Home / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Pendekar Pedang Naga: Chapter 51 - Chapter 60

66 Chapters

51. Terluka Parah

"Kael!" Suara Asmar terdengar panik namun tetap terkontrol saat ia melesat mendekat. Jubahnya berkibar, tangan kirinya sudah memegang botol kristal berisi cairan pemulih tingkat tinggi.Kael terbaring, wajahnya pucat, napasnya berat.Asmar segera berlutut di sampingnya, menekan telapak tangannya ke dada Kael. Aura penyembuhan mulai menyelimuti tubuh Kael, pelan namun stabil. “Bertahanlah. Kau sudah melawan terlalu jauh dengan tubuh seperti ini.”Sementara itu, hanya beberapa langkah dari mereka—Arsel melompat ke udara.Dua musuh yang tersisa langsung menyerang bersamaan, namun mereka tidak tahu satu hal:Arsel dalam mode penuh.“Kau sudah menyakiti sahabatku… Kau akan menyesal.”Pedang naga emas meledak dengan aura cahaya panas, seperti matahari kecil yang baru saja bangkit.DOR!Tebasan pertama menghantam tombak musuh, membuatnya terpental hingga menghantam pohon. Serangan kedua—lebih cepat dari pandangan biasa—menusuk ke arah pengguna pisau bayangan.“ARGHH!” Musuh itu terj
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

52. Penyambutan Sang Juaran

Gerbang besar Akademi Pedang berdiri kokoh di depan mereka, berlapis baja dan dihiasi ukiran naga di kedua sisinya. Begitu mereka mendekat, suara derit perlahan terdengar—penjaga gerbang yang mengenali sosok Guru Besar segera membukanya lebar-lebar.Para murid dan beberapa pengajar yang mendengar kabar kepulangan mereka telah berkumpul di pelataran. Sorot mata mereka penuh rasa penasaran, kagum, dan sedikit khawatir.Kael melangkah lebih dulu, langkahnya mantap meski bekas luka belum sepenuhnya sembuh. Arsel menyusul di sebelahnya, sementara Asmar berjalan di belakang sambil membawa kantung ramuan dan perlengkapan medis.“Mereka kembali…” bisik salah satu murid. “Tapi lihat Kael… dia tampak lelah.” “Dan Arsel… dia tidak pernah terlihat setegang itu.”Guru Besar mengangkat tangan, menenangkan kerumunan. “Tenanglah. Kami akan menjelaskan semuanya nanti. Sekarang beri mereka ruang untuk beristirahat.”Salah satu instruktur maju ke depan. “Kami sudah menyiapkan tempat khusus untuk p
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

53. Sayap Timur Akademi

Latihan pun dimulai. Kael dan Arsel berhadapan, tidak dengan kekuatan penuh, tapi dengan gerakan yang presisi dan teknik dasar yang disempurnakan. Peluh mengucur, napas memburu, tapi semangat tak padam.Hari pertama di sayap timur bukanlah hari santai—itu hari pembuktian, bahwa kekuatan sejati bukan hanya berasal dari naga, tapi dari tekad dan usaha mereka sendiri.Hari-hari berlalu di sayap timur, dan peluh menjadi teman setia Kael dan Arsel. Setiap pagi dimulai dengan latihan fisik yang ekstrem—berlari dengan beban, menahan posisi kuda-kuda selama berjam-jam, dan mengasah teknik dasar dengan ketepatan mutlak.Asmar, meski bukan ahli strategi, membuktikan dirinya sebagai pengawas yang gigih. Ia menyesuaikan latihan dengan kebutuhan fisik dan pola kekuatan masing-masing.“Kael, kau terlalu sering mengandalkan kekuatan pedangmu. Fokus pada gerakan tubuh. Rasakan aliran musuh lewat langkah mereka,” ujar Asmar sambil mengoreksi posisi tangan Kael.“Arsel, tenagamu kuat, tapi kau terlalu
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

54. Keruntuhan Keluarga Arsel

Kael mengelus tembok gerbang yang penuh lumut. “Bahkan aku bisa merasakan... sesuatu yang dingin di tempat ini. Bukan sekadar kosong.”Mereka terus berjalan ke dalam, melewati lorong panjang dengan jendela besar di satu sisinya. Tirai-tirai tebal dibiarkan menjuntai, menghalangi cahaya masuk. Lantai batu memantulkan suara langkah mereka yang menggema.Arsel menahan langkahnya saat melihat sebuah potret besar tergantung di dinding: lukisan keluarganya. Ia, ayahnya, ibunya… dan Farel yang masih kecil.“Aku ingat hari ketika lukisan ini selesai dibuat,” ucap Arsel pelan. “Kami tersenyum. Tapi sekarang... senyum itu rasanya jauh sekali.”Kael menoleh ke arah lain saat samar terdengar suara berderak dari lantai atas. Ia langsung memberi isyarat dengan tangan. Arsel mengangguk, kembali waspada.“Kita tidak sendirian,” bisik Kael.Mereka melangkah naik ke lantai dua. Setiap langkah di tangga kayu tua seperti memanggil sesuatu dari balik bayangan. Saat mereka melewati salah satu lorong, tiba-
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

55. Peninggalan Kuno

Di dalam gua, mereka menemukan lorong yang cukup luas, diterangi cahaya biru samar dari kristal-kristal alami di dinding. Ruangan utama di ujung lorong terbuka seperti aula kuno, penuh simbol naga dan ukiran-ukiran tua yang menceritakan sejarah para pemilik pedang naga.“Selamat datang di Kamar Naga,” ucap Galen dengan nada pelan namun penuh makna.Kael dan Arsel terdiam, merasakan aura kekuatan tua yang masih mengendap di tempat itu.“Di sinilah para penjaga naga pernah berkumpul. Mungkin ini satu-satunya tempat di dunia ini di mana kita bisa membuat rencana tanpa harus terus melihat ke belakang,” lanjut Galen.Di dalam Kamar Naga, Arsel dan Kael berjalan perlahan menyusuri dinding batu yang dipenuhi ukiran kuno. Setiap lekuk menggambarkan sosok-sosok penunggang naga, pertempuran, dan simbol-simbol sihir yang tampak asing. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja batu bundar, di atasnya tersusun beberapa gulungan naskah yang tampak rapuh namun masih utuh.“Ini… seperti catatan tua,” u
last updateLast Updated : 2025-04-08
Read more

56. Kembali ke Gunung Tersembunyi

Langit di atas akademi masih dilapisi kabut tipis saat Kael berdiri di gerbang utama. Angin pagi berhembus lembut, menggoyangkan ujung jubah hitamnya. Di tangannya, ia menggenggam surat dari Guru Besar—tiket tak tertulis menuju masa lalu dan pelatihan yang lebih berat dari sebelumnya.Arsel berdiri di sampingnya, diam namun penuh makna. “Kau yakin akan pergi sendiri?”Kael mengangguk. “Ini harus kulakukan. Kakek Ling… dia bukan seseorang yang bisa kau datangi beramai-ramai. Aku sudah cukup menyusahkannya dulu.”Arsel menepuk bahunya dengan pelan. “Kalau begitu, cepatlah kembali. Aku tak sabar melihat jurus barumu nanti.”Mereka tersenyum satu sama lain. Tak perlu kata perpisahan yang panjang. Karena keduanya tahu, pertempuran yang lebih besar belum selesai.Kael menaiki kudanya, satu tarikan napas panjang, lalu melaju ke arah timur—menuju tempat yang tersembunyi di balik kabut, tempat di mana kekuatan naga hitam pernah tertidur… dan mungkin akan bangkit kembali.Jalan menuju timur b
last updateLast Updated : 2025-04-09
Read more

57. Pertemuan Yang Sunyi

Beberapa detik berlalu sebelum Kakek Ling berkata lagi, “Masuk, sebelum udara dingin ikut duduk di tengah kita.”Kael duduk di bangku kayu dekat tungku. Ia memperhatikan ruangan itu—sama seperti dulu. Tumpukan bambu di sudut, rak tua dengan gulungan catatan, dan pedang kayu yang digantung di dinding, satu yang dulu pernah ia gunakan saat belum bisa mengendalikan tenaga dalamnya.“Aku tak mengerti kenapa Guru Besar menyuruhku ke sini,” akhirnya Kael membuka suara.Kakek Ling tak langsung menjawab. Ia hanya melemparkan seikat kayu ke dalam api, menambah terang di ruangan kecil itu. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Karena kau mengira kau sudah selesai belajar. Padahal… yang baru kau kuasai hanyalah permukaan.”Kael menatap api, mencoba memahami maksud dari kata-kata itu.“Tapi aku sudah—”“Sudah apa?” potong Kakek Ling. “Sudah menguasai jurus naga? Sudah bisa membelah tebing? Itu kekuatan. Bukan kedalaman. Kau masih belum tahu siapa dirimu. Dan naga… tidak pernah tunduk pada ma
last updateLast Updated : 2025-04-09
Read more

58. Suara Dalam Bayangan

Fajar belum sepenuhnya muncul saat Kael keluar rumah. Udara dingin menusuk, tapi Kakek Ling sudah berdiri di halaman belakang, memandangi arah timur, seperti sedang membaca isyarat dari angin.Tanpa menyapa, ia menunjuk ke sebuah ember tua yang diletakkan di tanah. Ember itu jelas sudah tua dan penuh lubang kecil di dasar dan sisinya.“Ambil air dari sungai di bawah bukit, dan isi wadah batu itu sampai penuh,” kata Kakek Ling, menunjuk ke sebuah cekungan batu besar di dekat pohon.Kael menatap ember itu, lalu wadah batu. Jaraknya cukup jauh. Tapi yang lebih aneh—ember itu jelas tak akan bisa menampung air karena bocor di banyak tempat.“Tapi... ini akan langsung tumpah sebelum aku sampai sini,” protes Kael.Kakek Ling hanya menatapnya datar. “Lakukan.”Kael menggertakkan gigi, mengambil ember itu, dan berjalan menuruni bukit ke arah sungai. Ia mengisi air, dan seperti yang diduganya, air mulai bocor sebelum ia kembali separuh jalan. Ia tetap berjalan, menumpahkan sebagian besar air se
last updateLast Updated : 2025-04-10
Read more

59. Serangan Di Kaki Gunung

Pagi itu Kakek Ling membawa Kael ke jalur curam di lereng belakang gunung. Batu-batu tajam berserakan. Akar pohon menyembul seperti perangkap. Udara tipis dan berat.Kael sudah siap untuk lari, lompat, atau menahan beban berat.Tapi perintah Kakek Ling justru membuatnya bingung.“Kau akan menapaki jalur ini seribu langkah... tanpa mengatur napas lebih dari satu tarikan.”Kael memutar kepala. “Satu tarikan... untuk seribu langkah? Itu tidak mungkin.”“Tepat,” jawab Kakek Ling dengan tenang. “Itulah kenapa hanya sedikit yang bisa menyelesaikannya.”Kael memandang jalur itu, panjang dan penuh rintangan. “Dan kalau aku gagal?”“Kau ulangi dari awal.”Kael menarik napas panjang, lalu mengangguk.Langkah pertama dimulai. Satu tarikan napas. Kaki bergerak perlahan, matanya fokus pada tiap pijakan.Lima puluh langkah pertama berjalan baik. Tapi tubuh mulai berontak. Napasnya terasa menggantung. Paru-parunya menjerit.Langkah ke seratus… lalu dua ratus. Tubuhnya mulai gemetar. Kepala
last updateLast Updated : 2025-04-10
Read more

60. Duel Dalam Senyap

Sosok bertopeng itu melangkah pelan ke arah Kael. Tanah bergetar ringan tiap kali kakinya menginjak bumi. Di tangannya, senjata kristal hitam itu menyala samar—seolah berdenyut dengan napas makhluk asing.Kael mengangkat kuda-kudanya. Ia bisa merasakan hawa tekanan dari lawan ini. Berbeda dari bandit sebelumnya. Lebih… sadar.“Siapa kau?” tanya Kael, mencoba mengulur waktu.Tak ada jawaban. Hanya desiran napas berat dari balik topeng logam itu. Lalu, serangan datang secepat kilat.Blaaam!Kael nyaris tak sempat menangkis. Tubuhnya terpental beberapa langkah ke belakang. Debu naik tinggi. Lengan kirinya terasa kebas.“Cepat… dan kuat,” gumamnya, berdiri lagi.Bandit bertopeng maju lagi, dan duel pun pecah—pukulan, tendangan, dan ayunan senjata saling bertemu di tengah-tengah kepulan asap dan jerit warga yang masih bertahan.Kael tak melawan dengan kekuatan besar, tapi dengan kelincahan. Ia menghindar, memutar, memanfaatkan ketidakseimbangan lawannya. Tapi setiap kali senjata itu nyaris
last updateLast Updated : 2025-04-11
Read more
PREV
1234567
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status