Begitu ia melangkah ke dalam, suara batuk kecil menyambutnya. Pak Arif duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis—sebuah senyum yang terasa… misterius."Ah, Mas Jovan," sapanya santai. "Saya tahu kamu pasti datang lagi."Jovan berusaha tetap tenang, meskipun perutnya terasa sedikit mual mengingat percakapan absurd mereka kemarin."Pak, saya cuma mampir sebentar," katanya, sengaja memperjelas bahwa ia tidak berencana berlama-lama.Tapi Pak Arif justru tersenyum lebih lebar. "Nggak usah buru-buru, Mas. Duduk dulu. Saya lagi pengin ngobrol."Jovan menekan dorongan untuk menghela napas keras. Vena, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan aneh di antara mereka, langsung pergi ke dapur, meninggalkan dua pria itu dalam ruang tamu yang terasa semakin sesak.Pak Arif mendekat sedikit. Suaranya merendah, tapi penuh tekanan. "Jadi, Mas Jovan… sudah dipikirkan?"Jovan menutup mata sebentar. "Pak… saya nggak mau ngomongin itu lagi."Pak Arif hanya t
Malam di Diskotik.Musik berdentum keras, menggetarkan lantai dengan irama bass yang menggila. Lampu-lampu strobo berkedip dalam warna merah, biru, dan ungu, menciptakan ilusi gerakan yang lebih liar dari kenyataan. Aroma parfum mahal bercampur alkohol memenuhi udara, melebur dengan tawa-tawa hingar-bingar dan obrolan setengah berteriak dari meja-meja VIP.Jovan duduk di salah satu sofa kulit berwarna hitam, minuman di tangannya hanya sekadar properti. Ia tidak benar-benar berniat menikmatinya. Di sekelilingnya, wanita-wanita kelas atas dengan gaun ketat yang memperlihatkan bahu atau belahan dada sibuk menari, tertawa, dan sesekali mencuri kesempatan untuk menyentuhnya."Jovan, sejak kapan lu jadi alim?" tanya seorang pria di sebelahnya, Reno, teman lamanya yang sudah terlalu akrab dengan dunia malam. "Dulu lu raja tempat ini, sekarang malah lebih banyak bengong."Jovan hanya menanggapi dengan senyum tipis.Seorang wanita dengan gaun merah darah mendekat, duduk tanpa diundang di pangk
Seminggu telah berlalu dalam kegaulan tingkat dewa.Jovan sedang nongkrong di atas motornya, tepat di depan sebuah mall yang masih ramai meski malam semakin larut. Jaket kulit hitamnya terbuka, memperlihatkan kaus putih polos yang membalut tubuh atletisnya. Sepasang mata tajamnya mengamati lalu lalang orang-orang, sebagian besar adalah pasangan atau geng anak muda yang asik bercanda.Sejumput asap rokok melayang dari bibirnya sebelum ia membuang puntungnya ke aspal dan menginjaknya dengan sepatu boots hitam. Motor sport yang ditungganginya berkilat di bawah lampu jalanan, menarik beberapa lirikan dari cewek-cewek yang lewat. Beberapa bahkan sengaja berjalan lebih lambat saat melewatinya, berharap ditoleh atau sekadar mendapat senyum dari pria yang wajahnya sekeras batu tapi pesonanya susah ditolak.Tapi malam ini, Jovan tidak sedang tertarik main mata. Kepalanya masih penuh dengan kejadian absurd beberapa jam lalu. Tawaran gila dari Pak Arif masih menggantung di pikirannya."Kenapa hi
Jovan berdiri di depan rumah Pak Arif, jantungnya berdetak kencang. Lampu teras menyala redup, menyisakan bayangan samar di balik jendela. Sial. Gue beneran di sini.Pintu depan setengah terbuka, seperti sudah menunggunya.Dia melangkah masuk dengan ragu, melewati ruang tamu yang berbau kayu dan aroma teh hangat. Pak Arif duduk di kursinya, tersenyum tipis seakan sudah tahu Jovan bakal datang lagi.Jovan menghela napas panjang, menenangkan debaran di dadanya. Malam itu terasa begitu aneh, bukan hanya karena dia berdiri di depan rumah Pak Arif dengan perasaan yang bercampur aduk, tapi karena seluruh situasi ini seperti mimpi buruk yang sulit dipahami. Suara motor yang tadi membelah jalan kini senyap, meninggalkan hanya detak jantungnya yang menggema di telinga.Pak Arif masih duduk di kursinya, tersenyum tipis seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Ruangan itu terasa sempit, meski sebenarnya luas dan nyaman. Aroma teh hangat yang biasanya memberi rasa tenang kini terasa membebaninya.
Jovan memarkirkan mobilnya di depan lobi hotel bintang lima dengan gerakan yang begitu mulus. Seorang bellboy segera menghampiri, membukakan pintu dengan penuh sopan santun. Vena turun dengan langkah ragu, matanya menelusuri kemegahan yang terpampang di hadapannya—lampu kristal raksasa bergelayut di langit-langit, lantai marmer yang berkilau seperti cermin, serta para tamu berpakaian glamor yang hilir mudik dengan penuh percaya diri.Jovan meliriknya, menangkap jelas ekspresi takjub sekaligus kikuk di wajah perempuan itu. Senyumnya terbit samar. "Jangan tegang, santai aja. Ini cuma hotel," katanya ringan, seolah tempat ini sama biasa baginya seperti warung kopi pinggir jalan.Vena menelan ludah. Baginya, ini lebih dari sekadar hotel—ini dunia lain. Dunia yang tidak pernah ia bayangkan akan dimasuki olehnya, apalagi dengan seorang lelaki seperti Jovan.Pak Arif benar, lelaki ini bukan orang sembarangan. Tapi siapa sebenarnya dia?Mereka berjalan melewati lobi, dan setiap langkah terasa
Hendi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan kasual yang tetap memancarkan kelasnya. Pria itu memang memiliki aura yang tak jauh berbeda dengannya—tinggi, tampan, dengan garis wajah tegas khas keturunan Timur Tengah. Bedanya, Hendi memiliki sifat yang lebih stabil, lebih bisa diandalkan dalam jangka panjang. Dan itulah yang Jovan inginkan untuk Vena.“Lu datang tepat waktu,” ucap Jovan dengan nada ringan, menepuk bahu Hendi sebelum mempersilakannya masuk.Vena, yang sejak tadi duduk di sofa dengan perasaan tak menentu, mendongak begitu melihat pria asing masuk. Mata indahnya membulat, penuh tanda tanya.“Ini Hendi,” kata Jovan, mengisyaratkan pada pria itu untuk mendekat. “Dia lebih bisa diandalkan dibanding aku.”Vena masih terpaku, belum sepenuhnya menangkap maksud Jovan. “Maksudnya?”Jovan menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan—ada ketulusan di sana, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang terasa seperti perpisahan.“Aku nggak bisa ada buatmu terus, Vena.” Suaranya ter
Dalam pelukan Hendi, Vena bagaikan dihadapkan oleh magnit bumi yang sangat besar sekali, ia menempelkan dirinya di dada Hendi pelahan-lahan direbahkannya tubuh Vena pada kasur.Emosinya telah terselubungi bara asmara, Vena pun pasrah, deburan darah dan detup jantungnya mengguncang tubuhnya yang sangat molek dan bergairah. Ditunggunya moment indah yang akan dirasakan bersama Hendi, seperti dalam gambaran benaknya.Gumaman dan desahan selama pagutan. Jelas getaran cinta yang dibawa Vena membuat Hendi semakin tergairah lagi ingin lebih melakukan langkahnya, menjelajahi badan mulus Vena. Dibukanya kancing depan blusenya yang menepel di badannya, dielusnya sembulan kenyal gunung kembar indah yang mencuat sebagian dari sarangnya warna pastel.Diangkatnya kepala Vena dan diletakkannya di pangkuannya, dirabanya halus buah dadanya; dengan mata sayu penuh nafsu, diangkatnya lagi lebih tinggi bahu dan kepala Vena dan disandarkanya pada lengan kirinya, jemari tangan kiri mengusap-usap lengan tang
Tak sabar Vena melihat pemandangan yang erotic itu, segera ia mendekat dan diterkamnya dengan dua tangannya rudal segar berkepala seperti jamur itu, tanpa menunggu perintah dari pemiliknya.Segera Vena mendaratkan bibir sensualnya pada kepala rudal Hendi yang sangat mengkilat dan membasah. Dicobanya dia mengecup lubang air seni dikepala rudal yang membasah itu dengan perasaan gemas, penuh birahi dan nafsunya yang sangat besar; magnit dan 'chemistry' dari badan Hendi pun menariknya, menaburkan cinta birahi menutup semua 'sense' yang ada di pribadinya.Mendengar sambutan desahan yang terjadi, dikuatkannya dirinya dan dijilatinya seluruh permukan rudal yang berurat kencang; erangan Hendi bertambah dengan getaran badannya, otomatis tangan Hendi membelai dan mengacak rambut Vena. Terasa olehnya semua simpul batang rudalnya dijamah, digelitiknya oleh lidah halus nakal kepunyaan Vena.Kembali Vena ke kepala rudal, dicobanya mengulum kepala yang besar, basah dan mengikat itu lalu dihisap-hisa
Setelah mengantar pulang Bu Intan, Rizal menyalakan motornya dan melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Udara malam masih menyisakan kehangatan pertemuan mereka, namun Rizal tahu, dunia tidak berhenti hanya di satu momen saja.Dia tidak langsung pulang ke rumah kebun. Ada kegelisahan yang masih berputar di kepalanya, sesuatu yang belum tuntas. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia membelokkan motornya ke sebuah warung kopi langganannya.Begitu sampai, Rizal langsung disambut oleh beberapa temannya. Salah satunya, Herman, menepuk bahunya dengan tawa kecil."Tumben malam-malam nongol. Baru dari mana, Lu?"Rizal hanya nyengir, melempar helmnya ke atas meja dan menarik kursi."Biasa, muter-muter nyari angin," jawabnya santai, padahal pikirannya masih terbayang sosok Bu Intan.Herman menyipitkan mata curiga. "Muter-muter nyari angin atau nyari lobang nganggur?" godanya.Rizal hanya terkekeh, memilih menyesap kopinya tanpa menjawab. Dia menikmati suasana warung itu—lampu remang-reman
Bibir mereka masih bertaut, lembut namun semakin dalam. Tangan Bu Intan mulai nakal menelusuri selangkangan Rizal, awalnya hanya sentuhan ringan, tapi kini seakan ada tarikan tak kasat mata yang membuat tangannya menggenggam benda keras, besar dan panjang di balik chinos. Dia enggan melepaskan.Rizal merasakan bagaimana tubuh Bu Intan perlahan melemas dalam dekapannya, memberi isyarat tanpa kata bahwa wanita itu telah tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Kedua semakin kuat meremasi kedua payudara Bu Intan, ciuman mereka semakin liar.Bu Intan sedikit menghela napas di antara kecupan mereka, merasakan debaran dadanya yang berpacu begitu cepat. Ia bukan lagi seorang wanita muda, namun sentuhan Rizal seakan membangkitkan sisi dirinya yang selama ini terkubur oleh kamuplase dan ambisi tuntutan hidup.Rizal menurunkan ciumannya ke sepanjang garis rahang Bu Intan, meninggalkan jejak kehangatan di kulitnya yang halus. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan dirinya l
“Selamat datang di dunia malam yang beda, Bu,” kata Rizal pelan.Bu Intan tertawa kecil. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau tidak. Tapi yang jelas, mugkin malam ini akan jadi sesuatu yang tidak akan ia lupakan.Angin malam berhembus lembut, membelai wajah Bu Intan yang tersenyum tanpa sadar. Rizal mengendarai motor sport milik Jovan dengan santai, sesekali melirik ke samping, menikmati ekspresi wanita yang kini duduk di belakangnya.Sejenak, Bu Intan lupa bahwa pria yang bersamanya ini seusia anak bungsunya. Lupa bahwa seharusnya ia bukan berada di sini, tapi mungkin di rumah, menikmati teh hangat dan membaca berita tentang dunia bisnis dan politik.Tapi nyatanya, di sini, di atas motor bersama Rizal seorang pemuda kampung yang penuh pesona aura kota, Bu Intan merasa bebas."Ini yang namanya keliling kota ala anak muda, Bu," Rizal menoleh sedikit, suaranya bercampur angin malam. "Bukan cuma di dalam mobil mewah, nggak seru."Bu Intan terkekeh. "Kamu pikir aku masih ana
Di lantai tiga, suasana jauh lebih tenang. Beberapa bilik VIP dengan lampu redup memberikan kesan eksklusif. Rizal membuka salah satu pintu dan memberi isyarat agar Bu Intan masuk lebih dulu.“Silakan, Bu.”Bu Intan melangkah masuk dengan tetap menjaga jarak. Begitu Rizal menutup pintu, ia bersedekap dan menatap pria muda itu dengan tajam.“Sekarang, ayo bicara.”Rizal menyesap napas, lalu tersenyum tipis. Ia duduk dengan santai di sofa, menyilangkan kaki, seolah mengendalikan situasi.“Nah, sekarang kita bisa ngobrol lebih enak. Jadi, Bu Intan... Apa yang sebenarnya ingin Ibu ketahui?”Jari-jarinya mengetuk perlahan permukaan meja, menciptakan ritme kecil yang hanya ia sendiri yang paham.Bu Intan di seberangnya menatap dengan ekspresi menunggu. Ia tidak terbiasa membuang waktu untuk basa-basi, tapi Rizal? Dia menikmati setiap detik permainan ini.Ia menyeruput kopinya perlahan, lalu akhirnya membuka suara, nadanya dibuat rendah dan misterius. “Bos Jovan itu… beda dari kebanyakan ora
Hari berikutnya, suasana di rumah kebun terasa lebih santai. Rizal tengah duduk di meja kerjanya dengan laptop terbuka di depannya.Pagi itu, dia memilih pakaian santai: hanya mengenakan kolor dan kaos oblong karena memang tidak ada tamu atau pekerjaan formal yang mengharuskannya berpakaian rapi. Rizal merasa nyaman bekerja dengan gaya seperti itu, apalagi lingkungan kebun yang luas dan tenang membuatnya betah berlama-lama di sana.Sambil memeriksa data dan merencanakan langkah-langkah untuk mengembangkan perkebunan obat herbal yang kini menjadi fokus utama, Rizal tampak begitu serius. Tangan kanannya sibuk mengetikkan angka-angka dan catatan di laptop, sementara sesekali dia menatap layar dengan penuh perhatian.Matanya yang tajam menunjukkan dedikasi tinggi terhadap pekerjaan yang diberikan Jovan kepadanya. Dia tahu betul betapa pentingnya proyek ini, tidak hanya bagi Jovan, tetapi juga bagi masa depannya.Namun, meskipun sibuk dengan pekerjaan, Rizal masih meluangkan waktu sejenak
Jovan mengangguk, mencoba untuk tidak merasa terlalu canggung. Ia memang sangat sibuk akhir-akhir ini dengan berbagai rencana besar bersama Menteri Pertanian, yang mengharuskannya fokus pada pengembangan pertanian modern. Namun, meskipun kesibukan itu, dia tahu bahwa akan merindukan kebersamaan mereka.“Terima kasih, Sayang, atas segala dukungan dan kebahagiaan yang sudah diberikan. Aku pasti akan kembali segera setelah semua urusan selesai,” kata Jovan, memastikan bahwa dia tidak akan melupakan janji untuk kembali.Bu Sindy tersenyum, sedikit tersenyum penuh arti, lalu berdiri dan mendekat, seolah ingin memberi semangat pada Jovan. "Aku akan menunggu, Mas Jovan. Tapi jangan terlalu lama, ya. Semoga semua urusanmu berjalan lancar."Jovan membungkukkan badan sedikit, mengucapkan terima kasih dengan tulus, mengecup kening Bu Sindy dan perlahan berjalan menuju pintu. Sebelum melangkah keluar, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah Bu Sindy yang masih berdiri di ruangan.Ketika Jovan melan
Cahaya matahari pagi merambat masuk melalui jendela besar di kamar Bu Sindy. Tirai putih yang tipis bergoyang perlahan diterpa angin sejuk. Aroma kopi yang baru diseduh menyelinap ke dalam ruangan, bercampur dengan wangi mawar dari lilin aromaterapi yang masih menyala di sudut ruangan.Jovan membuka mata perlahan, menyesap udara pagi yang begitu tenang. Di sampingnya, Bu Sindy masih terlelap, wajahnya tampak damai. Gaun tidurnya sedikit kusut, menandakan malam yang cukup intens. Jovan tersenyum kecil, mengingat semua yang terjadi semalam.Di luar kamar, terdengar suara langkah kaki. Mungkin Pak Surya yang sudah bangun lebih dulu. Tak lama, terdengar suara ketukan di pintu."Sayang, ayo bangun. Sarapan sudah siap," suara lembut Bu Sindy menggema.Jovan bangkit, merapikan rambutnya sejenak sebelum berjalan keluar. Di ruang makan, Pak Surya sudah duduk dengan santai, mengenakan pakaian kasual dengan koran di tangannya."Pagi, Jovan. Tidur nyenyak?" tanyanya dengan nada ringan.Jovan meng
Setibanya di rumah, Pak Surya menyambut mereka dengan senyum hangat. Lelaki berusia 50-an itu mengenakan kemeja santai dengan tangan tergulung hingga siku, tampak segar meski baru pulang dari kesibukannya."Loh, kok cepat pulang? Kenapa nggak bersenang-senang lebih lama di pesta?" tanyanya sambil tersenyum, menatap istrinya dengan penuh kasih dan melirik sekilas ke arah Jovan.Bu Sindy tersenyum tipis, menaruh tasnya di meja. "Ah, rasanya sudah cukup. Lagipula, ada kejadian kecil yang membuat suasana jadi kurang nyaman," jawabnya dengan nada santai.Pak Surya mengangkat alis, sedikit penasaran, tapi tidak bertanya lebih lanjut. "Kalau begitu, masuklah. Jovan, aku ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Kita ke ruang kerja sebentar?"Jovan mengangguk. "Tentu, Pak."Mereka berjalan menuju ruang kerja Pak Surya, sebuah ruangan yang luas dengan dinding kayu klasik, rak penuh buku, dan meja besar yang rapi. Setelah duduk, Pak Surya menuangkan teh ke dalam cangkir, lalu menatap Jovan d
Sebulan kemudian.Malam itu, Jovan mengenakan setelan jas hitam rapi dengan dasi gelap yang serasi, menambah kesan gagah dan elegannya. Ia menunggu di depan pintu mobil saat Bu Sindy keluar dari rumahnya, wanita berusia 40 tahun itu terlihat mempesona dalam balutan gaun biru tua berkilau yang menjuntai lembut hingga lantai.Rambutnya yang terurai rapi menambah anggun penampilannya. Senyum manis tak pernah lepas dari wajahnya saat melihat Jovan berdiri menantinya."Terima kasih sudah mau menemani, Mas Jovan," ucap Bu Sindy sambil tersenyum lembut, matanya berbinar-binar penuh kekaguman terhadap sosok lelaki tampan di hadapannya.Meskipun Jovan bukan suaminya, ia merasa nyaman berada di dekat pria ini. Suaminya, Pak Surya, telah mengizinkannya untuk datang ke pesta pernikahan malam ini dengan Jovan, karena urusan pekerjaan membuat Pak Surya tidak bisa hadir.Jovan tersenyum ramah, "Senang bisa menemanimu. Malam ini pasti akan menyenangkan."Di pesta pernikahan itu, banyak mata tertuju p