Semua Bab KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH : Bab 41 - Bab 50

65 Bab

Bab 41

Malamnya kami sampai di Jakarta. Mama menolak untuk pulang. Karena mau ke rumah Tari saja katanya. Dengan berat aku mengikuti kemauan Mama. Rumah besar milik ibunya Tari terlihat sepi. Mobil yang kami tumpangi sampai di halaman. Mama tampak tersenyum tapi tidak denganku. Hatiku was-was karena aku pernah mencuri perhiasan Tari dan tak mungkin tidak Tari tidak tau itu.Beberapa kali aku mengetuk pintu tapi tak ada jawaban. Mama terduduk di kursi teras. Kondisinya yang baru sembuh membuatnya cepat lelah. Tak lama pintu terbuka. Perempuan dengan daster batik itu menatapku lekat."Nyari siapa ya, Mas?" Tanyanya. "Tarinya ada?" Tanyaku.Perempuan itu mengerutkan kening. "Tari? Tari siapa ya, Mas?" Tanyanya lagi."Aleana Lestari Jingga, istri saya. Ibunya pemilik rumah ini," jelasku."Oh, Mbak Aleana. Orangnya udah pindah toh, Mas. Rumah ini sudah dibeli majikan saya. Tapi, Ibu dan Bapak lagi Ndak ada. Lagi ada acara diluar." Aku tersentak, mata membola, begitu juga dengan mama yang langsun
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-25
Baca selengkapnya

Bab 42

"Mari, Bu. Kami buru-buru. Makasih atas infonya." Aku segera menarik tubuh mama memasuki taksi sehingga memotong ucapannya.Taksi pun segera melaju. Tapi, aku meminta untuk pulang dulu ke rumah Mama. Istirahat disana. Malam kian larut. Jalanan juga mulai sepi. Kami sampai dihalaman rumah. Setelah membangunkan mama yang sempat tertidur aku pun turun."Wah, kurang ini, Mas!" Seru supir taksi saat aku memberikan selembar uang dua puluh ribuan ke tangannya."Saya ga punya uang lagi, Pak. Habis kemalingan." Sahutku sambil memapah mama keluar."Ga bisa gitu, dong! Bayar dulu yang bener! Argonya delapan puluh lima ribu bukan dua puluh ribu."Laki-laki itu menahan tanganku. "Pak, kami tak punya uang lagi. Saya baru keluar dari rumah sakit." Mama ikut memohon."Ga, bisa!""Pak, tolonglah. Kami beneran tak punya uang." Laki-laki paruh baya itu justru menatapku tajam. "Itu jam tangan anda, bisa sebagai pengganti ongkos malam ini." Dia kini beralih ke jam tanganku yang merupakan satu satunya ba
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-25
Baca selengkapnya

Bab 43

"Harusnya kamu mendekam di penjara atas kejahatan kamu, Mas!" Cetus Tari.Setelah mama pingsan tadi malam, Tari akhirnya mau keluar rumah dan membantu membawakan mama ke rumah sakit. "Aku mohon maaf, Dek." Aku bersimpuh di kakinya. Berharap tari akan mencegah lalu mengajakku berdiri. Tapi, yang ada aku dibiarkan menjadi pusat perhatian. Untung pagi ini rumah sakit tak terlalu ramai."Aku tak akan pernah memaafkan kamu. Tapi, aku akan berusaha melupakan semuanya. Perceraian kita sedang dalam proses. Kamu ga usah khawatir dengan biaya. Aku yang menanggung semuanya. Dan kamu juga tak perlu datang dalam persidangan.""Dek, aku tak mau kita bercerai.""Heh! Tau diri, Mas. Kamu tak aku laporkan ke polisi itu sudah sangat bersyukur. Semua karena aku berhutang nyawa pada mamamu. Meski, dia tak pernah menyukaiku tapi dia pernah mendonor darahnya saat aku hampir mati karena melahirkan anakmu."Aku terdiam. Ternyata Tari masih mengingat kebaikan tak seberapa yang Mama lakukan waktu itu. "Setel
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-25
Baca selengkapnya

Bab 44

"Mau kemana lagi, Ma? Arsen tak punya uang. Tak mungkin juga Arsen kembali kepada Tari dengan keadaan seperti ini? Lagian, Tari sudah mau menikah kalau nanti kami resmi bercerai.""Ah, kamu! Selama janur kuning belum melengkung kamu masih punya harapan untuk kembali pada Tari." Mama menyemangati."Arsen pesimis, Ma." Mama mendesah, memang mau bagaimana lagi. Faktanya begitu. Aku tak mungkin bersaing dengan Remon dan dokter muda itu.Siang makin beranjak. Perutku mulai menuntut hak nya begitu juga Mama. Sementara kami sama sekali tak punya uang.Aku meraih ponsel, mungkin alat ini bisa menyelamatkan kami sementara. "Ma, Arsen akan menjual handphone ini. Walau mungkin harganya akan jatuh, tapi setidaknya bisa untuk kita bertahan hidup sehari atau dua hari ini." Mama menatapku dengan tatapan sendu."Ini kan barang kita satu satunya, Ar. Bagaimana nanti kita menghubungi Tari, menelpon Monika?" Ucapan Mama membuatku sedikit ragu. Tapi, aku tak punya pilihan lain.Aku mengutak-atik benda p
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-25
Baca selengkapnya

Bab 45

"Ran, mana sarapanku?" Pagi ini perutku terasa sangat lapar. "Sebentar, Mas!" Rani sepertinya ada di dapur. Aku bergerak turun dari ranjang berjalan menuju asal suara."Astaga, Rani! Kamu ngapain?"Perempuan itu sedang mengumpulkan tepung yang berserakan di lantai. Keramik putih itu penuh dengan taburan tepung."Aku tak sengaja, Mas.""Ga becus kamu! Belum punya anak aja sudah payah. Apalagi kalau nanti anakmu lahir. Bisa bisa dapur ini runtuh karena ulah kalian." "Arsen! Kamu bukannya bantuin aku. Malah sibuk ceramah. Kamu itu numpang dirumahku!" Alih alih diam, Rani justru menyerang dengan kata kata menyakitkan. Aku bergegas mendekat. Rambut panjang Rani kutarik kebelakang."Numpang? Kamu bilang aku numpang? Kamu yang penumpang gelap, perusak rumah tangga orang!""Lepas! Sakit, Ar!" Bahkan perempuan itu melupakan panggilan 'Mas' yang kemarin dia sematkan sebelum namaku."Kamu tau apa artinya sakit? Ketika kamu dengan tidak punya perasaan membun*h Ammar dengan tangan kotormu itu!
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-26
Baca selengkapnya

Bab 46

"Iya, karena itu aku tidak melaporkan kamu dan ibumu itu. Tapi, aku masih memburu perempuan yang bernama Rani. Dia yang memberi perintah. Dia harus mendekam di penjara seumur hidup."Aku mundur selangkah. Kaget melihat kemarahan Tari yang tiba-tiba meledak. "Sabar, sayang. Aku janji akan menemukan Rani secepatnya dan aku akan menyerahkan pada polisi." Aku beringsut mendekati Tari. "Aku sudah telat. Pergilah. Tak usah kesini lagi. Proses perceraian kita sedang diurus. Sebentar lagi tak ada lagi hubungan diantara kita.""Dek, plus, Mas mohon. Jangan lakukan ini. Kita bisa memulai kehidupan yang baru. Mas akan berubah. Mas akan ikut membantu pekerjaan kamu merawat anak-anak. Mas, janji akan membuat kamu bahagia." Aku hendak meraih tangan Tari. Namun, Tari mengibaskan tangannya ke udara."Terlambat! Kemarin kemana aja kamu! Aku tak minta yang aneh-aneh kan?""Iya, Mas tau. Mas salah.""Ehem ... Orang kalau udah jatuh miskin emang gampang taubatnya!"Aku dan tari serentak menoleh ke asal
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-26
Baca selengkapnya

Bab 47

Rani hampir saja mengalami keguguran. Untung bayi nya dapat diselamatkan. Kalau tidak berapa uang yang harus aku keluarkan untuk melakukan tindakan kur*tas. Uang membayar rumah sakit saja aku bingung mendapatkan dari mana."Ar ... Makasih ya, kamu sudah selamatkan aku dan anak kita." Rani meraih tanganku. Wajahnya masih terlihat pucat."Bukan aku. Tapi, Mama yang minta." Aku menarik tanganku sedikit kasar. Entah kenapa merasa muak melihat Rani sekarang."Husss ... Ar, sudah jangan ngomong macam-macam lagi. Rani masih belum stabil kondisinya. Kalau pendarahan kita juga yang repot." Mama mendelikkan mata. Aku membuang pandang. Dulu waktu melahirkan Abrar, Tari tak pernah seperti ini. Dia kuat. Hanya saja dia sering minta dimanja. Namun, aku selalu menghindar. Kini penyesalan itu datang."Sekarang, kita harus memikirkan cara agar mendapatkan uang untuk membayar administrasi rumah sakit ini."Mama menghela napas panjang. Mama tau persis jika aku tak bisa diandalkan karena belum ada peng
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-26
Baca selengkapnya

Bab 48

"Ini uangnya, Mas!" Aku langsung berjalan ke arah kamar. Rani yang tiduran di ranjang melempar uang lembaran merah ke arahku. Mama yang melihat hal itu pun kaget."Ran!""Apa? Kamu ga punya uang, kan? Aku bersedia menampung kamu dan Mama disini. Tapi, aku tak sudi jika kamu melakukan kekerasan atau pun mengucapkan kata kata kasar padaku lagi!" Sentaknya tak peduli dengan tatapan mataku dan Mama yang kaget."Cepat Ar. Aku lapar!" Dengan menahan kesal, aku pun mengambil uang itu. Dan bergegas keluar mencari makanan. Sial*n!***"Arsen ga bisa begini terus, Ma!" "Iya, Mama tau. Mama sedang membujuk Rani agar dia memberitahu dimana surat surat rumah dan tabungannya disembunyikan." Mama merem*s tangannya sendiri geram."Gimana jika ancam dia, Ma?""Ancam gimana?" Mama mengerutkan keningnya."Tari kan sedang mencari cari Rani sebagai pembun*h Ammar. Kita ancam Rani jika dia tak memberikan apa yang kita minta, kita adukan saja dia pada Tari."Mata mama berbinar. Tapi, kembali redup."Tapi
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-26
Baca selengkapnya

Bab 49

Sungguh tak masuk akal idenya Rani. Dia pikir aku ini apa? Psikop*t yang bereksperimen dengan tengkor*k manusia. Apalagi itu anakku sendiri. Tak akan kulakukan."Jadi gimana, Ar? Kamu ga mau kan menggali kembali kuburan Ammar?" Wajah Mama tampak khawatir. Mama pun pasti tak ikhlas jika aku melakukan hal itu."Ya ga lah, Ma. Masih ada cara lain untuk membuat perempuan itu diam.""Caranya?""Belum Arsen pikirkan, Ma. Sementara, kita pura pura nurut dulu sama dia sampai kita mendapatkan apa yang kita inginkan."Pagi sekali Rani sudah menyuruhku melakukan apa yang dia mau."Cepat, Ar. Kamu ga ingin jadi kaya?" "Sabar, Ran. Aku harus mencari waktu yang tepat. Kau juga tau pemakaman itu selalu ramai. Tak mungkin siang bolong gini aku kesana untuk menggali salah satu makam."Rani terdiam, seperti alasan yang aku sampaikan masuk ke akalnya."Kalau gitu, kamu cari sarapan aja sana. Aku lapar." Bagian seorang majikan Rani menyuruhku begitu saja. Tak ada rasa hormat sama sekali."Aku hari ini m
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-26
Baca selengkapnya

Bab 50

"Ar! Jangan Ar. Kau tak berhak." Pekiknya. Belum sempat Rani turun dari ranjang aku sudah terlebih dahulu lari setelah sebelumnya meraih kunci kamar dan menguncinya dari luar. "Ma, kita berangkat sekarang." Aku memapah mama yang terlihat pucat. Teriakan Rani tak kuhiraukan. Sebentar lagi aku akan pergi untuk memulai hidup baru.***"Ibu tak boleh banyak bergerak. Istirahat yang cukup. Sementara keadaan ibu sudah stabil. Cukup minyak obat saja, nanti akan membaik." Dokter muda itu menuliskan resep dan menyerahkan padaku. Setelah mengucapkan terimakasih kami pun keluar. Lega rasanya mama tak kenapa-kenapa.Saat keluar dari ruang dokter itu sekilas aku melihat ana kecil berlari lari ringan di koridor rumah sakit. Mataku tak berkedip, aku yakin aku kenal anak itu. Mama pun melihat ke arah yang sama denganku."Ammar ..." Lirih Mama."Astaghfirullah, benar itu Ammar." Mataku membulat bahagia. Setelah membawa mama duduk di kursi tunggu aku segera berlari ke arah anak yang ku pastikan adalah
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-26
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status