Prabu tengah sibuk menuliskan sesuatu di kertas. Tak lama, ia meletakkan pulpennya. Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis langsung mengambil napas secara bersamaan. Bersiap-siap untuk menerima perintah dari Prabu. “Apakah ini sudah maksimal tidak bisa diubah lagi?” tanya Prabu. “Sudah tidak bisa Pak,” jawab Pak Emil dengan senyum pemaksaannya. Demi disahkan oleh Prabu. Prabu kemudian mengusap dahinya. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Sebenarnya, ia sudah capek menghadapi beberapa peserta yang selalu mendapat revisi darinya, tapi dia menuntut kesempurnaan. Belum lagi urusan dengan mahasiswanya yang minta bimbingan tugasnya. “Oke tidak mengapa. Ini sudah jauh lebih baik. Sebelum saya sahkan, mohon untuk meningkatkan lagi warnanya. Ini masih terlalu pucat, dan juga beberapa font tolong dilihat proporsinya ya. Kita lanjutkan besok lagi. Siang ini saya harus pergi karena ada acara keluarga.” Prabu menyerahkan kembali hasil pekerjaan mereka. Pak Emil kemudian mengangguk. Saat mereka berbalik da
Prabu kembali ke rutinitasnya yaitu berangkat mengajar di kampus. Semalam, ia terpaksa harus menginap di rumah karena mendapatkan ancaman dari Kakeknya jika ketahuan kabur. Terlebih, anak buahnya menjaga rumah tersebut dengan ketat. Sampai tak ada celah untuknya kabur. Setelah memakai kemeja kerja dengan rapi, ia menuju ke meja makan. Sesuai kebiasaan keluarga Bagaskara, sebelum berangkat wajib berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Di sana, sudah ada Pak Andra dan Bu Kirana yang tak lain adalah ayah dan ibu Prabu. Tak lupa Prince dan kakeknya. Prabu mengganggu Prince yang tengah lahap makan sereal. Sontak membuat Prince marah. “Kak Prabu!” rajuk Prince kepada kakak tertuanya. “WLEEEE,” goda Prabu sambil menjulurkan lidahnya. “Mom, itu tuh Kak Prabu,” protes manja Prince kepada Bu Kirana yang kemudian mengomeli Prabu yang jahil kepadanya. “Dimana nenek?” tanya Prabu kepada yang hadir di ruang makan. Semua hanya terdiam. Tak lama, Nenek yang berada di kursi roda datang
Aku berlari tanpa arah sampai akhirnya membawaku berada di sebuah terminal dan menemukan ruko yang sepi. Segera Aku mengangkat telepon dari Reza. “Halo mbak, gimana ini? Mbah sama Ibu ribut lagi mbak?” keluh Reza. Kemudian nenek merebut handphone darinya. “Eka, Ibumu kurang ajar!” tuduh Neneknya dengan nada tinggi. “Ada apa lagi nek?” tanyaku dengan nada pasrah. “Biasa, masalah ibumu pinjam uang ke pamanmu senilai seratus juta. Ini pamanmu menagih uangnya, gak bisa bayar pula! Ini semua salah ibumu, mbah yakin ibumu menggelapkan uang buat nyenengin simpanannya!” “Nek, Eka mohon sabar dulu.” Kataku menenangkan nenek yang emosi. Terdengar sayup kecil suara Ibunya yang menangis. “Aku gak salah bu, saya dijebak oleh teman kerjaku dulu.” “Bohong kamu! Andaikan kamu gak cerai, gak jadi runyam masalahnya. Kamu tuh apa? Udah janda, gak dapat hasil apa-apa dari perceraianmu. Kamu tuh tak sekolahin pintar-pintar kenapa jadi kaya gini?” bentak nenek kepada Ibuku. “Nenek gak tahu lagi cara
Prabu membawaku ke sebuah danau yang tak jauh dari Bloom Café. Kemudian di danau tersebut, ada sebuah taman. Prabu yang ngeh melihat ada penjual es krim kemudian pergi untuk membelikan es krim agar aku bisa tenang. Sebelum pergi, ia menyampaikan agar duduk di taman terlebih dahulu. Aku duduk dan memandangi pantulan bulan sabit di danau tersebut sambil mendengarkan lantunan adzan Isya. Tak lama, handphonen ku hidupkan karena sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Layar terbuka dan melihat banyak panggilan masuk seperti dari Nafis, Bu Zeva dan Pak Emil. Tiba-tiba ada sebuah notifikasi pesan dari mbah kakung. Mbah Kakung Nduk, sibuk tidak? Mbah mau berbicara. Aku kemudian membaca situasi dan berdiri mencari tempat yang sepi agar bisa leluasa. Langkah berhenti di sebuah bangunan kamar mandi yang sepi. Di balik bangunan, aku mengangkat panggilan dari Kakek. Tangisan tumpah ruah ku keluarkan. “Mbah kakung, aku harus gimana? Aku sudah gak kuat,” keluhku kepada Kakek. Seketika kakek
Tak terasa, pengerjaan proyek sudah memasuki akhir minggu ke-tiga. Artinya, masih menyisakan waktu seminggu lagi untuk menyelesaikan proyek nasional. Pagi buta ini sudah hadir Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis di kampus Pandawa. Penyebabnya, karena kemarin mereka absen bimbingan dan sama sekali belum memperbaiki revisiannya karena mengurus diriku yang sedang sakit. Jadi memanfaatkan waktu sepagi mungkin agar hari ini bisa selesai bimbingan, syukur-syukur bisa disahkan. Tak lama, Aku pun menyusul mereka. Bukannya disambut dengan gembira, malah memberi nuansa menginterogasi. “Bu Eka, kenapa kemarin gak kasih kabar kalau pulang duluan?” cerca Bu Zeva karena kemarin ia khawatir. Mereka bertiga menatapku dengan serius karena menghilang tiba-tiba dan meminta penjelasan. Mulailah aku menelan ludah. “Ceritakan kronologisnya.” tukas Pak Emil sekaligus memperbaiki posisi kacamatanya. “Iya, kemarin saya sehabis dari apotek beli madu. Kemudian tiba-tiba teringat cucian saya. Dan saya itu bawa baju se
Sore harinya, Pak Andra membawa Prabu ke kantin rumah sakit. Ia mengawali pembicaraan dengan menayakan perihal alasan sebenarnya Prabu menolak wanita yang dijodohkannya kemarin.“Bukankah berulang kali aku bilang. Dari awal mereka semua sama. Tujuannya denganku hanya demi kenikmatan duniawi saja Papa,” jawab Prabu. “Tapi ini sudah melalui proses seleksi yang ketat. Bahkan kakekmu ikut andil mencarikan,” ungkap sang ayah yang membauat Prabu menghela napas panjang.“Pa, didunia ini wanita itu matre semua. Banyak sekali keinginannya. Mereka itu tidak bisa membedakan mana keinginan mana kebutuhan. Mereka lebih condong banyak inginnya. Aku jamin, pernikahan seperti itu tidak akan bertahan lama.” “Prab, kita sudah sering membahas hal ini. Nenekmu hanya ingin kamu menikah. Sudah itu saja,” desak Pak Andra. “Aku bisa wujudkan apapun asal jangan ada syarat menikah Pah,” keluh Prabu. “Apakah kamu masih masih terbayangi Ninda?” pertanyaan Pak Andra membuat Prabu terdiam.Saat Prabu akan menja
Pernahkah kalian melihat dahsyatnya ombak air laut yang menerjang tebing? Nah, itulah yang sedang dirasakan lambungku saat ini karena asam lambungnya bergejolak. Belum lagi kecepatan Prabu mengendarai mobilnya yang membuat hembusan angin jadi kencang, bahkan ikut andil mendorong mobilnya. Aku beberapa kali berteriak sampai-sampai bisa latihan vokal nada tinggi. Mungkin, bisa mencapai nada G5. Akhirnya, Prabu berhenti di sebuah toko bunga langganannya. Ia masih dengan gaya santainya, berbeda denganku yang jilbabnya sedikit berantakan karena terpaan angin bonus kejedot di dasbor mobil Prabu. Ia kemudian turun dan memintaku untuk menunggunya. Setelah beberapa saat, Prabu kembali masuk sembari membawa buket bunga mawar merah segar dan menyerahkan kepadaku layaknya ia anggap seperti kursi duduk. Buket seberat setengah kilo itu mampu menutupi separuh badanku. Bahkan, kursi duduknya saja ketutupan dengan buket tersebut. “Gak sekalian saja Pak, masukin karangan bunganya!” cibirku ke Prabu. “
Matahari menempati posisinya agak lebih rendah. Beberapa jam lagi akan mendekati sore. Aku masih saja asik mengobrol dengan Nyonya Mirna sampai tidak ingat waktu harus menyelesaikan misi kelompok. “Bagaimana Nyonya Mirna, apakah nanti anda tertarik untuk mendaki bersama?” ajakku menghibur. “Boleh, itu ide yang bagus, kabarkan saja kepadaku nanti ya.” Balasnya dengan senyum sumringahnya. “Oh iya, kamu ini pacarnya Prabu?” tanya Nyonya Mirna yang spontan membuatku kaget. Mataku melirik ke arah Prabu. Dirinya hanya melengos. “Bu-bubu-bukan Nyonya, saya hanya peserta pelatihan proyek. Dan saya berada dalam tim yang dimentori Pak Prabu,” kataku menjawab. Namun, tak disangka setelah dijawab, ekspresi kekecewaan tergambar dari muka Nyonya Mirna. “Yah, aku harap hubungan kalian lebih dekat lagi. Jadi, kamu bisa sering-sering ke sini buat jenguk nenek. Kalau bisa jadi istri, nenek mau cucu mantu seperti kamu,” ungkap Nyonya Mirna yang membuat mataku dan Prabu terbelalak. “Hem, maksud Nyon
Aku benar-benar bisa gila. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat nominal sembilan digit ini di dalam rekeningku. Paling maksimal saja cuma tujuh digit saja. Tak pernah lebih dari itu. Harus ku apakan semua uang ini. Karena terlalu banyak berpikir, tukang ojek yang aku pesan memintaku untuk segera membayarnya karena ia akan lanjut mengambil orderan. "Baik Pak, maaf sebentar lagi ya," balasku.Ia pun menuruti. Aku mulai menjernihkan pikiranku. Dan segera mengatur anggaran yang harus dikeluarkan. Manakah yang anggaran yang paling urgensi dulu. Setelah aku pertimbangkan."Bayar biaya rumah sakit, setelahnya melunasi hutang Ibuku dahulu. Sip!" Kemudian aku mengambil uang sebesar satu juta untuk keperluan Ibuku selama di Rumah sakit. Setelah itu, membayar segala administrasinya secara kontan."SERRRR .... KLEKK" bunyi ATM yang melakukan transaksi. Uang lembaran seratus ribu keluar dari mulut mesin itu. Setelah ku rasa nominalnya sudah benar, aku kemudian keluar dan membayar tagihan oje
Matanya mengeluarkan aura yang sangat tajam. Kali ini ia tidak boleh ada kata GAGAL, agar bisa mempertahankan warisan dari Nyonya Mirna. Kali ini aku terjebak oleh permainannya. Ia sudah mengetahui apa yang menjadi kelemahanku saat ini yaitu Ibuku. "Kalau aku jadi kau, aku tak terima jika hal itu terjadi pada keluargaku. Walau yang menghina adalah kerabat terdekatku. Solusi dariku adalah pisahkan Ibumu dari Eyangmu. Kita lihat apakah ia mampu bertahan dan buat dia semakin jera karena menyesal melakukan tindakan bodoh itu!" desaknya. Tak lama, ia menyodorkan surat yang sudah diberi meterai dan nama terangku. "Don't waste the time! gunakan kesempatan emasmu ini!" ucapnya dengan seringai. Aku mulai melihat sekilas surat kontrak itu. Kemudian menghela napas. "Satu tahun ?" tanyaku. "Kata dokter, usia nenek bertahan satu tahun lagi. Kemungkinan bisa panjang, bisa juga tidak." jelasnya. Satu tahun, aku harus hidup dengannya dengan penuh sandiwara kemudian setelah ditinggal Nyonya Mirn
Aku menceritakan apa yang terjadi setelah Reza menanyakan hasilnya. Ibu mendengar, langsung menangis sesenggukan. Dipeluklah ia oleh Reza dan berusaha menenangkan. Baru kali ini aku melihat mata Reza yang berkaca-kaca. Mungkin, sebagai anak laki-lakai berpikir bahwa sudah saatnya dia harus memikul beban keluarga juga. Lalu, bagaimana dengan kuliahnya? Walaupun sudah dibantu dengan biaya Bidikmisi, tapi sama saja belum cukup untuk membantu orangtuanya itu. Hatiku semakin tersayat mengingat sebagai anak pertama dan perempuan. Sempat ada rasa sesal karena tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, aku ingin membantu ekonomi keluarga, tapi pekerjaan sebagi guru honorer tak bisa membantu apa-apa kepada keluargaku.Ibu setelah menjalani perawatan kemudian tertidur pulas. Terlihat wajahnya yang sudah lelah itu. Belum juga pasti kepikiran perkataan nenek tadi. Di lantai, Reza juga tertidur pulas. Tak lama, seorang perawat masuk untuk pengecekan pasien. Setelahnya, ia memanggilku dan meminta untuk
Keesokan harinya, Ulma bangun dari tidur nyenyaknya. Kebetulan juga ia mau menunaikan salat subuh berjama’ah di mushola penginapan tersebut. Sembari memakai mukena, tak lupa ia mengecek sesuatu. Dengan harapan, ia bisa bertemu dengan Denias. Tak lama, adzan subuh berkumandang. Inilah saatnya Ulma beraksi. Ia keluar dari kamarnya dan tak lupa menguncinya. Setelahnya, ia berjalan menuju ke mushola, sesekali ia memantau sekitar untuk melihat batang hidung dosen idolanya itu. Sesampainya di depan mushola, ia beberapa kali menunggu kehadiran Denias. Tapi, tak kunjung muncul juga. Sampai akhirnya, Tuti yang datang lebih dahulu di masjid, menengok kelakuan Ulma yang tak kunjung masuk masjid. Ia pun meninggalkan sajadahnya dan menghampiri Ulma. “Duh, dari tadi gak nongol-nongol ya. Di dalam juga gak ada, apa dia salat sendiri?” gumam Ulma. Tuti kemudian berada di belakangnya, dan mendengar omongan darinya. Melihat temannya sedang risau, sebuah kaplokan kencang dari Tutut terhempas di punggu
Prabu masih tak percaya mengenai kampus yang memperlakukannya seperti ini. Lantas, Alvaro pun menyanggahnya dengan melihatkan bukti berupa surat keterangan dari kampusnya secara resmi di hadapan Prabu. Terlebih, ia juga sudah mengkonfirmasi dengan sang ketua program studi, Pak Abimana dan dikonfirmasi bahwa benar ia tidak masuk dalam daftar dosen pendamping PKM tahun ini. Prabu mengeluarkan kekecewaannya karena ia tak dianggap, padahal beberapa tahun silam ia meloloskan beberapa tim-nya bahkan hampir semuanya lolos. Denias menenangkannya, dengan alasan mungkin kampus ingin adanya pembaruan. Sehingga, mau tidak mau kampus harus meregulasi semua timnya. Ia juga menambahkan, bahwa dosen pendamping yang tahun lalu yang meloloskan selain Prabu juga tidak diikutkan. Dengan begitu, Prabu merasa setidaknya ia tak sendiri. Ia pun bernapas lega. Sayangnya, berita lebih buruknya adalah besok subuh mereka harus pulang lebih awal karena mereka berdua wajib hadir dalam rapat dengan dosen pendamping
Ulma menyodorkan bukti struk pembayaran ke Tuti perihal pemesanan kamar penginapan. Setelah selesai, Tuti menanyakan kondisi Ibuku dan keadaan keluarga, terlebih mereka yang paling tahu tentangkeadaan keluarga dan problema yang ku hadapi. Beberapa kali mereka menjadi tempat curhatanku di kala sedang bermasalah. Betapa pahamnya mereka mengenai kondisiku. Tak lama, namanya naluri cewek pasti ingin bergosip. Tuti menceritakan beberapa tamu yang memesan penginapan, karena rata-rata tempat penginapannya di dominasi oleh kaum pria. Rata-rata pekerjaannya adalah sopir truk, sales dan beberapa yang sedang melakukan perjalanan dinas. Dan salah satunya, ia menceritakan pria yang bekerja sebagai sales yang diakui sebagai gebetannya yang bernama Reno. Itu dikarenakan ia telah mengenal pria tersebut selama 5 tahun. Dan ditambah bahwa Reno merupakan pelanggan setia yang selalu menginap di Hotel Jati Sari. Belum lagi, mereka mulai akrab ketika Reno ketika berkeluh kesah perihal pekerjaannya ketika s
Pandangan Prabu terpaku dengan seorang wanita dengan memakai kerudung segiempat berwarna dark grey tengah linglung berjalan sambil menyeruput air minuman kemasan. Tak tahu mengapa, Prabu seperti tak asing dengan melihatnya berjalan.“Kok, aku pernah lihat ya? Tapi dimana?” ragu Prabu.Kemudian, wanita yang ia sorot itu beberapa kali menengok ke arah kanannya karena bunyi klakson mobil yang lewat. Seketika mata Prabu membulat, akhirnya ia bertemu denganku. Saat akan mengejar, petugas keamanan rumah sakit tersebut menutup gerbang yang khusus untuk orang-orang yang menjaga pasien. Karena tak berhasil, ia pun segera berbalik dan menghampiri teman-temannya. Sesampainya di bagian informasi, Ulma menanyakan ruangan Ibuku dirawat.“Halo, selama sore Ibu. Ada yang bisa dibantu?” sapa resepsionis itu.“Permisi mbak. Untuk pasien atas nama Ibu Isti, dirawat di kamar nomor berapa mbak?” tanya Ulma. Resepsionis meminta Ulma dan kawan-kawan menunggu. Secepatnya ia mencari data di komputernya. Setela
Pak Bejo akhirnya kepada mereka berempat bahwa saat ini dia butuh tambahan uang untuk membayar pajak mobil dalam kurun waktu terdekat. Sehingga, ia rela melakukan pekerjaan driver online dan offline agar penghasilannya bertambah. Tapi, tak disangka pada aplikasi driver online-nya ia lupa mematikan notifikasinya. Sehingga, ketika Ulma menelpon, ia sempat kaget tapi ia butuh uang juga. Akhirnya, ia mengaku salah dan mempersilahkan mereka berempat masuk secara bersamaan. “Hemm … jadinya kita naik taxi online rasa angkot ya,” sindir Denias yang ditujukan kepada Alvaro. Sontak Alvaro berdecak. Prabu dengan segera meminta Pak Bejo mengantarkan mereka, terlebih mereka menuju ke orang yang sama, yaitu Aku. Ia meminta Ulma duduk di depan sebagai penunjuk jalan ke arah rumahku. Ulma pun menyanggupi. Akhirnya, Pak Bejo pun mengangkut barang-barang mereka dan pergi menuju ke rumahku. *** Sesampainya mereka tiba di kediamanku. Ada kakek yang menemui mereka, dan ia pun sekilas melihat Ulma. Deng
Ibu dilarikan ke rumah sakit. Badan dan tangan gemetar seperti orang menggigil. Wajahnya pucat, mata sembab dan bibirnya yang pucat. Sang perawat membawanya ke ruang tindakan cepat agar Ibu ditangani secara cepat. Perawat kemudian menyuntikkan beberapa cairan obat ke tubuh Ibuku. Sampai akhirnya, dokter memutuskan untuk segera membawanya untuk mencari kamar dan meminta memasang infus untuk di-opname. Aku dan Reza menunggu di luar dan berharap Ibu baik-baik saja. “Mbak, apa aku tak keluar kuliah saja. Aku akan cari kerja saja. Biar ibu gak kepikiran bayar hutangnya,” tegas Reza. Aku menoleh dan memintanya tidak bertindak secara gegabah. Lantas, Aku menolak mentah-mentah keinginannya itu. “Gak boleh, kamu kuliah saja. Urusan seperti ini buat orang dewasa,” tolakku kepada adikky. Justru, hal tersebut membuatnya tak terima. “Aku ini sudah gedhe (besar) mbak, aku juga gak tega lihat Ibuku sakit-sakitan seperti ini terus. Selalu saja berakhir seperti ini. Aku sebagai anak dan aku cowok,