"Nah, sudah selesai. Sama sekali tidak sakit, bukan?"
Gadis kecil bernama Natt itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putih yang renggang itu terlihat. Dia menatap dokter cantik itu dengan mata berbinar dan mengangguk senang.
"Terima kasih, Dokter Selene."
"Tentu saja, Natt," balas Selene ramah.
"Dokter Selene, tadi aku belajar tentang orang yang kita sayangi," cerita Natt sembari memainkan tangan yang baru saja di tutupi oleh perekat luka itu. "Dokter Metta bertanya, siapa orang yang kami sayangi."
Selene duduk di kursi dan menatap Natt yang bercerita dengan antusias. "Benarkah? Lalu, Natt menjawab siapa?"
"Papa dan Kakak," seru Natt semangat. Gadis kecil itu memang tidak memiliki sosok ibu lagi. "Lalu, ada Kepala Koki Jeff, Perawat Suzan, daaaaan Dokter Selene!!"
"Jadi, Dokter Selene yang terakhir?" Selene berkata dengan nada sedih yang di sengaja.
Natt kecil kembali tertawa. "Tidaaak! Harusnya Natt bilang Dokter Selene yang ketiga, ya? Salah Natt," kekehnya kecil.
Selene membuka nakas kecil di dekat mejanya dan mengeluarkan sebuah pulpen dengan hiasan bunga kecil di atasnya. "Baiklah, karena Natt menyebutkan nama Dokter Selene, maka Dokter harus memberi kado, kan?" Ia memberikan pulpen tersebut pada Natt yang menerima dengan senang hati.
"Waaaa.. Terima kasih, Dokter!!" ujarnya kesenangan. "Lalu, bagaimana dengan Dokter? Apa ibu dokter juga memiliki seseorang yang di sayangi?"
"Aku?" ulang Selene menarik tubuhnya mundur.
"Eng.." angguk Natt lucu. "Apaaa.. Dokter Selene punya pacar, yaa?" goda gadis manis berusia tujuh tahun itu.
"Kau ini bicara apa, Natt," balas Selene mengacak gemas rambut Natt yang tertawa geli.
"Natt melihatnya saat minggu lalu. Dokter di antar oleh pria yang tampan!" seru Natt semangat.
"Kau melihatnya?" tanya Selene tertarik.
Kepala Natt mengangguk penuh. "Apa dia seorang tentara, Dokter Selene?"
"Yha, Natt. Dia seorang tentara. Lebih tepatnya, seorang Kapten Angkatan Udara," pipi Selene bersemu merah ketika ia berusaha mengalihkan pandangan. "Dia seorang pilot pesawat tempur termuda."
"Woaaah, seorang Kapten dan Pilot?" kagum Natt dengan bola mata membesar. Selene mengangguk sebagai jawaban. "Apa dia kekasih anda, Dokter Selene?"
"Aah, tidak, Natt," jawab Selene tersenyum canggung. "Kami hanya kebetulan kenal dan sedikiiiit akrab, kurasa?"
"Ooo," mulut Natt membentuk lingkaran kecil. "Laluuu, Kapten itu orang yang Dokter sayangi? Seperti Natt menyayangi Roger, Carla, dan Charlos?"
"Yaah.. seperti itulah," ujar Selene lagi. Kemudian wanita itu menggendong Natt turun dari ranjang rawat, sebelum anak kecil itu bertanya lebih banyak lagi. "Nah, Dokter Selene sudah mengobati lukamu, kan? Sekarang Natt bisa bermain lagi. Jangan berlarian di lorong rumah sakit, oke?"
Natt mengangguk dua kali. "Terima kasih, Dokter Selene!" lambainya kecil. Keluar dari ruangan sang dokter muda itu.
Selene ikut melambaikan tangan, dan kini menyandarkan tubuh sambil menyilangkan tangan di dada. Natt memang anak kecil dengan keingintahuan yang besar.
Wanita itu kemudian berjalan memutar, menuju kursi kerja di balik meja kayu. Menatap kalender yang berada di atas sana. Menyinggung tentang Kane, membuat Selene teringat akan pria tampan itu. Ini sudah lebih dari seminggu semenjak pertemuan terakhir mereka. Kane berkata akan melakukan Dinas Luar dan menghubunginya. Pria itu memang menghubunginya, saat ia baru saja tiba di Long Island, tapi setelahnya, Kane tidak mengabari apapun lagi.
Yha, apa yang Selene harapkan? Keduanya hanya berteman kan? Selene pun tak tahu pasti apa alasan Kane harus menghubunginya. Tapi jika boleh di katakan, Selene cukup merindukan Kane. Dan lagi, kabar yang Selene dapatkan beberapa hari terakhir adalah, terjadi perselisihan dan bentrokan kecil di sana. Juga di beberapa daerah tak jauh dari Brooklyn. Saat itu, Selene mencuri dengar dari ruang kontroling tentara, ketika ia harus berkunjung ke Markas. Hal itu membuat Selene sedikit khawatir.
Andai saja Kane tidak berkata akan menghubungi, mungkin Selene tidak akan merasa khawatir seperti ini. Wanita itu mengerjapkan matanya, ada banyak pekerjaan yang harus ia lakukan.
***
Sore harinya, Selene baru saja menyelesaikan jam bertugas. Wanita itu menggantungkan jas dokternya di rak, dan mengambil tas tangan miliknya.
"Anda akan pulang, Dokter?"
"Aah?" kaget Selene kecil dan memutar badannya kecil. Tersenyum hangat pada perawat lelaki yang sangat ia kenal. Selene mengangguk sekali, "Sudah waktunya pulang, kan, Perawat Carl."
Carl, lelaki dengan kulit cukup gelap dan berbadan besar itu menggeleng dengan tawa kecil. "Anda seharusnya pulang tiga puluh menit lalu, Dokter."
"Benarkah?" Selene berpura-pura terkejut dan menatap jam dinding. "Yha, aku rasa, aku terlalu larut dalam pekerjaan ini. Kau bertugas malam, Carl?"
"Benar, Dokter Selene. Aku baru saja datang untuk jam malam," kata Carl membenarkan. "Anda harus segera pulang, bukan? Sepertinya anda memiliki tamu malam ini."
Lipatan kecil terlihat dari kening Selene. Alisnya terangkat sebelah. "Aku tak sedang buru-buru, Carl. Apa kau baru saja menghusirku karena terlalu lama di Rumah Sakit ini, huh?"
"Tidak seperti itu, Dokter," tawa Carl melambaikan tangan kecil. "Seseorang sudah menunggu anda sejak tadi," ia menujuk ke arah pintu keluar. "Sepertinya sudah lima belas menit lalu."
"Seseorang menungguku?" ulang Selene.
Carl mengangguk, "Iya, seorang tentara? Jika tak salah lihat. Dia bertanya saat aku baru saja datang tadi."
"Tentara.." gumam Selene pelan. Mata wanita itu melebar, dan dengan cepat menepuk pundak Carl kecil. "Terima kasih atas informasinya, Carl! Sampai jumpa besok!" ujar Selene sedikit keras, ia sudah lebih dulu berjalan cepat menuju pintu luar.
"Hat.. hati-hati," balas Carl heran. Pria itu tersenyum dan menggeleng kecil.
Selene mengedarkan pandangannya di sepanjang jalan yang cukup ramai tersebut. Langkahnya cepat menuruni anak tangga. Seharusnya ia bertanya pada Carl, di mana lebih jelasnya lelaki itu menunggu. Selene tak salah menebak, lelaki itu pastilah Kane Cadfael. Setidaknya, hanya nama itu yang terlintas di kepala Selene.
"Dokter Sapphire!"
Selene sontak memutar badan kala mendengar suara yang memanggilnya. Namun, bukan seperti yang Selene harapankan. Wanita itu tersenyum kecil, memegang tasnya di depan paha.
"Selamat sore, Sersan Idris," sapa Selene ramah. Berusaha tidak menampilkan rasa kecewa yang entah mengapa muncul.
"Baru saja selesai bekerja, Dokter?" tanya Steven mendekat.
"Seperti yang kau lihat, Sersan," Selene membalas uluran tangan Steven hangat. "Apa kau memerlukan sesuatu? Sehingga datang ke Rumah Sakit?"
Steven mengangguk sekali. "Tadinya aku ingin bertemu denganmu, Dokter. Untuk menanyakan sesuatu. Tetapi Dokter Marine sudah lebih dulu membantuku."
"Dokter Marine? Maksudmu, Dokter Marine Cadfael?" tanya Selene dengan mata membesar. Menatap gedung di belakangnya. "Beliau ada di sini?"
"Yha, beliau tadi berada di sini. Kau tidak bertemu dengannya, Dok?"
"Tidak," geleng Selene kecil. "Mungkin karena aku terlalu banyak berada di ruangan."
Steven menganggukkan kepala. "Kalau begitu, aku harus segera pergi, Dok. Waktu sangat mengejarku saat ini. Sampai jumpa di Markas nanti, Dokter Sapphire!"
Tanpa sempat membalas, Steven sudah lebih dulu berbalik dan berlari menuju mobilnya. Sepertinya lelaki itu benar-benar di buru oleh waktu. Selene menurunkan tangannya gontai, dan menghela napas kecil. Padahal ia ingin bertanya tentang Kane pada lelaki itu.
"Mungkin memang bukan waktunya," lesu Selene tersenyum kecil.
Wanita itu memasukan tangan dalam saku coat nya. Udara cukup dingin sore ini. Selene ingin segera pulang. Mungkin, setelah membeli sekotak donat? Ide yang cukup bagus.
"Sepertinya anda kecewa karena sesuatu tidak sesuai dengan harapan anda, Nona?"
"Ya Tuhan!" kejut Selene menolehkan kepala cepat. Matanya melebar sempurna, "Kapten Cadfael?!"
Kane tersenyum manis, melepaskan topi seragamnya dan membungkuk kecil. "Selamat sore, Nona Sapphire."
Selene menutup mulutnya terkejut. Pria di depannya benar-benar Kane Cadfael! Wanita itu menahan tubuhnya yang hendak menghambur kepelukan Kane. Tidak mungkin ia melakukannya. Bisa-bisa Kane berpikiran aneh tentang Selene setelah itu.
"Kapan kau kembali, Kapt?"
"Kane," koreksi Kane.
"Ah, benar, Kane," balas Selene cepat dan terkekeh. "Kapan kau kembali, Kane?"
"Beberapa puluh menit yang lalu."
"Maksudmu, kau baru saja tiba di kota, dan langsung menuju ke Rumah Sakit ini?" Selene berdeham kecil. "Dokter Marine ada di sini, itu sebabnya kau segera menuju ke sini?"
"Ibuku ada di sini?" tanya Kane menatap gedung di sampingnya.
"Kau tak tahu?"
Kane menggeleng kecil. "Tidak."
"Lalu, apa yang kau lakukan di sini?" ujar Selene. Dalam hati, gadis itu berseru gembira. Kane menghampirinya!
"Mengunjungi seseorang yang membuatku menunggu selama dua puluh menit?" balas Kane.
Selene meringis kecil. "Bukan salahku jika kau harus menunggu, Kane. Kau tak mengatakan apapun."
"Aku pernah mengatakannya di telepon saat itu, Selene."
"Yang mana?"
Keduanya berjalan menyusuri jalanan padat sore ini.
"Yang bagian, aku akan menjemputmu setelah aku kembali dari bertugas."
"Benarkah? Aku tak tahu jika yang kau maksudkan adalah menjemputku pulang bekerja."
"Eh? Memangnya apalagi, Selene?" tanya Kane mengerutkan kening. "Kau mengharapkan sesuatu yang lain, ya?"
"Apa? Tidak! Tentu saja tidak," balas Selene salah tingkah.
Kane melebarkan senyumanya kala melihat Selene yang menunduk untuk menyembunyikan wajah memerah itu.
"Apa kau senggang malam ini, Selene?"
Setelah menetralkan wajah, Selene akhirnya menatap Kane. Pria itu sudah menggunakan kembali topinya. "Malam ini?" tanya Selene dan dibalas anggukan oleh Kane. "Sepertinya begitu."
"Kalau begitu, apa kau mau keluar denganku?" tanya Kane lagi. "Bukankah besok hari liburmu?"
"Kau baru saja mengajakku keluar, Kane?"
Kane menunduk untuk menatap wajah manis Selene. "Bukannya itu yang kau inginkan saat bertemu denganku, Selene?"
"Aku yakin aku tak pernah mengatakan hal seperti itu," balas Selene memasang wajah kesal.
Kane tertawa dan memainkan telunjuknya di dekat wajah Selene. "Percayalah, itu tertulis dengan jelas di sini."
Selene menangkupkan tangannya di wajah. "Benarkah? Apa terlihat begitu?"
"Kau memang mengharapkannya ternyata," tawa Kane lepas.
Selene memberengut kesal dan memukul kecil lengan Kane yang justru semakin tertawa.
"Aku bercanda, Sel," tawanya mereda. "Tapi aku serius untuk ajakan jalan malam ini. Kau mau, kan?"
"Entahlah, karena tingkahmu barusan, aku jadi harus mempertimbangkannya," ujar Selene merengut.
"Hei.. hei," tahan Kane cepat. "Tidak bisa seperti itu, Selene. Apa kau tahu, aku harus menunggu hampir dua minggu, untuk malam ini?"
Selene mendongak untuk menatap Kane yang juga sedang menatapnya. "Bukan salahku kau harus dinas luar, Kane," Selene menjulurkan lidahnya mengejek.
"Percayalah, Sel, jika bisa memilih, aku ingin menjual Bagel's saja di bandingkan ikut berperang. Aku tak bisa melawan perintah Negara, kan?" Kane menggindikkan bahunya.
"Aaah, kau benar."
"Itu sebabnya, kau harus menerima tawaran Kapten muda ini," ujar Kane yakin.
"Baiklah. Sepertinya aku harus menghibur Kapten muda satu ini, sebelum ia benar-benar berubah profesi menjadi penjual Bagel's, kan?" balas Selene mengangguk paham. Sengaja menekan kembali kata kapten, dan membuat Kane menyengir.
Kane tertawa dan mengacak pelan rambut Selene. Membuat wanita itu sedikit menunduk. Tersipu.
"Kalau begitu, biar aku antarkan kau pulang," ajak Kane.
"Eh? Bukankah kita sudah sejak tadi berjalan pulang?"
"Kau ingin berjalan kaki menuju rumahmu? Lalu apa gunanya aku membawa mobil?"
"Memangnya kau membawa mobil?"
Kane menunjuk mobil jeep yang sudah cukup jauh itu. "Memangnya aku ke sini naik apa, Sel?"
"Lalu mengapa tidak mengatakannya sejak tadi?!" Selene menatap Kane tak percaya.
Kane memegang belakang kepala. Menyengir lebar. "Kau yang lebih dulu berjalan begitu saja."
Selene menatap Kane benar-benar tak habis pikir. Apa seperti ini cara Kapten muda Kane Cadfael merayu seorang wanita? Dengan membuat mereka kesal? Selene jelas tak percaya jika Kane tak pernah mendekati wanita. Pria itu selalu di penuhi kejutan.
"Setelah anda, Nona Sapphire," Kane mempersilahkan Selene lebih dulu.
"Terima kasih, Kapten Cadfael."
☀️☀️☀️
Pukul tujuh lewat lima belas menit.Selene menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dress berwarna putih dengan motif bunga dan panjang tiga perempat itu terlihat manis sekaligus anggun ketika Selene menggunakannya. Rasanya, Selene tak perlu membawa Coats untuk malam ini. Meskipun ia sendiri tidak tahu ke mana Kane akan membawanya.Ketukan pada pintu membuat Selene mengalihkan pandangan dari cermin dan bergegas mengambil tas tangan mini yang sudah ia siapkan di atas meja."Tunggu sebentar!" seru Selene ketika ketukan terdengar lagi.Setelah memastikan sekali lagi barang bawaan dan hal di sekitar, akhirnya Selene menuju pintu dan membukanya. Tampak, Kane sudah berdiri di sana dengan wajah tampan yang kini tersenyum kecil. Kane baru saja terpaku di tempatnya."Anda sangat cantik malam ini, Nona Sapphire," puji Kane dengan wajah
Semenjak malam penuh cerita itu, hubungan Kane dan Selene sangat membaik. Bahkan melebihi dari yang keduanya bayangkan. Selene bahkan tidak bisa melupakan kala bibir Kane tanpa sadar menyentuh bibirnya. Hingga saat ini, Selene selalu memegang bibirnya dan tersipu malu.Malam itu juga mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka. Termasuk alasan mereka mengambil pekerjaan yang keduanya jalani saat ini. Kane tidak terlalu banyak bercerita. Tetapi, setiap hal yang dikatakan lelaki itu adalah point utama kisahnya.Saat inipun, Selene dan Kane masih sering bertemu. Diluar maupun di dalam Markas militer. Saling menyapa satu sama lain, sebagai rekan. Tetapi di luar, keduanya seperti sepasang kekasih. Kane selalu bisa membuat Selene merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.Seperti sore ini, Kane sedang berada di ruangan besar pada Markas mereka. Berdiri dengan tangan bertumpu di atas meja, memperhatikan peta besar yang t
Sepuluh hari sejak telepon dini hari itu, dan kini Kane masih tidak memiliki kabar apapun. Brooklyn juga dalam masa yang menegangkan. Peperangan kembali terjadi, tepat di batas laut mereka. Setiap jamnya, selalu terdengar gemuruh yang sangat mendebarkan jantung.Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Warga memilih berlindung di dalam rumah. Jalanan sepi senggang. Toko-toko menutup etalase dan hanya membuka pintu jika ada yang datang, membeli keperluan penting. Semua orang takut, jika pesawat tempur yang melewati atap mereka, tiba-tiba menjatuhkan meriam dan meluluh lantahkan kota.Setiap hari seperti mimpi buruk. Anak-anak menjerit setiap kalinya. Para orang dewasa berjaga setiap jam. Getaran-getaran selalu terasa pada tanah yang mereka pijak. Dentuman-dentuman kuat, serta langit yang memerah.Selene merapatkan jasnya, rambut panjang itu ia ikat setinggi mungkin. Sepanjang hari, Selene sibuk kesana-kemari. Siap siaga pada
Langit berubah menjadi gelap. Bintang bertebaran terang dan bulan purnama menghiasi langit malam kota Brooklyn.Selene menatap keluar jendela dan menatap jalanan sepanjang yang ia lewati. Sejak jam tujuh lewat lima belas menit tadi, sebuah mobil klasik khas bangsawan tiba-tiba berhenti di depan halamannya, dengan seseorang berpakaian rapi yang mengetuk pintu rumah. Pria muda itu menunduk santun, berkata bahwa Tuan Muda Cadfael mengutusnya kemari untuk menjemput sang puan jelita tersebut. Pria itu juga menunjukan sebuah undangan berwarna ungu lavender, berbahankan beledu, dengan cap lilin merah, khas milik keluarga Cadfael. Pria itu juga mengatakan, bahwa Kane tak bisa menjemput Selene secara langsung, karena ia adalah tuan rumah pada pesta malam ini.Selene di jemput lebih awal, sebab perjalanan menuju Mansion cukup jauh. Mansion Cadfael terletak di pinggiran kota, berdekatan dengan garis pant
Selene menatap Kane waswas apalagi ketika lelaki itu menutup pintu di belakangnya dengan tatapan terkunci pada Selene."Kanee..." ujar Selene waspada.Kane hanya tersenyum tipis. Bukan karena hal apa, tapi pandangan Kane saat ini benar-benar membuat Selene berpikiran yang aneh-aneh sekaligus takut. Pesta belum selesai, ketika Kane tiba-tiba menariknya menuju lantai dua rumah besar tersebut.Sebelumnya, mereka berada di ruang makan besar dengan meja yang cukup panjang. Makan malam jamuan pada tamu penting, dan Selene berada di tengah-tengahnya. Di sana, Selene hanya di kenalkan sebagai seorang dokter dan kekasih Kane saja. Arthur dan Marine tidak benar-benar memperkenalkan Selene sebagai calon menantu Cadfael, sebab Kane melarangnya. Bukan karena Kane bercanda dengan status tersebut, melainkan, Kane belum memastikannya, jika Selene tidak keberatan dengan status tersebut.Bahkan, saat berada di lorong
"Mom, aku ingin menjadi seperti Papa!"Mataku mengerjap beberapa kali ketika mendengar suara yang penuh semangat itu. Apa aku baru saja melamun, lagi?"Lihat, Mom! Papa terlihat sangat gagah," Kale menyender manja pada pangkuanku. Tersenyum mengusap wajah Pria yang berada dalam Frame tua dengan ibu jari kecilnya.Bibirku tersenyum. Mengusap rambut pirang Kale di sela-sela jemari. "Kau merindukan Papa, Kale?""Sangat."Perlahan aku sadar, senyuman itu berubah menjadi masam. Kale, kalimat itu selalu terucap dari bibir putra kecilku ketika ia melihat Seragam berpangkat Mayor yang tergantung di lemari kaca. Selalu bertanya, bagaimana sosok Papanya. Aku hanya bisa mengatakan, bahwa ia adalah Pria yang luar biasa. Menyelamtkan Negara, demi membuat Kale kami hidup dengan nyaman hingga saat ini.Kale kembali tersenyum ceria, sedikit tertawa. Entah apa yang membuatnya
Brooklyn, New York City, 1942.Past.Gemuruh suara cukup keras terdengar di langit-langit kota Brooklyn. Belasan pesawat tempur milik Militer baru saja melakukan pendaratan setelah melakukan Patroli sejak pagi tadi.Salah satunya pesawat tempur dengan ukiran KC-17 berwarna abu tua yang mendarat dengan mulus kesekian kalinya. Kaca penutup itu terbuka dan menurunkan satu pilot bertubuh gagah, lengkap dengan seragam patrolinya.Kane mengusap rambut tebal itu dan menatap langit. Seakan ingin kembali menghabiskan waktu lebih lama lagi di atas sana. Dia selalu menyukai lautan awan itu, dan sanggup terbang seberapapun lamanya. Kane baru ingin memperbaiki seragam, ketika seseorang menarik tangan lelaki itu tergesa.Kening Kane mengerut melihat Steve Idris, sahabatnya, yang menarik lengan lelaki itu. "Ada apa denganmu, Idris?
Malam sangat dingin menembus tulang. Sedikit rintik air halus mengenai kulit, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Langit memang sedikit menampakkan cahaya kilat di balik awan gelap itu.Selene merapatkan mantelnya. Semakin lama berada di luar, tubuhnya semakin menggigil. Ia baru saja kembali dari Rumah Sakit saat ini, cukup larut karena lemburan. Jalanan sudah sangat sepi. Mungkin hanya beberapa yang masih berada di sana, sama-sama merapatkan mantel dan melangkah secepat mungkin menuju tempat tinggal. Atau karena orang-orang enggan keluar, sebab kilat yang cukup menakutkan.Sebenarnya, Selene merasakan hal aneh saat berjalan sendiri sejak meninggalkan rumah sakit. Ia merasa seseorang mengikutinya. Tidak sekali dua kali Selene mendapati lelaki dengan topi baret itu bersembunyi kala Selene menoleh ke belakang. Hal itu membuat Selene sedikit panik dan takut, perjalanan rumahnya masih cukup jauh. Dan kondisi jalanan yang semakin sepi. Pun, l
Selene menatap Kane waswas apalagi ketika lelaki itu menutup pintu di belakangnya dengan tatapan terkunci pada Selene."Kanee..." ujar Selene waspada.Kane hanya tersenyum tipis. Bukan karena hal apa, tapi pandangan Kane saat ini benar-benar membuat Selene berpikiran yang aneh-aneh sekaligus takut. Pesta belum selesai, ketika Kane tiba-tiba menariknya menuju lantai dua rumah besar tersebut.Sebelumnya, mereka berada di ruang makan besar dengan meja yang cukup panjang. Makan malam jamuan pada tamu penting, dan Selene berada di tengah-tengahnya. Di sana, Selene hanya di kenalkan sebagai seorang dokter dan kekasih Kane saja. Arthur dan Marine tidak benar-benar memperkenalkan Selene sebagai calon menantu Cadfael, sebab Kane melarangnya. Bukan karena Kane bercanda dengan status tersebut, melainkan, Kane belum memastikannya, jika Selene tidak keberatan dengan status tersebut.Bahkan, saat berada di lorong
Langit berubah menjadi gelap. Bintang bertebaran terang dan bulan purnama menghiasi langit malam kota Brooklyn.Selene menatap keluar jendela dan menatap jalanan sepanjang yang ia lewati. Sejak jam tujuh lewat lima belas menit tadi, sebuah mobil klasik khas bangsawan tiba-tiba berhenti di depan halamannya, dengan seseorang berpakaian rapi yang mengetuk pintu rumah. Pria muda itu menunduk santun, berkata bahwa Tuan Muda Cadfael mengutusnya kemari untuk menjemput sang puan jelita tersebut. Pria itu juga menunjukan sebuah undangan berwarna ungu lavender, berbahankan beledu, dengan cap lilin merah, khas milik keluarga Cadfael. Pria itu juga mengatakan, bahwa Kane tak bisa menjemput Selene secara langsung, karena ia adalah tuan rumah pada pesta malam ini.Selene di jemput lebih awal, sebab perjalanan menuju Mansion cukup jauh. Mansion Cadfael terletak di pinggiran kota, berdekatan dengan garis pant
Sepuluh hari sejak telepon dini hari itu, dan kini Kane masih tidak memiliki kabar apapun. Brooklyn juga dalam masa yang menegangkan. Peperangan kembali terjadi, tepat di batas laut mereka. Setiap jamnya, selalu terdengar gemuruh yang sangat mendebarkan jantung.Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Warga memilih berlindung di dalam rumah. Jalanan sepi senggang. Toko-toko menutup etalase dan hanya membuka pintu jika ada yang datang, membeli keperluan penting. Semua orang takut, jika pesawat tempur yang melewati atap mereka, tiba-tiba menjatuhkan meriam dan meluluh lantahkan kota.Setiap hari seperti mimpi buruk. Anak-anak menjerit setiap kalinya. Para orang dewasa berjaga setiap jam. Getaran-getaran selalu terasa pada tanah yang mereka pijak. Dentuman-dentuman kuat, serta langit yang memerah.Selene merapatkan jasnya, rambut panjang itu ia ikat setinggi mungkin. Sepanjang hari, Selene sibuk kesana-kemari. Siap siaga pada
Semenjak malam penuh cerita itu, hubungan Kane dan Selene sangat membaik. Bahkan melebihi dari yang keduanya bayangkan. Selene bahkan tidak bisa melupakan kala bibir Kane tanpa sadar menyentuh bibirnya. Hingga saat ini, Selene selalu memegang bibirnya dan tersipu malu.Malam itu juga mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka. Termasuk alasan mereka mengambil pekerjaan yang keduanya jalani saat ini. Kane tidak terlalu banyak bercerita. Tetapi, setiap hal yang dikatakan lelaki itu adalah point utama kisahnya.Saat inipun, Selene dan Kane masih sering bertemu. Diluar maupun di dalam Markas militer. Saling menyapa satu sama lain, sebagai rekan. Tetapi di luar, keduanya seperti sepasang kekasih. Kane selalu bisa membuat Selene merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.Seperti sore ini, Kane sedang berada di ruangan besar pada Markas mereka. Berdiri dengan tangan bertumpu di atas meja, memperhatikan peta besar yang t
Pukul tujuh lewat lima belas menit.Selene menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dress berwarna putih dengan motif bunga dan panjang tiga perempat itu terlihat manis sekaligus anggun ketika Selene menggunakannya. Rasanya, Selene tak perlu membawa Coats untuk malam ini. Meskipun ia sendiri tidak tahu ke mana Kane akan membawanya.Ketukan pada pintu membuat Selene mengalihkan pandangan dari cermin dan bergegas mengambil tas tangan mini yang sudah ia siapkan di atas meja."Tunggu sebentar!" seru Selene ketika ketukan terdengar lagi.Setelah memastikan sekali lagi barang bawaan dan hal di sekitar, akhirnya Selene menuju pintu dan membukanya. Tampak, Kane sudah berdiri di sana dengan wajah tampan yang kini tersenyum kecil. Kane baru saja terpaku di tempatnya."Anda sangat cantik malam ini, Nona Sapphire," puji Kane dengan wajah
"Nah, sudah selesai. Sama sekali tidak sakit, bukan?"Gadis kecil bernama Natt itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putih yang renggang itu terlihat. Dia menatap dokter cantik itu dengan mata berbinar dan mengangguk senang."Terima kasih, Dokter Selene.""Tentu saja, Natt," balas Selene ramah."Dokter Selene, tadi aku belajar tentang orang yang kita sayangi," cerita Natt sembari memainkan tangan yang baru saja di tutupi oleh perekat luka itu. "Dokter Metta bertanya, siapa orang yang kami sayangi."Selene duduk di kursi dan menatap Natt yang bercerita dengan antusias. "Benarkah? Lalu, Natt menjawab siapa?""Papa dan Kakak," seru Natt semangat. Gadis kecil itu memang tidak memiliki sosok ibu lagi. "Lalu, ada Kepala Koki Jeff, Perawat Suzan, daaaaan Dokter Selene!!""Jadi, Dokter Selene yang terakhir?" Selene berkata dengan nada sedih yan
Selene menguap kecil sembari membuka pintu kamarnya. Matanya mengernyit kecil, kala cahaya matahari sudah menerangi rumah. Ia menatap sekitar. Jendela sudah terbuka, begitu juga tirainya. Selene mendekat ke arah sofa, tapi di sanapun sudah rapi. Tanda seseorang membersihkannya.'Apa Kane membereskan semuanya?' batin Selene sembari menatap sekitar. Ini masih pukul enam pagi, dan Kane sudah meninggalkan rumahnya.Wanita itu bergumam takjub saat menemui beberapa hal. Selain jendela yang sudah terbuka, serta ruang tamu yang rapi. Kane juga sudah mencuci sweater yang ia gunakan, serta menjemurnya di halaman belakang. Bahkan, lelaki itu juga memperbaiki pintu belakang, keran air yang tersumbat, serta lampu dapur yang hampir mati. Selene terpaku melihat semua hal yang bermasalah itu nyaris di benarkan. Apa Kane sempat melakukannya semalam? Bukankah pria itu berkata akan mengerjakan berkasnya? Kapan ia melakukannya?Selene terse
Malam sangat dingin menembus tulang. Sedikit rintik air halus mengenai kulit, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Langit memang sedikit menampakkan cahaya kilat di balik awan gelap itu.Selene merapatkan mantelnya. Semakin lama berada di luar, tubuhnya semakin menggigil. Ia baru saja kembali dari Rumah Sakit saat ini, cukup larut karena lemburan. Jalanan sudah sangat sepi. Mungkin hanya beberapa yang masih berada di sana, sama-sama merapatkan mantel dan melangkah secepat mungkin menuju tempat tinggal. Atau karena orang-orang enggan keluar, sebab kilat yang cukup menakutkan.Sebenarnya, Selene merasakan hal aneh saat berjalan sendiri sejak meninggalkan rumah sakit. Ia merasa seseorang mengikutinya. Tidak sekali dua kali Selene mendapati lelaki dengan topi baret itu bersembunyi kala Selene menoleh ke belakang. Hal itu membuat Selene sedikit panik dan takut, perjalanan rumahnya masih cukup jauh. Dan kondisi jalanan yang semakin sepi. Pun, l
Brooklyn, New York City, 1942.Past.Gemuruh suara cukup keras terdengar di langit-langit kota Brooklyn. Belasan pesawat tempur milik Militer baru saja melakukan pendaratan setelah melakukan Patroli sejak pagi tadi.Salah satunya pesawat tempur dengan ukiran KC-17 berwarna abu tua yang mendarat dengan mulus kesekian kalinya. Kaca penutup itu terbuka dan menurunkan satu pilot bertubuh gagah, lengkap dengan seragam patrolinya.Kane mengusap rambut tebal itu dan menatap langit. Seakan ingin kembali menghabiskan waktu lebih lama lagi di atas sana. Dia selalu menyukai lautan awan itu, dan sanggup terbang seberapapun lamanya. Kane baru ingin memperbaiki seragam, ketika seseorang menarik tangan lelaki itu tergesa.Kening Kane mengerut melihat Steve Idris, sahabatnya, yang menarik lengan lelaki itu. "Ada apa denganmu, Idris?