Hari pembukaan telah dimulai. Yup, bertepatan dengan hari Sabtu di bulan Oktober akhir. Semua peserta yang terdiri dari guru se-Indonesia mulai memasuki kawasan kampus tersebut, termasuk Aku. Beberapa mahasiswa menyambut dan membagikan sebuah road map untuk membantu peserta pelatihan menyusuri kampus. Di satu sisi, para panitia mulai sibuk bersiap-siap, antara lain Alvaro dan Denias. Mereka berdua tengah kebingungan mencari keberadaan Prabu yang belum nongol di Balairung Hastinapura.
"Varo, nih anak satu dimana sih? Jam segini belum nyampe! Awas lo kalau telat Prab!" keluh Denias kepada Alvaro yang kesal dengan Prabu yang belum datang saat acara genting.
"Paling nih anak kebanyakan pacaran sama motornya nih." keluh Alvaro.
Padahal, sebenarnya Prabu tengah mengendarai motornya terjebak macet karena ada pohon tumbang di jalan yang sering ia lewati. Akhirnya, ia memutuskan untuk putar arah dan mencari jalan alternatif lain karena terburu-buru. Dan setelah beberapa waktu, akhirnya Prabu dan motornya sampailah memasuki gerbang masuk kampus Universitas Pandawa. Namun, disinilah hal yang tidak mengenakan terjadi.
Seorang wanita paruh baya yang merupakan peserta pelatihan berumur 52 tahun, baru saja keluar dari toilet yang ada di samping pos satpam dan hendak menyebrang menuju ke rombongan peserta yang lain. Karena agak jauh berjalan dan tidak ingin kecapekan memutar arah, ia memutuskan untuk memotong jalan. Dihadapannya, ada dua jalan. Satu jalan yang berisi rombongan peserta tetapi agak jauh. Satu jalan lagi, yang tepat dihadapan Ibu tersebut jalannya masih sepi. Karena ia berpikir jalan itu boleh dilewati, maka dengan nekatnya ia menyebrang jalan tersebut yang sekiranya lebih efektif.
Saat ia menyebrang di jalan yang pertama, tiba-tiba dari arah kiri ada sepeda motor yang melaju dengan kencang. Karena muncul secara tiba-tiba, sontak membuat pengemudi itu mengerem mendadak yang menimbulkan suara decitan ban yang sangat keras sampai meninggalkan bekasnya di aspal. Wanita tersebut pun kaget dan akhirnya jatuh. Hal itu membuat rombongan yang sedang berjalan pun terhenti dan melihat kejadian tersebut. Namun, panitia acara yang berada di sana meminta peserta untuk segera memasuki Balairung dan memanggil satpam terdekat untuk mencairkan suasana.
Pengendara motor itu kemudian berhenti dan mengecek keadaan motornya. Untungnya, motornya tidak terjadi apa-apa. Dengan marah, ia akhirnya membuka helm dan ternyata pengendara tersebut adalah Prabu. Dengan emosi, ia menghampiri wanita paruh baya tersebut.
"Eh, bu! Bisa baca gak sih!" kata Prabu yang marah sambil telunjuknya menunjukkan papan pemberitahuan yang ada di dekat pos satpam bahwa jalanan tersebut khusus untuk dilewati dosen.
"Ini, jalan khusus kendaraan dosen Pandawa. Anda paham? Untung saja saya tadi ngerem, kalau gak bakal panjang urusannya. Ibu sengaja ya! biar saya menabrak Ibu?" Prabu dengan nada tingginya yang membuat wanita itu mulai ketakutan.
"Ma... maa... maaf, nak. Ibu tidak tahu." kata wanita itu sambil ketakutan.
"Asal ibu tahu ya, kalau pun terjadi lecet atau rusak pada motor saya! Bakal saya minta ganti rugi!" kata Prabu yang mengancam.
Wanita tua itu terbelalak dan napasnya mulai tidak teratur. Prabu melihat surat undangan yang jatuh. Surat undangan tersebut milik Ibu itu. Baru disadari oleh Prabu ternyata wanita tua tersebut merupakan peserta pelatihan yang tak lain adalah guru.
"For your information, lagi pula ibu mau ganti rugi motor saya juga gak bakalan mampu. Gaji ibu tidak cukup untuk membereskan itu semua, apalagi seorang G.U.R.U." kata Prabu yang mulai menyindir dengan ketus.
Wanita tersebut tambah ketakutan dan beberapa kali meminta maaf sambil bersimpuh. Prabu seperti di atas angin. Karena sikap Prabu sudah keterlaluan, yang membiarkan wanita paruh baya ini bertekuk lutut di depan Prabu dengan notabene lebih muda. Aku yang lewat melihat kejadian tersebut, merasa muak dan akhirnya mengambil alih. Aku berlari menuju ke arah Prabu dan menolong wanita itu berdiri.
"Bu, Anda gak papa?" kataku sambil membantu wanita tersebut.
"Mbak, ngapain bantu dia!" kata Prabu membentak.
"Mas, bisa sopan gak sih ngomongnya sama orang tua!" tegasku.
Pria itu kemudian melirik sinis padaku dengan tatapan emosi.
"Lagian juga ibu ini sudah meminta maaf, sudahlah jangan diperpanjang lagi," pintaku untuk segera mengakhiri perdebatan.
"Ibu ini, saya dan kami semua yang di sini lagi pertama kali ke sini lho mas, ya wajar dong kalau belum tahu daerah sini," kata Eka menambahkan. Emang harus dijelasin ya?
"Dan juga, Mas kan dosen. Bukankah dosen dan guru itu sama. Intinya kan jobdesk sama-sama pengajar, memberikan ilmu. Cuman beda penempatan sama gelar aja yang berbeda!" tegasku yang tidak terima perkataan Prabu yang cenderung membanding-bandingkan. Kalau perlu Farel Prayoga aku undang buat nyanyi di depan mukanya.
"Lo gak usah ikut campur ya!" kata Prabu yang marah sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Namun, Aku yang kesal dengan sikapnya tidak takut ditatap olehnya. Karena diriku paling benci dengan kesombongan dari Pria itu.
Tak lama, satpam pos kampus datang menghampiri dan melerai permasalahan yang ada. Akhirnya, Prabu memilih pergi dengan motornya karena Denias menelpon untuk segera kumpul.
"Ibu beneran gapapa?" tanyaku yang khawatir.
Wanita tersebut memberikan senyuman sebagai penanda baik-baik saja dan menyampaikan rasa terima kasihnya karena sudah membantunya. Akhirnya, kami berdua berjalan bersama menuju ke balairung.
"Oh iya, panggil saya ibu Sri ya. Saya mengajar di SD Negeri Banjarmasin." kata wanita itu selama di jalanan.
"Perkenalkan saya Eka bu, dari Kendal. Saya mengajar di MTs." jawabku yang sangat menghormati Bu Sri yang lebih senior.
Kami pun akhirnya berkenalan dan berjalan bersama menuju ke Balairung, karena acara sebentar lagi akan dimulai. Saat masuk ke Balairung dan mengisi daftar hadir, mereka pun akhirnya duduk terpisah karena sudah di plot bangkunya per jenjang sekolah.
Di balik layar, Denias dan Alvaro menunggu Prabu yang tidak segera muncul. Alvaro menanyakan apakah Denias sudah menghubungi Prabu, karena acara segera dimulai dalam beberapa menit lagi. Tak lama, Alvaro dipanggil oleh panitia lain untuk membantu. Alvaro tak bisa berkutik lagi. Ia meminta Denias yang bertugas menunggu Prabu. Setelah itu, ia berpamitan dan berjanji akan menemuinya lagi. Denias yang pasrah, akhirnya pergi menuju ke parkiran dosen.
Rombongan Menteri Pendidikan memasuki gerbang kampus Universitas Pandawa dengan penjagaan yang ketat. Tak lama Denias menunggu, terdengar suara motor yang menghampirinya. Prabu sudah tiba! Denias menghampirinya dan mulai mengomelinya yang telat.
"Lo nih! kebanyakan pacaran sama motor. What happened with you bro? Nih dah mau mulai acaranya!" Denias yang mengeluh.
"Sorry bro, gue tadi ada insiden kecil. Nanti gue jelasin di dalam." jawaban Prabu yang kemudian mengambil kontak dan melepas helmnya. Ia menenangkan Denias yang mulai panik, dan akhirnya mereka berdua bergegas menuju Balairung Hastinapura.
Enam bulan yang lalu, melalui grup chat kantor. Kepala Sekolahku yaitu Bu Siti mengirimkan sebuah poster mengenai lomba membuat desain modul yang kreatif dan komunikatif. Jika desainnya bagus dan 3 peserta mendapatkan nilai tertinggi, maka akan mendapatkan hadiah berupa uang tunai sebesar tiga juta sampai sepuluh juta Rupiah dan juga mendapatkan kesempatan untuk terlibat langsung dalam proyek nasional Kementerian Pendidikan yaitu membuat Modul Nasional. Proyek tersebut dikhususkan untuk membuat modul pembelajaran yang akan digunakan secara merata di seluruh Indonesia. Maka, peserta lomba tersebut terdiri dari guru-guru se-Indonesia. Jadi, setiap tingkatan jenjang sekolah dasar sampai menengah atas dan per mata pelajarannya, hanya 102 peserta yang bisa lolos untuk bisa masuk ke proyek ini. Jika di total akan ada dua ribu orang yang terlibat dalam proyek ini. Fasilitas yang didapatkan adalah pelatihan gratis, jalan-jalan gratis serta sertifikat untuk bisa menambah jenjang karir karena di
Semua peserta berhamburan di kampus Pandawa. Mereka memanfaatkan momen untuk berfoto bersama, ada yang selfie bahkan bersantai sambil menikmati pemandangan di kampus tersebut. Tak terasa, jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Semua handphone peserta berbunyi secara sahut menyaut yang menandakan bahwa mereka harus memasuki nomor ruangan yang di instruksikan. Mereka pun akhirnya satu per satu berpisah. Termasuk Ulma dan Aku. Tapi, kami hanya bersebelahan kelas saja."Eka, aku di gedung Sadewa lantai 3F. Kamu dapat dimana?" tanya Ulma."Aku dapat di gedung Sadewa lantai 3E." jawabku.Kami berdua kegirangan karena mereka bisa bersama walau hanya berpisah beberapa jam di ruang terpisah. Ulma sempat menyayangkan tidak bisa satu kelas denganku karena tidak bisa ngobrol lebih lama. Aku menenangkan Ulma agar menerima keputusaan yang sudah ditetapkan.Sesampainya di gedung Sadewa lantai 3, kami berdua berpisah. Ulma masuk ke kelas F, dan Aku memasuki kelas E yang dimana terdapat 4 barisan meja panjan
Jam dinding Hawai Bar menunjukkan waktu delapan malam. Prabu tiba di sana lebih dulu. Sekitar sepuluh menit ia duduk, lantas segera menghubungi temannya kembali menanyakan keberadaan mereka. Tak lama menunggu sekitar tujuh menit, Alvaro dan Denias turun dari taxi. Mereka berdua memasuki Bar tersebut dan Prabu yang melihat segera melambaikan tangan kepada dua sahabatnya itu untuk memberikan tanda tempat nongkrongnya. Mereka berdua kemudian menuju ke tempat Prabu duduk. “Lo berdua lagi balas dendam sama gue ya!” sindir Prabu kepada kedua sahabatnya yang telat datang. Sama halnya saat Prabu telat datang di perhelatan tadi pagi. “Makanya, lain kali jangan mulai dulu. Tumbenan lo kalau urusan alkohol nomor satu lo!” jawab Denias yang balik menyindir. Alvaro melerai perdebatan kecil mereka dan meminta Prabu segera menyiapkan pesanan. “Hei, you two! kalian ini dosen tapi sekali ribut kaya anak SD. Oke Prab, sebelum kita mendengar permintaan maaf dari lo, beernya siapkan dahulu dong.” pint
Weekend terakhir sudah terlewati, hari pelatihan pertama pun tiba. Semua rombongan yang saat hari sabtu kemarin kembali menapaki halaman Universitas Pandawa, bedanya mereka tidak ke Balairung lagi. Jika dilihat, nampak sekilas seperti anak kampus yang berangkat kuliah di gedung. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, beberapa orang mulai memasuki ruangan masing-masing termasuk Aku. Di dalam gedung Sadewa ruangan 3E, Aku berdo’a agar selama pelatihan nanti berjalan lancar, tidak terjadi masalah dan tidak membuat kesalahan kepada Pak Prabu. Tak lama, tim desain yang satu kelompok denganku datang. Kami akhirnya berkenalan. Pertama, yang menjadi ketua kelompok tiga bernama Pak Emil dari Bandung, berikutnya yang umurnya tak jauh dari Pak Emil adalah Bu Zeva yang berasal dari Palangkaraya, dan yang terakhir ia guru yang paling muda di kelompok bernama Bu Nafis yang berasal dari Makasar. Mereka pun sempat berbincang dan bercanda, walau di lubuk hatiku di hantui rasa was-was akan pelatihan hari pe
Setelah introspeksi tiga kesalahannya di waktu lalu, ditambah masih ada 25 hari aku masih bertempur di kampus tersebut dan tahu bahwa perjalanan ini bakal lebih berat. Dengan mengucapkan basmalah, aku merapikan jilbab, kemudian melangkahkan kaki keluar dari pagar kos untuk siap mengahadapi sisa waktu di Universitas Pandawa. Pelatihan hari keempat dimulai. Seperti biasa, kampus penuh dengan para peserta pelatihan proyek. Ulma yang berada di parkiran motor menungguku di atas joknya. Tak lama ada suara memanggilnya dari kejauhan. “Ulma!” teriakku. Ulma berbalik dan menghampiri. “Eka, are you ready today?” tanya Ulma yang penuh semangat, karena temannya itu sedang berusaha bangkit agar tidak insecure lagi. Hal itu ku jawab dengan teriakan “iya” secara lantang sembari mengepalkan kedua tangan. Akhirnya, kami berdua menuju ke lantai 3 gedung Sadewa, tempat pelatihan kami. Kebersamaan tersebut akhirnya berhenti saat di ruangan 3E, dimana tempat tersebut merupakan ruangan pelatihanku. Kami
Akhirnya, tugas sesungguhnya datang. Tugas tersebut adalah membuat desain modul berdasarkan bab yang sudah ditentukan bersama kelompoknya. Kelompok 3 yang terdiri dari aku, Pak Emil, Bu Zeva dan Nafis mendapatkan materi "lingkaran". Kami berempat membuat grup chat lagi untuk pembahasan lebih mendetail. Sampai tak terasa, pelatihan hari itu berakhir pada jam dua sore. Kami semua diminta mengumpulkan hasil desain modulnya pada hari senin depan. Artinya, masih ada waktu tiga hari untuk mengerjakannya. Selama tiga hari, Aku dan kelompokku berkutat mendesain modul. Aku dan Pak Emil bagian desain. Sedangkan Nafis dan Bu Zeva bagian tipografi atau penulisannya. Sampailah tiba hari senin, kami semua berkumpul lagi di kelas. Di dalam sana, kami tengah sibuk mengecek persiapan yang akan ditampilkan saat presentasi nanti. Tak selang beberapa lama Prabu, Pak Nofal dan Nadeo memasuki ruangan. Semua tampak biasa saja di awal, terkecuali Prabu hari ini. Entah kenapa raut mukanya lebih seram dibandin
Esok harinya, pelatihan berjalan seperti biasa. Yang membedakan hanyalah Prabu yang absen dua hari karena mendapatkan sanksi dari kampus. Sehingga, yang mengisi materi hanyalah Pak Nofal saja. Sebelum pelatihan berakhir, Pak Nofal memberi tahu kepada peserta di ruangan 3E mengenai kehadiran Prabu yang direncanakan besok sudah bisa kembali mengajar. Semua peserta di ruangan tersebut langsung berkeluh kesah karena merasa tidak damai. Rasanya seperti akan maju ke medan tempur lagi setelah suasana damai. Salah satu peserta protes dan meminta untuk Pak Nofal saja yang mengajar karena selama absennya Prabu, pelatihan berjalan lancar. Namun, Pak Nofal tidak bisa menolak karena sudah termasuk SOP proyeknya. Update mengenai kehadiran Prabu akan dikabari nanti malam melalui chat grup. Akhirnya Nadeo dan Pak Nofal menutup kegiatan. “Aduh, besok Pak Prabu datang.” keluh Nafis “Harus beli minyak kayu putih lagi nih. Belum apa-apa malah sudah pusing lagi.” Bu Zeva kemudian mengeluarkan minyak puti
Memang benar apa kata orang. Jangan pernah sekalipun mengharapkan ekspektasi yang terlalu tinggi, karena ujung-ujungnya kalau tidak sesuai sakit juga, terlebih dengan manusia semacam Prabu Bagaskara. Inilah yang dirasakan kelompok tiga saat ini. Rasanya, harapan kami untuk acc masih panjang. Layaknya mahasiswa yang sudah capek-capek ngetik sampai bela-belain lembur dan begadang, harapan untuk acc masih belum direstui oleh semesta. Entah apa yang ada di kepala Prabu yang mengharuskan kami merevisi lagi. Setelah seharian kemarin tidak ada kabar bahkan membalas pesan dari Pak Emil pun tak digubris. Tiba-tiba esoknya grup chat kelompok tiga terdapat pesan dari Pak Emil. Ternyata saat malam hari, Prabu sempat membalas chat Pak Emil, namun beliau baru membukanya hari ini. Pak Emil Kelompok 3 Malam Pak Emil. Maaf, saya baru membalas. Silahkan besok kumpul di ruang kelas 3E pukul tujuh beserta print outnya. E-mail yang bapak kirim kemarin belum saya lihat. Terima kasih. (Balasan dari Pak Pr
Aku benar-benar bisa gila. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat nominal sembilan digit ini di dalam rekeningku. Paling maksimal saja cuma tujuh digit saja. Tak pernah lebih dari itu. Harus ku apakan semua uang ini. Karena terlalu banyak berpikir, tukang ojek yang aku pesan memintaku untuk segera membayarnya karena ia akan lanjut mengambil orderan. "Baik Pak, maaf sebentar lagi ya," balasku.Ia pun menuruti. Aku mulai menjernihkan pikiranku. Dan segera mengatur anggaran yang harus dikeluarkan. Manakah yang anggaran yang paling urgensi dulu. Setelah aku pertimbangkan."Bayar biaya rumah sakit, setelahnya melunasi hutang Ibuku dahulu. Sip!" Kemudian aku mengambil uang sebesar satu juta untuk keperluan Ibuku selama di Rumah sakit. Setelah itu, membayar segala administrasinya secara kontan."SERRRR .... KLEKK" bunyi ATM yang melakukan transaksi. Uang lembaran seratus ribu keluar dari mulut mesin itu. Setelah ku rasa nominalnya sudah benar, aku kemudian keluar dan membayar tagihan oje
Matanya mengeluarkan aura yang sangat tajam. Kali ini ia tidak boleh ada kata GAGAL, agar bisa mempertahankan warisan dari Nyonya Mirna. Kali ini aku terjebak oleh permainannya. Ia sudah mengetahui apa yang menjadi kelemahanku saat ini yaitu Ibuku. "Kalau aku jadi kau, aku tak terima jika hal itu terjadi pada keluargaku. Walau yang menghina adalah kerabat terdekatku. Solusi dariku adalah pisahkan Ibumu dari Eyangmu. Kita lihat apakah ia mampu bertahan dan buat dia semakin jera karena menyesal melakukan tindakan bodoh itu!" desaknya. Tak lama, ia menyodorkan surat yang sudah diberi meterai dan nama terangku. "Don't waste the time! gunakan kesempatan emasmu ini!" ucapnya dengan seringai. Aku mulai melihat sekilas surat kontrak itu. Kemudian menghela napas. "Satu tahun ?" tanyaku. "Kata dokter, usia nenek bertahan satu tahun lagi. Kemungkinan bisa panjang, bisa juga tidak." jelasnya. Satu tahun, aku harus hidup dengannya dengan penuh sandiwara kemudian setelah ditinggal Nyonya Mirn
Aku menceritakan apa yang terjadi setelah Reza menanyakan hasilnya. Ibu mendengar, langsung menangis sesenggukan. Dipeluklah ia oleh Reza dan berusaha menenangkan. Baru kali ini aku melihat mata Reza yang berkaca-kaca. Mungkin, sebagai anak laki-lakai berpikir bahwa sudah saatnya dia harus memikul beban keluarga juga. Lalu, bagaimana dengan kuliahnya? Walaupun sudah dibantu dengan biaya Bidikmisi, tapi sama saja belum cukup untuk membantu orangtuanya itu. Hatiku semakin tersayat mengingat sebagai anak pertama dan perempuan. Sempat ada rasa sesal karena tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, aku ingin membantu ekonomi keluarga, tapi pekerjaan sebagi guru honorer tak bisa membantu apa-apa kepada keluargaku.Ibu setelah menjalani perawatan kemudian tertidur pulas. Terlihat wajahnya yang sudah lelah itu. Belum juga pasti kepikiran perkataan nenek tadi. Di lantai, Reza juga tertidur pulas. Tak lama, seorang perawat masuk untuk pengecekan pasien. Setelahnya, ia memanggilku dan meminta untuk
Keesokan harinya, Ulma bangun dari tidur nyenyaknya. Kebetulan juga ia mau menunaikan salat subuh berjama’ah di mushola penginapan tersebut. Sembari memakai mukena, tak lupa ia mengecek sesuatu. Dengan harapan, ia bisa bertemu dengan Denias. Tak lama, adzan subuh berkumandang. Inilah saatnya Ulma beraksi. Ia keluar dari kamarnya dan tak lupa menguncinya. Setelahnya, ia berjalan menuju ke mushola, sesekali ia memantau sekitar untuk melihat batang hidung dosen idolanya itu. Sesampainya di depan mushola, ia beberapa kali menunggu kehadiran Denias. Tapi, tak kunjung muncul juga. Sampai akhirnya, Tuti yang datang lebih dahulu di masjid, menengok kelakuan Ulma yang tak kunjung masuk masjid. Ia pun meninggalkan sajadahnya dan menghampiri Ulma. “Duh, dari tadi gak nongol-nongol ya. Di dalam juga gak ada, apa dia salat sendiri?” gumam Ulma. Tuti kemudian berada di belakangnya, dan mendengar omongan darinya. Melihat temannya sedang risau, sebuah kaplokan kencang dari Tutut terhempas di punggu
Prabu masih tak percaya mengenai kampus yang memperlakukannya seperti ini. Lantas, Alvaro pun menyanggahnya dengan melihatkan bukti berupa surat keterangan dari kampusnya secara resmi di hadapan Prabu. Terlebih, ia juga sudah mengkonfirmasi dengan sang ketua program studi, Pak Abimana dan dikonfirmasi bahwa benar ia tidak masuk dalam daftar dosen pendamping PKM tahun ini. Prabu mengeluarkan kekecewaannya karena ia tak dianggap, padahal beberapa tahun silam ia meloloskan beberapa tim-nya bahkan hampir semuanya lolos. Denias menenangkannya, dengan alasan mungkin kampus ingin adanya pembaruan. Sehingga, mau tidak mau kampus harus meregulasi semua timnya. Ia juga menambahkan, bahwa dosen pendamping yang tahun lalu yang meloloskan selain Prabu juga tidak diikutkan. Dengan begitu, Prabu merasa setidaknya ia tak sendiri. Ia pun bernapas lega. Sayangnya, berita lebih buruknya adalah besok subuh mereka harus pulang lebih awal karena mereka berdua wajib hadir dalam rapat dengan dosen pendamping
Ulma menyodorkan bukti struk pembayaran ke Tuti perihal pemesanan kamar penginapan. Setelah selesai, Tuti menanyakan kondisi Ibuku dan keadaan keluarga, terlebih mereka yang paling tahu tentangkeadaan keluarga dan problema yang ku hadapi. Beberapa kali mereka menjadi tempat curhatanku di kala sedang bermasalah. Betapa pahamnya mereka mengenai kondisiku. Tak lama, namanya naluri cewek pasti ingin bergosip. Tuti menceritakan beberapa tamu yang memesan penginapan, karena rata-rata tempat penginapannya di dominasi oleh kaum pria. Rata-rata pekerjaannya adalah sopir truk, sales dan beberapa yang sedang melakukan perjalanan dinas. Dan salah satunya, ia menceritakan pria yang bekerja sebagai sales yang diakui sebagai gebetannya yang bernama Reno. Itu dikarenakan ia telah mengenal pria tersebut selama 5 tahun. Dan ditambah bahwa Reno merupakan pelanggan setia yang selalu menginap di Hotel Jati Sari. Belum lagi, mereka mulai akrab ketika Reno ketika berkeluh kesah perihal pekerjaannya ketika s
Pandangan Prabu terpaku dengan seorang wanita dengan memakai kerudung segiempat berwarna dark grey tengah linglung berjalan sambil menyeruput air minuman kemasan. Tak tahu mengapa, Prabu seperti tak asing dengan melihatnya berjalan.“Kok, aku pernah lihat ya? Tapi dimana?” ragu Prabu.Kemudian, wanita yang ia sorot itu beberapa kali menengok ke arah kanannya karena bunyi klakson mobil yang lewat. Seketika mata Prabu membulat, akhirnya ia bertemu denganku. Saat akan mengejar, petugas keamanan rumah sakit tersebut menutup gerbang yang khusus untuk orang-orang yang menjaga pasien. Karena tak berhasil, ia pun segera berbalik dan menghampiri teman-temannya. Sesampainya di bagian informasi, Ulma menanyakan ruangan Ibuku dirawat.“Halo, selama sore Ibu. Ada yang bisa dibantu?” sapa resepsionis itu.“Permisi mbak. Untuk pasien atas nama Ibu Isti, dirawat di kamar nomor berapa mbak?” tanya Ulma. Resepsionis meminta Ulma dan kawan-kawan menunggu. Secepatnya ia mencari data di komputernya. Setela
Pak Bejo akhirnya kepada mereka berempat bahwa saat ini dia butuh tambahan uang untuk membayar pajak mobil dalam kurun waktu terdekat. Sehingga, ia rela melakukan pekerjaan driver online dan offline agar penghasilannya bertambah. Tapi, tak disangka pada aplikasi driver online-nya ia lupa mematikan notifikasinya. Sehingga, ketika Ulma menelpon, ia sempat kaget tapi ia butuh uang juga. Akhirnya, ia mengaku salah dan mempersilahkan mereka berempat masuk secara bersamaan. “Hemm … jadinya kita naik taxi online rasa angkot ya,” sindir Denias yang ditujukan kepada Alvaro. Sontak Alvaro berdecak. Prabu dengan segera meminta Pak Bejo mengantarkan mereka, terlebih mereka menuju ke orang yang sama, yaitu Aku. Ia meminta Ulma duduk di depan sebagai penunjuk jalan ke arah rumahku. Ulma pun menyanggupi. Akhirnya, Pak Bejo pun mengangkut barang-barang mereka dan pergi menuju ke rumahku. *** Sesampainya mereka tiba di kediamanku. Ada kakek yang menemui mereka, dan ia pun sekilas melihat Ulma. Deng
Ibu dilarikan ke rumah sakit. Badan dan tangan gemetar seperti orang menggigil. Wajahnya pucat, mata sembab dan bibirnya yang pucat. Sang perawat membawanya ke ruang tindakan cepat agar Ibu ditangani secara cepat. Perawat kemudian menyuntikkan beberapa cairan obat ke tubuh Ibuku. Sampai akhirnya, dokter memutuskan untuk segera membawanya untuk mencari kamar dan meminta memasang infus untuk di-opname. Aku dan Reza menunggu di luar dan berharap Ibu baik-baik saja. “Mbak, apa aku tak keluar kuliah saja. Aku akan cari kerja saja. Biar ibu gak kepikiran bayar hutangnya,” tegas Reza. Aku menoleh dan memintanya tidak bertindak secara gegabah. Lantas, Aku menolak mentah-mentah keinginannya itu. “Gak boleh, kamu kuliah saja. Urusan seperti ini buat orang dewasa,” tolakku kepada adikky. Justru, hal tersebut membuatnya tak terima. “Aku ini sudah gedhe (besar) mbak, aku juga gak tega lihat Ibuku sakit-sakitan seperti ini terus. Selalu saja berakhir seperti ini. Aku sebagai anak dan aku cowok,