Seminggu telah berlalu dalam kegaulan tingkat dewa.Jovan sedang nongkrong di atas motornya, tepat di depan sebuah mall yang masih ramai meski malam semakin larut. Jaket kulit hitamnya terbuka, memperlihatkan kaus putih polos yang membalut tubuh atletisnya. Sepasang mata tajamnya mengamati lalu lalang orang-orang, sebagian besar adalah pasangan atau geng anak muda yang asik bercanda.Sejumput asap rokok melayang dari bibirnya sebelum ia membuang puntungnya ke aspal dan menginjaknya dengan sepatu boots hitam. Motor sport yang ditungganginya berkilat di bawah lampu jalanan, menarik beberapa lirikan dari cewek-cewek yang lewat. Beberapa bahkan sengaja berjalan lebih lambat saat melewatinya, berharap ditoleh atau sekadar mendapat senyum dari pria yang wajahnya sekeras batu tapi pesonanya susah ditolak.Tapi malam ini, Jovan tidak sedang tertarik main mata. Kepalanya masih penuh dengan kejadian absurd beberapa jam lalu. Tawaran gila dari Pak Arif masih menggantung di pikirannya."Kenapa hi
Jovan berdiri di depan rumah Pak Arif, jantungnya berdetak kencang. Lampu teras menyala redup, menyisakan bayangan samar di balik jendela. Sial. Gue beneran di sini.Pintu depan setengah terbuka, seperti sudah menunggunya.Dia melangkah masuk dengan ragu, melewati ruang tamu yang berbau kayu dan aroma teh hangat. Pak Arif duduk di kursinya, tersenyum tipis seakan sudah tahu Jovan bakal datang lagi.Jovan menghela napas panjang, menenangkan debaran di dadanya. Malam itu terasa begitu aneh, bukan hanya karena dia berdiri di depan rumah Pak Arif dengan perasaan yang bercampur aduk, tapi karena seluruh situasi ini seperti mimpi buruk yang sulit dipahami. Suara motor yang tadi membelah jalan kini senyap, meninggalkan hanya detak jantungnya yang menggema di telinga.Pak Arif masih duduk di kursinya, tersenyum tipis seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Ruangan itu terasa sempit, meski sebenarnya luas dan nyaman. Aroma teh hangat yang biasanya memberi rasa tenang kini terasa membebaninya.
Jovan memarkirkan mobilnya di depan lobi hotel bintang lima dengan gerakan yang begitu mulus. Seorang bellboy segera menghampiri, membukakan pintu dengan penuh sopan santun. Vena turun dengan langkah ragu, matanya menelusuri kemegahan yang terpampang di hadapannya—lampu kristal raksasa bergelayut di langit-langit, lantai marmer yang berkilau seperti cermin, serta para tamu berpakaian glamor yang hilir mudik dengan penuh percaya diri.Jovan meliriknya, menangkap jelas ekspresi takjub sekaligus kikuk di wajah perempuan itu. Senyumnya terbit samar. "Jangan tegang, santai aja. Ini cuma hotel," katanya ringan, seolah tempat ini sama biasa baginya seperti warung kopi pinggir jalan.Vena menelan ludah. Baginya, ini lebih dari sekadar hotel—ini dunia lain. Dunia yang tidak pernah ia bayangkan akan dimasuki olehnya, apalagi dengan seorang lelaki seperti Jovan.Pak Arif benar, lelaki ini bukan orang sembarangan. Tapi siapa sebenarnya dia?Mereka berjalan melewati lobi, dan setiap langkah terasa
Hendi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan kasual yang tetap memancarkan kelasnya. Pria itu memang memiliki aura yang tak jauh berbeda dengannya—tinggi, tampan, dengan garis wajah tegas khas keturunan Timur Tengah. Bedanya, Hendi memiliki sifat yang lebih stabil, lebih bisa diandalkan dalam jangka panjang. Dan itulah yang Jovan inginkan untuk Vena.“Lu datang tepat waktu,” ucap Jovan dengan nada ringan, menepuk bahu Hendi sebelum mempersilakannya masuk.Vena, yang sejak tadi duduk di sofa dengan perasaan tak menentu, mendongak begitu melihat pria asing masuk. Mata indahnya membulat, penuh tanda tanya.“Ini Hendi,” kata Jovan, mengisyaratkan pada pria itu untuk mendekat. “Dia lebih bisa diandalkan dibanding aku.”Vena masih terpaku, belum sepenuhnya menangkap maksud Jovan. “Maksudnya?”Jovan menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan—ada ketulusan di sana, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang terasa seperti perpisahan.“Aku nggak bisa ada buatmu terus, Vena.” Suaranya ter
Dalam pelukan Hendi, Vena bagaikan dihadapkan oleh magnit bumi yang sangat besar sekali, ia menempelkan dirinya di dada Hendi pelahan-lahan direbahkannya tubuh Vena pada kasur.Emosinya telah terselubungi bara asmara, Vena pun pasrah, deburan darah dan detup jantungnya mengguncang tubuhnya yang sangat molek dan bergairah. Ditunggunya moment indah yang akan dirasakan bersama Hendi, seperti dalam gambaran benaknya.Gumaman dan desahan selama pagutan. Jelas getaran cinta yang dibawa Vena membuat Hendi semakin tergairah lagi ingin lebih melakukan langkahnya, menjelajahi badan mulus Vena. Dibukanya kancing depan blusenya yang menepel di badannya, dielusnya sembulan kenyal gunung kembar indah yang mencuat sebagian dari sarangnya warna pastel.Diangkatnya kepala Vena dan diletakkannya di pangkuannya, dirabanya halus buah dadanya; dengan mata sayu penuh nafsu, diangkatnya lagi lebih tinggi bahu dan kepala Vena dan disandarkanya pada lengan kirinya, jemari tangan kiri mengusap-usap lengan tang
Tak sabar Vena melihat pemandangan yang erotic itu, segera ia mendekat dan diterkamnya dengan dua tangannya rudal segar berkepala seperti jamur itu, tanpa menunggu perintah dari pemiliknya.Segera Vena mendaratkan bibir sensualnya pada kepala rudal Hendi yang sangat mengkilat dan membasah. Dicobanya dia mengecup lubang air seni dikepala rudal yang membasah itu dengan perasaan gemas, penuh birahi dan nafsunya yang sangat besar; magnit dan 'chemistry' dari badan Hendi pun menariknya, menaburkan cinta birahi menutup semua 'sense' yang ada di pribadinya.Mendengar sambutan desahan yang terjadi, dikuatkannya dirinya dan dijilatinya seluruh permukan rudal yang berurat kencang; erangan Hendi bertambah dengan getaran badannya, otomatis tangan Hendi membelai dan mengacak rambut Vena. Terasa olehnya semua simpul batang rudalnya dijamah, digelitiknya oleh lidah halus nakal kepunyaan Vena.Kembali Vena ke kepala rudal, dicobanya mengulum kepala yang besar, basah dan mengikat itu lalu dihisap-hisa
Begitu terasa bahwa liang relung kenikmatan Vena mau menerima kehadiaran rudal Hendi, tiba-tiba Hendi menghentakkan lagi rudalnya dengan sekali hentakah dan bleess, masuklah semua batang rudal Hendi keliang relung kenikmatan Vena; kemudian didiamkan sekali lagi rudal Hendi tersebut didalam liang itu, menunggu sebentar, sambil tangan Hendi mengelus elus pantat keras Vena."Vena sayang, masih sakitkah, aku tunggu sampai kamu siap menerimanya sayang.""Ya Mas Hendi, masih agak sakit, tapi kuusahakan sereleks mungkin," kata Vena sambil menggigil menahan antara gejolak asmaranya dan rasa sakit yang diterimanya.Setelah selang beberapa saat, dicoba digoyangkannya pantat Hendi maju mundur, kiri kanan dan memutar, dengan pelan, sambil terus Hendi mengelus pantat Vena, dengan sabar.Terdengar lenguhan dan rintihan Vena."Eechh, eesshhtt, eecchh""Vena, gimana, terasa enakan?""Bisa aku teruskan ya sayang, coba kamu konsentrasikan dulu.""Bayangkan kenikmatan dalam relung nikmatmu dengan geseka
Denting garpu dan sendok beradu di atas piring porselen, menciptakan irama yang seharusnya menenangkan. Namun bagi Jovan, suasana di meja makan ini lebih menyerupai ruang interogasi daripada jamuan keluarga."Sudah lima tahun menikah, gajimu sebulan cuma segini?" Suara Bu Intan tajam, menusuk langsung ke dada.Wanita paruh baya itu menatap lembaran slip gaji yang diletakkan begitu saja di meja, seolah itu hanya selembar kertas tak berharga.Jovan mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia sudah terbiasa dengan sikap sinis ibu mertuanya, tapi kali ini, ada sesuatu yang lebih menyakitkan—rasa muak yang nyaris tak bisa ia bendung."Alhamdulillah, cukup untuk hidup layak, Bu," jawabnya, berusaha tetap tenang.Bu Intan tertawa kecil, penuh ejekan. "Hidup layak untuk siapa? Untuk anak pejabat seperti putriku? Atau untuk dirimu sendiri?"Wanita itu menyandarkan punggung, menyilangkan tangan di depan dada, lalu menggeleng pelan."Kamu tahu kan, Jovan? Sejak awal aku tidak pernah setuju dengan pe
Begitu terasa bahwa liang relung kenikmatan Vena mau menerima kehadiaran rudal Hendi, tiba-tiba Hendi menghentakkan lagi rudalnya dengan sekali hentakah dan bleess, masuklah semua batang rudal Hendi keliang relung kenikmatan Vena; kemudian didiamkan sekali lagi rudal Hendi tersebut didalam liang itu, menunggu sebentar, sambil tangan Hendi mengelus elus pantat keras Vena."Vena sayang, masih sakitkah, aku tunggu sampai kamu siap menerimanya sayang.""Ya Mas Hendi, masih agak sakit, tapi kuusahakan sereleks mungkin," kata Vena sambil menggigil menahan antara gejolak asmaranya dan rasa sakit yang diterimanya.Setelah selang beberapa saat, dicoba digoyangkannya pantat Hendi maju mundur, kiri kanan dan memutar, dengan pelan, sambil terus Hendi mengelus pantat Vena, dengan sabar.Terdengar lenguhan dan rintihan Vena."Eechh, eesshhtt, eecchh""Vena, gimana, terasa enakan?""Bisa aku teruskan ya sayang, coba kamu konsentrasikan dulu.""Bayangkan kenikmatan dalam relung nikmatmu dengan geseka
Tak sabar Vena melihat pemandangan yang erotic itu, segera ia mendekat dan diterkamnya dengan dua tangannya rudal segar berkepala seperti jamur itu, tanpa menunggu perintah dari pemiliknya.Segera Vena mendaratkan bibir sensualnya pada kepala rudal Hendi yang sangat mengkilat dan membasah. Dicobanya dia mengecup lubang air seni dikepala rudal yang membasah itu dengan perasaan gemas, penuh birahi dan nafsunya yang sangat besar; magnit dan 'chemistry' dari badan Hendi pun menariknya, menaburkan cinta birahi menutup semua 'sense' yang ada di pribadinya.Mendengar sambutan desahan yang terjadi, dikuatkannya dirinya dan dijilatinya seluruh permukan rudal yang berurat kencang; erangan Hendi bertambah dengan getaran badannya, otomatis tangan Hendi membelai dan mengacak rambut Vena. Terasa olehnya semua simpul batang rudalnya dijamah, digelitiknya oleh lidah halus nakal kepunyaan Vena.Kembali Vena ke kepala rudal, dicobanya mengulum kepala yang besar, basah dan mengikat itu lalu dihisap-hisa
Dalam pelukan Hendi, Vena bagaikan dihadapkan oleh magnit bumi yang sangat besar sekali, ia menempelkan dirinya di dada Hendi pelahan-lahan direbahkannya tubuh Vena pada kasur.Emosinya telah terselubungi bara asmara, Vena pun pasrah, deburan darah dan detup jantungnya mengguncang tubuhnya yang sangat molek dan bergairah. Ditunggunya moment indah yang akan dirasakan bersama Hendi, seperti dalam gambaran benaknya.Gumaman dan desahan selama pagutan. Jelas getaran cinta yang dibawa Vena membuat Hendi semakin tergairah lagi ingin lebih melakukan langkahnya, menjelajahi badan mulus Vena. Dibukanya kancing depan blusenya yang menepel di badannya, dielusnya sembulan kenyal gunung kembar indah yang mencuat sebagian dari sarangnya warna pastel.Diangkatnya kepala Vena dan diletakkannya di pangkuannya, dirabanya halus buah dadanya; dengan mata sayu penuh nafsu, diangkatnya lagi lebih tinggi bahu dan kepala Vena dan disandarkanya pada lengan kirinya, jemari tangan kiri mengusap-usap lengan tang
Hendi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan kasual yang tetap memancarkan kelasnya. Pria itu memang memiliki aura yang tak jauh berbeda dengannya—tinggi, tampan, dengan garis wajah tegas khas keturunan Timur Tengah. Bedanya, Hendi memiliki sifat yang lebih stabil, lebih bisa diandalkan dalam jangka panjang. Dan itulah yang Jovan inginkan untuk Vena.“Lu datang tepat waktu,” ucap Jovan dengan nada ringan, menepuk bahu Hendi sebelum mempersilakannya masuk.Vena, yang sejak tadi duduk di sofa dengan perasaan tak menentu, mendongak begitu melihat pria asing masuk. Mata indahnya membulat, penuh tanda tanya.“Ini Hendi,” kata Jovan, mengisyaratkan pada pria itu untuk mendekat. “Dia lebih bisa diandalkan dibanding aku.”Vena masih terpaku, belum sepenuhnya menangkap maksud Jovan. “Maksudnya?”Jovan menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan—ada ketulusan di sana, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang terasa seperti perpisahan.“Aku nggak bisa ada buatmu terus, Vena.” Suaranya ter
Jovan memarkirkan mobilnya di depan lobi hotel bintang lima dengan gerakan yang begitu mulus. Seorang bellboy segera menghampiri, membukakan pintu dengan penuh sopan santun. Vena turun dengan langkah ragu, matanya menelusuri kemegahan yang terpampang di hadapannya—lampu kristal raksasa bergelayut di langit-langit, lantai marmer yang berkilau seperti cermin, serta para tamu berpakaian glamor yang hilir mudik dengan penuh percaya diri.Jovan meliriknya, menangkap jelas ekspresi takjub sekaligus kikuk di wajah perempuan itu. Senyumnya terbit samar. "Jangan tegang, santai aja. Ini cuma hotel," katanya ringan, seolah tempat ini sama biasa baginya seperti warung kopi pinggir jalan.Vena menelan ludah. Baginya, ini lebih dari sekadar hotel—ini dunia lain. Dunia yang tidak pernah ia bayangkan akan dimasuki olehnya, apalagi dengan seorang lelaki seperti Jovan.Pak Arif benar, lelaki ini bukan orang sembarangan. Tapi siapa sebenarnya dia?Mereka berjalan melewati lobi, dan setiap langkah terasa
Jovan berdiri di depan rumah Pak Arif, jantungnya berdetak kencang. Lampu teras menyala redup, menyisakan bayangan samar di balik jendela. Sial. Gue beneran di sini.Pintu depan setengah terbuka, seperti sudah menunggunya.Dia melangkah masuk dengan ragu, melewati ruang tamu yang berbau kayu dan aroma teh hangat. Pak Arif duduk di kursinya, tersenyum tipis seakan sudah tahu Jovan bakal datang lagi.Jovan menghela napas panjang, menenangkan debaran di dadanya. Malam itu terasa begitu aneh, bukan hanya karena dia berdiri di depan rumah Pak Arif dengan perasaan yang bercampur aduk, tapi karena seluruh situasi ini seperti mimpi buruk yang sulit dipahami. Suara motor yang tadi membelah jalan kini senyap, meninggalkan hanya detak jantungnya yang menggema di telinga.Pak Arif masih duduk di kursinya, tersenyum tipis seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Ruangan itu terasa sempit, meski sebenarnya luas dan nyaman. Aroma teh hangat yang biasanya memberi rasa tenang kini terasa membebaninya.
Seminggu telah berlalu dalam kegaulan tingkat dewa.Jovan sedang nongkrong di atas motornya, tepat di depan sebuah mall yang masih ramai meski malam semakin larut. Jaket kulit hitamnya terbuka, memperlihatkan kaus putih polos yang membalut tubuh atletisnya. Sepasang mata tajamnya mengamati lalu lalang orang-orang, sebagian besar adalah pasangan atau geng anak muda yang asik bercanda.Sejumput asap rokok melayang dari bibirnya sebelum ia membuang puntungnya ke aspal dan menginjaknya dengan sepatu boots hitam. Motor sport yang ditungganginya berkilat di bawah lampu jalanan, menarik beberapa lirikan dari cewek-cewek yang lewat. Beberapa bahkan sengaja berjalan lebih lambat saat melewatinya, berharap ditoleh atau sekadar mendapat senyum dari pria yang wajahnya sekeras batu tapi pesonanya susah ditolak.Tapi malam ini, Jovan tidak sedang tertarik main mata. Kepalanya masih penuh dengan kejadian absurd beberapa jam lalu. Tawaran gila dari Pak Arif masih menggantung di pikirannya."Kenapa hi
Malam di Diskotik.Musik berdentum keras, menggetarkan lantai dengan irama bass yang menggila. Lampu-lampu strobo berkedip dalam warna merah, biru, dan ungu, menciptakan ilusi gerakan yang lebih liar dari kenyataan. Aroma parfum mahal bercampur alkohol memenuhi udara, melebur dengan tawa-tawa hingar-bingar dan obrolan setengah berteriak dari meja-meja VIP.Jovan duduk di salah satu sofa kulit berwarna hitam, minuman di tangannya hanya sekadar properti. Ia tidak benar-benar berniat menikmatinya. Di sekelilingnya, wanita-wanita kelas atas dengan gaun ketat yang memperlihatkan bahu atau belahan dada sibuk menari, tertawa, dan sesekali mencuri kesempatan untuk menyentuhnya."Jovan, sejak kapan lu jadi alim?" tanya seorang pria di sebelahnya, Reno, teman lamanya yang sudah terlalu akrab dengan dunia malam. "Dulu lu raja tempat ini, sekarang malah lebih banyak bengong."Jovan hanya menanggapi dengan senyum tipis.Seorang wanita dengan gaun merah darah mendekat, duduk tanpa diundang di pangk
Begitu ia melangkah ke dalam, suara batuk kecil menyambutnya. Pak Arif duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis—sebuah senyum yang terasa… misterius."Ah, Mas Jovan," sapanya santai. "Saya tahu kamu pasti datang lagi."Jovan berusaha tetap tenang, meskipun perutnya terasa sedikit mual mengingat percakapan absurd mereka kemarin."Pak, saya cuma mampir sebentar," katanya, sengaja memperjelas bahwa ia tidak berencana berlama-lama.Tapi Pak Arif justru tersenyum lebih lebar. "Nggak usah buru-buru, Mas. Duduk dulu. Saya lagi pengin ngobrol."Jovan menekan dorongan untuk menghela napas keras. Vena, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan aneh di antara mereka, langsung pergi ke dapur, meninggalkan dua pria itu dalam ruang tamu yang terasa semakin sesak.Pak Arif mendekat sedikit. Suaranya merendah, tapi penuh tekanan. "Jadi, Mas Jovan… sudah dipikirkan?"Jovan menutup mata sebentar. "Pak… saya nggak mau ngomongin itu lagi."Pak Arif hanya t