Warung Bu Anis buka hingga malam hari, tapi aku meminta supaya kerja sampai sore saja. Meski melalui perdebatan, akhirnya dia menyetujui, dia bilang karena malam hari ada suaminya yang bisa membantu. Dengan menenteng kantung plastik berisi nasi dan lauk aku berjalan pulang. Alfan yang berada di punggungku sepertinya ikut kelelahan. "Gimana Kak? Sebenarnya kakak kerja apa?" tanya Delia begitu aku sampai di kontrakan. Tadi siang ketika Delia mengirim pesan dan bertanya mengenai pekerjaanku. Aku bilang bahwa aku sudah mendapat pekerjaan dan nanti akan aku ceritakan ketika sudah sampai di kontrakan. "Kakak kerja di warung nasi yang ada di komplek pasar." Aku menatap Delia, ingin tau reaksinya mendengar jawabanku. "Alhamdulillah, mudah-mudahan ada rezeki, ya, kak." Gadis itu pun tersenyum, matanya berbinar tanda ia senang. "Aamiin. Kakak besok berangkat pagi-pagi. Kamu bisa, 'kan, mengurus Alfan sebelum berangkat ke sekolah?" "Bisa kak. Tapi, kalau aku sekolah, Alfan bagaimana?" Ia
Besoknya sebelum subuh aku sudah bangun seperti biasa. Selepas solat dan menyiapkan sarapan untuk Delia dan Alfan aku segera pergi ke warung Bu Anis. Alfan biar Delia saja yang mengurus, dia sudah pandai memandikan dan menyuapi Alfan, jadi aku tidak khawatir. Beruntung jarak warung Bu Anis tidak terlalu jauh hanya 10 menit saja dengan berjalan kaki. Begitu sampai aku sudah ditunggu pekerjaan. Mengiris sayuran untuk bakwan, juga bahan untuk membuat sayur lainnya. Lepas itu aku menggoreng aneka gorengan dari adonan yang barusan Bu Anis buat. Dia sendiri mulai memasak sayur dan lauk. Sesekali aku sambil membuatkan kopi untuk pelanggan. Di pagi hari memang yang datang kebanyakan para tukang ojek dan kuli pasar yang nongkrong untuk menikmati kopi dan gorengan. Meski ada beberapa juga Ibu-ibu yang membeli lauk dan sayur untuk dibawa pulang. "Bu Anis ternyata punya yang bening, nih, makin semangat saja aku ngopi di sini," ucap seorang lelaki seumuran Mas Haikal yang sepertinya bukan d
Untuk beberapa saat aku hanya diam membiarkan ponselku bergetar. Entah sudah berapa banyak panggilan tidak terjawab dari Mas Haikal. Aku masih tidak ingin berbicara dengannya saat ini. Selama dua minggu aku pindah ke sini, Mas Haikal baru menyadarinya sekarang. Itu artinya dia baru pulang ke rumah. Selama ini pula dia tidak menghubungiku untuk menanyakan kabar kami. Dia begitu fokus dengan Arumi sehingga lupa para Alfan. Keterlaluan. "Angkat saja Kak! Berisik!" Delia yang sedang melipat baju menoleh ke arahku sambil menghentikan aktivitasnya sebentar. Iya juga, Mas Haikal tidak akan berhenti menghubungiku sebelum aku terima. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menggeser tombol hijau dilayar ponselku. "Assalamualaikum Mas ... ma .... " "Rosa! Kamu dimana?" Suara Mas Haikal terdengar lantang di ujung telepon, bahkan dia tidak menjawab salamku. "Kamu tidak perlu tahu Mas, toh selama dua minggu ini Mas fokus dengan Arumi. Kamu lupa pada aku dan Alfan." "Aku kerja Ros, ing
"Maaf Mas, saya ada kerjaan di belakang. Maaf banget," tolakku halus. "Jam segini kan lagi jam santai. Nggak banyak yang beli," ujar lelaki yang kini mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Iya sih Mas, tapi saya masih ada kerjaan. Maaf ya, permisi." Aku berbalik dan berjalan ke belakang. Risih kalau harus berlama-lama ngobrol dengan pelanggan. "Kayaknya kita seumuran, lain kali panggil Andra saja nggak usah pake embel-embel 'Mas'," tambahnya lagi. Aku hanya berhenti sejenak tanpa ada niat menjawab. Di belakan, aku hanya diam melihat Alfan yang tengah asik bermain tanah bersama anaknya Mbak Indah. Sebenarnya memang sedang tidak ada kerjaan, Bu Anis juga sedang beristirahat di dekat kompor dengan beralaskan kardus, dia nampak terlelap. Ada pekerjaan hanya alasanku saja supaya Andra tidak memaksaku menemaninya. Aku takut terjadi fitnah jika harus ngobrol dengan lelaki asing meski dia pelanggan di warung ini. "Mbak, jadi berapa?" Itu suara Andra. Cepat sekali dia menghabiskan ko
Sudah dua malam Alfan terbaring dengan jarum infus di tangannya. Syukurlah, panasnya sudah mulai turun. Kemarin ketika panas badannya tinggi dia terus meracau memanggil Ayahnya. Aku menghubungi Mas Haikal tapi tidak satu kali pun diangkat. [Mas, Alfan sakit panas. Sekarang dia dirawat di Puskesmas kota. Aku harap kamu mau menjenguknya.] Akhirnya aku memberanikan diri menulis pesan untuk Mas Haikal. Tapi sampai beberapa jam tidak juga dibaca apalagi dibalas. Baru pada tengah malam ada balasan darinya. [Ternyata kamu masih butuh aku ya? Makanya jangan sok-sokan bisa hidup sendiri.] [Yang butuh kamu Alfan Mas, bukan aku.] [Bilang saja kamu mau minta bantuan untuk biaya rawat Alfan. Kamu kan kerja, pasti punya duit lah ngga usah ngemis gituh.] Astaghfirullah! Aku beristighfar berkali-kali. Apakah ini Arumi yang membalas pesanku? Tapi aku yakin ini Mas Haikal, sepertinya dia membalas pesanku sengaja menunggu Arumi terlelap. Tapi kenapa dia berbicara seperti itu? Mas Haikal b
"Apa yang kamu lakukan memang sudah benar, Ros. Mas Haikal tidak pantas untuk kamu pertahankan. Kamu masih berhak untuk bahagia." Suara Agung terdengar bergetar menahan amarah. "Lagian si Arumi kayak yang nggak ada laki-laki lain saja. Suami teman kok diembat." "Sudah ya, jangan dibahas lagi gengs. Aku mau fokus buat kedepannya saja." "Iya Ros, kami selalu ada buat kamu. Jangan sungkan untuk menghubungi kami kalau ada kesulitan." Ada perasaan tenang ketika Wika, Ranti dan Amanda memelukku. Aku seperti punya kekuatan baru. Dari dulu mereka memang sahabat terbaikku. Awalnya aku tidak mau bercerita perihal perselingkuhan Mas Haikal dengan Arumi karena tidak enak saja mengingat Arumi adalah teman kami juga. Meski Arumi bukan teman satu geng, tapi kami termasuk akrab juga. Karena waktu besuk yang terbatas, dengan sangat terpaksa mereka pulang, meninggalkan aku dan Delia di sini. Alfan sudah terlelap sejak tadi, sedangkan Delia sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Semenjak Alfan diraw
"Kakak, kok pulang lagi? Apa warungnya tutup?" tanya Delia ketika aku sampai di kontrakan. Aku menghela nafas berat lalu duduk di samping Alfan yang masih terlelap. Sementara Delia terus menatapku, menunggu jawaban. "Kakak berhenti kerja, lebih tepatnya terpaksa berhenti kerja karena Bu Anis sudah ada karyawan baru." "Loh, kok bisa?" "Ya bisa dong, selama lima hari kakak tidak masuk kerja, kan Bu Anis butuh orang buat bantu-bantu. Ya wajar kalau dia mencari orang lain." Aku menghela berat. Meski bayarannya sedikit, bekerja di warungnya Bu Anis nyaman kurasakan. Selain orangnya baik, aku juga bisa sambil membawa Alfan. "Terus kakak sekarang mau cari kerja lagi?" "Iya, harus. Meski kakak masih bingung cari kerja di mana lagi yang bisa dikondisikan untuk disambi jagain Alfan." "Mudah-mudahan ada rezeki ya, kak." "Aamiin. Sekarang kamu siap-siap saja untuk pergi ke sekolah. Biar kakak yang beres-beres dan masak." Gadis itu pun menurut, bergegas ia membersihkan diri, seg
Tapi sekilas aku lihat itu dari Mas Haikal, poto profilnya berganti dengan poto dirinya tengah duduk di atas moge yang tempo hari Arumi pamerkan kepadaku. "Assalamualaikum Mas," sapaku ragu. "Bagus kamu Ros, sekarang sudah berani teleponan ya. Dari tadi aku hubungi nomor kamu sedang dalam panggilan lain. Teleponan dengan siapa?" tanyanya lantang tanpa jeda. Rupanya dia tadi menghubungiku ketika aku menerima panggilan dari Andra. Kenapa juga waktunya harus pas. "Jangan berbasa-basi dan menuduh yang tidak-tidak. Mas sendiri kemana saja sewaktu Alfan sakit?" Jujur aku tidak enak Mas Haikal seolah menyalahkanku. Kali ini aku harus melawan supaya tidak terus-terusan direndahkan. "Kamu yang mengalihkan pembicaraan Ros. Kamu sendiri kan yang ingin bebas terlepas dari aku? Kedengarannya lucu kalau kamu masih butuh bantuanku. Rupanya bebas yang kamu inginkan itu adalah bebas bergaul dengan laki-laki lain ya. Bebas ngobrol dengan para pelanggan warung." Bukan Mas Haikal namanya kalau
Alfan nampak senang bisa makan lagi di sini. Beberapa kali aku pernah mengajaknya ke sini. Sejak punya penghasilan dari butik, sesekali aku mengajak Alfan dan Delia makan di tempat seperti ini. "Jadi, maksudnya kamu kerja apa?" Mas Dika mengulang lagi pertanyaannya. "Aku menjahit untuk Sandra Butik, lumayan lah buat mengganjal perut," jawabku seraya tersenyum tipis. "Wah, benarkah?" tanya Mas Dika kaget. Aku mengangguk, lucu juga melihat ekspresi dia yang kaget seperti itu. "Aku sering ke Sandra butik. Tapi, kok, belum pernah bertemu, ya, sebelum ini? Tadi juga kalau Alfan tidak memanggilku, Aku nggak bakalan pada kalian." "Aku cuma sebentar di butik, paling kalau ngambil bahan dan nganterin yang sudah selesai." Obrolan kami mengalir, meski ini pertemuan yang kedua kalinya tapi entah kenapa kami seperti yang sudah kenal lama. Mas Dika orangnya enak diajak ngobrol. Alfan juga asik berbicara apa saja. "Aku permisi pulang dulu, Mas. Terima kasih sudah ditraktir." Aku mengambil
Hari ini Amanda memberikan kabar baik, aku diminta menemui pemilik butik tempat dia bekerja. Besoknya aku ke sana dan bertemu langsung dengan pemilik butik tersebut. "Apakah Mbak membawa contoh hasil jahitan Mbak?" tanya wanita yang diperkirakan umurnya tidak jauh berbeda dariku itu. "Oh ini, ada." Aku menyerahkan baju hasil jahitanku. Sebelumnya Amanda sudah memberitahu perihal ini, jadi aku sudah mempersiapkannya sebelum berangkat tadi. Untuk beberapa saat wanita yang kuketahui bernama Sandra itu menelisik hasil pekerjaanku. Di tempat dudukku, aku menunggu dengan gelisah sambil berdoa di dalam hati mudah-mudahan dia suka dengan hasil pekerjaanku. "Lumayan bagus dan rapi. Untuk mengerjakan satu baju ini berapa lama?" tanyanya setelah beralih menatapku. "Dua hari, tapi kalau tidak banyak gangguan sehari juga bisa selesai." "Gangguan?" Sandra mengerutkan keningnya. "Saya punya anak kecil, jadi kalau misalkan dia rewel, otomatis saya tidak bisa bekerja," "Oke, bagaimana kalau s
POV Haikal Hingga beberapa hari aku menunggu kabar Rosa pulang, tapi tidak ada. Apakah dia nekad tinggal di kontrakan tanpa uang? Masa bodoh, itu ganjaran buat orang yang keras kepala seperti Rosa. Kehidupan rumah tanggaku bersama Arumi sangat jauh berbeda ketika dengan Rosa. Arumi sangat dominan dan mengatur segala sesuatunya. Mungkin karena dia merasa punya uang jadi dia berkuasa atas apapun termasuk hidupku. Hidupku tak sebebas dulu. Rosa memang membosankan tapi setidaknya aku mencintainya dan bisa mengusir bosan dengan bermain hati di luaran. Tapi Arumi? Dia sama-sama membosankan dengan segala aturannya dan aku tidak berkutik sama sekali. Ponselku sering kali diperiksa dan dia hapus semua kontak yang dia tidak kenal termasuk para wanita yang kerap aku goda ketika aku iseng. Pergi ke mana pun hampir tak bisa leluasa, tapi bukan Haikal namanya kalau tidak punya seribu alasan. Dari grup alumni Arumi aku tahu kalau Rosa sekarang bekerja di rumah salah satu teman SMA-nya. Pantas
Pov Haikal Aku kira Rosa akan diam dan tidak berbuat apa-apa seperti yang sudah-sudah ketika aku menduakannya. Namun kali ini dia berontak, sial. Entah karena dia sudah terlalu sering menangis diam-diam, karena dia pikir aku tidak tahu. Atau karena kali ini aku bermain hati dengan Arumi, temannya sendiri. Tapi aku tidak boleh mundur, Arumi harus bisa aku kuasai. Tidak mengapa Rosa menggugat cerai aku, toh setelah aku rayu lagi dan aku serang dengan kata-kata manis pasti dia akan luluh lagi. Karena aku tahu kelemahan wanita itu tidak bisa menahan dari sanjungan dan kalimat yang menyentuh hatinya. Dan Rosa salah satunya. Selama ini Rosa sangat bergantung padaku, jadi mana bisa dia hidup sendiri tanpa aku. Apalagi sekarang dia sudah tidak punya rumah, sebentar lagi dia pasti akan mengemis kepadaku agar aku tak meninggalkannya. "Rosa pergi beberapa hari yang lalu, barang-barangnya diangkut menggunakan mobil bak. Katanya sih mau ngontrak, tapi entah dimana." Itu kata Ibu warung di seb
Menjelang Maghrib, Mas Haikal baru mengantarkan Alfan pulang. "Kamu tidak mengajakku mampir dulu, Ros?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa. "Tidak usah Mas, istrimu mungkin sudah menunggumu," jawabku ketus. Aku meraih tangan Alfan untuk menjauh dari ayahnya. "Kamu nggak kangen sama, Mas?" Tambahnya lagi dengan suara lembut. Astaga, aku tidak boleh terjebak lagi dalam suasana seperti ini. "Aku tidak akan merindukan suami orang." Aku bersiap untuk berbalik, tapi tertahan oleh suaranya. "Mas bisa jadi suamimu lagi kalau kamu mau, lagipula Mas tidak merasa sudah menceraikanmu. Dulu kamu kan yang ngotot minta cerai. Sekarang bagaimana hidup jadi janda itu, enak nggak?" "Itu bukan urusanmu, Mas!" "Enak ya, bisa pergi dengan lelaki mana saja, antar jemput pake mobil. Bisa bebas berteman dengan siapa pun. Jadi seperti itu bebas yang kamu inginkan?" Mas Haikal sepertinya tadi mengorek informasi dari Alfan tentang siapa saja yang pernah pergi bersama kami. "Jangan sok tahu dan sok ngatur
Mulai sekarang aku harus membiasakan tutup mata tutup telinga. Setatus janda memang rentan digosipkan. Mungkin karena ulah beberapa orang yang punya status sama denganku sebelumnya, mereka berperilaku tidak baik sehingga mencoreng citra seorang janda. Padahal tidak sedikit para janda yang berjuang untuk menghidupi diri dan buah hatinya dengan cara yang halal. Tak jarang juga mereka yang bisa menjaga diri dari pergaulan bebas, tapi tetap saja status janda di masyarakat umum sudah dipandang sebelah mata. Begitu lah yang kurasakan saat ini. Meski tak enak hati, yang penting aku tidak berbuat macam-macam dan tidak merugikan orang lain. Aku harus siap dengan konsekuensinya sebagai orang tua tunggal. Biarlah mereka para tetanggaku memandang sebelah mata, aku hanya perlu menjaga diri tanpa harus terpengaruh oleh omongan miring mereka. Aku terus membuat baju-baju muslimah kalau ada waktu senggang dan uang untuk membeli kain. Baju yang ukurannya pas ditubuhku kadang untuk Delia. Setelah se
"Aku antar, ya, kasihan anak kamu harus jalan kaki panas-panas begini." Suaranya terdengar semakin keras. Dia kira aku tidak menjawab karena aku tak mendengarnya. "Aku naik angkutan umum saja!" "Ini gratis, lho." "Nggak perduli!" Mobil bak tersebut berhenti, dan Andra turun lalu menghalangi jalanku. "Alfan mau nggak naik mobil Om Andra?" Setelah dia berjongkok lalu bertanya pada Alfan. Alfan menoleh ke arahku lalu mengangguk. "Ayok!" Tanpa permisi izin dulu padaku dia meraih tangan Alfan dan membawanya pergi. "Hey! Kamu bisa aku teriaki penculik lho," ucapku agak keras. "Baiklah, tetapi aku akan bilang kalau kamu telah menyiksa anak ini dengan membawanya berjalan di bawah sinar matahari." Dia berhenti sejenak lalu kembali melangkah. Menoleh ke arah Alfan sambil tersenyum. Kulihat Abang juga terlihat bahagia karena akan naik mobil. Aku menghela panjang, karena tidak mungkin lagi menolak melihat anakku begitu gembira. "Ayok, Bu!" Alfan memang sudah akrab dengan Andra, sewa
"Ambil aja kak! Ini peluang, lho." Delia bersemangat agar aku menerima tawaran itu. Akhirnya dengan bismillah aku terima orderan Mamanya teman Delia. Sebanyak tiga set kebaya untuk seragam wisuda dan satu baju batik. Model dan warnanya beliau yang memilih. Karena tidak ada modal untuk membeli kain, akhirnya aku mengumpulkan dulu uang dari hasil buruh di kebun orang. Untuk makan sehari-hari aku terpaksa utang dulu ke warung depan. Alhamdulillah meski hampir tidak ada waktu untuk beristirahat, aku ada tambahan penghasilan. Pagi hingga sore hari aku bekerja di ladang orang dan malamnya aku mengerjakan jahitan pesanan temannya Delia. Alhamdulillah Alfan tidak rewel dan Delia juga membantu pekerjaan rumah. Meski cape tapi tidak aku rasa, mudah-mudahan pekerjaanku tidak mengecewakan. "Ini yang udah siap satu set, aku promosikan di sosial media, ya, Kak." Delia berinisiatif memproklamasikan hasil jahitanku. "Boleh. Mudah-mudahan ada yang suka," jawabku penuh harap. "Kakak berhe
"Mesin jahit itu mau diapain kak?" tanya Delia ketika aku membersihkan mesin jahit manual milik Ibu yang merupakan warisan dari nenek. "Untuk menjahit baju kamu, Dek." "Yakin kakak bisa?" Delia nampak meragukan aku. "In sha Allah. Mau memakai jasa penjahit, kakak sudah tidak ada uang lagi. Bismillah mudah-mudahan bisa." Delia mengangguk ragu. Aku juga sebenarnya ragu, tapi mau bagaimana mana lagi. Uang simpanan sisa sedikit untuk makan. Sampai saat ini aku belum ada lagi pekerjaan. Meski pun tidak pernah kursus menjahit, tapi aku rajin mengotak-atik mesin jahit warisan nenek ini. Untuk seragam sekolah aku dan Delia memang selalu ibu yang membuatnya dengan mesin ini. Aku juga beberapa kali membuat bajuku sendiri, meski tidak sebagus buatan butik tapi lumayan lah bisa sedikit menghemat. Bismillah saja, semoga hasilnya sesuai harapan. Selama dua hari aku mengotak-atik kain itu, akhirnya selesai juga. Satu set kebaya dan kain batik yang modelnya aku contek dari media sosial begitu