Home / Romansa / Hasrat Bukan Menantu Idaman / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Hasrat Bukan Menantu Idaman: Chapter 11 - Chapter 20

28 Chapters

11) Istri Pejabat (2)

Suasana alami dan terbuka ini membuat semuanya terasa lebih bebas, lebih menggoda, seakan alam pun turut berkonspirasi menghadirkan suasana yang sempurna bagi mereka berdua.Saat Tante Sony kembali dengan teh hangat di tangannya, senyumnya semakin hangat.“Tehnya sudah siap, Jovan,” suara lembut Tante Sony menyusup tenang ke telinga Jovan, memecah lamunannya. Jovan tersenyum tipis, menyembunyikan rasa waspadanya di balik senyum ramah saat menerima cangkir teh hangat dari tangan sang nyonya.Dalam keheningan malam itu, hatinya tetap siaga—ia tahu, malam ini belum berakhir, dan percakapan hangat ini hanyalah pembuka dari sesuatu yang lebih dalam. Mereka terus ngobrol hangat dalam nuansa keakraban yang perlahan-lahan sudah mulai terjalin, tanpa harus membuka identitas masing-masing lebih jauh."Tante nggak kedinginan?" bisik Jovan perlahan, suaranya tenang, seperti menyatu dengan alunan malam di sekitarnya."Enggak," jawab Tante Sony, suaranya lebih lirih, nyaris berbisik. "Ada kamu yang
last updateLast Updated : 2025-03-27
Read more

12) Istri Pejabat (3)

Jovan, masih berdiri di bawah sinar rembulan, mulai menggerakkan tubuhnya dengan gerakan kecil namun penuh makna. Otot-ototnya menegang dan mengendur secara bergantian, menonjolkan bentuk tubuh atletisnya. Ia sedikit memutar bahu, lalu mengangkat lengannya perlahan, memamerkan otot bicep yang besar dan kuat seolah sedang mempersiapkan pose seperti seorang binaragawan yang penuh percaya diri.Tante Sony menahan napas ketika Jovan melenturkan otot-otot dadanya. Gerakan itu tampak begitu alami, namun begitu terkontrol, seolah setiap bagian tubuhnya memahami bagaimana menampilkan kekuatan dan keindahan dalam harmoni yang sempurna. Cahaya rembulan yang redup menyorot dengan lembut pada kulitnya yang basah oleh keringat tipis, menambah kilau sensual pada setiap otot yang bergerak.Jovan menoleh, lalu tersenyum tipis, dan perlahan melenturkan otot perutnya, membiarkan lekukan-lekukan tajam itu terlihat jelas di bawah cahaya malam. Tante Sony tidak bisa menahan rasa kagum yang mengalir sepert
last updateLast Updated : 2025-03-27
Read more

13) Istri Pejabat (4)

Jovan bangkit dari tidurannya, lalu mengambil dua gelas air dari dispenser, satu untuknya dan satu lagi untuk Tange Pak Sony.“Udah segeran lagi?” tanya Jovan penuh perhatian setelah kembali dari menyimpan gelas kosong bekas mereka minum.Sementara itu Pak Sony terduduk lemas di atas tanah karena rudal kecilnya pun sudah menumpahkan amunisinya, hanya dalam beberapa kali kocokan saja.Jovan berdiri gagah di depan Tante Sony dengan tubuh atletisnya, benda di selangkangannya nampak mencolok luar biasa. Tante Sony membandingkannya dengan pisang ambon terbesar yang pernah dia lihat, atau terong ungu yang sering dia elus-elus, sambil membayangkan kalau punya suaminya sebesar itu.Jantung Tante Sony makin berdebar kencang menyaksikan rudal yang seolah sengaja dibiarkan menunjukan kehebatannya depan wajahnya. Tante Sony bahkan seperti terhipnotis, merasakan lelaki yang berdiri di depannya adalah seseorang yang tidak bisa dia sangkal, sangat menarik, lembut, sopan dan profesional.Jovan membun
last updateLast Updated : 2025-03-27
Read more

14) Tawaran Dukun Sakti

Jovan baru saja duduk di teras, menikmati udara malam dengan secangkir kopi, ketika suara motor tua meraung memasuki area rumah kebunnya. Suaranya lebih mirip knalpot gerobak butut ketimbang kendaraan roda dua. Dari kejauhan, sudah bisa ditebak siapa yang datang.Tak lama, seseorang turun dengan gerakan dramatis. Mbah Wadul."Mas Jo! Assalamu’alaikuuuummm!"Jovan menarik napas, menyesal tidak buru-buru masuk rumah dan berpura-pura tiada."Wa’alaikumsalam, Mbah. Ada apa malam-malam?" tanyanya, setengah hati.Mbah Wadul langsung duduk tanpa dipersilakan, mengeluarkan rokok dari jaket kulitnya yang sudah pudar. Setelah menghembuskan asap, dia berkata dengan nada penuh kebijakan."Gini, Mas Jo… Mbah ini prihatin sama sampean. Sudah lama menduda, tapi kok nggak laku-laku? Ini nggak masuk akal!"Sebelum Jovan sempat membantah, suara lain menyela dari haalaman samping."Nah, ini nih! Akhirnya ada yang sadar!"Jovan dan Mbah Wadul menoleh bersamaan. Rizal, berdiri dengan senyum penuh arti."W
last updateLast Updated : 2025-03-27
Read more

15) Pelarian Absurd (1)

Jovan duduk santai di bangku taman dekat alun-alun kota, menikmati semilir angin malam yang membawa aroma campuran hujan dan jalanan basah. Di tangannya, segelas kopi hangat dalam gelas plastik menambah kehangatan di sela-sela jemarinya. Ia sengaja beralasan kepada Rizal bahwa ia memiliki dinas luar selama seminggu.Sebenarnya, ia hanya ingin melihat sejauh mana kemampuan Rizal—anak buahnya yang paling dapat dipercaya—dalam mengambil keputusan tanpa kehadirannya. Dalam hati, Jovan telah menyiapkan Rizal untuk menjadi pengelola perkebunan kelak.Kegiatan Jovan sudah semakin padat, sehingga dia merasa perlu melatih Rizal untuk menghandle usahanya. Jadi sekarang dia sedang ‘dinas pelarian’ alias dina pura-pura.Selama seminggu "dinas pelarian" ini, Jovan memutuskan tinggal di apartemen yang jarang diketahui orang. Tempat itu menjadi pelarian terbaiknya untuk benar-benar beristirahat, jauh dari tuntutan dan keramaian yang sering kali membebani hidupnya. Di sana, Jovan bisa merasakan kedam
last updateLast Updated : 2025-03-28
Read more

16) Pelaeian Absurd (2)

Mereka tiba di warung kopi sederhana, tempat beberapa pelanggan masih asyik mengobrol. Jovan memesan dua gelas kopi hitam dan seporsi pisang goreng. Vena duduk di bangku kayu, menatap jalanan dengan tatapan kosong sebelum akhirnya menoleh ke Jovan."Mas Jovan selalu begini ya?" tanyanya tiba-tiba."Begini gimana?""Refleks nolong orang, gak pakai mikir dulu."Jovan mengangkat bahu. "Udah kebiasaan. Kalau bisa bantu, kenapa nggak?"Vena tersenyum tipis, lalu mengusap wajahnya yang masih terlihat lelah. "Tadi saya beneran panik. Pak Arif memang sering ngeluh soal dadanya nyeri, tapi saya nggak nyangka bakal separah ini."Jovan menyesap kopinya, menatap Vena dengan sudut mata. "Pak Arif lebih tua berapa tahun dari kamu?"Vena menghela napas. "Dua puluh lima tahun lebih tua."Jovan bersiul pelan. "Wow. Berarti... kamu istri kedua, ya?"Vena mengangguk. "Istri muda, kalau kata orang-orang. Dibilang matre lah, numpang enak lah. Padahal saya sayang sama beliau." Matanya menerawang. "Pak Arif
last updateLast Updated : 2025-03-28
Read more

17) Pelarian Absurd (3)

Dua hari setelah kejadian itu, Jovan kembali datang ke rumah sakit. Bukan karena diminta, bukan juga karena ada urusan penting—hanya karena perasaan dalam hatinya mengatakan bahwa ia harus melihat keadaan Pak Arif dan Vena.Begitu tiba di lobi rumah sakit, matanya langsung mencari sosok yang dikenalnya. Setelah bertanya pada perawat di meja informasi, ia berjalan menuju bangsal tempat Pak Arif dirawat. Saat hendak mengetuk pintu, suara tawa pelan terdengar dari dalam. Jovan sedikit tersenyum, setidaknya suasana tak sekelam saat terakhir ia meninggalkan mereka.Saat ia membuka pintu, Vena yang duduk di samping ranjang suaminya langsung menoleh. Wajahnya yang sebelumnya penuh kelelahan kini terlihat lebih segar, meski lingkaran hitam di bawah matanya masih tersisa.“Mas Jovan?” Vena terlihat kaget, tapi segera tersenyum. “Kok datang lagi?”Jovan mengangkat bahu santai. “Niatnya mau lihat keadaan, siapa tahu masih butuh bantuan.”Pak Arif, yang kini sudah jauh lebih baik meski masih terb
last updateLast Updated : 2025-03-28
Read more

18) Pelarian Absurd (4)

Perjalanan pulang diwarnai keheningan yang ganjil. Pak Arif lebih banyak diam, sesekali mengelus dadanya dengan ekspresi menahan sesuatu yang tidak ingin ia keluhkan. Vena menatap keluar jendela, seolah pikirannya sedang melayang jauh.Setibanya di rumah, Jovan langsung tahu bahwa Pak Arif bukan orang berada. Rumahnya kecil, tipe perumahan lama yang tampak usang, tapi rapi."Silakan masuk, Mas Jovan," ajak Pak Arif.Jovan mengangguk, lalu mengikuti mereka ke dalam. Ruangan tamunya sederhana, hanya ada sofa lama dan meja kayu yang di atasnya tertumpuk beberapa koran yang sudah menguning. Dari cara rumah ini tertata, Jovan bisa menebak bahwa Vena-lah yang merawat semuanya. Pak Arif memang hanya seorang PNS dengan pangkat dan kedudukan biasa saja.Vena segera bergegas ke dapur untuk menyiapkan minuman. Sementara itu, Pak Arif duduk di sofa dengan napas sedikit berat."Sudah lama sakit, Pak?" Jovan akhirnya bertanya.Pak Arif tersenyum tipis. "Sudah bertahun-tahun, Mas. Saya punya riwayat
last updateLast Updated : 2025-03-28
Read more

19) Pelarian Absurd (5)

Jovan mengusap wajahnya. "Pak… saya nggak tahu harus ngomong apa."Pak Arif menatapnya dengan sorot mata penuh harap. "Cukup pikirkan, Mas Jovan. Saya percaya, kalau ada pria yang bisa menjaga istri saya dengan baik... itu adalah Mas."Jovan tersenyum miring. Bukan karena geli. Tapi karena merasa semakin terperangkap dalam permainan takdir yang absurd.Jovan mengucek wajahnya sendiri. Ini... keterlaluan.Bahkan dalam skenario absurd yang pernah ia bayangkan, tak satu pun yang mendekati keanehan ini.Pak Arif melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. "Saya tidak meminta Mas mengambil istri saya. Saya hanya ingin dia bahagia, walau hanya sesaat."Jovan menelan ludah. Dalam hatinya, ia ingin segera bangkit dan pergi dari sini. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam kata-kata Pak Arif yang membuatnya tetap duduk di tempatnya.Dan saat itulah, pintu terbuka.Vena kembali dari warung, membawa kantong plastik berisi beberapa barang. "Lho, kok Mas Jovan pucat begitu?" tanyanya heran.Jovan hanya
last updateLast Updated : 2025-03-28
Read more

20) Pelarian Absurd (6)

Begitu ia melangkah ke dalam, suara batuk kecil menyambutnya. Pak Arif duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis—sebuah senyum yang terasa… misterius."Ah, Mas Jovan," sapanya santai. "Saya tahu kamu pasti datang lagi."Jovan berusaha tetap tenang, meskipun perutnya terasa sedikit mual mengingat percakapan absurd mereka kemarin."Pak, saya cuma mampir sebentar," katanya, sengaja memperjelas bahwa ia tidak berencana berlama-lama.Tapi Pak Arif justru tersenyum lebih lebar. "Nggak usah buru-buru, Mas. Duduk dulu. Saya lagi pengin ngobrol."Jovan menekan dorongan untuk menghela napas keras. Vena, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan aneh di antara mereka, langsung pergi ke dapur, meninggalkan dua pria itu dalam ruang tamu yang terasa semakin sesak.Pak Arif mendekat sedikit. Suaranya merendah, tapi penuh tekanan. "Jadi, Mas Jovan… sudah dipikirkan?"Jovan menutup mata sebentar. "Pak… saya nggak mau ngomongin itu lagi."Pak Arif hanya t
last updateLast Updated : 2025-03-28
Read more
PREV
123
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status