Semua Bab Dilamar Bos Muda Usai Dikhianati Suami : Bab 11 - Bab 20

69 Bab

11. Juragan Sidik

Juragan Sidik adalah pemilik kebun tempat Ibu bekerja tadi. Ada apa dia datang ke sini? Bergegas aku menemuinya di ruang tamu. "Selamat sore, Juragan. Maaf sebelumnya, ada perlu apa Juragan berkenan datang ke rumah kami?" "Langsung saja Ros, saya datang ke sini pertama ingin menyampaikan rasa belasungkawa saya. Kedua saya mau memberikan upah untuk almarhumah yang selama satu bulan ini tidak dia ambil." Juragan Sidik menyerahkan amplop kepadaku dan dengan tangan bergetar aku menerimanya. "Dia bilang uang ini sebagai tabungan untuk biaya ujian Delia." Juragan Sidik menatapku lekat. "Terima kasih Juragan, selama almarhumah Ibu ada, Juragan yang memberi pekerjaan kepada beliau hingga bisa membiayai sekolah Delia." "Ada satu hal lagi yang perlu saya sampaikan, Ros. Sebenarnya saya tidak enak tapi harus bagaimana lagi." Ucapan Juragan Sidik barusan membuat aku menautkan kedua alisku. "Ada apa Juragan?" "Setelah kepergian Bapakmu beberapa tahun yang lalu, Ibumu pernah beberapa kali m
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-04
Baca selengkapnya

12. Sandiwara

Ponsel Mas Haikal tidak bisa dihubungi, aku mencoba menghubungi Arumi karena aku yakin mereka sedang bersama. Tapi nihil, Arumi pun sama tidak bisa dihubungi. Ada apa dengan mereka berdua? Dari kemarin selalu kompak, WA on bareng, off pun bareng. Sekarang ponsel tidak bisa dihubungi pun sama. Malam ini aku mencoba ingin beristirahat, melupakan sejenak semua masalah yang aku alami tadi siang. Delia sesekali masih meneteskan air mata, memang berat harus kehilangan orang yang sangat dicintai, apalagi secara tiba-tiba. Ditambah lagi lilitan hutang yang mau tidak mau harus dipikirkan solusinya. Ibu tidak pernah mengeluh apapun tentang penyakitnya, tentang perasaannya. Aku mengira selama ini dia baik-baik saja. Dulu kalau Mas Haikal akan memulai usaha baru, Ibu selalu memberikan modal, dia bilang itu uang tabungannya. "Pake saja dulu! Nanti kalau kalian sudah berhasil baru boleh dikembalikan." Itu yang selalu dia katakan. Tapi akhirnya, jangankan untuk mengembalikan uang Ibu, setiap
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-04
Baca selengkapnya

13. Teganya Mereka

"Tapi Mbak kelihatan pucat dan juga menangis. Jangan pingsan di sini Mbak, nanti saya kerepotan." "Maaf, saya baik-baik saja. Mungkin karena belum sarapan saja." "Wah, biasakan sarapan dong Mbak!" Aku mengangguk dan terdiam sesaat. Lalu mengusap pipi dan mencoba tersenyum. "Kira-kira kapan mereka kembali?" Aku berusaha untuk tenang. "Saya kurang tahu pastinya Mbak, tapi tadi saya sempat mendengar sekitar 3 atau 4 hari katanya mereka berada di Bali." "Bali?" " Iya. Mereka pergi ke Bali untuk berbulan madu. Sebelah tanganku berpegangan pada jeruji pagar menahan supaya tubuhku tidak ambruk lagi. Ini sudah keterlaluan. Mereka bersenang-senang di atas lukaku. "Kalau begitu saya permisi Pak." "Iya silahkan, Mbak. Jangan lupa sarapan dulu?" pesan Pak Satpam sambil tersenyum. Aku hanya membalas dengan senyuman tipis lalu berjalan meninggalkan rumah Arumi dengan masih menggendong Alfan. Bocah ini perlahan membuka mata karena mungkin tidak nyaman dalam gendonganku. Tubuhnya yang sed
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-04
Baca selengkapnya

14. Duh, Alfan

"Adek mau es krim atau coklat? Nanti biar Om belikan." Tak kusangka lelaki itu menyusul langkahku dan bertanya kepada Alfan yang sudah tenang dalam gendonganku. "Coklat sama es krim," jawab Alfan antusias. Duh Alfan! Aku memejamkan mata sejenak mendengar jawaban Alfan. Anak kecil sepolos Alfan memang akan tergiur kalau ditawari makanan, apalagi Alfan jarang sekali aku ajak jajan. "Tidak usah merepotkan, terima kasih. Alfan, nanti kita beli di sana ya." Setelah menolak untuk yang kesekian kalinya aku mengajak Alfan segera pergi dari sini. "Aku mau dibeliin Om itu. Kalau sama Ibu nanti belinya satu, Alfan mau yang banyak." Ya ampun, dasar bocah. Dia menggeleng dan meronta minta turun dari gendongan. "Sakit!" Pekik Alfan ketika kakinya menyentuh trotoar. "Kenapa Nak?"tanyaku panik, begitupun lelaki berkemeja biru muda di depanku. Alfan menunjuk ke bawah, spontan aku mengikuti arah telunjuknya. Ada luka lecet di lututnya dan sedikit berdarah, rupanya barusan terkena ujung
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-05
Baca selengkapnya

15. Tak Sekuat Itu

*** "Tumben Alfan jajan banyak banget? Atau Mas Haikal sedang kesambet ya beliin jajanan banyak begitu," seru Delia ketika melihat kami datang menenteng makanan pemberian Mas Dika. "Bukan dari Mas Haikal," jawabku malas. "Terus?" "Aku dikasih Om Dika," seru Alfan girang. "Om Dika? Siapa?" Delia menatapku dan Alfan bergantian. Lalu aku ceritakan perihal pertemuanku dengan Mas Dika di trotoar tadi. "Terus Mas Haikal? Kakak bertemu dia kan?" tanya Delia lagi antusias. Aku menggeleng lemah. Dan menceritakan semua yang kudengar dari satpam rumah Arumi. "Tidak bisa dibiarkan Kak. Mereka harus diberi pelajaran." "Tenang, Del. Jangan terburu nafsu." "Gimana mau tenang Kak? Mas Haikal sudah berkhianat. Mbak Arumi juga diam-diam pagar makan tanaman. Nggak bisa dibiarkan lah. Kakak jangan kelewat sabar, nanti mereka makin semena-mena!" Nafas Delia terdengar tak beraturan. Aku juga kecewa, marah, dan ada rasa ingin membalas mereka. Tapi aku pikir lagi dendam itu tidak akan menyelesai
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-05
Baca selengkapnya

16. Ditolak

Aku sering mengecek ponsel Mas Haikal apakah sudah aktif atau belum. Bukan karena rindu atau pun cemburu, meski tidak dipungkiri rasa itu masih ada. Tapi sekarang aku lebih memikirkan pada nasib rumah kami kedepannya. Kalau utang itu tidak segera dilunasi maka tanah ini akan berpindah tangan kepada Juragan Sidik. Lalu kami akan tinggal dimana? "Mas Haikal sudah bisa dihubungi Kak?" tanya Delia pagi ini sebelum berangkat ke sekolah. Tiga hari setelah kepergian Ibu, yang berarti tiga hari pula mereka berada di Bali. "Masih belum aktif." "Terus bagaimana nasib rumah ini Kak? Lagipula aku tidak yakin Mas Haikal bisa membantu, lebih baik Kakak mencari pinjaman atau bantuan kepada orang lain," saran Delia lagi. "Siapa Del? Keluarga kita itu sama saja dengan kita. Siapa yang akan memberikan pinjaman sebesar itu? Kalaupun ada, bagaimana kita harus mengembalikannya?" Aku membuang nafas kasar, meski tidak yakin Mas Haikal akan bisa memberikan solusi tapi setidaknya kami bisa saling
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-06
Baca selengkapnya

17. Pilihan yang Sulit

"Ini ada sedikit uang untuk ongkos." Paman menyelipkan lembaran merah ke dalam genggamanku. Matanya sesekali melirik ke arah rumah, sepertinya aksinya ini tidak diketahui oleh Bibi. Aku tahu Bibi sangat dominan dalam kehidupan rumah tangga mereka. "Terima kasih, paman." "Sudahlah, hati-hati!" Aku mengangguk lalu melangkah lagi dan Paman pun bergegas kembali ke dalam rumah. Lalu aku harus kemana lagi? Paman adalah satu-satunya kerabat yang bisa aku harapkan, lainnya sama saja sepertiku. "Bu, aku haus .... " Alfan menarik-narik tanganku. "Alfan mau minum apa?" "Es krim." "Es krim itu bukan minuman, Fan. Jadi tidak bakalan menghilangkan haus. Teh dingin saja ya!" "Es krim." "Katanya mau minum." "Om Dika rumahnya dimana ya, Bu?" tanya Alfan spontan. Sejenak aku menautkan alis. "Kok Om Dika?" "Aku mau minta dibeliin es krim lagi sama Om Dika, kalau Ibu nggak mau beliin." Aku menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. "Sayang, tidak boleh begitu ya! Tidak ba
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-06
Baca selengkapnya

18. Hati Nurani

"Kamu jangan ngaco, Rumi! Mas Haikal itu suamiku dan ayahnya Alfan. Kamu jangan seenaknya berkata seperti itu!" ucapku geram. "Itu sih, terserah kamu Ros. Aku tidak akan merasa rugi sedikitpun. Sekarang tinggal kamu pikirkan saja. Kamu melepaskan Mas Haikal dan rumah itu akan kamu miliki selamanya. Atau membiarkan rumah itu jatuh ke tangan Juragan Sidik tapi Mas Haikal akan tetap bersamaku. Apapun pilihanmu Mas Haikal akan tetap bersamaku. Tapi jika kamu melepaskannya setidaknya kamu akan tetap punya tempat tinggal," ucapnya santai. "Kamu jangan memanfaatkan kelemahanku untuk kepentingan pribadimu! Aku memang miskin tapi tidak akan pernah mempertaruhkan pernikahanku demi rupiah." "Jadi kamu memilih kehilangan rumah?" "Aku lebih baik kehilangan harta benda daripada harus menjual pernikahanku." "Tapi ingat, Mas Haikal akan tetap bersamaku karena dia sudah tidak tahan hidup kekurangan bersamamu. Jangan pernah menyesal kamu, Ros!" "Kalaupun aku harus kehilangan Mas Haikal, ak
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-07
Baca selengkapnya

19. Siapa Lebih Jahat

[Serly, dia sedang pulang kampung.] Serly adalah teman kami yang pindah ke Jogja ikut dengan suaminya. Meski tak seroyal Arumi, Serly termasuk teman yang berkantong tebal. Tak heran kalau berbalas pesan di grup Serly dan Arumi terkesan saling pamer kekayaan masing-masing. Sebuah panggilan video masuk dari nomor Serly, bagaimana ini? Kalau aku terima tentu akan ketahuan kalau aku sedang di dekat lokasi mereka. Kalau tidak maka aku takut dikatakan sombong. Akhirnya aku menggeser layar ponsel yang berwarna hijau. "Hai, Ros!" Serly melambaikan tangannya yang kemudian aku balas dengan gerakan yang sama. "Loh, kamu dimana?" "Aku ... di .... " "Ros, kamu di terminal angkutan kota ya, sini lah. Udah deket, masa tega sih nggak bertemu kita." Tiba-tiba Ranti muncul di samping Serly. "Iya, tapi ... aku .... " "Tidak ada tapi-tapian, kamu jangan kemana-mana! Aku jemput ke sana," seru Ranti, kemudian dia menghilang dari layar ponsel sepertinya memang benar akan menjemput ke sini. "Oke, k
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-07
Baca selengkapnya

20. Lunas

Sepertinya Arumi mengadu perihal poto-potoku ketika di cafe tadi. Atau mungkin saja Mas Haikal membuka ponsel Arumi dan membaca pesan di grup. Aku tahu Mas Haikal sangat rajin mengecek ponselku dulu sementara ponsel dia sendiri menggunakan kata sandi. Serly memang mengunggah poto-poto itu beberapa menit yang lalu. Mungkin Mas Haikal baru saja mengetahuinya. Terserah, Mas Haikal mau marah atau apapun. Dalam hal ini memang aku yang salah, tapi Mas Haikal tidak bisa memarahiku seperti itu. Besok adalah batas waktu yang diberikan Juragan Sidik agar aku bisa melunasi utang Ibu. Aku sudah pasrah jika aku harus kehilangan rumah dan tanah ini. Soal nanti aku akan tinggal dimana, nanti saja aku pikirkan lagi. Aku sudah terbiasa hidup sederhana bersama orang tuaku dulu. Setelah menikah dengan Mas Haikal pun tidak begitu jauh berbeda. Uang yang diberikan oleh Mas Haikal hanya cukup untuk makan, tidak lebih. *** Pagi-pagi sekali Juragan Sidik sudah datang. Sebagian barang-barangku suda
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-08
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status