus tersebut dan tahu bahwa perjalanan ini bakal lebih berat. Dengan mengucapkan basmalah, aku merapikan jilbab, kemudian melangkahkan kaki keluar dari pagar kos untuk siap mengahadapi sisa waktu di Universitas Pandawa. Pelatihan hari keempat dimulai. Seperti biasa, kampus penuh dengan para peserta pelatihan proyek. Ulma yang berada di parkiran motor menungguku di atas joknya. Tak lama ada suara memanggilnya dari kejauhan. “Ulma!” teriakku. Ulma berbalik dan menghampiri. “Eka, are you ready today?” tanya Ulma yang penuh semangat, karena temannya itu sedang berusaha bangkit agar tidak insecure lagi. Hal itu ku jawab dengan teriakan “iya” secara lantang sembari mengepalkan kedua tangan. Akhirnya, kami berdua menuju ke lantai 3 gedung Sadewa, tempat pelatihan kami. Kebersamaan tersebut akhirnya berhenti saat di ruangan 3E, dimana tempat tersebut merupakan ruangan pelatihanku. Kami
Akhirnya, tugas sesungguhnya datang. Tugas tersebut adalah membuat desain modul berdasarkan bab yang sudah ditentukan bersama kelompoknya. Kelompok 3 yang terdiri dari aku, Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis mendapatkan materi "lingkaran". Kami berempat membuat grup chat lagi untuk pembahasan lebih mendetail. Sampai tak terasa, pelatihan hari itu berakhir pada jam dua sore. Kami semua diminta mengumpulkan hasil desain modulnya pada hari senin depan. Artinya, masih ada waktu tiga hari untuk mengerjakannya. Selama tiga hari, Aku dan kelompokku berkutat mendesain modul. Aku dan Pak Emil bagian desain. Sedangkan Nafis dan Bu Zeva bagian tipografi atau penulisannya. Sampailah tiba hari senin, kami semua berkumpul lagi di kelas. Di dalam sana, kami tengah sibuk mengecek persiapan yang akan ditampilkan saat presentasi nanti. Tak selang beberapa lama Prabu, Pak Nofal dan Nadeo memasuki ruangan. Semua tampak biasa saja di awal, terkecuali Prabu hari ini. Entah kenapa raut mukanya lebih seram dibandin
Esok harinya, pelatihan berjalan seperti biasa. Yang membedakan hanyalah Prabu yang absen dua hari karena mendapatkan sanksi dari kampus. Sehingga, yang mengisi materi hanyalah Pak Nofal saja. Sebelum pelatihan berakhir, Pak Nofal memberi tahu kepada peserta di ruangan 3E mengenai kehadiran Prabu yang direncanakan besok sudah bisa kembali mengajar. Semua peserta di ruangan tersebut langsung berkeluh kesah karena merasa tidak damai. Rasanya seperti akan maju ke medan tempur lagi setelah suasana damai. Salah satu peserta protes dan meminta untuk Pak Nofal saja yang mengajar karena selama absennya Prabu, pelatihan berjalan lancar. Namun, Pak Nofal tidak bisa menolak karena sudah termasuk SOP proyeknya. Update mengenai kehadiran Prabu akan dikabari nanti malam melalui chat grup. Akhirnya Nadeo dan Pak Nofal menutup kegiatan. “Aduh, besok Pak Prabu datang.” keluh Nafis “Harus beli minyak kayu putih lagi nih. Belum apa-apa malah sudah pusing lagi.” Bu Zeva kemudian mengeluarkan minyak puti
Memang benar apa kata orang. Jangan pernah sekalipun mengharapkan ekspektasi yang terlalu tinggi, karena ujung-ujungnya kalau tidak sesuai sakit juga, terlebih dengan manusia semacam Prabu Bagaskara. Inilah yang dirasakan kelompok tiga saat ini. Rasanya, harapan kami untuk acc masih panjang. Layaknya mahasiswa yang sudah capek-capek ngetik sampai bela-belain lembur dan begadang, harapan untuk acc masih belum direstui oleh semesta. Entah apa yang ada di kepala Prabu yang mengharuskan kami merevisi lagi. Setelah seharian kemarin tidak ada kabar bahkan membalas pesan dari Pak Emil pun tak digubris. Tiba-tiba esoknya grup chat kelompok tiga terdapat pesan dari Pak Emil. Ternyata saat malam hari, Prabu sempat membalas chat Pak Emil, namun beliau baru membukanya hari ini. Pak Emil Kelompok 3 Malam Pak Emil. Maaf, saya baru membalas. Silahkan besok kumpul di ruang kelas 3E pukul tujuh beserta print outnya. E-mail yang bapak kirim kemarin belum saya lihat. Terima kasih. (Balasan dari Pak Pr
Kelompok tiga dari kelas 3E kembali ke rutinitas semula, yaitu bimbingan. Tepat di depan ruangan Prabu kami berkumpul lagi. Kenapa? Revisi! Lelah? Pasti! Setiap pagi kami absen hadir terlebih dahulu dibandingkan penghuni yang lain, terkecuali Satpam dan office boy. Anggap saja, lagi nostaligia bimbingan skripsi. Tak lama, Prabu datang dan mempersilahkan kami masuk ke ruangan. Aku yang akan masuk, diberhentikan oleh Pak Emil. Aku dan yang lainnya menoleh satu sama lain. “Bu Eka, anda sakit?” tanya Pak Emil yang khawatir karena aku terlihat pucat. Aku menggelengkan kepala yang artinya baik-baik saja. “Haduh, pasti kamu lelah. Ayo kita semua temani Bu Eka. Cuzzz ….” perintah Pak Emil. Bu Zeva dan Nafis menyanggupi dan memasuki ruangan Prabu. Setelah Prabu menarik kursi duduknya, aku menyodorkan kertas yang sudah ia print lagi. Kertas yang disobek oleh Prabu malam kemarin, tidak ia tunjukkan. Prabu merasa tak enak hati padanya karena sudah sarkas kepadanya. Karena egonya yang terlalu
Prabu kembali ke rutinitas semula. Kali ini, ia ke kampus membawa motor kesayangannya. Saat memasuki ruangan dosen, ia dicegat oleh Alvaro dan Denias yang sudah menunggu di ruangannya. “Good morning Prabu,” sapa Denias. “Kenapa lo berdua?” tanya Prabu keheranan dengan tingkah kedua rekan kerjanya itu. “We need to talk, seriously, now!” ajak Alvaro dengan ekspresi seriusnya. Prabu mengenduskan napas, kemudian memasuki ruangannya dan duduk di kursi kerjanya sambil menyalakan komputernya. Pagi-pagi sudah mengajak berbicara serius. “Right now,I can’t ….” tolak Prabu dengan manjanya. “No, no … ini menyangkut perdamaian dan hubungan TRIO PAD di masa depan.” ucap Denias. Prabu memejamkan mata sambil menyenderkan kepala di kedua tanggannya. Karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal pribadi di kampus. Ia mengatakan akan terlihat tidak etis di antara civitas akademik dan dianggap tidak bekerja secara professional. “Tonight at Sky Lounge, 10 pm, how?” balas Prabu. “Ha
Aku benar-benar bisa gila. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat nominal sembilan digit ini di dalam rekeningku. Paling maksimal saja cuma tujuh digit saja. Tak pernah lebih dari itu. Harus ku apakan semua uang ini. Karena terlalu banyak berpikir, tukang ojek yang aku pesan memintaku untuk segera membayarnya karena ia akan lanjut mengambil orderan. "Baik Pak, maaf sebentar lagi ya," balasku.Ia pun menuruti. Aku mulai menjernihkan pikiranku. Dan segera mengatur anggaran yang harus dikeluarkan. Manakah yang anggaran yang paling urgensi dulu. Setelah aku pertimbangkan."Bayar biaya rumah sakit, setelahnya melunasi hutang Ibuku dahulu. Sip!" Kemudian aku mengambil uang sebesar satu juta untuk keperluan Ibuku selama di Rumah sakit. Setelah itu, membayar segala administrasinya secara kontan."SERRRR .... KLEKK" bunyi ATM yang melakukan transaksi. Uang lembaran seratus ribu keluar dari mulut mesin itu. Setelah ku rasa nominalnya sudah benar, aku kemudian keluar dan membayar tagihan oje
Matanya mengeluarkan aura yang sangat tajam. Kali ini ia tidak boleh ada kata GAGAL, agar bisa mempertahankan warisan dari Nyonya Mirna. Kali ini aku terjebak oleh permainannya. Ia sudah mengetahui apa yang menjadi kelemahanku saat ini yaitu Ibuku. "Kalau aku jadi kau, aku tak terima jika hal itu terjadi pada keluargaku. Walau yang menghina adalah kerabat terdekatku. Solusi dariku adalah pisahkan Ibumu dari Eyangmu. Kita lihat apakah ia mampu bertahan dan buat dia semakin jera karena menyesal melakukan tindakan bodoh itu!" desaknya. Tak lama, ia menyodorkan surat yang sudah diberi meterai dan nama terangku. "Don't waste the time! gunakan kesempatan emasmu ini!" ucapnya dengan seringai. Aku mulai melihat sekilas surat kontrak itu. Kemudian menghela napas. "Satu tahun ?" tanyaku. "Kata dokter, usia nenek bertahan satu tahun lagi. Kemungkinan bisa panjang, bisa juga tidak." jelasnya. Satu tahun, aku harus hidup dengannya dengan penuh sandiwara kemudian setelah ditinggal Nyonya Mirn
Aku menceritakan apa yang terjadi setelah Reza menanyakan hasilnya. Ibu mendengar, langsung menangis sesenggukan. Dipeluklah ia oleh Reza dan berusaha menenangkan. Baru kali ini aku melihat mata Reza yang berkaca-kaca. Mungkin, sebagai anak laki-lakai berpikir bahwa sudah saatnya dia harus memikul beban keluarga juga. Lalu, bagaimana dengan kuliahnya? Walaupun sudah dibantu dengan biaya Bidikmisi, tapi sama saja belum cukup untuk membantu orangtuanya itu. Hatiku semakin tersayat mengingat sebagai anak pertama dan perempuan. Sempat ada rasa sesal karena tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, aku ingin membantu ekonomi keluarga, tapi pekerjaan sebagi guru honorer tak bisa membantu apa-apa kepada keluargaku.Ibu setelah menjalani perawatan kemudian tertidur pulas. Terlihat wajahnya yang sudah lelah itu. Belum juga pasti kepikiran perkataan nenek tadi. Di lantai, Reza juga tertidur pulas. Tak lama, seorang perawat masuk untuk pengecekan pasien. Setelahnya, ia memanggilku dan meminta untuk
Keesokan harinya, Ulma bangun dari tidur nyenyaknya. Kebetulan juga ia mau menunaikan salat subuh berjama’ah di mushola penginapan tersebut. Sembari memakai mukena, tak lupa ia mengecek sesuatu. Dengan harapan, ia bisa bertemu dengan Denias. Tak lama, adzan subuh berkumandang. Inilah saatnya Ulma beraksi. Ia keluar dari kamarnya dan tak lupa menguncinya. Setelahnya, ia berjalan menuju ke mushola, sesekali ia memantau sekitar untuk melihat batang hidung dosen idolanya itu. Sesampainya di depan mushola, ia beberapa kali menunggu kehadiran Denias. Tapi, tak kunjung muncul juga. Sampai akhirnya, Tuti yang datang lebih dahulu di masjid, menengok kelakuan Ulma yang tak kunjung masuk masjid. Ia pun meninggalkan sajadahnya dan menghampiri Ulma. “Duh, dari tadi gak nongol-nongol ya. Di dalam juga gak ada, apa dia salat sendiri?” gumam Ulma. Tuti kemudian berada di belakangnya, dan mendengar omongan darinya. Melihat temannya sedang risau, sebuah kaplokan kencang dari Tutut terhempas di punggu
Prabu masih tak percaya mengenai kampus yang memperlakukannya seperti ini. Lantas, Alvaro pun menyanggahnya dengan melihatkan bukti berupa surat keterangan dari kampusnya secara resmi di hadapan Prabu. Terlebih, ia juga sudah mengkonfirmasi dengan sang ketua program studi, Pak Abimana dan dikonfirmasi bahwa benar ia tidak masuk dalam daftar dosen pendamping PKM tahun ini. Prabu mengeluarkan kekecewaannya karena ia tak dianggap, padahal beberapa tahun silam ia meloloskan beberapa tim-nya bahkan hampir semuanya lolos. Denias menenangkannya, dengan alasan mungkin kampus ingin adanya pembaruan. Sehingga, mau tidak mau kampus harus meregulasi semua timnya. Ia juga menambahkan, bahwa dosen pendamping yang tahun lalu yang meloloskan selain Prabu juga tidak diikutkan. Dengan begitu, Prabu merasa setidaknya ia tak sendiri. Ia pun bernapas lega. Sayangnya, berita lebih buruknya adalah besok subuh mereka harus pulang lebih awal karena mereka berdua wajib hadir dalam rapat dengan dosen pendamping
Ulma menyodorkan bukti struk pembayaran ke Tuti perihal pemesanan kamar penginapan. Setelah selesai, Tuti menanyakan kondisi Ibuku dan keadaan keluarga, terlebih mereka yang paling tahu tentangkeadaan keluarga dan problema yang ku hadapi. Beberapa kali mereka menjadi tempat curhatanku di kala sedang bermasalah. Betapa pahamnya mereka mengenai kondisiku. Tak lama, namanya naluri cewek pasti ingin bergosip. Tuti menceritakan beberapa tamu yang memesan penginapan, karena rata-rata tempat penginapannya di dominasi oleh kaum pria. Rata-rata pekerjaannya adalah sopir truk, sales dan beberapa yang sedang melakukan perjalanan dinas. Dan salah satunya, ia menceritakan pria yang bekerja sebagai sales yang diakui sebagai gebetannya yang bernama Reno. Itu dikarenakan ia telah mengenal pria tersebut selama 5 tahun. Dan ditambah bahwa Reno merupakan pelanggan setia yang selalu menginap di Hotel Jati Sari. Belum lagi, mereka mulai akrab ketika Reno ketika berkeluh kesah perihal pekerjaannya ketika s
Pandangan Prabu terpaku dengan seorang wanita dengan memakai kerudung segiempat berwarna dark grey tengah linglung berjalan sambil menyeruput air minuman kemasan. Tak tahu mengapa, Prabu seperti tak asing dengan melihatnya berjalan.“Kok, aku pernah lihat ya? Tapi dimana?” ragu Prabu.Kemudian, wanita yang ia sorot itu beberapa kali menengok ke arah kanannya karena bunyi klakson mobil yang lewat. Seketika mata Prabu membulat, akhirnya ia bertemu denganku. Saat akan mengejar, petugas keamanan rumah sakit tersebut menutup gerbang yang khusus untuk orang-orang yang menjaga pasien. Karena tak berhasil, ia pun segera berbalik dan menghampiri teman-temannya. Sesampainya di bagian informasi, Ulma menanyakan ruangan Ibuku dirawat.“Halo, selama sore Ibu. Ada yang bisa dibantu?” sapa resepsionis itu.“Permisi mbak. Untuk pasien atas nama Ibu Isti, dirawat di kamar nomor berapa mbak?” tanya Ulma. Resepsionis meminta Ulma dan kawan-kawan menunggu. Secepatnya ia mencari data di komputernya. Setela
Pak Bejo akhirnya kepada mereka berempat bahwa saat ini dia butuh tambahan uang untuk membayar pajak mobil dalam kurun waktu terdekat. Sehingga, ia rela melakukan pekerjaan driver online dan offline agar penghasilannya bertambah. Tapi, tak disangka pada aplikasi driver online-nya ia lupa mematikan notifikasinya. Sehingga, ketika Ulma menelpon, ia sempat kaget tapi ia butuh uang juga. Akhirnya, ia mengaku salah dan mempersilahkan mereka berempat masuk secara bersamaan. “Hemm … jadinya kita naik taxi online rasa angkot ya,” sindir Denias yang ditujukan kepada Alvaro. Sontak Alvaro berdecak. Prabu dengan segera meminta Pak Bejo mengantarkan mereka, terlebih mereka menuju ke orang yang sama, yaitu Aku. Ia meminta Ulma duduk di depan sebagai penunjuk jalan ke arah rumahku. Ulma pun menyanggupi. Akhirnya, Pak Bejo pun mengangkut barang-barang mereka dan pergi menuju ke rumahku. *** Sesampainya mereka tiba di kediamanku. Ada kakek yang menemui mereka, dan ia pun sekilas melihat Ulma. Deng
Ibu dilarikan ke rumah sakit. Badan dan tangan gemetar seperti orang menggigil. Wajahnya pucat, mata sembab dan bibirnya yang pucat. Sang perawat membawanya ke ruang tindakan cepat agar Ibu ditangani secara cepat. Perawat kemudian menyuntikkan beberapa cairan obat ke tubuh Ibuku. Sampai akhirnya, dokter memutuskan untuk segera membawanya untuk mencari kamar dan meminta memasang infus untuk di-opname. Aku dan Reza menunggu di luar dan berharap Ibu baik-baik saja. “Mbak, apa aku tak keluar kuliah saja. Aku akan cari kerja saja. Biar ibu gak kepikiran bayar hutangnya,” tegas Reza. Aku menoleh dan memintanya tidak bertindak secara gegabah. Lantas, Aku menolak mentah-mentah keinginannya itu. “Gak boleh, kamu kuliah saja. Urusan seperti ini buat orang dewasa,” tolakku kepada adikky. Justru, hal tersebut membuatnya tak terima. “Aku ini sudah gedhe (besar) mbak, aku juga gak tega lihat Ibuku sakit-sakitan seperti ini terus. Selalu saja berakhir seperti ini. Aku sebagai anak dan aku cowok,