Semua Bab Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu: Bab 71 - Bab 78

78 Bab

71. Mengharap Kesempatan Terakhir

Meski sudah beberapa menit Kay di ruangan itu, Livy tak memberi respon. Tidak sma seperti sebelumnya, di mana jarinya bergerak, memberi tanda bahwa ia akan sadar. Lama juga Kay memandangi Livy dengan diam. Dadanya semakin sesak, membuat air matanya terus jatuh. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Livy yang tidak berdaya, berharap ada balasan darinya. Sayangnya, Livy tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Perlahan pula, Kay melepas tangan itu. Dia beranjak. Tatapannya seakan tidak ingin berhenti dari wajah Livy. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, Kay memeluknya erat. Memeluk tubuh lemah, dingin dan tak bergerak dengan tangisan. Ia bahkan mengecup pipinya. Merapikan rambut wanita itu. Mengelus bawah pelipisnya. Wanita secantik itu, harus mengalami semuanya sendiri. Menerima hinaan dari dendamnya. Semakin berat pula penyesalan Kay saat mengingat bagaimana dia merendahkan Livy. “Aku minta maaf, Sayang…” isaknya, terputus. “Aku mohon… tetaplah kembali… kamu pasti kua
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-17
Baca selengkapnya

72. Hilang Arah dan Gila

“Tidak, kami hanya ingin memeriksa keadaan terbaru pasien,” jelas Dokter. “Apakah tadi ada respon yang diberikan Ibu Livy?”Kay terdiam kelu. Dia menggeleng pelan.Dokter dan Suster segera masuk ke ruangan untuk memeriksa. Di luar ruangan Kay menunggu. Tentu ia terus berharap agar kiranya Livy segera menunjukkan kalau dia akan bangun.Sayangnya, setelah selesai, dokter justru mengatakan,“Tidak ada respon. Keadaannya tidak menunjukkan tanda-tanda menuju pulih. Kondisinya stagnan. Jika pasien tidak melawan keadaannya, besar kemungkinan pasien tidak dapat bertahan melewati masa kritisnya. Tapi, semoga itu tidak terjadi. Kami akan tetap memantau dan memastikan,” jelas Dokter panjang kali lebar.Perasaan Kay semakin kelu. Nyatanya, harapannya tak terlihat akan terwujud. Ketakutan pun semakin menyelimutinya.“Permisi,” ucap dokter dan suster undur diri.Kay kembali duduk tak berdaya. Dia duduk asal-asalan. Harta, jabatan dan kekuasaannya yang selama ini dia banggakan dan sarkas-kan pada Li
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-17
Baca selengkapnya

73. Taman Salju

Kay menoleh. Dia menatap Richard yang berjalan mendekatinya. Ia kembali pada kenyataan. Di detik kemudian dia kembali menangis. Melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan harapan yang semakin habis.“Li vy…” lirihnya.“Kay! Kau tidak bisa seperti ini! Kau harus kuat untuk bisa menguatkan Livy!” tegas Richard menelan kekhawatiran.“Livy… bagaimana keadaan Livy, Pa?” Mulutnya bertanya sedang matanya tertutup rapat. Membuat ari yang mengumpul di pelupuknya mengalir begitu saja.Richard tidak bisa menjawab. Sampai setelah dokter tiba dan memeriksanya.“Tuan Kay hanya demam. Sakitnya bukan apa-apa. Tetapi, batinnya sangat jauh terluka. Penyesalannya terlalu dalam.” Begitu dokter menjelaskan keadaan Kay saat itu setelah memeriksanya.Dokter pun hanya memberikan obat penurun demam sesuai keadaan fisik Kay. Sedangkan batinnya, hanya keadaan dan Kay sendiri yang bisa mengobatinya.Seminggu kemudian…Kay berangsur membaik. Alam bawah sadarnya menyemangatinya untuk bangkit. Ia merindukan L
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-17
Baca selengkapnya

74. Pulih Tapi Tidak Sembuh

Samar, cahaya putih menusuk kelopak matanya. Rasanya seperti terapung di antara mimpi dan kenyataan.Livy mendengar teriakan seseorang, berjalan menjauh. Suara anak kecil juga terdengar samar. “Ma Vy..”Livy mengerjapkan mata. Buram. Kemudian perlahan fokus. Ia menatap langit-langit ruangan yang tak asing. Bau menyengat khas rumah sakit, membuatnya sadar di mana ia berada.Tak lama, ia melihat dua orang mendekatinya. Dokter dan Suster. Ia diperiksa dan diajak berbicara untuk memberi respon.Di luar ruangan, Kay menunggu dengan tidak sabarnya. Dia menceritakan apa yang terjadi pada Pak Sopir dan Bibi Eden. Tak lupa pula ia menghubungi Richard, setelah apa yang terjadi.“Iya Pah. Segera ke sini. Dokter sedang memeriksanya,” jelas Kay.Bibi Eden mengambil Albern dari Kay. “Tuan… duduk yang tenang. Mudah-mudahan Ibu Livy benar-benar sadar,” lirihnya.Di dalam ruangan, Livy bertanya lirih. “Dok… apa yang terjadi padaku?”“Ibu Livy tidak mengingat apapun?” tanya dokter. Khawatir Livy mengal
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-18
Baca selengkapnya

75. Cinta yang Belum Mati

Pintu kembali terbuka. Livy seperti diserang rasa ketakutan mengingat dan melihat Kay. Dia tidak ingin melihatnya.“Pergi!” pekik Livy. Namun, sesaat kemudian dia terdiam.“Nyonya Livy…” Ternyata itu adalah Bibi Eden.Bibi Eden yang sempat terkejut dengan teriakan Livy, langsung mendekatinya dan memeluknya.Tangisan keduanya tumpah. Tak ada yang berbicara. Keduanya saling memeluk dan menguatkan.Richard membuka sedikit pintu ruangan. Ia mengintip bagaimana keadaan di dalam. Hati siapa yang tidak kelu melihat momen itu.Kay juga merasakan hal yang sama. Sungguh, tidak menyangka Livy melewati semua pahitnya sendirian.“Bi…” lirih Livy.“Maafkan Bibi, Nyonya…”“Aku merindukan Bibi…” isak Livy.“Nyonya… tetaplah hidup. Nyonya harus bahagia…” isak si Bibi.Ada banyak pertanyaan yang ingin Livy sampaikan. Tetapi keadaannya terlalu lemah.“Nyonya… ada Albern di depan. Apa Nyonya tidak merindukannya?” tanya Bibi Eden.“Bi… aku sangat menyayanginya. Aku merindukannya,” ucap Livy. Suaranya pata
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-18
Baca selengkapnya

76. Perjalanan Tak Terlupakan

Hari berikutnya seperti hari sebelumnya.Kay selalu berharap melihat tanda-tanda bahwa Livy mulai menerima kehadirannya kembali. Meskipun jarak itu tetap ada, dia tahu satu hal, anaknya adalah jembatan yang paling mungkin.Livy duduk di atas ranjangnya pagi itu. Albern yang sudah berusia satu tahun lebih, sekarang lebih aktif berlari-lari di ruangannya, sambil menggenggam mainan kecil yang lucu.Anak itu datang. “Mama!” teriaknya.“Ada apa, sayang?” Livy bertanya lembut, meski bibirnya masih cenderung kaku.Anak itu menatapnya dengan mata penuh antusiasme, ia mencoba naik ke atas kursi untuk bisa menuju ranjangnya. Bibir mungilnya bergetar sejenak. “Naik Ma!” ucapnya.Livy tertawa kecil juga tertegun. Panggilan itu sekarang hanya ‘Mama’ saja. Tidak ‘Mama Livy’ lagi. Mungkin terdengar tidak ada bedanya. Tetapi, panggilannya terasa jauh semakin dekat. Tanpa penyebutan nama yang menekankan kalau dia hanyalah ibu susu yang bernama ‘Livy’. Panggilan Albern padanya, membuatnya merasakan keh
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-18
Baca selengkapnya

77. Indahnya Ucapan Terima Kasih

Livy memilih menangis dalam kediaman. Ia yang sejak tadi duduk tegak, mulai merasa lelah.Ia pun menyudahi tangisnya dengan menarik napas yang panjang lalu membuangnya perlahan. Ia masih mengabaikan buku itu.Rumah sakit itu terasa sunyi sebab malam merambat semakin larut. Hanya suara ringan dari mesin di rumah sakit dan detak jam dinding yang mengisi kesepian.Livy mencoba menggapai tuas pengatur sandaran ranjang, tapi tubuhnya belum cukup kuat. Tangannya bergetar, dan tuas itu tak kunjung bergerak.Ia menoleh pelan ke arah pintu. Ia tahu siapa yang sedang berdiri di baliknya. Seperti biasa. Seperti malam-malam sebelumnya. Ia bisa merasakannya. Ada yang diam di sana, menjaga diam-diam. Memantaunya diam-diam.Rasanya tak nyaman di punggungnya sudah tak tertahankan. Tetapi sandaran ranjang tidurnya itu belum juga bergerak. Ia ingin membaringkan tubuhnya segera.Ia menoleh ke arah tombol panggil perawat. Tapi menekannya berarti menunggu, dan ia tidak ingin terlihat menyedihkan. Livy men
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-18
Baca selengkapnya

78. Canggung dan Terdiam

Kay panik dan gugup. Terlalu canggung untuk menjawab. Dia hanya menatap Livy lalu menunduk salah tingkah. “Sudah lama berdiri di situ?” tanya Livy lagi, pelan. Suaranya serak. Hampa. Tapi nyata. Kay terdiam. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tak satu kata pun keluar. Ia gugup. Dada berdebar. “Aku…” Ia menarik napas. “Aku hanya lewat.” Kebohongan yang terlalu tipis untuk dipercaya. Dan Livy tak perlu menjawab untuk menunjukkan bahwa ia tahu itu hanya alasan. “Masuk,” katanya singkat. Seperti perintah. Tanpa harap. Tapi Kay merasa seolah itu adalah izin masuk ke dunia yang telah lama menutup pintu untuknya. Ia malah semakin salah tingkah. Langkahnya pelan saat ia mendekat. Tangannya menggenggam di belakang punggung. Ia tak menatap Livy secara langsung. Hanya sesekali melirik ke arahnya, cepat-cepat, lalu mengalihkan pandang. Jarak mereka kini hanya beberapa langkah. “Ambilkan album itu,” kata Livy sambil menunjuk ke atas nakas. Kay menoleh, lalu melihat benda yang dimaksud. Albu
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-19
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status