Pernahkah kalian melihat dahsyatnya ombak air laut yang menerjang tebing? Nah, itulah yang sedang dirasakan lambungku saat ini karena asam lambungnya bergejolak. Belum lagi kecepatan Prabu mengendarai mobilnya yang membuat hembusan angin jadi kencang, bahkan ikut andil mendorong mobilnya. Aku beberapa kali berteriak sampai-sampai bisa latihan vokal nada tinggi. Mungkin, bisa mencapai nada G5. Akhirnya, Prabu berhenti di sebuah toko bunga langganannya. Ia masih dengan gaya santainya, berbeda denganku yang jilbabnya sedikit berantakan karena terpaan angin bonus kejedot di dasbor mobil Prabu. Ia kemudian turun dan memintaku untuk menunggunya. Setelah beberapa saat, Prabu kembali masuk sembari membawa buket bunga mawar merah segar dan menyerahkan kepadaku layaknya ia anggap seperti kursi duduk. Buket seberat setengah kilo itu mampu menutupi separuh badanku. Bahkan, kursi duduknya saja ketutupan dengan buket tersebut. “Gak sekalian saja Pak, masukin karangan bunganya!” cibirku ke Prabu. “
Matahari menempati posisinya agak lebih rendah. Beberapa jam lagi akan mendekati sore. Aku masih saja asik mengobrol dengan Nyonya Mirna sampai tidak ingat waktu harus menyelesaikan misi kelompok. “Bagaimana Nyonya Mirna, apakah nanti anda tertarik untuk mendaki bersama?” ajakku menghibur. “Boleh, itu ide yang bagus, kabarkan saja kepadaku nanti ya.” Balasnya dengan senyum sumringahnya. “Oh iya, kamu ini pacarnya Prabu?” tanya Nyonya Mirna yang spontan membuatku kaget. Mataku melirik ke arah Prabu. Dirinya hanya melengos. “Bu-bubu-bukan Nyonya, saya hanya peserta pelatihan proyek. Dan saya berada dalam tim yang dimentori Pak Prabu,” kataku menjawab. Namun, tak disangka setelah dijawab, ekspresi kekecewaan tergambar dari muka Nyonya Mirna. “Yah, aku harap hubungan kalian lebih dekat lagi. Jadi, kamu bisa sering-sering ke sini buat jenguk nenek. Kalau bisa jadi istri, nenek mau cucu mantu seperti kamu,” ungkap Nyonya Mirna yang membuat mataku dan Prabu terbelalak. “Hem, maksud Nyon
Pak Emil dan anggota timnya bersiap untuk menemui Pak Nofal. Mereka kemudian menunggu di ruang seminar, karena Pak Nofal ditempatkan di sana yang khusus untuk pegawai Dinas Pendidikan. Tak lama, pintu terbuka. Pak Nofal memanggil Pak Emil untuk segera masuk. Sampai akhirnya mereka keluar dengan rasa bahagia, karena lembar pengesahan sudah tertanda tangani oleh Prabu dan Pak Nofal. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Mereka kemudian menuju ke Balairung Hastinapura untuk menyerahkan hasil dan lembar pengesahannya sebagai syarat mengambil sertifikat serta undangan acara penutupan Proyek Modul Nasional yang akan dilaksanakan pada hari sabtu besok. Mereka pun merayakan dengan selfie bersama sambil menunjukkan sertifikatnya. “Alhamdulillah, selesai juga hari ini. Lega rasanya gak ada drama revisi lagi,” ucap syukur Pak Emil “Iya, rasanya kaya habis siding skripsi terus acc habis itu tinggal nunggu wisuda,” imbuh Bu Zeva. “Bagaimana, kita habis ini jalan-jalan?” usul Pak Emil. “Jangan da
Prabu menyeretku keluar layaknya ia menarik koper di Bandara dan hampir telat penerbangan. Aku mengerung sakit tapi Prabu tak mengindahkannya. Sampai akhirnya Aku mulai memberontak. “Lepasin, Sakit!” racauku yang kemudian dengan sekuat tenaga melepaskan cengkraman dari Prabu. Prabu yang ngeh hanya terdiam. “Eh, malah diam. Gak bilang minta maaf lagi,” imbuhku. Tapi, percuma juga. Prabu tak menggubrisnya. Batinku bergejolak dengan amarah karena sikap Prabu yang gengsian untuk mengatakan satu kata empat huruf “Maaf”. Tapi, kemudian terdasar dengan janji yang dibuat Prabu semena-mena kepada Nyoya Mirna. “Pak, kenapa tadi berbohong kepada nenek? Kan yang beli buah Bapak, kenapa kok jadinya bisa saya yang bawa?” cecarku kepada Prabu. “Sudahlah, ikuti saja perintahku.” Jawab singkat Prabu. Kemudian Aku teringat sesuatu. “Ah, iya. Pak, kenapa Bapak buat janji seenaknya sih. Kenapa Bapak gak bilang kalau mau buat janji dengan Nyonya Mirna lagi? Kan saya dua hari nanti ada acara jalan-jala
Prabu mengomeliku sepanjang jalan, karena Aku yang absen dari jam 10.00 pagi dan tidak menjenguk Nyonya Mirna. Lampu jalanan berganti menjadi warna merah, mobil pun terhenti. Mengapa harus ada acara lampu merah? Kali ini sudah tidak tahu bagaimana caranya agar bebas dari jeratan Prabu. “You! Give your phone to me!” Menunjuk telunjuknya ke arahku. Dengan tangan yang gemetar, Handphone diserahkan karena ketakutan. Prabu kemudian menyautnya dengan cepat dan mencoba menghubungi melalui ponselnya. Kemudian, ia menekan tombol loudspeaker."Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, silahkan hubungi sesaat lagi," Mata terbelalak.Ternyata benar dugaan Prabu, sulit sekali menghubungi karena Aku telah memblokir nomornya. Dengan mata melotot ke arahku, ia nampak kesal dengan kelakuanku. Belum lagi, beberapa kali dia harus memutar otak ketika Nyonya Mirna menanyakan kehadiranku. Sudah beberapa kali, Prabu menghubungiku karena keresahan Nyonya Mirna yang menungguku dan stok jawabannya sudah habis.
ALL (Acute Lymphoblastic Leukaemia) atau Leukemia Limfoblastik Akut, merupakan suatu jenis kanker darah dan sumsum tulang yang memengaruhi sel-sel darah putih. Perawatan mungkin termasuk kemoterapi atau obat khusus yang ditargetkan untuk membunuh sel kanker. Nyonya Mirna sudah berjuang menghadapi penyakit ini selama 4 tahun. Syukurlah, Nyonya Mirna masih bertahan. Tak lama, Prabu menunjukkan sebuah hal yang mencenangkan. Ia kemudian menunjukkan perbandingan kadar hemoglobin sebelum dan sesudah kehadiranku datang di kehidupannya. Ternyata, kehadiranku justru menambah kondisi nenek Prabu tersebut sehat kembali. “Look at this one,” Menunjuk sesuatu di kertas. “Setelah berbincang sama lo, kondisinya mengalami kenaikan yang bagus. Biasanya nenek sehabis pengobatan membutuhkan empat kantong darah, sekarang ia butuh satu kantong saja,” kata Prabu menjelaskan. “Dokter mengatakan, hal yang paling penting saat ini adalah yang membuat dia bahagia. Karena dengan dia bahagia, ia bisa mengalahkan
Aku merasa was-was jika Pak Emil turun dahulu, makanya Aku meminta Prabu menurunkannya bersama Pak Emil, agar bisa kabur dari omelan Prabu. Sayangnya, Pak Emil tak mendukungku. Leader gak peka!“Pak, saya turun sama Pak Emil saja. Terima kasih atas tumpangannya ya Pak Prabu,” pintaku kepada dosen galak itu.“Loh, Bu Eka … kejauhan lo bu kalau turun di sini. Nyari angkotnya juga susah,” sanggah Pak Emil.“Gak papa pak, kan ada ojek online. Saya turun sini aja,” kataku memaksa.“Haduh, ueih budak, sesah nyariosna, (Ni orang susah banget dibilangin)” ucap Pak Emil.Dewi fortuna sepertinya memihak Prabu lagi, Pak Emil meminta Prabu untuk mengantarkanku pulang apalagi hari menjelang mau maghrib. Terlebih, di daerah tempat tinggal Pak Emil sedang marak kasus perampokan. Ia trauma jika Aku akan menjadi korban dari kejadian tadi, jika saja masih ada sisa-sisa komplotan perampok yang masih bertebaran dan belum tertangkap oleh aparat polisi.“Pak Prabu, tolong antarkan Bu Eka pulang ya. Saya tak
Prabu sengaja memasang perangkat pelacak lokasi agar mudah untuk menemukanku. Prabu tahu kelakuanku yang suka main kabur-kaburan, maka ia terpaksa harus memasang perangkat tersebut agar tak bisa kabur dan lebih mudah untuk bersama-sama ketika berhadapan dengan keluarganya. Pak Emil kemudian meneriakiku dan Prabu karena kelamaan berbincang.“Bu Eka, lama sekali. Lagi ngobrolin apa sih ? ayo masuk!” teriak Pak Emil yang sudah masuk terlebih dahulu di kursi belakang bersama Bu Zeva dan Nafis. Aku kemudian mendekati mereka.“Ah, itu saya mau tanya kira-kira sopirnya aman gak ya. Soalnya saya takut kalau ugal-ugalan,” jawabku sambil menyindir cara menyetir Prabu kemudian dibalasnya dengan mengernyitkan alisnya.Aku kemudian memasuki mobil. Karena kelamaan dengan Prabu, terpaksa Aku harus duduk di barisan belakang sopir yang mana harus sebaris dengan Prabu karena barisan belakang sudah terisi penuh oleh Trio Bu Zeva, Pak Emil dan Nafis.Sopir Prabu kemudian mulai menyalakan mesinnya. Pak Em
Aku benar-benar bisa gila. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat nominal sembilan digit ini di dalam rekeningku. Paling maksimal saja cuma tujuh digit saja. Tak pernah lebih dari itu. Harus ku apakan semua uang ini. Karena terlalu banyak berpikir, tukang ojek yang aku pesan memintaku untuk segera membayarnya karena ia akan lanjut mengambil orderan. "Baik Pak, maaf sebentar lagi ya," balasku.Ia pun menuruti. Aku mulai menjernihkan pikiranku. Dan segera mengatur anggaran yang harus dikeluarkan. Manakah yang anggaran yang paling urgensi dulu. Setelah aku pertimbangkan."Bayar biaya rumah sakit, setelahnya melunasi hutang Ibuku dahulu. Sip!" Kemudian aku mengambil uang sebesar satu juta untuk keperluan Ibuku selama di Rumah sakit. Setelah itu, membayar segala administrasinya secara kontan."SERRRR .... KLEKK" bunyi ATM yang melakukan transaksi. Uang lembaran seratus ribu keluar dari mulut mesin itu. Setelah ku rasa nominalnya sudah benar, aku kemudian keluar dan membayar tagihan oje
Matanya mengeluarkan aura yang sangat tajam. Kali ini ia tidak boleh ada kata GAGAL, agar bisa mempertahankan warisan dari Nyonya Mirna. Kali ini aku terjebak oleh permainannya. Ia sudah mengetahui apa yang menjadi kelemahanku saat ini yaitu Ibuku. "Kalau aku jadi kau, aku tak terima jika hal itu terjadi pada keluargaku. Walau yang menghina adalah kerabat terdekatku. Solusi dariku adalah pisahkan Ibumu dari Eyangmu. Kita lihat apakah ia mampu bertahan dan buat dia semakin jera karena menyesal melakukan tindakan bodoh itu!" desaknya. Tak lama, ia menyodorkan surat yang sudah diberi meterai dan nama terangku. "Don't waste the time! gunakan kesempatan emasmu ini!" ucapnya dengan seringai. Aku mulai melihat sekilas surat kontrak itu. Kemudian menghela napas. "Satu tahun ?" tanyaku. "Kata dokter, usia nenek bertahan satu tahun lagi. Kemungkinan bisa panjang, bisa juga tidak." jelasnya. Satu tahun, aku harus hidup dengannya dengan penuh sandiwara kemudian setelah ditinggal Nyonya Mirn
Aku menceritakan apa yang terjadi setelah Reza menanyakan hasilnya. Ibu mendengar, langsung menangis sesenggukan. Dipeluklah ia oleh Reza dan berusaha menenangkan. Baru kali ini aku melihat mata Reza yang berkaca-kaca. Mungkin, sebagai anak laki-lakai berpikir bahwa sudah saatnya dia harus memikul beban keluarga juga. Lalu, bagaimana dengan kuliahnya? Walaupun sudah dibantu dengan biaya Bidikmisi, tapi sama saja belum cukup untuk membantu orangtuanya itu. Hatiku semakin tersayat mengingat sebagai anak pertama dan perempuan. Sempat ada rasa sesal karena tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, aku ingin membantu ekonomi keluarga, tapi pekerjaan sebagi guru honorer tak bisa membantu apa-apa kepada keluargaku.Ibu setelah menjalani perawatan kemudian tertidur pulas. Terlihat wajahnya yang sudah lelah itu. Belum juga pasti kepikiran perkataan nenek tadi. Di lantai, Reza juga tertidur pulas. Tak lama, seorang perawat masuk untuk pengecekan pasien. Setelahnya, ia memanggilku dan meminta untuk
Keesokan harinya, Ulma bangun dari tidur nyenyaknya. Kebetulan juga ia mau menunaikan salat subuh berjama’ah di mushola penginapan tersebut. Sembari memakai mukena, tak lupa ia mengecek sesuatu. Dengan harapan, ia bisa bertemu dengan Denias. Tak lama, adzan subuh berkumandang. Inilah saatnya Ulma beraksi. Ia keluar dari kamarnya dan tak lupa menguncinya. Setelahnya, ia berjalan menuju ke mushola, sesekali ia memantau sekitar untuk melihat batang hidung dosen idolanya itu. Sesampainya di depan mushola, ia beberapa kali menunggu kehadiran Denias. Tapi, tak kunjung muncul juga. Sampai akhirnya, Tuti yang datang lebih dahulu di masjid, menengok kelakuan Ulma yang tak kunjung masuk masjid. Ia pun meninggalkan sajadahnya dan menghampiri Ulma. “Duh, dari tadi gak nongol-nongol ya. Di dalam juga gak ada, apa dia salat sendiri?” gumam Ulma. Tuti kemudian berada di belakangnya, dan mendengar omongan darinya. Melihat temannya sedang risau, sebuah kaplokan kencang dari Tutut terhempas di punggu
Prabu masih tak percaya mengenai kampus yang memperlakukannya seperti ini. Lantas, Alvaro pun menyanggahnya dengan melihatkan bukti berupa surat keterangan dari kampusnya secara resmi di hadapan Prabu. Terlebih, ia juga sudah mengkonfirmasi dengan sang ketua program studi, Pak Abimana dan dikonfirmasi bahwa benar ia tidak masuk dalam daftar dosen pendamping PKM tahun ini. Prabu mengeluarkan kekecewaannya karena ia tak dianggap, padahal beberapa tahun silam ia meloloskan beberapa tim-nya bahkan hampir semuanya lolos. Denias menenangkannya, dengan alasan mungkin kampus ingin adanya pembaruan. Sehingga, mau tidak mau kampus harus meregulasi semua timnya. Ia juga menambahkan, bahwa dosen pendamping yang tahun lalu yang meloloskan selain Prabu juga tidak diikutkan. Dengan begitu, Prabu merasa setidaknya ia tak sendiri. Ia pun bernapas lega. Sayangnya, berita lebih buruknya adalah besok subuh mereka harus pulang lebih awal karena mereka berdua wajib hadir dalam rapat dengan dosen pendamping
Ulma menyodorkan bukti struk pembayaran ke Tuti perihal pemesanan kamar penginapan. Setelah selesai, Tuti menanyakan kondisi Ibuku dan keadaan keluarga, terlebih mereka yang paling tahu tentangkeadaan keluarga dan problema yang ku hadapi. Beberapa kali mereka menjadi tempat curhatanku di kala sedang bermasalah. Betapa pahamnya mereka mengenai kondisiku. Tak lama, namanya naluri cewek pasti ingin bergosip. Tuti menceritakan beberapa tamu yang memesan penginapan, karena rata-rata tempat penginapannya di dominasi oleh kaum pria. Rata-rata pekerjaannya adalah sopir truk, sales dan beberapa yang sedang melakukan perjalanan dinas. Dan salah satunya, ia menceritakan pria yang bekerja sebagai sales yang diakui sebagai gebetannya yang bernama Reno. Itu dikarenakan ia telah mengenal pria tersebut selama 5 tahun. Dan ditambah bahwa Reno merupakan pelanggan setia yang selalu menginap di Hotel Jati Sari. Belum lagi, mereka mulai akrab ketika Reno ketika berkeluh kesah perihal pekerjaannya ketika s
Pandangan Prabu terpaku dengan seorang wanita dengan memakai kerudung segiempat berwarna dark grey tengah linglung berjalan sambil menyeruput air minuman kemasan. Tak tahu mengapa, Prabu seperti tak asing dengan melihatnya berjalan.“Kok, aku pernah lihat ya? Tapi dimana?” ragu Prabu.Kemudian, wanita yang ia sorot itu beberapa kali menengok ke arah kanannya karena bunyi klakson mobil yang lewat. Seketika mata Prabu membulat, akhirnya ia bertemu denganku. Saat akan mengejar, petugas keamanan rumah sakit tersebut menutup gerbang yang khusus untuk orang-orang yang menjaga pasien. Karena tak berhasil, ia pun segera berbalik dan menghampiri teman-temannya. Sesampainya di bagian informasi, Ulma menanyakan ruangan Ibuku dirawat.“Halo, selama sore Ibu. Ada yang bisa dibantu?” sapa resepsionis itu.“Permisi mbak. Untuk pasien atas nama Ibu Isti, dirawat di kamar nomor berapa mbak?” tanya Ulma. Resepsionis meminta Ulma dan kawan-kawan menunggu. Secepatnya ia mencari data di komputernya. Setela
Pak Bejo akhirnya kepada mereka berempat bahwa saat ini dia butuh tambahan uang untuk membayar pajak mobil dalam kurun waktu terdekat. Sehingga, ia rela melakukan pekerjaan driver online dan offline agar penghasilannya bertambah. Tapi, tak disangka pada aplikasi driver online-nya ia lupa mematikan notifikasinya. Sehingga, ketika Ulma menelpon, ia sempat kaget tapi ia butuh uang juga. Akhirnya, ia mengaku salah dan mempersilahkan mereka berempat masuk secara bersamaan. “Hemm … jadinya kita naik taxi online rasa angkot ya,” sindir Denias yang ditujukan kepada Alvaro. Sontak Alvaro berdecak. Prabu dengan segera meminta Pak Bejo mengantarkan mereka, terlebih mereka menuju ke orang yang sama, yaitu Aku. Ia meminta Ulma duduk di depan sebagai penunjuk jalan ke arah rumahku. Ulma pun menyanggupi. Akhirnya, Pak Bejo pun mengangkut barang-barang mereka dan pergi menuju ke rumahku. *** Sesampainya mereka tiba di kediamanku. Ada kakek yang menemui mereka, dan ia pun sekilas melihat Ulma. Deng
Ibu dilarikan ke rumah sakit. Badan dan tangan gemetar seperti orang menggigil. Wajahnya pucat, mata sembab dan bibirnya yang pucat. Sang perawat membawanya ke ruang tindakan cepat agar Ibu ditangani secara cepat. Perawat kemudian menyuntikkan beberapa cairan obat ke tubuh Ibuku. Sampai akhirnya, dokter memutuskan untuk segera membawanya untuk mencari kamar dan meminta memasang infus untuk di-opname. Aku dan Reza menunggu di luar dan berharap Ibu baik-baik saja. “Mbak, apa aku tak keluar kuliah saja. Aku akan cari kerja saja. Biar ibu gak kepikiran bayar hutangnya,” tegas Reza. Aku menoleh dan memintanya tidak bertindak secara gegabah. Lantas, Aku menolak mentah-mentah keinginannya itu. “Gak boleh, kamu kuliah saja. Urusan seperti ini buat orang dewasa,” tolakku kepada adikky. Justru, hal tersebut membuatnya tak terima. “Aku ini sudah gedhe (besar) mbak, aku juga gak tega lihat Ibuku sakit-sakitan seperti ini terus. Selalu saja berakhir seperti ini. Aku sebagai anak dan aku cowok,