"Ini uangnya, Mas!" Aku langsung berjalan ke arah kamar. Rani yang tiduran di ranjang melempar uang lembaran merah ke arahku. Mama yang melihat hal itu pun kaget."Ran!""Apa? Kamu ga punya uang, kan? Aku bersedia menampung kamu dan Mama disini. Tapi, aku tak sudi jika kamu melakukan kekerasan atau pun mengucapkan kata kata kasar padaku lagi!" Sentaknya tak peduli dengan tatapan mataku dan Mama yang kaget."Cepat Ar. Aku lapar!" Dengan menahan kesal, aku pun mengambil uang itu. Dan bergegas keluar mencari makanan. Sial*n!***"Arsen ga bisa begini terus, Ma!" "Iya, Mama tau. Mama sedang membujuk Rani agar dia memberitahu dimana surat surat rumah dan tabungannya disembunyikan." Mama merem*s tangannya sendiri geram."Gimana jika ancam dia, Ma?""Ancam gimana?" Mama mengerutkan keningnya."Tari kan sedang mencari cari Rani sebagai pembun*h Ammar. Kita ancam Rani jika dia tak memberikan apa yang kita minta, kita adukan saja dia pada Tari."Mata mama berbinar. Tapi, kembali redup."Tapi
Sungguh tak masuk akal idenya Rani. Dia pikir aku ini apa? Psikop*t yang bereksperimen dengan tengkor*k manusia. Apalagi itu anakku sendiri. Tak akan kulakukan."Jadi gimana, Ar? Kamu ga mau kan menggali kembali kuburan Ammar?" Wajah Mama tampak khawatir. Mama pun pasti tak ikhlas jika aku melakukan hal itu."Ya ga lah, Ma. Masih ada cara lain untuk membuat perempuan itu diam.""Caranya?""Belum Arsen pikirkan, Ma. Sementara, kita pura pura nurut dulu sama dia sampai kita mendapatkan apa yang kita inginkan."Pagi sekali Rani sudah menyuruhku melakukan apa yang dia mau."Cepat, Ar. Kamu ga ingin jadi kaya?" "Sabar, Ran. Aku harus mencari waktu yang tepat. Kau juga tau pemakaman itu selalu ramai. Tak mungkin siang bolong gini aku kesana untuk menggali salah satu makam."Rani terdiam, seperti alasan yang aku sampaikan masuk ke akalnya."Kalau gitu, kamu cari sarapan aja sana. Aku lapar." Bagian seorang majikan Rani menyuruhku begitu saja. Tak ada rasa hormat sama sekali."Aku hari ini m
"Ar! Jangan Ar. Kau tak berhak." Pekiknya. Belum sempat Rani turun dari ranjang aku sudah terlebih dahulu lari setelah sebelumnya meraih kunci kamar dan menguncinya dari luar. "Ma, kita berangkat sekarang." Aku memapah mama yang terlihat pucat. Teriakan Rani tak kuhiraukan. Sebentar lagi aku akan pergi untuk memulai hidup baru.***"Ibu tak boleh banyak bergerak. Istirahat yang cukup. Sementara keadaan ibu sudah stabil. Cukup minyak obat saja, nanti akan membaik." Dokter muda itu menuliskan resep dan menyerahkan padaku. Setelah mengucapkan terimakasih kami pun keluar. Lega rasanya mama tak kenapa-kenapa.Saat keluar dari ruang dokter itu sekilas aku melihat ana kecil berlari lari ringan di koridor rumah sakit. Mataku tak berkedip, aku yakin aku kenal anak itu. Mama pun melihat ke arah yang sama denganku."Ammar ..." Lirih Mama."Astaghfirullah, benar itu Ammar." Mataku membulat bahagia. Setelah membawa mama duduk di kursi tunggu aku segera berlari ke arah anak yang ku pastikan adalah
POV TARI"Hampir saja ketahuan." Mas El mengusap kepala Ammar sambil tersenyum."Maaf ya, Om. Aku ga nurut apa kata, Om." Ammar tertunduk merasa bersalah."Tak apa, jagoan." Ammar memeluk Mas El hangat. Hatiku terenyuh melihatnya. Setelah kejadian di Bandung, Ammar harus rajin kontrol ke rumah sakit, baik fisik dan mental nya di cek. Walau menurut dokter benturan yang mengenai kepalanya tidaklah berbahaya. Tapi, Aku tak mau terjadi apa-apa dengannya dikemudian hari. Dan Mas El lah yang rutin mengingatkan sekaligus membawa Ammar berobat."Lagian kamu nya aneh, Dek. Kenapa ga laporin ke polisi aja laki-laki pecund*Ng itu. Biar kapok. Udah dibantu malah nyolong perhiasan kamu." Mas Fatan yang sudah mendengar cerita dari Mas El ikut bicara. Tadi, sewaktu di rumah sakit, mereka bertemu dengan Mas Arsen dan mamanya. Untung saja Mas El cepat bertindak ketika Ammar hampir berlari keluar ruangannya."Aku masih mengingat kebaikan Mamanya, Mas. Dia yang mau membantuku saat keadaan benar-benar g
Aku menyandarkan tubuh disandaran kursi."Suatu saat dia pasti akan tahu juga jika Ammar masih hidup. Dan ibu khawatir nanti malah dia tak terima." Ibu duduk di ranjangku. Kini posisi kami berhadapan."Kalian menikah dengan cara baik-baik. Kalau memang mau mengakhiri, akhiri lah dengan baik-baik juga."Ibu ada benarnya juga. Aku melepas kacamata baca dan menyimpannya diatas laptop."Sebentar lagi perceraian kami akan disahkan, Bu. Saat itu adalah waktu yang tepat memberitahukan semuanya pada Mas Arsen."Ibu mengangguk paham."Ibu yakin kamu akan memberikan sikap yang bijak untuk ini. Dan satu lagi soal Nak Elzio. Bagaimana menurut kamu, Nak?""Tari belum kepikiran untuk memulai hubungan yang serius, Bu. Meski, Mas El tampaknya sudah yakin akan menikah dengan Tari." Aku tersenyum tipis. Memang kuakui pesona dokter itu cukup menarik. Tapi, ada hal yang membuatku berpikir lagi untuk menerima perasaannya. "Ibu harap kamu tak salah lagi memilih pasangan hidup. Kasian anak-anak.""Iya, Bu.
"Maaf Mas, kita tunda dulu, ya. Aku harus pulang." aku menyambar tas yang ada di atas meja."Ta-tapi ... Tari ..."Aku menoleh sekilas."Next time, aku pasti datang." Wajah itu tampak kecewa. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa. Anak-anak adalah prioritas utama.Aku menghela napas lega. Setidaknya untuk saat ini aku terbebas dari perasaan tertekan. Aku benar-benar belum siap untuk memulai hubungan baru. Dalam benak, hanya kebahagiaan tiga buah hati dan ibu saja yang akan aku perjuangkan."Kemana, Dek?" Mas Fatan yang tak sengaja berpapasan menatap penuh tanya."Syukurlah ada Mas. Tadi ibu bilang Ammar melihat Mas Arsen. Jangan-jangan dia mengetahui jika Ammar belum meninggal, Mas.""Kurang aj*r, masih berani dia mengusik hidup kita."Tangan Mas Fatan mengepal."Mas masih ada kerjaan? Kalau engga, kita pulang dulu, yuk.""Oke, sebentar. Mas bilang Rahma dulu, biar dia ga nyariin." Aku mengangguk. Mas Fatan sudah berlari ke arah toko mencari istrinya.Ting.[Nduk, kamu bisa pulang, Kan?]
[Silahkan, aku juga akan laporkan jika kamu terkain dengan kasus penculikan Ammar waktu itu.][Kamu tak punya bukti. Aku aja datang lagi, Dek. Aku berhak atas Ammar. Kita tak bisa berpisah begitu saja. Ingat anak-anak masih kecil-kecil.]Aku tertawa lebar. Miris sekali kelakuan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi mantanku itu.[Kamu kira aku bodoh? Aku mengantongi banyak bukti. Aku sudah berbaik hati membiarkan kamu bebas agar bisa merawat ibu kamu. Tapi, jika kau mengancamku. Aku pun tak segan segan membuatmu menangis darah.]Pesan itu terbaca tapi tak lagi dibalas Mas Arsen. Apa dia takut? Semoga saja. Sekiranya dia keras kepala, aku benaran akan bertindak tegas. Semua demi anakku. Cukup sudah penderitaan ini. Anak-anak harus bahagia meski tanpa seorang ayah.***Dua Minggu berlalu. Akta cerai sudah ditangan. Mas Arsen juga sudah menerima keputusan sidang. Meski aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Semoga saja ancamanku itu benar benar membuat dia takut."Om El ..." Teriaka
"Udah sampai dimana proses perceraian kamu, Ta?"Aku menoleh sekilas lalu kembali fokus dengan laptopku."Yaaah, dikacangin."Mas El tertawa lebar. Pasti Remon tak tahu jika aku sudah resmi menjadi mantan istri dari Mas Arsen."Lebih baik Mas Remon menanyakan, kapan pernikahan saya dengan Tari. Biar saya jawab.""Halah, Dokter Elzio mana berani sejauh itu.""Kamu nantangin saya?""Woiyaaa ... Dulu waktu Tari masih dengan Arsen, saya udah nungguin, kapan nih, Arsen melepaskan Tari. Setelah, semua didepan mata saya tak mau menyia-nyiakan dong."Aku mengangkat kepala."Udah, ghibah nya? Tolong, saya ada disini, ya ..."Mas El dan Remon justru tertawa lebar. Laki-laki memang kadang seabsurd itu.***Sudah sebulan sejak Ammar melihat Mas Arsen, kondisi sudah kondusif. Selama ini aku tak pernah meninggalkan rumah. Semua pekerjaan di handle oleh Mas Fatan. Pertemuan dengan beberapa penerbit juga produser terpaksa aku pending. Begitu juga dengan undangan makan dari Mas Elzio. Semua aku cancel
"Kamu ....?"Mami Karla menunjuk nunjukku dengan raut tak percaya. Tanganku terangkat begitu saja. Emosi menguasai diri. Ternyata, dia lah yang menerorku, melontarkan kata kata yang selalu merendahkan."Anda tidak punya hak untuk menghina saya. Jika anda tidak mau anak anda menikah dengan saya, tunjukkan power anda sebagai seorang ibu yang berkuasa atas anaknya. Jangan seperti anak kecil, main teror dan pakai drama murahan!"Mata mami Karla melotot lotot menahan amarah. Aku membalas tatapan itu, kemudian berlalu meninggalkan tempat yang sedari awal sudah memberikan kesan tak mengenakkan.Abrar mulai risih dalam gendongan. Aku segera memasukkan ke mobil dan menaruhnya di baby car seat. Dengan cepat aku pun pergi, melajukan mobil tanpa menengok lagi. Sudahlah, aku tak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah itu. Dan tak akan tergoda bujuk rayu, iming iming pernikahan yang indah. Tak akan. Harapan itu tak akan tercipta selama orang tua dari salah satu pihak memiliki ego yang tinggi.
"Terimakasih, Pak Nadhif. Kalau tidak ada bapak, saya tak tahu apa yang akan dia lakukan pada saya.""Bunda ..."Alir berlari dari dalam sambil menangis. "Tak apa Sayang."Aku mengusap kepala Alif yang masih terisak dalam pelukan"Tadi, Alif menelpon saya, Bu. Jadi, saya buru buru kesini.""Oh, jadi Alif juga menolong bunda?" Aku meraup wajah Alif yang masih basah karena air mata. Anak sulungku itu menganggukkan kepala."Makasih, Sayang." Berkali kali aku mencium pipi Alif. Bukannya risih, Alif malah makin mengencangkan tangis."Bunda, kalau bunda mau menikah lagi. Alif setuju, Bunda. Jangan sampai bunda disakiti papa lagi."Aku meringis. Pak Nadhif hanya tersenyum lalu menunduk.Tak lama Ibu dan Bik Inah pulang dari pasar. Pantas saja, saat Mas Arsen menyerangku, tak ada yang keluar membantu. Dan sepertinya laki-laki itu memata-matai rumahku. Sehingga tau aku hanya sama anak-anak saja dirumah. Sungguh nekat. Padahal, ada Pak Rudi di depan.***Setelah kejadian itu, aku makin khawati
"Berantem lagi, Nduk?"Ibu yang sedang duduk di sofa menatapku yang datang dengan wajah kusut. Ibu memang tidak ikut jalan jalan. Entah kenapa. Aku menjatuhkan bobot tubuh disamping Ibu."Semakin Tari rajin istikharah, semakin sering perdebatan terjadi diantara kami.""Tidak apa, jangan berhenti. Bukan sholatnya yang membuat hubungan kalian terlihat berantakan. Tapi, memang cara Allah menunjukkan langkah mana yang akan ditempuh."Ibu meraih tanganku. "Nduk, tadi Ayahnya Wildan kesini. Dia nitip salam. Sekaligus minta maaf karena sudah ngerepotin kamu.""Duh? Iya kah Bu? Tari benar-benar tak enak, Wildan tadi tak diajak gara gara Mas Elzio ga berkenan.""Udah gapapa. Elzio mungkin ingin lebih dekat dengan kamu dan anak-anak."***"Saya mau ketemu anak anak saya! Saya papanya!"Suara ribut-ribut dari luar membuatku bergegas keluar. "Maaf, Bu. Orangnya ini ngotot minta masuk ke dalam." Pak Rudi terlihat kewalahan memegang mas Arsen yang berontak dan berteriak-teriak seperti orang ga w
Mas Fatan ternyata juga memperhatikan tiga anak yang sedang berlarian di putihnya pantai sore ini. "Iya, Mas. Aku juga tiba-tiba sayang sama Wildan. Walau penasaran kemana ibunya. Tapi, itu tak penting kan?"Mas Fatan tertawa lebar."Kamu takut bapaknya duda, ya?"Aku menepuk lengan Mas Fatan kencang."Terus? Maksudnya?" Dia malah makin terkekeh."Tari, makan dulu, yuk. Ajak anak-anak." Mbak Rahma yang sedari tadi menyiapkan makanan bersama ibu menghampiri."Hayuk, kita makan dulu."Anak-anak berlarian begitu girang. Aku memvideokan lalu mengirimkan pada Pak Nadhif sebagai bukti bahwa anaknya bahagia jalan sama kami.[Terimakasih, Bu Tari. Sudah lama Wildan tak tertawa selepas itu.][Sama-sama, Pak.]Tak terasa malam mulai naik. Sekitar jam sebelas malam kami baru sampai dirumah."Bunda, Wildan nginap di rumah kita aja, Ya."Aku menoleh ke arah Wildan yang terlihat menunduk dalam."Bunda minta ijin ke ayahnya dulu, ya.""Horeee ... Wil, kita main lagi, yuk." Mereka serentak berteriak
"Mami?" Mas El menatap ibunya dengan tatapan tak percaya."Kenapa? Hayuk, ajak calon istri kamu makan. Mami tadi masak ikan pindang kesukaan kamu. Biar calon istri kamu tahu gimana rasanya. Nanti tinggal mami kasih resep supaya bisa masak sendiri."Mata Mas El berbinar, nyaris berkaca-kaca. Sementara aku serasa melayang. Badan tak ada tenaga. Kenapa jadi begini? Sama sekali tak sesuai dengan ekspektasiku. Padahal, aku berharap cuma lima menit disini lalu pulang."Ayo, Ri. Kita makan." Suara Mas El bergetar. Pasti dia terharu. Beda denganku yang syok parah. "Maaf sebelumnya, Tante.""Lho, kok Tante. Panggil mami dong. Sebentar lagi kan kamu akan menjadi anak mami." Aku meringis. Apa iya kejadiannya akan seperti itu."Eh iya, Mami." Aku gugup. "Apa, Sayang? Kamu mau nanya apa, Cantik?"Mas El menatapku dengan senyuman yang tak pernah pupus dari bibirnya. Aku tertunduk. "Hmm ... Mi, maaf kalau Mami tak berkenan dengan pertanyaan Tari nanti. Hmm ... Bukankah Mami sudah punya calon unt
"Alif, mau jalan jalan?" Alif yang termenung hanya diam saja mendengar tawaran Mas El. Seminggu ini aku meminta ijin pada pihak sekolah agar mengijinkan Alif untuk belajar di rumah saja."Ammar mau, Pa.." teriak Ammar lalu berlari ke arah Mas Elzio. Duh, kenapa Ammar bisa memanggil 'papa' gitu sih. Seharusnya anak-anak tak usah dekat dengan Mas El setelah ini. Apalagi sampai memanggilnya papa."Mas, mulai sekarang ga usah repot-repot untuk datang kesini."Wajah Mas El langsung berubah."Kenapa? Aku datang untuk Alif." "Ada baiknya kita tak lagi berhubungan, Mas. Aku tak ingin ada masalah lagi.""Masalah apa? Kamu tiba-tiba menjauh seperti ini? Salahku apa, Ri?" Matanya menatapku lekat. "Kamu baca ini, Mas." Aku menyodorkan ponselku padanya. Mas El membaca semua pesan yang dikirim orang tak dikenal itu dengan wajah serius. "Siapa yang berani mengancammu seperti ini, Ri?"Aku mengangkat bahu. Mana kutahu. Yang jelas orang itu ada sangkut pautnya dengan dokter muda itu, bukan?"Ri,
Aku memijit kepala yang terasa berdenyut."Maafkan Alif ya, Sayang." Aku mengusap wajah Wildan lembut. Dia menatapku lalu tersenyum."Gapapa, Tante. Aku juga salah sudah membalas Alif.""Tak apa, Bu Tari. Saya mohon maaf anak saya juga telah melukai anak Ibu." Aku tersenyum tipis. Tak menyangka Alif yang terlihat baik baik saja ternyata menyimpan duka atas perpisahanku dengan Mas Arsen."Saya akan mengganti biaya pengobatan Wildan, Pak. Boleh minta nomor rekeningnya.""Oh, ga usah, Bu. Wildan ga kenapa-kenapa, kok. Cuma lebam sedikit saja. Nanti biar saya kompres dengan air es."Aku memanggil Bik Inah. Minta tolong merawat luka di wajah Wildan. Meski sedikit memaksa, karena ayahnya, Mas Nadhif tadinya tak mau merepotkan dan hendak segera pulang. Tapi, tetap sebagai rasa tanggung jawabku pada anaknya aku memohon untuk tinggal sebentar.Setelah selesai, laki-laki itu pamit. Sungguh aku tak enak hati dibuatnya. Wajah Wildan lebam lebih parah dibanding Alif."Nduk, tolong hati hati bicar
Nasi udah menjadi bubur. Lelaki itu sama saja dengan Ayah. Pasti tak mau mendengar keluh kesah istri, hingga kabur tanpa jejak."Abrar kurang sehat. Kamu lihat sana gih. Biar Ibu sama Bik Inah yang masak. Kamu juga pasti mau menulis kan?""Heh, iya Bu. Tari pamit ke atas, ya. Ibu beneran gapapa tari tinggal?"Ibu malah terkekeh."Halah, biasanya tiap hari juga ditinggal sama kamu." Aku pun terkekeh. Memanglah sebagai seorang penulis yang punya dunianya sendiri aku lebih sering berduaan dengan komputer dan ponsel. Mau gimana lagi, dapat uangnya dari sana.***"Tak habis pikir Mas sama ibunya Elzio itu. Apa dia tidak tahu siapa kamu, Dek?" Mas Fatan yang baru datang menggerutu dengan wajah kesal. Tangan terulur memberikan kunci mobilku. "Gapapa, Mas. Aku ga butuh nama besar kok. Jadi, ga peduli orang mau kenal atau tidak. Yang penting aku bisa membesarkan anak-anak tanpa bantuan laki-laki yang selalu melihatku salah.""Iya, sih. Setidaknya kasih kesempatan untuk kamu menjelaskan siapa
"Lho? Kenapa naik ojek, Nduk? Mobil kamu mana?" Ibu membuka pintu dengan wajah terheran-heran."Ketinggalan di toko, Bu?" Aku menyimpan tas di atas meja lalu menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Merebahkan badan hingga punggung bersandar dengan nyamannya. Aku bahkan tadi tak kepikiran untuk kembali ke toko mengambil mobil. Saking dongkolnya hati ini."Ada apa, Nduk? Cerita ke Ibu."Ibu yang sudah duduk disampingku menatap cemas. Apa tampangku begitu kusut? Ah, perasaan aku biasa saja. Meski agak sakit hati."Ga ada apa-apa, Bu." "Jangan bohong, Tari. Ibu tahu karakter kamu. Gimana makan siangnya dengan keluarga Elzio? Lancar? Kenapa bukan dia yang mengantarkan kamu pulang?" Sederet pertanyaan yang harus aku jawab membuat aku kembali menegakkan badan.Kuhirup udara dengan rakus agar apa yang aku ceritakan bisa melegakan perasaan."Mas El, sudah dijodohkan, Bu. Seorang dokter juga. Undangan dari maminya sepertinya untuk mengenalkan perempuan itu pada Tari.""Ha? Kenapa bisa begitu? Bukanny