"Mom, aku ingin menjadi seperti Papa!"
Mataku mengerjap beberapa kali ketika mendengar suara yang penuh semangat itu. Apa aku baru saja melamun, lagi?
"Lihat, Mom! Papa terlihat sangat gagah," Kale menyender manja pada pangkuanku. Tersenyum mengusap wajah Pria yang berada dalam Frame tua dengan ibu jari kecilnya.
Bibirku tersenyum. Mengusap rambut pirang Kale di sela-sela jemari. "Kau merindukan Papa, Kale?"
"Sangat."
Perlahan aku sadar, senyuman itu berubah menjadi masam. Kale, kalimat itu selalu terucap dari bibir putra kecilku ketika ia melihat Seragam berpangkat Mayor yang tergantung di lemari kaca. Selalu bertanya, bagaimana sosok Papanya. Aku hanya bisa mengatakan, bahwa ia adalah Pria yang luar biasa. Menyelamtkan Negara, demi membuat Kale kami hidup dengan nyaman hingga saat ini.
Kale kembali tersenyum ceria, sedikit tertawa. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Hingga tak lama, Kale menaruh kembali Frame tersebut dan berlarian keluar. Bermain di halaman, menikmati udara Brooklyn yang memasuki musim semi.
Aah, maafkan aku. Karena hanyut dengan senyum Kale, aku lupa memperkenalkan diri. Maaf, akhir-akhir ini pikiranku sedikit terganggu.
Namaku Selene. Selene Sapphire. Sapphire seperti bola mataku yang berwarna biru. Umurku saat ini menginjak tiga puluh empat tahun. Masih bekerja sebagai Dokter di salah satu rumah sakit.
Aku tak perlu menjelaskan tentang tinggi dan berat badanku, bukan?
Anak lelaki tadi adalah putra pertamaku. Kale Cadfael. Tahun ini ia berusia enam tahun. Yha, aku memang mengandungnya saat masih muda. Lebih tepatnya, saat perang masih melanda hebat perbatasan kota Brooklyn. 1942.
Sementara, foto yang di lihat oleh Kale dan menjadi sosok Papa baginya, adalah suamiku. Kale Cadfael. Lebih tepatnya, Mayor Kale Cadfael. Seorang pilot pada Angkatan Udara kami.
Benar, aku sengaja memberi nama Kale, gabungan antara Selene dan Kane. Sangat mirip dengan nama Papanya. Tak apa, agar nama itu bisa mengenang sosok pria itu.
Lagi, tanpa di berikan izin, titik kristal ternyata jatuh kembali pada pipiku. Teringat cerita lama nan singkat, namun sangat berkesan dalam.
Aku tentu akan menceritakannya setelah ini. Bagaimana gagahnya sosok Kale Cadfael. Kalian tahu, apa arti namanya? Pangeran penguasa Langit. Cocok sekali, bukan, dengan pekerjaan yang di milikinya?
Kale..
Seolah terhipnotis, tanganku menggapai kembali frame foto lama itu. Tersenyum kecil, betapa aku merindukan sosok tangguh nan murah senyum tersebut.
Kale, aku sangat ingat ketika kau berkata akan menghukum siapa saja yang membuatku menangis. Aku ingat pula, ketika seorang pemuda berkata bahwa ia mencintaiku. Apa saat ini kau sedang menghukum dirimu sendiri, Kale?
Mari, ku ceritakan pada kalian. Kisah manis antara Sang Kapten Militer dengan Perawat pada tahun 1942 lalu.
Namun, maafkan aku. Kali ini, akan ku serahkan seluruh cerita pada si penulis. Sebab, aku merasa tidak akan mampu untuk menguraikannya pada kata-kata.
Selamat membaca, aku harap, cerita ini sampai pada sang pemilik nama. Kale Cadfael.
☀️☀️☀️
Brooklyn, New York City, 1942.Past.Gemuruh suara cukup keras terdengar di langit-langit kota Brooklyn. Belasan pesawat tempur milik Militer baru saja melakukan pendaratan setelah melakukan Patroli sejak pagi tadi.Salah satunya pesawat tempur dengan ukiran KC-17 berwarna abu tua yang mendarat dengan mulus kesekian kalinya. Kaca penutup itu terbuka dan menurunkan satu pilot bertubuh gagah, lengkap dengan seragam patrolinya.Kane mengusap rambut tebal itu dan menatap langit. Seakan ingin kembali menghabiskan waktu lebih lama lagi di atas sana. Dia selalu menyukai lautan awan itu, dan sanggup terbang seberapapun lamanya. Kane baru ingin memperbaiki seragam, ketika seseorang menarik tangan lelaki itu tergesa.Kening Kane mengerut melihat Steve Idris, sahabatnya, yang menarik lengan lelaki itu. "Ada apa denganmu, Idris?
Malam sangat dingin menembus tulang. Sedikit rintik air halus mengenai kulit, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Langit memang sedikit menampakkan cahaya kilat di balik awan gelap itu.Selene merapatkan mantelnya. Semakin lama berada di luar, tubuhnya semakin menggigil. Ia baru saja kembali dari Rumah Sakit saat ini, cukup larut karena lemburan. Jalanan sudah sangat sepi. Mungkin hanya beberapa yang masih berada di sana, sama-sama merapatkan mantel dan melangkah secepat mungkin menuju tempat tinggal. Atau karena orang-orang enggan keluar, sebab kilat yang cukup menakutkan.Sebenarnya, Selene merasakan hal aneh saat berjalan sendiri sejak meninggalkan rumah sakit. Ia merasa seseorang mengikutinya. Tidak sekali dua kali Selene mendapati lelaki dengan topi baret itu bersembunyi kala Selene menoleh ke belakang. Hal itu membuat Selene sedikit panik dan takut, perjalanan rumahnya masih cukup jauh. Dan kondisi jalanan yang semakin sepi. Pun, l
Selene menguap kecil sembari membuka pintu kamarnya. Matanya mengernyit kecil, kala cahaya matahari sudah menerangi rumah. Ia menatap sekitar. Jendela sudah terbuka, begitu juga tirainya. Selene mendekat ke arah sofa, tapi di sanapun sudah rapi. Tanda seseorang membersihkannya.'Apa Kane membereskan semuanya?' batin Selene sembari menatap sekitar. Ini masih pukul enam pagi, dan Kane sudah meninggalkan rumahnya.Wanita itu bergumam takjub saat menemui beberapa hal. Selain jendela yang sudah terbuka, serta ruang tamu yang rapi. Kane juga sudah mencuci sweater yang ia gunakan, serta menjemurnya di halaman belakang. Bahkan, lelaki itu juga memperbaiki pintu belakang, keran air yang tersumbat, serta lampu dapur yang hampir mati. Selene terpaku melihat semua hal yang bermasalah itu nyaris di benarkan. Apa Kane sempat melakukannya semalam? Bukankah pria itu berkata akan mengerjakan berkasnya? Kapan ia melakukannya?Selene terse
"Nah, sudah selesai. Sama sekali tidak sakit, bukan?"Gadis kecil bernama Natt itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putih yang renggang itu terlihat. Dia menatap dokter cantik itu dengan mata berbinar dan mengangguk senang."Terima kasih, Dokter Selene.""Tentu saja, Natt," balas Selene ramah."Dokter Selene, tadi aku belajar tentang orang yang kita sayangi," cerita Natt sembari memainkan tangan yang baru saja di tutupi oleh perekat luka itu. "Dokter Metta bertanya, siapa orang yang kami sayangi."Selene duduk di kursi dan menatap Natt yang bercerita dengan antusias. "Benarkah? Lalu, Natt menjawab siapa?""Papa dan Kakak," seru Natt semangat. Gadis kecil itu memang tidak memiliki sosok ibu lagi. "Lalu, ada Kepala Koki Jeff, Perawat Suzan, daaaaan Dokter Selene!!""Jadi, Dokter Selene yang terakhir?" Selene berkata dengan nada sedih yan
Pukul tujuh lewat lima belas menit.Selene menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dress berwarna putih dengan motif bunga dan panjang tiga perempat itu terlihat manis sekaligus anggun ketika Selene menggunakannya. Rasanya, Selene tak perlu membawa Coats untuk malam ini. Meskipun ia sendiri tidak tahu ke mana Kane akan membawanya.Ketukan pada pintu membuat Selene mengalihkan pandangan dari cermin dan bergegas mengambil tas tangan mini yang sudah ia siapkan di atas meja."Tunggu sebentar!" seru Selene ketika ketukan terdengar lagi.Setelah memastikan sekali lagi barang bawaan dan hal di sekitar, akhirnya Selene menuju pintu dan membukanya. Tampak, Kane sudah berdiri di sana dengan wajah tampan yang kini tersenyum kecil. Kane baru saja terpaku di tempatnya."Anda sangat cantik malam ini, Nona Sapphire," puji Kane dengan wajah
Semenjak malam penuh cerita itu, hubungan Kane dan Selene sangat membaik. Bahkan melebihi dari yang keduanya bayangkan. Selene bahkan tidak bisa melupakan kala bibir Kane tanpa sadar menyentuh bibirnya. Hingga saat ini, Selene selalu memegang bibirnya dan tersipu malu.Malam itu juga mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka. Termasuk alasan mereka mengambil pekerjaan yang keduanya jalani saat ini. Kane tidak terlalu banyak bercerita. Tetapi, setiap hal yang dikatakan lelaki itu adalah point utama kisahnya.Saat inipun, Selene dan Kane masih sering bertemu. Diluar maupun di dalam Markas militer. Saling menyapa satu sama lain, sebagai rekan. Tetapi di luar, keduanya seperti sepasang kekasih. Kane selalu bisa membuat Selene merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.Seperti sore ini, Kane sedang berada di ruangan besar pada Markas mereka. Berdiri dengan tangan bertumpu di atas meja, memperhatikan peta besar yang t
Sepuluh hari sejak telepon dini hari itu, dan kini Kane masih tidak memiliki kabar apapun. Brooklyn juga dalam masa yang menegangkan. Peperangan kembali terjadi, tepat di batas laut mereka. Setiap jamnya, selalu terdengar gemuruh yang sangat mendebarkan jantung.Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Warga memilih berlindung di dalam rumah. Jalanan sepi senggang. Toko-toko menutup etalase dan hanya membuka pintu jika ada yang datang, membeli keperluan penting. Semua orang takut, jika pesawat tempur yang melewati atap mereka, tiba-tiba menjatuhkan meriam dan meluluh lantahkan kota.Setiap hari seperti mimpi buruk. Anak-anak menjerit setiap kalinya. Para orang dewasa berjaga setiap jam. Getaran-getaran selalu terasa pada tanah yang mereka pijak. Dentuman-dentuman kuat, serta langit yang memerah.Selene merapatkan jasnya, rambut panjang itu ia ikat setinggi mungkin. Sepanjang hari, Selene sibuk kesana-kemari. Siap siaga pada
Langit berubah menjadi gelap. Bintang bertebaran terang dan bulan purnama menghiasi langit malam kota Brooklyn.Selene menatap keluar jendela dan menatap jalanan sepanjang yang ia lewati. Sejak jam tujuh lewat lima belas menit tadi, sebuah mobil klasik khas bangsawan tiba-tiba berhenti di depan halamannya, dengan seseorang berpakaian rapi yang mengetuk pintu rumah. Pria muda itu menunduk santun, berkata bahwa Tuan Muda Cadfael mengutusnya kemari untuk menjemput sang puan jelita tersebut. Pria itu juga menunjukan sebuah undangan berwarna ungu lavender, berbahankan beledu, dengan cap lilin merah, khas milik keluarga Cadfael. Pria itu juga mengatakan, bahwa Kane tak bisa menjemput Selene secara langsung, karena ia adalah tuan rumah pada pesta malam ini.Selene di jemput lebih awal, sebab perjalanan menuju Mansion cukup jauh. Mansion Cadfael terletak di pinggiran kota, berdekatan dengan garis pant
Selene menatap Kane waswas apalagi ketika lelaki itu menutup pintu di belakangnya dengan tatapan terkunci pada Selene."Kanee..." ujar Selene waspada.Kane hanya tersenyum tipis. Bukan karena hal apa, tapi pandangan Kane saat ini benar-benar membuat Selene berpikiran yang aneh-aneh sekaligus takut. Pesta belum selesai, ketika Kane tiba-tiba menariknya menuju lantai dua rumah besar tersebut.Sebelumnya, mereka berada di ruang makan besar dengan meja yang cukup panjang. Makan malam jamuan pada tamu penting, dan Selene berada di tengah-tengahnya. Di sana, Selene hanya di kenalkan sebagai seorang dokter dan kekasih Kane saja. Arthur dan Marine tidak benar-benar memperkenalkan Selene sebagai calon menantu Cadfael, sebab Kane melarangnya. Bukan karena Kane bercanda dengan status tersebut, melainkan, Kane belum memastikannya, jika Selene tidak keberatan dengan status tersebut.Bahkan, saat berada di lorong
Langit berubah menjadi gelap. Bintang bertebaran terang dan bulan purnama menghiasi langit malam kota Brooklyn.Selene menatap keluar jendela dan menatap jalanan sepanjang yang ia lewati. Sejak jam tujuh lewat lima belas menit tadi, sebuah mobil klasik khas bangsawan tiba-tiba berhenti di depan halamannya, dengan seseorang berpakaian rapi yang mengetuk pintu rumah. Pria muda itu menunduk santun, berkata bahwa Tuan Muda Cadfael mengutusnya kemari untuk menjemput sang puan jelita tersebut. Pria itu juga menunjukan sebuah undangan berwarna ungu lavender, berbahankan beledu, dengan cap lilin merah, khas milik keluarga Cadfael. Pria itu juga mengatakan, bahwa Kane tak bisa menjemput Selene secara langsung, karena ia adalah tuan rumah pada pesta malam ini.Selene di jemput lebih awal, sebab perjalanan menuju Mansion cukup jauh. Mansion Cadfael terletak di pinggiran kota, berdekatan dengan garis pant
Sepuluh hari sejak telepon dini hari itu, dan kini Kane masih tidak memiliki kabar apapun. Brooklyn juga dalam masa yang menegangkan. Peperangan kembali terjadi, tepat di batas laut mereka. Setiap jamnya, selalu terdengar gemuruh yang sangat mendebarkan jantung.Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Warga memilih berlindung di dalam rumah. Jalanan sepi senggang. Toko-toko menutup etalase dan hanya membuka pintu jika ada yang datang, membeli keperluan penting. Semua orang takut, jika pesawat tempur yang melewati atap mereka, tiba-tiba menjatuhkan meriam dan meluluh lantahkan kota.Setiap hari seperti mimpi buruk. Anak-anak menjerit setiap kalinya. Para orang dewasa berjaga setiap jam. Getaran-getaran selalu terasa pada tanah yang mereka pijak. Dentuman-dentuman kuat, serta langit yang memerah.Selene merapatkan jasnya, rambut panjang itu ia ikat setinggi mungkin. Sepanjang hari, Selene sibuk kesana-kemari. Siap siaga pada
Semenjak malam penuh cerita itu, hubungan Kane dan Selene sangat membaik. Bahkan melebihi dari yang keduanya bayangkan. Selene bahkan tidak bisa melupakan kala bibir Kane tanpa sadar menyentuh bibirnya. Hingga saat ini, Selene selalu memegang bibirnya dan tersipu malu.Malam itu juga mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka. Termasuk alasan mereka mengambil pekerjaan yang keduanya jalani saat ini. Kane tidak terlalu banyak bercerita. Tetapi, setiap hal yang dikatakan lelaki itu adalah point utama kisahnya.Saat inipun, Selene dan Kane masih sering bertemu. Diluar maupun di dalam Markas militer. Saling menyapa satu sama lain, sebagai rekan. Tetapi di luar, keduanya seperti sepasang kekasih. Kane selalu bisa membuat Selene merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.Seperti sore ini, Kane sedang berada di ruangan besar pada Markas mereka. Berdiri dengan tangan bertumpu di atas meja, memperhatikan peta besar yang t
Pukul tujuh lewat lima belas menit.Selene menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dress berwarna putih dengan motif bunga dan panjang tiga perempat itu terlihat manis sekaligus anggun ketika Selene menggunakannya. Rasanya, Selene tak perlu membawa Coats untuk malam ini. Meskipun ia sendiri tidak tahu ke mana Kane akan membawanya.Ketukan pada pintu membuat Selene mengalihkan pandangan dari cermin dan bergegas mengambil tas tangan mini yang sudah ia siapkan di atas meja."Tunggu sebentar!" seru Selene ketika ketukan terdengar lagi.Setelah memastikan sekali lagi barang bawaan dan hal di sekitar, akhirnya Selene menuju pintu dan membukanya. Tampak, Kane sudah berdiri di sana dengan wajah tampan yang kini tersenyum kecil. Kane baru saja terpaku di tempatnya."Anda sangat cantik malam ini, Nona Sapphire," puji Kane dengan wajah
"Nah, sudah selesai. Sama sekali tidak sakit, bukan?"Gadis kecil bernama Natt itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putih yang renggang itu terlihat. Dia menatap dokter cantik itu dengan mata berbinar dan mengangguk senang."Terima kasih, Dokter Selene.""Tentu saja, Natt," balas Selene ramah."Dokter Selene, tadi aku belajar tentang orang yang kita sayangi," cerita Natt sembari memainkan tangan yang baru saja di tutupi oleh perekat luka itu. "Dokter Metta bertanya, siapa orang yang kami sayangi."Selene duduk di kursi dan menatap Natt yang bercerita dengan antusias. "Benarkah? Lalu, Natt menjawab siapa?""Papa dan Kakak," seru Natt semangat. Gadis kecil itu memang tidak memiliki sosok ibu lagi. "Lalu, ada Kepala Koki Jeff, Perawat Suzan, daaaaan Dokter Selene!!""Jadi, Dokter Selene yang terakhir?" Selene berkata dengan nada sedih yan
Selene menguap kecil sembari membuka pintu kamarnya. Matanya mengernyit kecil, kala cahaya matahari sudah menerangi rumah. Ia menatap sekitar. Jendela sudah terbuka, begitu juga tirainya. Selene mendekat ke arah sofa, tapi di sanapun sudah rapi. Tanda seseorang membersihkannya.'Apa Kane membereskan semuanya?' batin Selene sembari menatap sekitar. Ini masih pukul enam pagi, dan Kane sudah meninggalkan rumahnya.Wanita itu bergumam takjub saat menemui beberapa hal. Selain jendela yang sudah terbuka, serta ruang tamu yang rapi. Kane juga sudah mencuci sweater yang ia gunakan, serta menjemurnya di halaman belakang. Bahkan, lelaki itu juga memperbaiki pintu belakang, keran air yang tersumbat, serta lampu dapur yang hampir mati. Selene terpaku melihat semua hal yang bermasalah itu nyaris di benarkan. Apa Kane sempat melakukannya semalam? Bukankah pria itu berkata akan mengerjakan berkasnya? Kapan ia melakukannya?Selene terse
Malam sangat dingin menembus tulang. Sedikit rintik air halus mengenai kulit, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Langit memang sedikit menampakkan cahaya kilat di balik awan gelap itu.Selene merapatkan mantelnya. Semakin lama berada di luar, tubuhnya semakin menggigil. Ia baru saja kembali dari Rumah Sakit saat ini, cukup larut karena lemburan. Jalanan sudah sangat sepi. Mungkin hanya beberapa yang masih berada di sana, sama-sama merapatkan mantel dan melangkah secepat mungkin menuju tempat tinggal. Atau karena orang-orang enggan keluar, sebab kilat yang cukup menakutkan.Sebenarnya, Selene merasakan hal aneh saat berjalan sendiri sejak meninggalkan rumah sakit. Ia merasa seseorang mengikutinya. Tidak sekali dua kali Selene mendapati lelaki dengan topi baret itu bersembunyi kala Selene menoleh ke belakang. Hal itu membuat Selene sedikit panik dan takut, perjalanan rumahnya masih cukup jauh. Dan kondisi jalanan yang semakin sepi. Pun, l
Brooklyn, New York City, 1942.Past.Gemuruh suara cukup keras terdengar di langit-langit kota Brooklyn. Belasan pesawat tempur milik Militer baru saja melakukan pendaratan setelah melakukan Patroli sejak pagi tadi.Salah satunya pesawat tempur dengan ukiran KC-17 berwarna abu tua yang mendarat dengan mulus kesekian kalinya. Kaca penutup itu terbuka dan menurunkan satu pilot bertubuh gagah, lengkap dengan seragam patrolinya.Kane mengusap rambut tebal itu dan menatap langit. Seakan ingin kembali menghabiskan waktu lebih lama lagi di atas sana. Dia selalu menyukai lautan awan itu, dan sanggup terbang seberapapun lamanya. Kane baru ingin memperbaiki seragam, ketika seseorang menarik tangan lelaki itu tergesa.Kening Kane mengerut melihat Steve Idris, sahabatnya, yang menarik lengan lelaki itu. "Ada apa denganmu, Idris?