Suamiku, Aku Tak Sudi Mengejarmu Lagi!
Demi biaya pengobatan suamiku yang mengalami kecelakaan, aku terpaksa meninggalkannya.
Ibu mertuaku berjanji akan menanggung semua biaya perawatannya, dengan satu syarat, aku harus pergi dari hidupnya.
Diam-diam, aku membawa serta anak dalam kandunganku.
Aku tak pernah membayangkan harus memilih antara tetap di sisi suamiku atau memastikan dia mendapatkan perawatan yang layak. Tapi ibu mertuaku tak memberiku pilihan lain.
"Jika kau benar-benar mencintainya, buktikan dengan menghilang dari hidupnya," katanya dingin, menatapku dengan penuh kebencian. "Kamu sudah cukup membawa sial dalam hidupnya."
Dadaku sesak. Aku ingin membela diri, ingin berteriak bahwa aku bukan penyebab semua ini. Tapi saat aku menoleh ke arah Arfan, terbaring lemah dengan nafas yang bergantung pada alat medis, aku tahu aku tak punya pilihan lain.
Malam itu, dengan tangan gemetar, aku mengemasi barang-barangku. Tak banyak yang kubawa, hanya beberapa pakaian, sedikit uang, dan tentu saja, rahasia terbesar yang ku sembunyikan dari ibu mertuaku, kehidupan kecil yang tumbuh dalam rahimku.
Sebelum pergi, aku berdiri di ambang pintu kamar rumah sakit, menatapnya untuk terakhir kali. Aku ingin menyentuhnya, menggenggam tangannya, membisikkan bahwa aku mencintainya dan berharap dia segera sadar. Tapi aku takut.
Takut jika aku menunggu lebih lama, aku tak akan sanggup pergi.
"Aku mencintaimu," bisikku pelan, lalu melangkah pergi, meninggalkan hatiku bersamanya.