Pukul tujuh lewat lima belas menit.
Selene menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dress berwarna putih dengan motif bunga dan panjang tiga perempat itu terlihat manis sekaligus anggun ketika Selene menggunakannya. Rasanya, Selene tak perlu membawa Coats untuk malam ini. Meskipun ia sendiri tidak tahu ke mana Kane akan membawanya.
Ketukan pada pintu membuat Selene mengalihkan pandangan dari cermin dan bergegas mengambil tas tangan mini yang sudah ia siapkan di atas meja.
"Tunggu sebentar!" seru Selene ketika ketukan terdengar lagi.
Setelah memastikan sekali lagi barang bawaan dan hal di sekitar, akhirnya Selene menuju pintu dan membukanya. Tampak, Kane sudah berdiri di sana dengan wajah tampan yang kini tersenyum kecil. Kane baru saja terpaku di tempatnya.
"Anda sangat cantik malam ini, Nona Sapphire," puji Kane dengan wajah teduhnya.
Pipi Selene memerah. Entah karena hawa dingin atau pujian yang di ucapkan oleh Kane. Lelaki itu santai menggunakan celana jeans, crewneck putih yang di lapisi jaket kulit, serta sepatu ketsnya. Gaya yang sangat santai, namun membuat aura lelaki itu semakin terpancarkan. Bisa-bisa, orang tak akan menyangka jika Kane adalah salah satu Kapten di Pangkalan Militer mereka.
"Kita pergi sekarang, Kane?" tanya Selene, mengacuhkan pujian Kane barusan.
"Kapanpun kau mau," balas Kane mempersilakan.
Selene berbalik kecil untuk menutup dan mengunci pintu rumah. Setelah itu keduanya berjalan menuju mobil sedan di pinggir jalan.
"Kau mengganti mobilmu, Kane?" tanya Selene basa-basi.
Kane membukakan pintu, dan membiarkan Selene memasuki mobil. Lelaki itu menahan bagian atas pintu, agar kepala Selene tidak terbentur, sebab pintu yang lebih rendah tersebut.
"Aku tidak mungkin mengajak gadis keluar dengan mobil dinas, Selene. Kecuali aku memakai seragam militerku," ujar Kane setelah duduk di balik kemudi.
Selene tertawa kecil. "Jadi ini milikmu?"
"Yha, Ayah memberikannya ketika aku berhasil masuk ke Militer."
"Hadiah yang cukup mahal."
"Itu hebatnya memiliki ayah seorang Jenderal dan Ibu seorang Dokter," gurau Kane.
"Kau ini senang merampok orang tuamu sendiri, ya?" balas Selene menyelidik.
Kane tertawa ringan, "Begitulah."
Selene ikut tertawa dan memperbaiki duduknya. Mobil Kane kini sudah bergabung di tengah padatnya lalu lintas.
"Kita hendak ke mana, Kane?" tanya Selene setelah beberapa saat. Lama sekali ia tidak berjalan-jalan menaiki mobil saat malam. Ibu kota terasa sangat ramai dan menyenangkan.
"Bagaimana dengan menonton film?" ajak Kane mengusulkan. "Kau mau?"
"Apa masih sempat untuk membeli tiket?"
"Tentu saja," angguk Kane. "Aku sudah membelinya beberapa waktu lalu. Penjaganya adalah kawan baikku saat pelatihan militer."
"Kau sudah menyiapkannya, huh?" goda Selene. "Apa kau menyiapkan lebih banyak lagi, Tuan Cadfael?"
Kane mengangguk sekali. "Banyak. Aku hanya waspada jika kau menolak pilihanku. Setidaknya aku memiliki banyak cadangan lain."
"Kau memang penuh kejutan," tawa Selene lagi.
"Aku tahu itu," balas Kane percaya diri.
Mobil mereka kini berhenti pada salah satu studio teater yang menayangkan beberapa film. Tampak antrean cukup panjang malam ini. Mungkin sebagian alasannya adalah karena esok hari libur mereka. Dan juga, ada beberapa film yang baru saja di mainkan. Beruntung Kane sudah lebih dulu memesan tiket itu, bahkan sebelum poster filmnya di pasang.
Selene keluar dari mobil setelah Kane membukakan pintu. Beberapa pasang mata sesekali menuju ke arah pasangan tersebut. Selene memang sangat cantik malam ini. Dress tersebut membuatnya belasan kali lipat sangat manis. Berbeda ketika ia memakai seragam dokternya. Sementara Kane, lelaki itu selalu memancarkan aura maskulin pada dirinya. Sedikit jarang tersenyum ketika sedang tak bertemu siapapun yang ia kenal, tetapi selalu nyaman untuk di pandang. Selene sempat gagu ketika melihat Kane malam ini. Mungkin karena Selene terbiasa melihat Kane dengan balutan seragam militernya. Tapi, jika boleh memilih lagi, dari sekian banyak penampilan Kane, Selene sangat menyukai ketika Kane memakai Seragam putih Upacara Militer mereka.
Kane mengajak Selene memasuki gedung teater. Karena sedikit ramai, sesekali Kane menyenggol orang lain yang berada di sana. Lelaki itu berjalan di samping Selene.
"Selene, kau tidak keberatan jika aku melakukan sesuatu?" bisik Kane mendekat.
Selene yang baru saja menerima bungkus popcorn dan cola itu mendongak kecil. "Apa kau bilang, Kane?"
Belum terjawab pertanyaan Selene, Kane lebih dulu mengambil Cola di tangan Selene dan sebelah tangan lainnya menggenggam tangan kecil Selene sedikit erat.
Selene sontak menatap terkejut tangan keduanya yang kini saling bertaut. Sementara, Kane sudah berbalik membelakangi Selene. Membuka jalan agar gadisnya itu tidak terkena senggolan orang lain. Berjalan nyaman di balik punggung tegapnya, hingga mereka memasuki salah satu ruangan teater.
Wajah Selene masih memerah, bahkan hingga tubuhnya duduk di kursi mereka, dan Kane yang berada di sampingnya. Beruntung lampu teater sudah padam sejak tadi, dan hanya menyisakan cahaya dari layar tancap di depan mereka. Kane sendiri tampak tenang di samping. Ia melepaskan jaket dan meletakkannya di pangkuan Selene untuk menutupi kaki gadis itu.
"Meskipun tidak ada yang melihatnya, tapi udara cukup dingin, bukan?" ujar Kane tenang.
"Kau bisa bersikap manis, ternyata, Tuan Cadfael," gurau Selene menggoda.
"Aku memang selalu bersikap manis, kan?"
"Jadi kau selalu seperti ini pada wanita yang berkencan denganmu?"
Kane menggindikkan bahunya bangga. "Tapi, memangnya kita sedang berkencan, Selene?"
"Eh?" kejut Selene salah tingkah. Gadis itu tampak sedikit gelagapan. "Aku tidak mengatakan hal itu, tuh."
Kane menahan tawanya dan mengacak kecil puncak kepala Selene. Tapi tidak sampai membuatnya berantakan. "Kau sangat manis jika tersipu, Selene. Jadi hentikan hal itu."
"Eh? Aku? Memangnya kenapa?"
Kane meluruskan tubuhnya dan menatap layar di depan mereka. "Aku ini harus pergi dinas ke luar kota untuk waktu yang cukup lama, Selene. Atau harus berada di angkasa selama berjam-jam."
"Memang apa hubungannya, sih," gerutu Selene mendekatkan diri pada Kane.
Kane melirik Selene yang menatapnya penuh tanda tanya itu. Bibirnya tersungging tipis. "Aku hanya khawatir. Ketika merindukanmu, dan membuat pekerjaanku tidak selesai."
"Maksā,"
"Terkadang kita memang berada di kota yang sama. Tetapi jarak yang berbeda. Kau di sini, dan aku tiga puluh ribu kaki di atas awan," Kane menoleh kecil. "Bagaimana jika aku merindukanmu saat itu? Apa aku harus memutar pesawatku untuk mencari di mana kau berada, hah?"
Blush..
Selene terdiam salah tingkah. Pipinya benar-benar merona saat ini. Dengan cepat gadis itu menarik tubuhnya mundur dan duduk lurus menatap layar.
"Berhentilah bercanda, Cadfael," omel Selene.
Kane mendengus gemas, dan ikut menatap layar yang mulai memutar film mereka. "Aku tidak pernah bercanda untuk hal ini, Selene."
***
Setelah lebih dari empat puluh menit menonton film dan makan malam, kini Kane dan Selene sedang berada di salah satu tempat yang sering Kane kunjungi ketika ingin sendirian. Itu adalah danau tersembunyi yang berada di dekat rumah keluarga Cadfael. Cukup jauh dari kota dan rumah Selene berada.
Selene sejak tadi tidak berhenti mengaggumi pemandangan malam di danau tersebut. Bintang berhamburan di langit, dan pantulan rembulan di atas permukaan danau, bak cermin. Gadis itu bahkan melepaskan sendalnya untuk merasakan rerumputan yang geli mengenai telapak kaki.
Kane melepaskan jaketnya dan menaruhnya menutupi punggung Selene. Lelaki itu tersenyum, mengajak Selene duduk di sampingnya.
"Tempat ini sangat indah, Kane!" kagum Selene dengan mata berbinar.
"Yha, tempat ini sama seperti terakhir kali aku menghampirinya," Kane menyadarkan kedua tangannya di belakang tubuh. Sedikit mendongak menatap langit malam.
"Kapan kau terakhir kali ke mari, Kane?"
"Entahlah," Kane menggindikkan bahu. "Semenjak menjadi pilot serta Kapten, aku sudah jarang mendatangi tempat ini."
"Begitu, kah? Memangnya, sejak kapan kau tahu tempat ini?"
"Sejak aku dan saudariku kecil."
Selene menolehkan kepalanya. "Kau memiliki saudari, Kane?"
Kane ikut menolehkan kepalanya pada Selene sambil mengangguk kecil. "Empat tahun lebih tua dariku. Wajar jika kau tak tahu."
"Wajar? Aku rasa, satu negara ini tahu siapa keluarga Cadfael."
"Benarkah?" tawa Kane kecil. "Aku tidak tahu jika keluargaku sangat terkenal."
"Bukan seperti itu maksudku," Selene mendengus dan mendorong kecil Kane. "Maksudku, orang-orang pasti tahu setiap anggota keluarga Cadfael. Karena bisa di bilang, Keluargamu adalah kelurga tersohor di negara ini, Kane."
"Kau berlebihan, Selene," Kane mengaitkan anak rambut Selene di belakang telinga gadis itu. "Keluargaku hanyalah keluarga yang berjuang untuk negara, sejak kakek buyutku hingga aku saat ini. Kami hanya pengabdi bagi negara."
"Dan karena pengabdian keluargamu itu lah, Kane, keluargamu menjadi yang sangat dihormati di negara kita," balas Selene lembut.
Kane tersenyum. Menatap bola mata berwarnakan biru cerah itu. Pandangan yang teduh dan hangat selalu membuat jantung Kane seolah berpacu lebih cepat di bandingkan biasanya. Sementara, di sisi lainnya, Selene mati-matian menahan agar tidak hanyut dalam bola mata abu-abu itu. Rasanya, Selene bisa merasakan pipinya yang memanas saat ini. Kane menatapnya dalam.
"Kau memiliki mata yang sama dengannya, Selene," ucap Kane pelan. Nyaris berbisik.
Selene mengerjapkan kelopak matanya. "Mirip? Dengan siapa?"
Kane mengubah posisinya, kembali menatap langit dengan bersandar pada dua tangan. "Iriene," jawabnya lagi.
"Iriene? Kekasihmu yang lalu?"
Kane mendengus kecil. "Kau selalu membahas tentang kekasih dan wanita lain, Sel. Aku khawatir, jika kau benar mengetahui aku memiliki kekasih, kau mungkin bisa pingsan."
"Cih, kenapa juga aku harus pingsan, Kane," desis Selene tak terima.
"Kau kan, sebegitu mengidolakan aku, Selene. Mengakulah," kekeh Kane menggoda.
"Tembakanmu terlalu jauh, Kapten Cadfael."
"Lihatlah! jika kau mengatakan namaku dengan Kapten Cadfael, itu artinya kau sedang kesal!" seru Kane menggoda Selene. "Lihat, kau sedang kesal, kan, saat ini?"
"Benarkah? Memangnya aku seperti itu?" ujar Selene cuek, tetapi masih merasa penasaran.
Kane mengangguk. "Kau memang seperti itu."
"Kenapa memperhatikan aku, sih," gumam Selene heran. Kini ia menatap kembali Kane di sampingnya. "Jadi, siapa Iriene?"
"Kau yakin ingin mengetahuinya?" Kane memastikan Selene, "Apa kau tidak takut sakit hati?"
"Hei, Kane, kau bisa menjawabnya saja," datar Selene sudah lelah dengan godaan Kane yang kini tersenyum lebar.
Tatapan Kane menatap bintang di atasnya. "Iriene adalah saudariku. Iriene Cadfael," jawabnya sedikit tersenyum.
"Tapi, Kane, mengapa nama itu tak pernah di singgung oleh massa?" tanya Selene hati-hati. Khawatir jika ini pembicaraan yang sensitif bagi Kane.
"Sejak kecil, Ibu dan Ayahku memang sengaja menyembunyikan Iriene karena beberapa alasan. Salah satunya adalah karena Iriene memiliki fisik yang sedikit lemah. Sebenarnya kelahiran putri pertama Cadfael sudah pernah di singgung tahun itu, tapi Ayahku membungkam media dan menguburnya hingga rapat. Dan empat tahun kemudian, aku lahir, menjadi putra tunggal keluarga Cadfael, generasi terakhir. Juga, saat kami besar, atau saat Iriene berusia delapan tahun, ia sendiri yang mengatakan bahwa dirinya tidak ingin muncul di hadapan publik. Nyaman dengan kondisinya saat itu."
"Bertahun-tahun kemudian, kondisi Iriene semakin membaik, bahkan mulai normal. Dia memasuki sekolah seperti remaja lainnya. Iriene juga menjadi salah satu perawat muda saat itu. Dan akhirnya, Irieneā" Kane sedikit tersendat saat hendak melanjutkan ceritanya. Tampak lelaki itu menarik napasnya dalam. "Gugur saat ikut berperang di perang Tonsberg, Norwegia. Iriene menjadi perawat militer, dan gugur karena bom yang di jatuhkan di desa mereka."
Selene membeku mendengar penjelasan Kane. Tubuh lelaki itu terlihat sedikit menegang, dan Kane yang tetap mendongak, meski matanya kini terpejam. Itu adalah perang yang sangat menyakitkan bagi tentara amerika. Banyak dari para tentara yang gugur di medan perang. Selene tak menyangka, jika keluarga Cadfael juga mengalami hal serupa. Iriene gugur di medan perang, sebagai seorang perawat. Wanita itu adalah seorang pahlawan.
Perlahan, meski sedikit ragu, Selene mengulurkan tangan dan mengusap punggung lebar Kane. "Maafkan aku karena sudah bertanya, Kane. Aku turut menyesal dengan kehilanganmu."
Beberapa detik, setelah menarik napasnya dalam, Kane akhirnya membuka mata dan menoleh ke arah Selene. Masih tersenyum hangat. "Tidak apa, Sel. Itu hanya cerita lama. Itu terjadi saat aku baru saja mendapatkan lisensi sebagai seorang pilot pesawat tempur. Dan sejak saat itu, aku selalu menjadi kunci utama dalam peperangan. Menjatuhkan nuklir."
Selene sedikit menahan napasnya. Tak pernah tahu bagaimana pekerjaan Kane berjalan. "Apa itu... karena dendam, Kane?"
Kane menunduk dan mengangguk sekali. "Karena rasa kehilangan. Aku... sangat jahat, bukan, Selene? Aku hanya ingin mereka tahu bagaimana kehilangan orang yang mereka cintai. Itu salah, tapi... itu kini menjadi bagian dari pekerjaanku."
Napas Kane benar-benar tersendat, kepalanya semakin menunduk dalam. Topik ini memang sangat menyakitkan bagi Kane. Sebab, Iriene adalah orang yang paling berharga bagi dirinya. Kehilangan Iriene membuat Kane benar-benar hancur. Bahkan hingga berdampak banyak bagi lelaki itu, termasuk kesehatan fisik dan mentalnya. Kehilangan Iriene karena perang juga membuat Kane menjadi sosok yang sangat berbeda ketika turun ke medan perang. Lelaki itu akan memukul mundur musuh mereka tanpa ampun. Bahkan jika harus menjatuhkan satu negara sekaligus, Kane mampu melakukannya. Itu sebabnya, Kane menjadi kunci peperangan militer negara mereka. Di balik senyum ramahnya, Kane adalah mesin pembunuh Militer.
Selene bisa merasakan kesedihan yang di alami Kane saat ini. Mungkin, ini adalah sisi lain Kane yang tak sengaja bisa ia lihat sendiri. Kehilangan seseorang yang berharga memanglah sangat menyakitkan. Apalagi, jika penyebab kepergiannya kini menjadi dasar perubahan seseorang yang di tinggalkan. Selene tak tahu apa yang di alami Kane dan apa perubahan yang lelaki itu rasakan. Tapi, dari apa yang Selene lihat malam ini, Selene hanya bisa melihat sosok Kane yang sangat rapuh.
Perlahan, tanpa berpikir panjang, Selene membawa tubuhnya mendekat ke arah Kane, dan memeluk lelaki itu. Menyalurkan kehangatan yang bisa ia berikan. Kane tidak bereaksi apapun, hanya diam tanpa suara, dengan napas yang sedikit berat. Lelaki itu sama sekali tidak menangis.
Cukup lama keduanya terdiam dalam hening yang menyesakkan, Kane akhirnya mengakhiri pelukan itu dan menarik dirinya kembali.
"Maaf, jika aku lancang memeluk mu, Kane," Selene berkata tak enak.
Kane menarik senyumnya tipis. "Terima kasih, Selene."
"Aku turut berduka atas kepergian Iriene. Tapi, yang aku tahu, Iriene pastilah seorang wanita yang hebat, Kane," ujar Selene penuh kelembutan. "Kau tak perlu membahasnya lagi, jika itu topik yang berat bagimu."
"Iriene selalu mengatakan, Dunia akan lebih baik jika kita berhenti merusaknya," ujar Kane dan melemparkan kerikil kecil ke permukaan danau. Lantas mendengus sinis, "Tapi, hingga hari ini, pun, aku adalah salah satu orang yang merusak dunia dengan peperangan."
"Tak ada yang menginginkan perang ini terjadi, Kane. Negara kita membutuhkan semua pemudanya untuk melindungi para penduduk. Agar, kelak, entah kapan, kita bisa hidup dengan aman pada akhirnya. Jika merusak dan kematian adalah harga yang harus di bayar, maka kita tak bisa melakukan apapun, selama gencatan senjata terus terjadi."
"Tetap saja, aku adalah seorang pembunuh, Selene," ujar Kane menusuk dirinya sendiri. "Kau sedang duduk dengan seorang pembunuh yang menghancurkan satu kota dalam semalam."
Kane menolehkan kepalanya pada Selene. Menatap langsung bola mata Sapphire itu sendu. Sirat ketakutan dan penyesalan terukir jelas di sana.
"Apa kau masih percaya dengan orang baik ini, Selene?"
Selene terdiam. Matanya hanya beradu tatap dengan Kane. Hingga, sebelah tangannya terulur untuk menyentuh pipi Kane dan memegangnya hangat. Ibu jari kecil itu mengelus pipi Kane yang sedikit dingin.
"Tidak masalah jika kau sedikit egois, Kane," Selene tersenyum hangat. "Kau berjuang untuk negaramu, untuk keluargamu, dan untuk jutaan penduduk lainnya. Kau hanya ingin dunia ini berhenti saling menyakiti. Aku tahu, Kane... kau lebih dari apapun yang kau pikirkan."
Kane terhanyut dalam ucapan lembut Selene. Lelaki itu menggengam tangan Selene yang berada di wajahnya. "Terima kasih, Sel."
"Terima kasih, karena sudah menjaga negara ini, Kane," balas Selene tulus.
"Boleh... aku memelukmu, Selene?" ucap Kane meminta izin.
Selene tersenyum, dan mengangguk. "Kau bisa memelukku kapanpun, Kapten Kane."
āļøāļøāļø
Semenjak malam penuh cerita itu, hubungan Kane dan Selene sangat membaik. Bahkan melebihi dari yang keduanya bayangkan. Selene bahkan tidak bisa melupakan kala bibir Kane tanpa sadar menyentuh bibirnya. Hingga saat ini, Selene selalu memegang bibirnya dan tersipu malu.Malam itu juga mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka. Termasuk alasan mereka mengambil pekerjaan yang keduanya jalani saat ini. Kane tidak terlalu banyak bercerita. Tetapi, setiap hal yang dikatakan lelaki itu adalah point utama kisahnya.Saat inipun, Selene dan Kane masih sering bertemu. Diluar maupun di dalam Markas militer. Saling menyapa satu sama lain, sebagai rekan. Tetapi di luar, keduanya seperti sepasang kekasih. Kane selalu bisa membuat Selene merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.Seperti sore ini, Kane sedang berada di ruangan besar pada Markas mereka. Berdiri dengan tangan bertumpu di atas meja, memperhatikan peta besar yang t
Sepuluh hari sejak telepon dini hari itu, dan kini Kane masih tidak memiliki kabar apapun. Brooklyn juga dalam masa yang menegangkan. Peperangan kembali terjadi, tepat di batas laut mereka. Setiap jamnya, selalu terdengar gemuruh yang sangat mendebarkan jantung.Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Warga memilih berlindung di dalam rumah. Jalanan sepi senggang. Toko-toko menutup etalase dan hanya membuka pintu jika ada yang datang, membeli keperluan penting. Semua orang takut, jika pesawat tempur yang melewati atap mereka, tiba-tiba menjatuhkan meriam dan meluluh lantahkan kota.Setiap hari seperti mimpi buruk. Anak-anak menjerit setiap kalinya. Para orang dewasa berjaga setiap jam. Getaran-getaran selalu terasa pada tanah yang mereka pijak. Dentuman-dentuman kuat, serta langit yang memerah.Selene merapatkan jasnya, rambut panjang itu ia ikat setinggi mungkin. Sepanjang hari, Selene sibuk kesana-kemari. Siap siaga pada
Langit berubah menjadi gelap. Bintang bertebaran terang dan bulan purnama menghiasi langit malam kota Brooklyn.Selene menatap keluar jendela dan menatap jalanan sepanjang yang ia lewati. Sejak jam tujuh lewat lima belas menit tadi, sebuah mobil klasik khas bangsawan tiba-tiba berhenti di depan halamannya, dengan seseorang berpakaian rapi yang mengetuk pintu rumah. Pria muda itu menunduk santun, berkata bahwa Tuan Muda Cadfael mengutusnya kemari untuk menjemput sang puan jelita tersebut. Pria itu juga menunjukan sebuah undangan berwarna ungu lavender, berbahankan beledu, dengan cap lilin merah, khas milik keluarga Cadfael. Pria itu juga mengatakan, bahwa Kane tak bisa menjemput Selene secara langsung, karena ia adalah tuan rumah pada pesta malam ini.Selene di jemput lebih awal, sebab perjalanan menuju Mansion cukup jauh. Mansion Cadfael terletak di pinggiran kota, berdekatan dengan garis pant
Selene menatap Kane waswas apalagi ketika lelaki itu menutup pintu di belakangnya dengan tatapan terkunci pada Selene."Kanee..." ujar Selene waspada.Kane hanya tersenyum tipis. Bukan karena hal apa, tapi pandangan Kane saat ini benar-benar membuat Selene berpikiran yang aneh-aneh sekaligus takut. Pesta belum selesai, ketika Kane tiba-tiba menariknya menuju lantai dua rumah besar tersebut.Sebelumnya, mereka berada di ruang makan besar dengan meja yang cukup panjang. Makan malam jamuan pada tamu penting, dan Selene berada di tengah-tengahnya. Di sana, Selene hanya di kenalkan sebagai seorang dokter dan kekasih Kane saja. Arthur dan Marine tidak benar-benar memperkenalkan Selene sebagai calon menantu Cadfael, sebab Kane melarangnya. Bukan karena Kane bercanda dengan status tersebut, melainkan, Kane belum memastikannya, jika Selene tidak keberatan dengan status tersebut.Bahkan, saat berada di lorong
"Mom, aku ingin menjadi seperti Papa!"Mataku mengerjap beberapa kali ketika mendengar suara yang penuh semangat itu. Apa aku baru saja melamun, lagi?"Lihat, Mom! Papa terlihat sangat gagah," Kale menyender manja pada pangkuanku. Tersenyum mengusap wajah Pria yang berada dalam Frame tua dengan ibu jari kecilnya.Bibirku tersenyum. Mengusap rambut pirang Kale di sela-sela jemari. "Kau merindukan Papa, Kale?""Sangat."Perlahan aku sadar, senyuman itu berubah menjadi masam. Kale, kalimat itu selalu terucap dari bibir putra kecilku ketika ia melihat Seragam berpangkat Mayor yang tergantung di lemari kaca. Selalu bertanya, bagaimana sosok Papanya. Aku hanya bisa mengatakan, bahwa ia adalah Pria yang luar biasa. Menyelamtkan Negara, demi membuat Kale kami hidup dengan nyaman hingga saat ini.Kale kembali tersenyum ceria, sedikit tertawa. Entah apa yang membuatnya
Brooklyn, New York City, 1942.Past.Gemuruh suara cukup keras terdengar di langit-langit kota Brooklyn. Belasan pesawat tempur milik Militer baru saja melakukan pendaratan setelah melakukan Patroli sejak pagi tadi.Salah satunya pesawat tempur dengan ukiran KC-17 berwarna abu tua yang mendarat dengan mulus kesekian kalinya. Kaca penutup itu terbuka dan menurunkan satu pilot bertubuh gagah, lengkap dengan seragam patrolinya.Kane mengusap rambut tebal itu dan menatap langit. Seakan ingin kembali menghabiskan waktu lebih lama lagi di atas sana. Dia selalu menyukai lautan awan itu, dan sanggup terbang seberapapun lamanya. Kane baru ingin memperbaiki seragam, ketika seseorang menarik tangan lelaki itu tergesa.Kening Kane mengerut melihat Steve Idris, sahabatnya, yang menarik lengan lelaki itu. "Ada apa denganmu, Idris?
Malam sangat dingin menembus tulang. Sedikit rintik air halus mengenai kulit, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Langit memang sedikit menampakkan cahaya kilat di balik awan gelap itu.Selene merapatkan mantelnya. Semakin lama berada di luar, tubuhnya semakin menggigil. Ia baru saja kembali dari Rumah Sakit saat ini, cukup larut karena lemburan. Jalanan sudah sangat sepi. Mungkin hanya beberapa yang masih berada di sana, sama-sama merapatkan mantel dan melangkah secepat mungkin menuju tempat tinggal. Atau karena orang-orang enggan keluar, sebab kilat yang cukup menakutkan.Sebenarnya, Selene merasakan hal aneh saat berjalan sendiri sejak meninggalkan rumah sakit. Ia merasa seseorang mengikutinya. Tidak sekali dua kali Selene mendapati lelaki dengan topi baret itu bersembunyi kala Selene menoleh ke belakang. Hal itu membuat Selene sedikit panik dan takut, perjalanan rumahnya masih cukup jauh. Dan kondisi jalanan yang semakin sepi. Pun, l
Selene menguap kecil sembari membuka pintu kamarnya. Matanya mengernyit kecil, kala cahaya matahari sudah menerangi rumah. Ia menatap sekitar. Jendela sudah terbuka, begitu juga tirainya. Selene mendekat ke arah sofa, tapi di sanapun sudah rapi. Tanda seseorang membersihkannya.'Apa Kane membereskan semuanya?' batin Selene sembari menatap sekitar. Ini masih pukul enam pagi, dan Kane sudah meninggalkan rumahnya.Wanita itu bergumam takjub saat menemui beberapa hal. Selain jendela yang sudah terbuka, serta ruang tamu yang rapi. Kane juga sudah mencuci sweater yang ia gunakan, serta menjemurnya di halaman belakang. Bahkan, lelaki itu juga memperbaiki pintu belakang, keran air yang tersumbat, serta lampu dapur yang hampir mati. Selene terpaku melihat semua hal yang bermasalah itu nyaris di benarkan. Apa Kane sempat melakukannya semalam? Bukankah pria itu berkata akan mengerjakan berkasnya? Kapan ia melakukannya?Selene terse
Selene menatap Kane waswas apalagi ketika lelaki itu menutup pintu di belakangnya dengan tatapan terkunci pada Selene."Kanee..." ujar Selene waspada.Kane hanya tersenyum tipis. Bukan karena hal apa, tapi pandangan Kane saat ini benar-benar membuat Selene berpikiran yang aneh-aneh sekaligus takut. Pesta belum selesai, ketika Kane tiba-tiba menariknya menuju lantai dua rumah besar tersebut.Sebelumnya, mereka berada di ruang makan besar dengan meja yang cukup panjang. Makan malam jamuan pada tamu penting, dan Selene berada di tengah-tengahnya. Di sana, Selene hanya di kenalkan sebagai seorang dokter dan kekasih Kane saja. Arthur dan Marine tidak benar-benar memperkenalkan Selene sebagai calon menantu Cadfael, sebab Kane melarangnya. Bukan karena Kane bercanda dengan status tersebut, melainkan, Kane belum memastikannya, jika Selene tidak keberatan dengan status tersebut.Bahkan, saat berada di lorong
Langit berubah menjadi gelap. Bintang bertebaran terang dan bulan purnama menghiasi langit malam kota Brooklyn.Selene menatap keluar jendela dan menatap jalanan sepanjang yang ia lewati. Sejak jam tujuh lewat lima belas menit tadi, sebuah mobil klasik khas bangsawan tiba-tiba berhenti di depan halamannya, dengan seseorang berpakaian rapi yang mengetuk pintu rumah. Pria muda itu menunduk santun, berkata bahwa Tuan Muda Cadfael mengutusnya kemari untuk menjemput sang puan jelita tersebut. Pria itu juga menunjukan sebuah undangan berwarna ungu lavender, berbahankan beledu, dengan cap lilin merah, khas milik keluarga Cadfael. Pria itu juga mengatakan, bahwa Kane tak bisa menjemput Selene secara langsung, karena ia adalah tuan rumah pada pesta malam ini.Selene di jemput lebih awal, sebab perjalanan menuju Mansion cukup jauh. Mansion Cadfael terletak di pinggiran kota, berdekatan dengan garis pant
Sepuluh hari sejak telepon dini hari itu, dan kini Kane masih tidak memiliki kabar apapun. Brooklyn juga dalam masa yang menegangkan. Peperangan kembali terjadi, tepat di batas laut mereka. Setiap jamnya, selalu terdengar gemuruh yang sangat mendebarkan jantung.Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Warga memilih berlindung di dalam rumah. Jalanan sepi senggang. Toko-toko menutup etalase dan hanya membuka pintu jika ada yang datang, membeli keperluan penting. Semua orang takut, jika pesawat tempur yang melewati atap mereka, tiba-tiba menjatuhkan meriam dan meluluh lantahkan kota.Setiap hari seperti mimpi buruk. Anak-anak menjerit setiap kalinya. Para orang dewasa berjaga setiap jam. Getaran-getaran selalu terasa pada tanah yang mereka pijak. Dentuman-dentuman kuat, serta langit yang memerah.Selene merapatkan jasnya, rambut panjang itu ia ikat setinggi mungkin. Sepanjang hari, Selene sibuk kesana-kemari. Siap siaga pada
Semenjak malam penuh cerita itu, hubungan Kane dan Selene sangat membaik. Bahkan melebihi dari yang keduanya bayangkan. Selene bahkan tidak bisa melupakan kala bibir Kane tanpa sadar menyentuh bibirnya. Hingga saat ini, Selene selalu memegang bibirnya dan tersipu malu.Malam itu juga mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka. Termasuk alasan mereka mengambil pekerjaan yang keduanya jalani saat ini. Kane tidak terlalu banyak bercerita. Tetapi, setiap hal yang dikatakan lelaki itu adalah point utama kisahnya.Saat inipun, Selene dan Kane masih sering bertemu. Diluar maupun di dalam Markas militer. Saling menyapa satu sama lain, sebagai rekan. Tetapi di luar, keduanya seperti sepasang kekasih. Kane selalu bisa membuat Selene merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.Seperti sore ini, Kane sedang berada di ruangan besar pada Markas mereka. Berdiri dengan tangan bertumpu di atas meja, memperhatikan peta besar yang t
Pukul tujuh lewat lima belas menit.Selene menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dress berwarna putih dengan motif bunga dan panjang tiga perempat itu terlihat manis sekaligus anggun ketika Selene menggunakannya. Rasanya, Selene tak perlu membawa Coats untuk malam ini. Meskipun ia sendiri tidak tahu ke mana Kane akan membawanya.Ketukan pada pintu membuat Selene mengalihkan pandangan dari cermin dan bergegas mengambil tas tangan mini yang sudah ia siapkan di atas meja."Tunggu sebentar!" seru Selene ketika ketukan terdengar lagi.Setelah memastikan sekali lagi barang bawaan dan hal di sekitar, akhirnya Selene menuju pintu dan membukanya. Tampak, Kane sudah berdiri di sana dengan wajah tampan yang kini tersenyum kecil. Kane baru saja terpaku di tempatnya."Anda sangat cantik malam ini, Nona Sapphire," puji Kane dengan wajah
"Nah, sudah selesai. Sama sekali tidak sakit, bukan?"Gadis kecil bernama Natt itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putih yang renggang itu terlihat. Dia menatap dokter cantik itu dengan mata berbinar dan mengangguk senang."Terima kasih, Dokter Selene.""Tentu saja, Natt," balas Selene ramah."Dokter Selene, tadi aku belajar tentang orang yang kita sayangi," cerita Natt sembari memainkan tangan yang baru saja di tutupi oleh perekat luka itu. "Dokter Metta bertanya, siapa orang yang kami sayangi."Selene duduk di kursi dan menatap Natt yang bercerita dengan antusias. "Benarkah? Lalu, Natt menjawab siapa?""Papa dan Kakak," seru Natt semangat. Gadis kecil itu memang tidak memiliki sosok ibu lagi. "Lalu, ada Kepala Koki Jeff, Perawat Suzan, daaaaan Dokter Selene!!""Jadi, Dokter Selene yang terakhir?" Selene berkata dengan nada sedih yan
Selene menguap kecil sembari membuka pintu kamarnya. Matanya mengernyit kecil, kala cahaya matahari sudah menerangi rumah. Ia menatap sekitar. Jendela sudah terbuka, begitu juga tirainya. Selene mendekat ke arah sofa, tapi di sanapun sudah rapi. Tanda seseorang membersihkannya.'Apa Kane membereskan semuanya?' batin Selene sembari menatap sekitar. Ini masih pukul enam pagi, dan Kane sudah meninggalkan rumahnya.Wanita itu bergumam takjub saat menemui beberapa hal. Selain jendela yang sudah terbuka, serta ruang tamu yang rapi. Kane juga sudah mencuci sweater yang ia gunakan, serta menjemurnya di halaman belakang. Bahkan, lelaki itu juga memperbaiki pintu belakang, keran air yang tersumbat, serta lampu dapur yang hampir mati. Selene terpaku melihat semua hal yang bermasalah itu nyaris di benarkan. Apa Kane sempat melakukannya semalam? Bukankah pria itu berkata akan mengerjakan berkasnya? Kapan ia melakukannya?Selene terse
Malam sangat dingin menembus tulang. Sedikit rintik air halus mengenai kulit, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Langit memang sedikit menampakkan cahaya kilat di balik awan gelap itu.Selene merapatkan mantelnya. Semakin lama berada di luar, tubuhnya semakin menggigil. Ia baru saja kembali dari Rumah Sakit saat ini, cukup larut karena lemburan. Jalanan sudah sangat sepi. Mungkin hanya beberapa yang masih berada di sana, sama-sama merapatkan mantel dan melangkah secepat mungkin menuju tempat tinggal. Atau karena orang-orang enggan keluar, sebab kilat yang cukup menakutkan.Sebenarnya, Selene merasakan hal aneh saat berjalan sendiri sejak meninggalkan rumah sakit. Ia merasa seseorang mengikutinya. Tidak sekali dua kali Selene mendapati lelaki dengan topi baret itu bersembunyi kala Selene menoleh ke belakang. Hal itu membuat Selene sedikit panik dan takut, perjalanan rumahnya masih cukup jauh. Dan kondisi jalanan yang semakin sepi. Pun, l
Brooklyn, New York City, 1942.Past.Gemuruh suara cukup keras terdengar di langit-langit kota Brooklyn. Belasan pesawat tempur milik Militer baru saja melakukan pendaratan setelah melakukan Patroli sejak pagi tadi.Salah satunya pesawat tempur dengan ukiran KC-17 berwarna abu tua yang mendarat dengan mulus kesekian kalinya. Kaca penutup itu terbuka dan menurunkan satu pilot bertubuh gagah, lengkap dengan seragam patrolinya.Kane mengusap rambut tebal itu dan menatap langit. Seakan ingin kembali menghabiskan waktu lebih lama lagi di atas sana. Dia selalu menyukai lautan awan itu, dan sanggup terbang seberapapun lamanya. Kane baru ingin memperbaiki seragam, ketika seseorang menarik tangan lelaki itu tergesa.Kening Kane mengerut melihat Steve Idris, sahabatnya, yang menarik lengan lelaki itu. "Ada apa denganmu, Idris?