Selene menguap kecil sembari membuka pintu kamarnya. Matanya mengernyit kecil, kala cahaya matahari sudah menerangi rumah. Ia menatap sekitar. Jendela sudah terbuka, begitu juga tirainya. Selene mendekat ke arah sofa, tapi di sanapun sudah rapi. Tanda seseorang membersihkannya.
'Apa Kane membereskan semuanya?' batin Selene sembari menatap sekitar. Ini masih pukul enam pagi, dan Kane sudah meninggalkan rumahnya.
Wanita itu bergumam takjub saat menemui beberapa hal. Selain jendela yang sudah terbuka, serta ruang tamu yang rapi. Kane juga sudah mencuci sweater yang ia gunakan, serta menjemurnya di halaman belakang. Bahkan, lelaki itu juga memperbaiki pintu belakang, keran air yang tersumbat, serta lampu dapur yang hampir mati. Selene terpaku melihat semua hal yang bermasalah itu nyaris di benarkan. Apa Kane sempat melakukannya semalam? Bukankah pria itu berkata akan mengerjakan berkasnya? Kapan ia melakukannya?
Selene tersenyum tipis. Tanpa sadar, pipinya kembali bersemu.
***
"Jika kau berlari seperti itu saat peperangan, granat lebih dulu meledak di dekat kalian!!"
"Sepuluh kali putaran tersisa!"
"Hei, Sersan Idris! Ikuti barisanmu!"
Kane berdiri sambil mengacak pinggangnya dengan sebelah tangan. Menatap para anggotanya melakukan latihan dari balik kacamata hitam itu. Pagi ini ia menggunakan kaus putih, serta celana militer. Lengkap dengan boots cokelatnya.
"Aku bersumpah, jika dia bukan seorang kapten, sejak tadi aku sudah menariknya untuk lari. Dari pada ia hanya berteriak di sana," cibir Steve menatap sinis Kane.
Sepuluh putaran terlewati, kini enam orang tentara pasukan khusus itu berdiri menangur napas mereka di depan Kane. Latihan fisik seperti ini selalu mereka lakukan setiap beberapa kali dalam seminggu, sebelum bertugas di udara.
"Setelah melakukan push-up, kalian bisa kembali ke pangkalan. Kita akan melakukan patroli udara satu jam lagi," kata Kane sebagai penutup latihan mereka.
"Siap, laksanakan!" seru para tentara itu tegas.
Kane mengangguk dan membiarkan anggotanya melakukan push-up. Sementara ia memperhatikan sekitar.
"Dokter Selene!!"
Bruk..
Kane menunduk kala mendengar suara beruntun itu terjadi. Hampir seluruh anggotanya terjatuh ke tanah saat push-up. Pria itu mengerutkan keningnya heran.
"Ulangi sekali lagi," ucapnya menggeleng kecil. Ia kemudian mengalihkan pandangan dan berlari kecil menuju Selene yang baru saja melewati pasukan mereka.
"Oh, Kapten Cadfael," sapa Selene riang.
Mendengar dan melihat percakapan itu, Steve dan anggota lainnya saling bersenggolan satu sama lain. Itu alasan mereka terjatuh karena kehilangan fokusnya. Tak biasanya seorang Kapten Muda seperti Kane memanggil wanita terlebih dahulu. Pria itu bahkan jarang menyapa atasan dengan memanggil nama mereka.
Selene menatap anggota pasukan khusus itu, lalu beralih pada Kane yang berada di hadapannya. Kane berdiri menghalau sinar matahari yang mengenai Selene, yang harus mendongak untuk menatap wajah tampan itu.
"Sedang apa berada di Markas?" tanya Kane basa-basi.
"Kolonel John memanggilku. Sepertinya akan membahas beberapa hal," balas Selene ramah. "Kau sedang latihan?"
"Aku hanya mengawasi mereka. Kau baru saja tiba?"
Selene mengangguk sekali. "Baru saja."
Ini adalah pertemuan ketiga mereka, setelah Selene mengajak Kane ke rumahnya. Setelah itu, mereka tidak ada bertemu selama hampir satu minggu, karena Kane yang sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan, lelaki itu baru saja kembali ke Markas dua hari lalu.
"Berbicara tentang kemarin, aku ingin berterima kasih padamu. Karena berbaik hati memperbaiki rumahku yang kacau itu," tawa Selene kecil. Sedikit malu. Ia memperbaiki anak rambutnya ke belakang telinga. "Aku memang tidak sempat memanggil orang untuk memperbaikinya."
"Tidak masalah. Aku hanya bosan dengan kertas-kertas itu. Dan, yeah, akhirnya melakukan beberapa pekerjaan," balas Kane tak masalah. "Kau luang siang ini, Selene?"
"Siang ini?" ulang Selene. Wanita yang siang ini mengikat satu rambutnya itu tersenyum menggoda. "Anda ingin mengajak saya makan siang, Kapten Cadfael?"
Kane mengangguk tanpa beban. Memang itu tujuannya.
"Tentu, aku tidak bisa menolak, kan? Bagaimana jika aku yang membayarnya kali ini? Kau sudah susah payah memperbaiki rumahku," usul Selene.
"Tidak, aku yang mengajakmu, Selene. Masalah perbaikan itu, anggap saja kita impas."
"Impas? Karena apa?"
"Mengobati lukaku. Aku tak suka berhutang pada seseorang."
"Luka?" ulang Selene dan seketika matanya membesar melihat pundak lebar Kane. "Apa lukamu sudah baik-baik saja, Kane?"
Kane tertawa kecil. "Yha, berkatmu? Mungkin."
Selene ikut tertawa mendengarnya. "Aku tahu, aku ini Dokter terbaik, kan?"
"Kalau begitu, tunggu aku di depan Markas tiga jam lagi," ingat Kane. Kedua tangannya kini berada di saku celana.
"Kau akan berada di kantormu setelah ini?"
"Tidak," Kane menggeleng. "Aku harus patroli sebentar lagi."
"Kalau begitu, sampai bertemu saat makan siang, Kane!" Selene melambaikan tangannya dan berjalan menuju Markas Militer mereka. Kane membalas lambaian itu sekali.
"Waw, secepat itu perkembangan kalian, sobat?"
Kane sedikit terkejut saat tiba-tiba Steve menubruknya dan mengalungkan tangan di leher Kane. Mengajaknya menuju hanggar pesawat mereka.
"Apa maksudmu, Steve," balas Kane cuek.
"Kau kira aku ini bodoh, hah?"
"Memang seperti itu, kan?"
"Hei.. hei.. kau itu tidak pernah menyembunyikan apapun dari ku. Tapi sekarang? Kau sedang mendekati Dokter Sapphire tanpa sepengetahuanku, ya? Sudah sampai mana kalian, huh?" cecar Steve tak terima.
"Jangan berpikiran yang aneh-aneh, Steve Idris. Aku hanya berterima-kasih karena dia mengobati lukaku saat penyerangan minggu lalu."
"Yeah, anggap saja aku percaya dengan kata-kata mu itu," angguk Steve tak peduli. "Tapi tetap saja, pemandangan yang aneh saat kau menyapa Dokter Sapphire terlebih dulu, tahu!"
"Itu bukan kejadian langka," malas Kane. Kini ia sedang berada di depan lokernya untuk mengambil seragam pilot. "Aku menyapa siapapun yang aku kenali."
"Dengan syarat dan ketentuan berlaku," Steve mengangguk sekali. Memahami tabiat kawannya satu itu.
Kane tidak membalas lagi ucapan Steve padanya. Kedua lelaki itu sudah menaiki pesawat tempur mereka masing-masing. Di tangga, Kane sempat terdiam sesaat dan menggelengkan kepalanya kecil. Berterima kasih dengan mengajak makan siang bukan satu hal yang aneh, bukan?
"Dasar pria kurang pengalaman," decih Steve sinis dari balik kokpitnya.
***
"Jadi, kau adalah Kapten Termuda saat ini?"
"Yha, beberapa orang menyebutnya seperti itu."
"Dan kau juga anak dari dari Jenderal Arthur, itu artinya, ibumu adalah Dokter Marine Cadfael."
"Kebetulan seperti itu," Kane menukar piring miliknya dengan Selene agar gadis itu tak perlu lagi memotong steak yang mereka pesan. "Bagaimana kau mengetahuinya?"
"Yha, seharusnya aku sudah tahu dari belakang namamu. Tapi, aku ternyata baru mengetahui ketika Kolonel John mengatakannya."
Kane melirik Selene sebentar. "Benarkah? Dia yang mengatakannya? Tumben sekali Pak Tua itu membicarakanku."
Selene tertawa kecil dan menggeleng. "Percayalah, Kane, Kolonel John sering kali membicarakanmu. Tapi dengan nama yang berbeda."
"Lalu?"
"Bajingan muda itu," tawa Selene menutup mulutnya.
Kane mendengus dan tersenyum kecil. Selene sepertinya sangat menyukai panggilan dari Kolonel mereka itu.
Makan siang mereka nyaris sama ketika keduanya berjalan malam itu. Selene tidak membiarkan moment mereka menjadi sunyi tanpa obrolan dan canda tawa. Kane menyukainya. Selene selalu pintar menarik topik obrolan. Keduanya merasa sangat akrab, layaknya kawan lama.
Karena waktu yang terbatas, mereka tak bisa berlama-lama menghabiskan siang di restoran itu. Akhirnya, Kane bangkit untuk membayar makanan dan mengajak wanita dengan rok dan blazer cokelat itu pergi. Mereka tadi menaiki mobil dinas milik Kane. Sebenarnya, kedatangan Kane bersama dengan Selene sedikit banyak menarik perhatian orang-orang yang mengenal mereka. Selene terkenal di kalangan Tentara, karena ia adalah dokter yang bertugas di klinik mereka. Sementara, Kane adalah seorang Kapten. Serta keturunan dari keluarga Cadfael.
Kane juga mengantarkan Selene langsung ke Rumah Sakit tempat ia bekerja. Meskipun itu artinya Kane harus memutar arah lagi.
"Terima kasih atas tumpangan dan makan siangnya, Kane," ucap Selene sopan.
"Selene," tahan Kane saat Selene hendak keluar pintu.
"Ya?"
"Apa kita bisa bertemu lagi nanti?"
Selene diam beberapa saat. Mencerna lebih dalam apa maksud dari ucapan Kane. Mereka jelas akan sering bertemu di pangkalan militer. Atau paling tidak, ketika jadwal kesehatan berlangsung.
"Tentu saja, Kane," senyum Selene manis. "Kita bisa bertemu kapan saja."
"Kalau begitu, bagaimana dengan sepuluh hari lagi? Setelah aku pulang dari dinas luar?"
"Kau hendak ke mana, Kapt?"
"Long Island," jawab Kane lagi.
"Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu sepuluh hari lagi. Kapan kau akan berangkat?"
"Emm.. dini hari nanti, sepertinya."
Selene mengangguk. "Kau punya banyak jadwal tak terduga, Kapten Cadfael."
Gadis itu akhirnya keluar dari mobil Kane dan menatapnya melalui jendela, melambaikan tangan.
"Hati-hati di jalan, Kane!"
Kane mengangguk sekali. "Aku akan menghubungimu nanti, Selene."
Setelah itu, Kane meninggalkan rumah sakit untuk kembali ke Pangkalan. Banyak pekerjaan yang tertunda saat ia pergi untuk makan siang. Sebenarnya, Kane hanya memerlukan waktu lima belas menit paling lama untuk istirahat. Sisanya ia gunakan untuk bekerja lagi.
Selene memperbaiki tali tas di pundaknya. Menatap mobil jeep yang kini menyatu dengan mobil lainnya. Keningnya mengerut kecil.
"Aku tidak ingat sudah memberikan Kane nomor teleponku?"
☀️☀️☀️
"Nah, sudah selesai. Sama sekali tidak sakit, bukan?"Gadis kecil bernama Natt itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putih yang renggang itu terlihat. Dia menatap dokter cantik itu dengan mata berbinar dan mengangguk senang."Terima kasih, Dokter Selene.""Tentu saja, Natt," balas Selene ramah."Dokter Selene, tadi aku belajar tentang orang yang kita sayangi," cerita Natt sembari memainkan tangan yang baru saja di tutupi oleh perekat luka itu. "Dokter Metta bertanya, siapa orang yang kami sayangi."Selene duduk di kursi dan menatap Natt yang bercerita dengan antusias. "Benarkah? Lalu, Natt menjawab siapa?""Papa dan Kakak," seru Natt semangat. Gadis kecil itu memang tidak memiliki sosok ibu lagi. "Lalu, ada Kepala Koki Jeff, Perawat Suzan, daaaaan Dokter Selene!!""Jadi, Dokter Selene yang terakhir?" Selene berkata dengan nada sedih yan
Pukul tujuh lewat lima belas menit.Selene menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dress berwarna putih dengan motif bunga dan panjang tiga perempat itu terlihat manis sekaligus anggun ketika Selene menggunakannya. Rasanya, Selene tak perlu membawa Coats untuk malam ini. Meskipun ia sendiri tidak tahu ke mana Kane akan membawanya.Ketukan pada pintu membuat Selene mengalihkan pandangan dari cermin dan bergegas mengambil tas tangan mini yang sudah ia siapkan di atas meja."Tunggu sebentar!" seru Selene ketika ketukan terdengar lagi.Setelah memastikan sekali lagi barang bawaan dan hal di sekitar, akhirnya Selene menuju pintu dan membukanya. Tampak, Kane sudah berdiri di sana dengan wajah tampan yang kini tersenyum kecil. Kane baru saja terpaku di tempatnya."Anda sangat cantik malam ini, Nona Sapphire," puji Kane dengan wajah
Semenjak malam penuh cerita itu, hubungan Kane dan Selene sangat membaik. Bahkan melebihi dari yang keduanya bayangkan. Selene bahkan tidak bisa melupakan kala bibir Kane tanpa sadar menyentuh bibirnya. Hingga saat ini, Selene selalu memegang bibirnya dan tersipu malu.Malam itu juga mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka. Termasuk alasan mereka mengambil pekerjaan yang keduanya jalani saat ini. Kane tidak terlalu banyak bercerita. Tetapi, setiap hal yang dikatakan lelaki itu adalah point utama kisahnya.Saat inipun, Selene dan Kane masih sering bertemu. Diluar maupun di dalam Markas militer. Saling menyapa satu sama lain, sebagai rekan. Tetapi di luar, keduanya seperti sepasang kekasih. Kane selalu bisa membuat Selene merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.Seperti sore ini, Kane sedang berada di ruangan besar pada Markas mereka. Berdiri dengan tangan bertumpu di atas meja, memperhatikan peta besar yang t
Sepuluh hari sejak telepon dini hari itu, dan kini Kane masih tidak memiliki kabar apapun. Brooklyn juga dalam masa yang menegangkan. Peperangan kembali terjadi, tepat di batas laut mereka. Setiap jamnya, selalu terdengar gemuruh yang sangat mendebarkan jantung.Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Warga memilih berlindung di dalam rumah. Jalanan sepi senggang. Toko-toko menutup etalase dan hanya membuka pintu jika ada yang datang, membeli keperluan penting. Semua orang takut, jika pesawat tempur yang melewati atap mereka, tiba-tiba menjatuhkan meriam dan meluluh lantahkan kota.Setiap hari seperti mimpi buruk. Anak-anak menjerit setiap kalinya. Para orang dewasa berjaga setiap jam. Getaran-getaran selalu terasa pada tanah yang mereka pijak. Dentuman-dentuman kuat, serta langit yang memerah.Selene merapatkan jasnya, rambut panjang itu ia ikat setinggi mungkin. Sepanjang hari, Selene sibuk kesana-kemari. Siap siaga pada
Langit berubah menjadi gelap. Bintang bertebaran terang dan bulan purnama menghiasi langit malam kota Brooklyn.Selene menatap keluar jendela dan menatap jalanan sepanjang yang ia lewati. Sejak jam tujuh lewat lima belas menit tadi, sebuah mobil klasik khas bangsawan tiba-tiba berhenti di depan halamannya, dengan seseorang berpakaian rapi yang mengetuk pintu rumah. Pria muda itu menunduk santun, berkata bahwa Tuan Muda Cadfael mengutusnya kemari untuk menjemput sang puan jelita tersebut. Pria itu juga menunjukan sebuah undangan berwarna ungu lavender, berbahankan beledu, dengan cap lilin merah, khas milik keluarga Cadfael. Pria itu juga mengatakan, bahwa Kane tak bisa menjemput Selene secara langsung, karena ia adalah tuan rumah pada pesta malam ini.Selene di jemput lebih awal, sebab perjalanan menuju Mansion cukup jauh. Mansion Cadfael terletak di pinggiran kota, berdekatan dengan garis pant
Selene menatap Kane waswas apalagi ketika lelaki itu menutup pintu di belakangnya dengan tatapan terkunci pada Selene."Kanee..." ujar Selene waspada.Kane hanya tersenyum tipis. Bukan karena hal apa, tapi pandangan Kane saat ini benar-benar membuat Selene berpikiran yang aneh-aneh sekaligus takut. Pesta belum selesai, ketika Kane tiba-tiba menariknya menuju lantai dua rumah besar tersebut.Sebelumnya, mereka berada di ruang makan besar dengan meja yang cukup panjang. Makan malam jamuan pada tamu penting, dan Selene berada di tengah-tengahnya. Di sana, Selene hanya di kenalkan sebagai seorang dokter dan kekasih Kane saja. Arthur dan Marine tidak benar-benar memperkenalkan Selene sebagai calon menantu Cadfael, sebab Kane melarangnya. Bukan karena Kane bercanda dengan status tersebut, melainkan, Kane belum memastikannya, jika Selene tidak keberatan dengan status tersebut.Bahkan, saat berada di lorong
"Mom, aku ingin menjadi seperti Papa!"Mataku mengerjap beberapa kali ketika mendengar suara yang penuh semangat itu. Apa aku baru saja melamun, lagi?"Lihat, Mom! Papa terlihat sangat gagah," Kale menyender manja pada pangkuanku. Tersenyum mengusap wajah Pria yang berada dalam Frame tua dengan ibu jari kecilnya.Bibirku tersenyum. Mengusap rambut pirang Kale di sela-sela jemari. "Kau merindukan Papa, Kale?""Sangat."Perlahan aku sadar, senyuman itu berubah menjadi masam. Kale, kalimat itu selalu terucap dari bibir putra kecilku ketika ia melihat Seragam berpangkat Mayor yang tergantung di lemari kaca. Selalu bertanya, bagaimana sosok Papanya. Aku hanya bisa mengatakan, bahwa ia adalah Pria yang luar biasa. Menyelamtkan Negara, demi membuat Kale kami hidup dengan nyaman hingga saat ini.Kale kembali tersenyum ceria, sedikit tertawa. Entah apa yang membuatnya
Brooklyn, New York City, 1942.Past.Gemuruh suara cukup keras terdengar di langit-langit kota Brooklyn. Belasan pesawat tempur milik Militer baru saja melakukan pendaratan setelah melakukan Patroli sejak pagi tadi.Salah satunya pesawat tempur dengan ukiran KC-17 berwarna abu tua yang mendarat dengan mulus kesekian kalinya. Kaca penutup itu terbuka dan menurunkan satu pilot bertubuh gagah, lengkap dengan seragam patrolinya.Kane mengusap rambut tebal itu dan menatap langit. Seakan ingin kembali menghabiskan waktu lebih lama lagi di atas sana. Dia selalu menyukai lautan awan itu, dan sanggup terbang seberapapun lamanya. Kane baru ingin memperbaiki seragam, ketika seseorang menarik tangan lelaki itu tergesa.Kening Kane mengerut melihat Steve Idris, sahabatnya, yang menarik lengan lelaki itu. "Ada apa denganmu, Idris?
Selene menatap Kane waswas apalagi ketika lelaki itu menutup pintu di belakangnya dengan tatapan terkunci pada Selene."Kanee..." ujar Selene waspada.Kane hanya tersenyum tipis. Bukan karena hal apa, tapi pandangan Kane saat ini benar-benar membuat Selene berpikiran yang aneh-aneh sekaligus takut. Pesta belum selesai, ketika Kane tiba-tiba menariknya menuju lantai dua rumah besar tersebut.Sebelumnya, mereka berada di ruang makan besar dengan meja yang cukup panjang. Makan malam jamuan pada tamu penting, dan Selene berada di tengah-tengahnya. Di sana, Selene hanya di kenalkan sebagai seorang dokter dan kekasih Kane saja. Arthur dan Marine tidak benar-benar memperkenalkan Selene sebagai calon menantu Cadfael, sebab Kane melarangnya. Bukan karena Kane bercanda dengan status tersebut, melainkan, Kane belum memastikannya, jika Selene tidak keberatan dengan status tersebut.Bahkan, saat berada di lorong
Langit berubah menjadi gelap. Bintang bertebaran terang dan bulan purnama menghiasi langit malam kota Brooklyn.Selene menatap keluar jendela dan menatap jalanan sepanjang yang ia lewati. Sejak jam tujuh lewat lima belas menit tadi, sebuah mobil klasik khas bangsawan tiba-tiba berhenti di depan halamannya, dengan seseorang berpakaian rapi yang mengetuk pintu rumah. Pria muda itu menunduk santun, berkata bahwa Tuan Muda Cadfael mengutusnya kemari untuk menjemput sang puan jelita tersebut. Pria itu juga menunjukan sebuah undangan berwarna ungu lavender, berbahankan beledu, dengan cap lilin merah, khas milik keluarga Cadfael. Pria itu juga mengatakan, bahwa Kane tak bisa menjemput Selene secara langsung, karena ia adalah tuan rumah pada pesta malam ini.Selene di jemput lebih awal, sebab perjalanan menuju Mansion cukup jauh. Mansion Cadfael terletak di pinggiran kota, berdekatan dengan garis pant
Sepuluh hari sejak telepon dini hari itu, dan kini Kane masih tidak memiliki kabar apapun. Brooklyn juga dalam masa yang menegangkan. Peperangan kembali terjadi, tepat di batas laut mereka. Setiap jamnya, selalu terdengar gemuruh yang sangat mendebarkan jantung.Tidak banyak aktifitas yang terjadi. Warga memilih berlindung di dalam rumah. Jalanan sepi senggang. Toko-toko menutup etalase dan hanya membuka pintu jika ada yang datang, membeli keperluan penting. Semua orang takut, jika pesawat tempur yang melewati atap mereka, tiba-tiba menjatuhkan meriam dan meluluh lantahkan kota.Setiap hari seperti mimpi buruk. Anak-anak menjerit setiap kalinya. Para orang dewasa berjaga setiap jam. Getaran-getaran selalu terasa pada tanah yang mereka pijak. Dentuman-dentuman kuat, serta langit yang memerah.Selene merapatkan jasnya, rambut panjang itu ia ikat setinggi mungkin. Sepanjang hari, Selene sibuk kesana-kemari. Siap siaga pada
Semenjak malam penuh cerita itu, hubungan Kane dan Selene sangat membaik. Bahkan melebihi dari yang keduanya bayangkan. Selene bahkan tidak bisa melupakan kala bibir Kane tanpa sadar menyentuh bibirnya. Hingga saat ini, Selene selalu memegang bibirnya dan tersipu malu.Malam itu juga mereka saling bercerita tentang kehidupan mereka. Termasuk alasan mereka mengambil pekerjaan yang keduanya jalani saat ini. Kane tidak terlalu banyak bercerita. Tetapi, setiap hal yang dikatakan lelaki itu adalah point utama kisahnya.Saat inipun, Selene dan Kane masih sering bertemu. Diluar maupun di dalam Markas militer. Saling menyapa satu sama lain, sebagai rekan. Tetapi di luar, keduanya seperti sepasang kekasih. Kane selalu bisa membuat Selene merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.Seperti sore ini, Kane sedang berada di ruangan besar pada Markas mereka. Berdiri dengan tangan bertumpu di atas meja, memperhatikan peta besar yang t
Pukul tujuh lewat lima belas menit.Selene menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dress berwarna putih dengan motif bunga dan panjang tiga perempat itu terlihat manis sekaligus anggun ketika Selene menggunakannya. Rasanya, Selene tak perlu membawa Coats untuk malam ini. Meskipun ia sendiri tidak tahu ke mana Kane akan membawanya.Ketukan pada pintu membuat Selene mengalihkan pandangan dari cermin dan bergegas mengambil tas tangan mini yang sudah ia siapkan di atas meja."Tunggu sebentar!" seru Selene ketika ketukan terdengar lagi.Setelah memastikan sekali lagi barang bawaan dan hal di sekitar, akhirnya Selene menuju pintu dan membukanya. Tampak, Kane sudah berdiri di sana dengan wajah tampan yang kini tersenyum kecil. Kane baru saja terpaku di tempatnya."Anda sangat cantik malam ini, Nona Sapphire," puji Kane dengan wajah
"Nah, sudah selesai. Sama sekali tidak sakit, bukan?"Gadis kecil bernama Natt itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putih yang renggang itu terlihat. Dia menatap dokter cantik itu dengan mata berbinar dan mengangguk senang."Terima kasih, Dokter Selene.""Tentu saja, Natt," balas Selene ramah."Dokter Selene, tadi aku belajar tentang orang yang kita sayangi," cerita Natt sembari memainkan tangan yang baru saja di tutupi oleh perekat luka itu. "Dokter Metta bertanya, siapa orang yang kami sayangi."Selene duduk di kursi dan menatap Natt yang bercerita dengan antusias. "Benarkah? Lalu, Natt menjawab siapa?""Papa dan Kakak," seru Natt semangat. Gadis kecil itu memang tidak memiliki sosok ibu lagi. "Lalu, ada Kepala Koki Jeff, Perawat Suzan, daaaaan Dokter Selene!!""Jadi, Dokter Selene yang terakhir?" Selene berkata dengan nada sedih yan
Selene menguap kecil sembari membuka pintu kamarnya. Matanya mengernyit kecil, kala cahaya matahari sudah menerangi rumah. Ia menatap sekitar. Jendela sudah terbuka, begitu juga tirainya. Selene mendekat ke arah sofa, tapi di sanapun sudah rapi. Tanda seseorang membersihkannya.'Apa Kane membereskan semuanya?' batin Selene sembari menatap sekitar. Ini masih pukul enam pagi, dan Kane sudah meninggalkan rumahnya.Wanita itu bergumam takjub saat menemui beberapa hal. Selain jendela yang sudah terbuka, serta ruang tamu yang rapi. Kane juga sudah mencuci sweater yang ia gunakan, serta menjemurnya di halaman belakang. Bahkan, lelaki itu juga memperbaiki pintu belakang, keran air yang tersumbat, serta lampu dapur yang hampir mati. Selene terpaku melihat semua hal yang bermasalah itu nyaris di benarkan. Apa Kane sempat melakukannya semalam? Bukankah pria itu berkata akan mengerjakan berkasnya? Kapan ia melakukannya?Selene terse
Malam sangat dingin menembus tulang. Sedikit rintik air halus mengenai kulit, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Langit memang sedikit menampakkan cahaya kilat di balik awan gelap itu.Selene merapatkan mantelnya. Semakin lama berada di luar, tubuhnya semakin menggigil. Ia baru saja kembali dari Rumah Sakit saat ini, cukup larut karena lemburan. Jalanan sudah sangat sepi. Mungkin hanya beberapa yang masih berada di sana, sama-sama merapatkan mantel dan melangkah secepat mungkin menuju tempat tinggal. Atau karena orang-orang enggan keluar, sebab kilat yang cukup menakutkan.Sebenarnya, Selene merasakan hal aneh saat berjalan sendiri sejak meninggalkan rumah sakit. Ia merasa seseorang mengikutinya. Tidak sekali dua kali Selene mendapati lelaki dengan topi baret itu bersembunyi kala Selene menoleh ke belakang. Hal itu membuat Selene sedikit panik dan takut, perjalanan rumahnya masih cukup jauh. Dan kondisi jalanan yang semakin sepi. Pun, l
Brooklyn, New York City, 1942.Past.Gemuruh suara cukup keras terdengar di langit-langit kota Brooklyn. Belasan pesawat tempur milik Militer baru saja melakukan pendaratan setelah melakukan Patroli sejak pagi tadi.Salah satunya pesawat tempur dengan ukiran KC-17 berwarna abu tua yang mendarat dengan mulus kesekian kalinya. Kaca penutup itu terbuka dan menurunkan satu pilot bertubuh gagah, lengkap dengan seragam patrolinya.Kane mengusap rambut tebal itu dan menatap langit. Seakan ingin kembali menghabiskan waktu lebih lama lagi di atas sana. Dia selalu menyukai lautan awan itu, dan sanggup terbang seberapapun lamanya. Kane baru ingin memperbaiki seragam, ketika seseorang menarik tangan lelaki itu tergesa.Kening Kane mengerut melihat Steve Idris, sahabatnya, yang menarik lengan lelaki itu. "Ada apa denganmu, Idris?