Sorenya ketika Delia sudah ada di rumah, aku menceritakan tentang rumah ini kepadanya. "Sudah seharusnya memang Mas Haikal melakukan ini, kak." "Itu uang Arumi, bukan Mas Haikal." "Sama saja, bukankah mereka suami istri? Bagus malahan, berarti kak Arumi peduli sama kita." "Barusan kakak bicara dengannya, kalau kita tinggal di sini berarti kita menumpang pada Arumi. Kakak tidak mau berhutang pada dia. Makanya kita harus pergi dari sini." "Aku tidak mau." Aku membuang nafas kasar, Delia memang sangat keras kepala. "Baiklah, kamu boleh tinggal di sini tapi kakak akan pergi sampai kakak punya uang untuk mengganti uang itu pada Arumi." "Kakak mau kemana? Mau dapat uang dari mana?" "Kerja." "Terus Alfan?" "Nanti kakak pikirkan." Segera aku menghubungi Wika, untuk bertanya barangkali dia tahu ada kontrakan di sekitar rumahnya. "Kamu yakin, Ros?" "Iya. Aku yakin, mulai saat ini aku akan kerja dan tidak bergantung lagi pada siapapun. Aku harus mengembalikan uang Arumi." "Arumi
"Ros ... buka dulu pintunya! Mas belum selesai berbicara." Terdengar suaranya dari balik pintu. Aku pura-pura tak mendengar saja lalu berdiri dan hendak berjalan ke kamar. "Mas tidak akan berhenti berteriak, Ros. Biarlah semua tetangga tahu." Aku menghentikan langkah. Apa jadinya jika Mas Haikal terus menerus berkata di depan pintu dan menggedor-gedor pintu seperti itu. Kedatangan Juragan Sidik dan kabar utang itu pun sudah mampu membuat kasak-kusuk diantara para tetanggaku yang sangat perhatian. Bagaimana kalau kabar pernikahan Mas Haikal dengan Arumi juga diketahui oleh mereka. Akan semakin panas telingaku. Aku berbalik dan kembali membuka pintu. Begitu pintu terbuka Mas Haikal langsung menerobos masuk dan segera menutup kembali pintu. Kemudian tanpa jeda dia memelukku erat, mengecup pucuk kepalaku berkali-kali. "Mas, minta maaf, Sayang, ini semua demi kebaikan kita." Tangisku semakin menjadi di dadanya, perlahan aku meronta dan memukul pelan dadanya. Cintaku pada Mas Haikal
Kami tersenyum bersamaan. Di depan Alfan aku ingin terlihat baik-baik saja. Alfan tidak boleh tahu jika orang tuanya sedang berselisih. Mas Haikal memanfaatkan situasi ini, di depan Alfan dia terus menerus bersikap manis kepadaku. Dia tahu kalau aku cukup menjaga sikap di depan buah hati kami. Jujur saja perlakuan manis Mas Haikal ini yang kadang membuatku sangat rindu. Selama aku berada di dekatnya, aku selalu merasa menjadi istri yang sangat dicintai. Mas Haikal selalu bisa mengerti apa yang aku inginkan, sayangnya sikapnya itu bukan pada aku saja sebagai istrinya, tapi juga kepada wanita-wanita haus kasih sayang di luar sana. Kalau sudah mengingat itu, aku mengutuk diriku sendiri yang begitu mudah terbuai sikap manisnya. Lalu dengan mudah pula membiarkan hatiku terluka lagi. Terus saja seperti itu, berulang kali hingga kini aku merasa lelah. Sudah saatnya aku memikirkan perasaanku. Cinta saja tidak cukup untuk membuat bahagia, apalagi harta. Bisa saja aku membuat kesepakat
Akhirnya aku bisa membujuk Delia untuk ikut pindah denganku. Dengan menyewa sebuah mobil bak yang biasa mengangkut sayuran ke pasar, aku membawa barang-barangku ke kontrakan di belakang pasar kota. Hanya pakaian dan beberapa barang lainnya juga yang benar-benar kami perlukan. Meski tempatnya sempit tapi cukup untuk kami bertiga. Berada di gang yang tidak terlalu lebar hanya bisa untuk melintas sepeda motor saja. Dari sini juga lebih dekat dengan sekolah Delia. Hanya berjarak kurang dari satu km, jadi bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Selesai membersihkan ruangan, dilanjutkan dengan menata barang-barang. Hanya muat satu kasur saja, itu artinya kami bertiga harus berbagi tempat tidur. "Bismillah ya Dek, mulai hari ini kita harus bisa bertahan hidup." "Kalau saja kakak mau menerima tawaran kak Arumi ... " "Tidak semua orang bisa merendahkan dirinya demi rupiah. Hidup memang tidak lepas dari materi dan ada banyak cara untuk mendapatkannya." "Coba dulu kakak nikahny
"Saya memang sedang kekurangan karyawan, tapi kalau sambil bawa anak begitu bagaimana kamu bisa bekerja? Bisa rugi saya nanti," kata pemilik toko lainnya. "Lebih baik kamu kawin lagi, dari pada susah cari kerja sambil momong anak seperti itu. Jadi istri kedua atau pun istri simpanan juga tidak apa-apa yang penting ada yang menafkahi. Hidup di jaman sekarang jangan dibikin ribet." Aku membuang nafas perlahan mendengar ucapan pemilik toko pakaian tadi. Bagi sebagian orang memang hidup di jaman ini serba mudah, tepatnya dibikin mudah. Dengan sedikit mengabaikan norma-norma kemanusiaan apapun bisa dicapai. Tapi aku tidak bisa, Ibu mendidikku untuk selalu menggunakan akal sehat. Jangan tergiur dengan segala kemudahan tapi mengabaikan harga diri. Matahari semakin tinggi, aku melirik Alfan yang berjalan di sampingku. Maafkan Ibu, Nak, sekecil ini harus ikut merasakan kerasnya hidup. "Kita istirahat dulu di sini ya." "Aku haus, Bu." "Sebentar ya, Ibu beli minuman dulu." Aku bangk
Warung Bu Anis buka hingga malam hari, tapi aku meminta supaya kerja sampai sore saja. Meski melalui perdebatan, akhirnya dia menyetujui, dia bilang karena malam hari ada suaminya yang bisa membantu. Dengan menenteng kantung plastik berisi nasi dan lauk aku berjalan pulang. Alfan yang berada di punggungku sepertinya ikut kelelahan. "Gimana Kak? Sebenarnya kakak kerja apa?" tanya Delia begitu aku sampai di kontrakan. Tadi siang ketika Delia mengirim pesan dan bertanya mengenai pekerjaanku. Aku bilang bahwa aku sudah mendapat pekerjaan dan nanti akan aku ceritakan ketika sudah sampai di kontrakan. "Kakak kerja di warung nasi yang ada di komplek pasar." Aku menatap Delia, ingin tau reaksinya mendengar jawabanku. "Alhamdulillah, mudah-mudahan ada rezeki, ya, kak." Gadis itu pun tersenyum, matanya berbinar tanda ia senang. "Aamiin. Kakak besok berangkat pagi-pagi. Kamu bisa, 'kan, mengurus Alfan sebelum berangkat ke sekolah?" "Bisa kak. Tapi, kalau aku sekolah, Alfan bagaimana?" Ia
Besoknya sebelum subuh aku sudah bangun seperti biasa. Selepas solat dan menyiapkan sarapan untuk Delia dan Alfan aku segera pergi ke warung Bu Anis. Alfan biar Delia saja yang mengurus, dia sudah pandai memandikan dan menyuapi Alfan, jadi aku tidak khawatir. Beruntung jarak warung Bu Anis tidak terlalu jauh hanya 10 menit saja dengan berjalan kaki. Begitu sampai aku sudah ditunggu pekerjaan. Mengiris sayuran untuk bakwan, juga bahan untuk membuat sayur lainnya. Lepas itu aku menggoreng aneka gorengan dari adonan yang barusan Bu Anis buat. Dia sendiri mulai memasak sayur dan lauk. Sesekali aku sambil membuatkan kopi untuk pelanggan. Di pagi hari memang yang datang kebanyakan para tukang ojek dan kuli pasar yang nongkrong untuk menikmati kopi dan gorengan. Meski ada beberapa juga Ibu-ibu yang membeli lauk dan sayur untuk dibawa pulang. "Bu Anis ternyata punya yang bening, nih, makin semangat saja aku ngopi di sini," ucap seorang lelaki seumuran Mas Haikal yang sepertinya bukan d
Untuk beberapa saat aku hanya diam membiarkan ponselku bergetar. Entah sudah berapa banyak panggilan tidak terjawab dari Mas Haikal. Aku masih tidak ingin berbicara dengannya saat ini. Selama dua minggu aku pindah ke sini, Mas Haikal baru menyadarinya sekarang. Itu artinya dia baru pulang ke rumah. Selama ini pula dia tidak menghubungiku untuk menanyakan kabar kami. Dia begitu fokus dengan Arumi sehingga lupa para Alfan. Keterlaluan. "Angkat saja Kak! Berisik!" Delia yang sedang melipat baju menoleh ke arahku sambil menghentikan aktivitasnya sebentar. Iya juga, Mas Haikal tidak akan berhenti menghubungiku sebelum aku terima. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menggeser tombol hijau dilayar ponselku. "Assalamualaikum Mas ... ma .... " "Rosa! Kamu dimana?" Suara Mas Haikal terdengar lantang di ujung telepon, bahkan dia tidak menjawab salamku. "Kamu tidak perlu tahu Mas, toh selama dua minggu ini Mas fokus dengan Arumi. Kamu lupa pada aku dan Alfan." "Aku kerja Ros, ing
Dengan Mas Dika sendiri, komunikasiku dengannya timbul tenggelam. Kartu nama yang pernah dia berikan dulu ternyata tidak aku temukan, entah terselip di mana. Akhirnya karena aku tak juga ada menghubungi, Mas Dika yang duluan mengirim pesan. Katanya dia mendapatkan nomorku dari Sandra Butik. Entah benar atau salah, aku tidak terlalu mengorek informasi. Mas Dika pernah beberapa kali berkunjung ke rumah sewaktu dia berada di kota ini. Karena setahuku dia punya usaha toko di luar kota. Para tetanggaku sudah tidak ada yang berkomentar miring lagi denganku, mungkin mereka bosan karena nyinyiran mereka tidak pernah aku ladeni. Atau mungkin mereka lebih bisa menghargai aku melihat usahaku yang mengalami kemajuan. Maklumlah, kadang status sosial bisa mempengaruhi bagaimana kita diperlakukan oleh lingkungan sekitar. Itu masih berlaku di mana-mana. Aku yakin. Tak jarang mereka sering menyanjungnya karena ada maunya. Hanya teman-temanku yang tulus membantuku dulu ketika aku terpuruk dan be
Yang namanya kesukaan, mau dicegah seketat apapun akan tetap saja suka. Begitu juga kebiasaan, mau kebiasaan baik maupun buruk, akan terus diulang dan terjadi lagi. Seperti halnya Mas Haikal, sudah menjadi kebiasaannya juga kesukaannya bermain dari satu hati ke hati yang lain. Meskipun Arumi memberi segala yang dia inginkan, tetap saja tidak bisa membuat Mas Haikal menetap. Aku bisa berpikiran seperti itu karena Arumi terus saja menerorku dengan pesan yang semua isinya menuduhku main belakang dengan Mas Haikal dan menguras uangnya. Sepertinya Mas Haikal sekarang sering meminta sejumlah uang kepada Arumi dengan alasan untuk biaya Alfan. Makanya Arumi menuduhku seperti itu. Ditambah lagi sekarang usahaku mulai menemui titik terang. Selain untuk menabung, aku juga memperhatikan kebutuhan Alfan dan Delia. Memberikan makanan dan pakaian yang layak. Aku ingin menunjukkan pada Mas Haikal, bahwa tanpa dia aku bisa hidup lebih baik. Mungkin ini yang menimbulkan kecurigaan pada Arumi.
Alfan nampak senang bisa makan lagi di sini. Beberapa kali aku pernah mengajaknya ke sini. Sejak punya penghasilan dari butik, sesekali aku mengajak Alfan dan Delia makan di tempat seperti ini. "Jadi, maksudnya kamu kerja apa?" Mas Dika mengulang lagi pertanyaannya. "Aku menjahit untuk Sandra Butik, lumayan lah buat mengganjal perut," jawabku seraya tersenyum tipis. "Wah, benarkah?" tanya Mas Dika kaget. Aku mengangguk, lucu juga melihat ekspresi dia yang kaget seperti itu. "Aku sering ke Sandra butik. Tapi, kok, belum pernah bertemu, ya, sebelum ini? Tadi juga kalau Alfan tidak memanggilku, Aku nggak bakalan pada kalian." "Aku cuma sebentar di butik, paling kalau ngambil bahan dan nganterin yang sudah selesai." Obrolan kami mengalir, meski ini pertemuan yang kedua kalinya tapi entah kenapa kami seperti yang sudah kenal lama. Mas Dika orangnya enak diajak ngobrol. Alfan juga asik berbicara apa saja. "Aku permisi pulang dulu, Mas. Terima kasih sudah ditraktir." Aku mengambil
Hari ini Amanda memberikan kabar baik, aku diminta menemui pemilik butik tempat dia bekerja. Besoknya aku ke sana dan bertemu langsung dengan pemilik butik tersebut. "Apakah Mbak membawa contoh hasil jahitan Mbak?" tanya wanita yang diperkirakan umurnya tidak jauh berbeda dariku itu. "Oh ini, ada." Aku menyerahkan baju hasil jahitanku. Sebelumnya Amanda sudah memberitahu perihal ini, jadi aku sudah mempersiapkannya sebelum berangkat tadi. Untuk beberapa saat wanita yang kuketahui bernama Sandra itu menelisik hasil pekerjaanku. Di tempat dudukku, aku menunggu dengan gelisah sambil berdoa di dalam hati mudah-mudahan dia suka dengan hasil pekerjaanku. "Lumayan bagus dan rapi. Untuk mengerjakan satu baju ini berapa lama?" tanyanya setelah beralih menatapku. "Dua hari, tapi kalau tidak banyak gangguan sehari juga bisa selesai." "Gangguan?" Sandra mengerutkan keningnya. "Saya punya anak kecil, jadi kalau misalkan dia rewel, otomatis saya tidak bisa bekerja," "Oke, bagaimana kalau s
POV Haikal Hingga beberapa hari aku menunggu kabar Rosa pulang, tapi tidak ada. Apakah dia nekad tinggal di kontrakan tanpa uang? Masa bodoh, itu ganjaran buat orang yang keras kepala seperti Rosa. Kehidupan rumah tanggaku bersama Arumi sangat jauh berbeda ketika dengan Rosa. Arumi sangat dominan dan mengatur segala sesuatunya. Mungkin karena dia merasa punya uang jadi dia berkuasa atas apapun termasuk hidupku. Hidupku tak sebebas dulu. Rosa memang membosankan tapi setidaknya aku mencintainya dan bisa mengusir bosan dengan bermain hati di luaran. Tapi Arumi? Dia sama-sama membosankan dengan segala aturannya dan aku tidak berkutik sama sekali. Ponselku sering kali diperiksa dan dia hapus semua kontak yang dia tidak kenal termasuk para wanita yang kerap aku goda ketika aku iseng. Pergi ke mana pun hampir tak bisa leluasa, tapi bukan Haikal namanya kalau tidak punya seribu alasan. Dari grup alumni Arumi aku tahu kalau Rosa sekarang bekerja di rumah salah satu teman SMA-nya. Pantas
Pov Haikal Aku kira Rosa akan diam dan tidak berbuat apa-apa seperti yang sudah-sudah ketika aku menduakannya. Namun kali ini dia berontak, sial. Entah karena dia sudah terlalu sering menangis diam-diam, karena dia pikir aku tidak tahu. Atau karena kali ini aku bermain hati dengan Arumi, temannya sendiri. Tapi aku tidak boleh mundur, Arumi harus bisa aku kuasai. Tidak mengapa Rosa menggugat cerai aku, toh setelah aku rayu lagi dan aku serang dengan kata-kata manis pasti dia akan luluh lagi. Karena aku tahu kelemahan wanita itu tidak bisa menahan dari sanjungan dan kalimat yang menyentuh hatinya. Dan Rosa salah satunya. Selama ini Rosa sangat bergantung padaku, jadi mana bisa dia hidup sendiri tanpa aku. Apalagi sekarang dia sudah tidak punya rumah, sebentar lagi dia pasti akan mengemis kepadaku agar aku tak meninggalkannya. "Rosa pergi beberapa hari yang lalu, barang-barangnya diangkut menggunakan mobil bak. Katanya sih mau ngontrak, tapi entah dimana." Itu kata Ibu warung di seb
Menjelang Maghrib, Mas Haikal baru mengantarkan Alfan pulang. "Kamu tidak mengajakku mampir dulu, Ros?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa. "Tidak usah Mas, istrimu mungkin sudah menunggumu," jawabku ketus. Aku meraih tangan Alfan untuk menjauh dari ayahnya. "Kamu nggak kangen sama, Mas?" Tambahnya lagi dengan suara lembut. Astaga, aku tidak boleh terjebak lagi dalam suasana seperti ini. "Aku tidak akan merindukan suami orang." Aku bersiap untuk berbalik, tapi tertahan oleh suaranya. "Mas bisa jadi suamimu lagi kalau kamu mau, lagipula Mas tidak merasa sudah menceraikanmu. Dulu kamu kan yang ngotot minta cerai. Sekarang bagaimana hidup jadi janda itu, enak nggak?" "Itu bukan urusanmu, Mas!" "Enak ya, bisa pergi dengan lelaki mana saja, antar jemput pake mobil. Bisa bebas berteman dengan siapa pun. Jadi seperti itu bebas yang kamu inginkan?" Mas Haikal sepertinya tadi mengorek informasi dari Alfan tentang siapa saja yang pernah pergi bersama kami. "Jangan sok tahu dan sok ngatur
Mulai sekarang aku harus membiasakan tutup mata tutup telinga. Setatus janda memang rentan digosipkan. Mungkin karena ulah beberapa orang yang punya status sama denganku sebelumnya, mereka berperilaku tidak baik sehingga mencoreng citra seorang janda. Padahal tidak sedikit para janda yang berjuang untuk menghidupi diri dan buah hatinya dengan cara yang halal. Tak jarang juga mereka yang bisa menjaga diri dari pergaulan bebas, tapi tetap saja status janda di masyarakat umum sudah dipandang sebelah mata. Begitu lah yang kurasakan saat ini. Meski tak enak hati, yang penting aku tidak berbuat macam-macam dan tidak merugikan orang lain. Aku harus siap dengan konsekuensinya sebagai orang tua tunggal. Biarlah mereka para tetanggaku memandang sebelah mata, aku hanya perlu menjaga diri tanpa harus terpengaruh oleh omongan miring mereka. Aku terus membuat baju-baju muslimah kalau ada waktu senggang dan uang untuk membeli kain. Baju yang ukurannya pas ditubuhku kadang untuk Delia. Setelah se
"Aku antar, ya, kasihan anak kamu harus jalan kaki panas-panas begini." Suaranya terdengar semakin keras. Dia kira aku tidak menjawab karena aku tak mendengarnya. "Aku naik angkutan umum saja!" "Ini gratis, lho." "Nggak perduli!" Mobil bak tersebut berhenti, dan Andra turun lalu menghalangi jalanku. "Alfan mau nggak naik mobil Om Andra?" Setelah dia berjongkok lalu bertanya pada Alfan. Alfan menoleh ke arahku lalu mengangguk. "Ayok!" Tanpa permisi izin dulu padaku dia meraih tangan Alfan dan membawanya pergi. "Hey! Kamu bisa aku teriaki penculik lho," ucapku agak keras. "Baiklah, tetapi aku akan bilang kalau kamu telah menyiksa anak ini dengan membawanya berjalan di bawah sinar matahari." Dia berhenti sejenak lalu kembali melangkah. Menoleh ke arah Alfan sambil tersenyum. Kulihat Abang juga terlihat bahagia karena akan naik mobil. Aku menghela panjang, karena tidak mungkin lagi menolak melihat anakku begitu gembira. "Ayok, Bu!" Alfan memang sudah akrab dengan Andra, sewa