Sudah dua malam Alfan terbaring dengan jarum infus di tangannya. Syukurlah, panasnya sudah mulai turun. Kemarin ketika panas badannya tinggi dia terus meracau memanggil Ayahnya. Aku menghubungi Mas Haikal tapi tidak satu kali pun diangkat. [Mas, Alfan sakit panas. Sekarang dia dirawat di Puskesmas kota. Aku harap kamu mau menjenguknya.] Akhirnya aku memberanikan diri menulis pesan untuk Mas Haikal. Tapi sampai beberapa jam tidak juga dibaca apalagi dibalas. Baru pada tengah malam ada balasan darinya. [Ternyata kamu masih butuh aku ya? Makanya jangan sok-sokan bisa hidup sendiri.] [Yang butuh kamu Alfan Mas, bukan aku.] [Bilang saja kamu mau minta bantuan untuk biaya rawat Alfan. Kamu kan kerja, pasti punya duit lah ngga usah ngemis gituh.] Astaghfirullah! Aku beristighfar berkali-kali. Apakah ini Arumi yang membalas pesanku? Tapi aku yakin ini Mas Haikal, sepertinya dia membalas pesanku sengaja menunggu Arumi terlelap. Tapi kenapa dia berbicara seperti itu? Mas Haikal b
"Apa yang kamu lakukan memang sudah benar, Ros. Mas Haikal tidak pantas untuk kamu pertahankan. Kamu masih berhak untuk bahagia." Suara Agung terdengar bergetar menahan amarah. "Lagian si Arumi kayak yang nggak ada laki-laki lain saja. Suami teman kok diembat." "Sudah ya, jangan dibahas lagi gengs. Aku mau fokus buat kedepannya saja." "Iya Ros, kami selalu ada buat kamu. Jangan sungkan untuk menghubungi kami kalau ada kesulitan." Ada perasaan tenang ketika Wika, Ranti dan Amanda memelukku. Aku seperti punya kekuatan baru. Dari dulu mereka memang sahabat terbaikku. Awalnya aku tidak mau bercerita perihal perselingkuhan Mas Haikal dengan Arumi karena tidak enak saja mengingat Arumi adalah teman kami juga. Meski Arumi bukan teman satu geng, tapi kami termasuk akrab juga. Karena waktu besuk yang terbatas, dengan sangat terpaksa mereka pulang, meninggalkan aku dan Delia di sini. Alfan sudah terlelap sejak tadi, sedangkan Delia sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Semenjak Alfan diraw
"Kakak, kok pulang lagi? Apa warungnya tutup?" tanya Delia ketika aku sampai di kontrakan. Aku menghela nafas berat lalu duduk di samping Alfan yang masih terlelap. Sementara Delia terus menatapku, menunggu jawaban. "Kakak berhenti kerja, lebih tepatnya terpaksa berhenti kerja karena Bu Anis sudah ada karyawan baru." "Loh, kok bisa?" "Ya bisa dong, selama lima hari kakak tidak masuk kerja, kan Bu Anis butuh orang buat bantu-bantu. Ya wajar kalau dia mencari orang lain." Aku menghela berat. Meski bayarannya sedikit, bekerja di warungnya Bu Anis nyaman kurasakan. Selain orangnya baik, aku juga bisa sambil membawa Alfan. "Terus kakak sekarang mau cari kerja lagi?" "Iya, harus. Meski kakak masih bingung cari kerja di mana lagi yang bisa dikondisikan untuk disambi jagain Alfan." "Mudah-mudahan ada rezeki ya, kak." "Aamiin. Sekarang kamu siap-siap saja untuk pergi ke sekolah. Biar kakak yang beres-beres dan masak." Gadis itu pun menurut, bergegas ia membersihkan diri, seg
Tapi sekilas aku lihat itu dari Mas Haikal, poto profilnya berganti dengan poto dirinya tengah duduk di atas moge yang tempo hari Arumi pamerkan kepadaku. "Assalamualaikum Mas," sapaku ragu. "Bagus kamu Ros, sekarang sudah berani teleponan ya. Dari tadi aku hubungi nomor kamu sedang dalam panggilan lain. Teleponan dengan siapa?" tanyanya lantang tanpa jeda. Rupanya dia tadi menghubungiku ketika aku menerima panggilan dari Andra. Kenapa juga waktunya harus pas. "Jangan berbasa-basi dan menuduh yang tidak-tidak. Mas sendiri kemana saja sewaktu Alfan sakit?" Jujur aku tidak enak Mas Haikal seolah menyalahkanku. Kali ini aku harus melawan supaya tidak terus-terusan direndahkan. "Kamu yang mengalihkan pembicaraan Ros. Kamu sendiri kan yang ingin bebas terlepas dari aku? Kedengarannya lucu kalau kamu masih butuh bantuanku. Rupanya bebas yang kamu inginkan itu adalah bebas bergaul dengan laki-laki lain ya. Bebas ngobrol dengan para pelanggan warung." Bukan Mas Haikal namanya kalau
"Assalamualaikum Ris," sapaku setelah kugeser tombol hijau dan menempelkan benda pipih ini ke dekat telingaku "Waalaikum salam, Ros. Kamu beneran berhenti kerja di warung nasi itu?" "Iya, aku juga bingung harus nyari kerja ke mana lagi yang bisa dikondisikan sambil momong Alfan." "Kerja sama aku mau?" "Becanda kamu." "Serius, Ros." "Kerja apa?" tanyaku penasaran. "Mengisi hatiku," jawab Haris datar. Aku terbahak mendengar jawabannya. Lucu juga, rupanya Haris sudah berani modus sekarang. Meski terlambat dia punya keberanian. "Jangan ngawur Ris! Aku sedang serius nih." "Aku serius Ros, masa bohong." "Jadi cuma untuk itu pagi-pagi kamu telepon aku? Ya sudah, aku tutup teleponnya." "Eit, jangan! Oke. Aku serius sekarang. Kamu mau nggak nemenin nenek aku?" "Maksud kamu?" "Jadi begini, nenekku ini sudah tua dan mulai pikun gituh. Anak-anaknya, termasuk orang tuaku semuanya kan sibuk kerja. Jadi tidak ada yang mengawasi dan menjaga nenek ketika ditinggal kerja. K
Sejenak Andra mengamati poto tersebut, lalu kepalanya bergerak mengangguk samar. "Ya, benar. Dia orangnya. Siapa dia?" Andra beralih menatapku. "Dia ayahnya Alfan." jawabku sambil membuang pandangan. "Masih suami kamu?" tanya Andra ragu. Aku mengangguk dan segera berpamitan. Sementara Andra masih berdiri mematung di tempatnya. Ternyata benar Mas Haikal ikut andil dalam pemberhentianku. "Tunggu, Ros!" Mendengar Andra memanggilku sontak aku berhenti lagi lalu menunggu lelaki itu sampai di sampingku. "Mungkin suami kamu ada benarnya, kamu nggak perlu kerja, sepertinya dia bertanggung jawab." "Kamu tidak tahu apa-apa, Ndra. Jadi sebaiknya tidak usah berkomentar. Terima kasih infonya dan tolong jangan ganggu aku lagi." Aku kembali melanjutkan perjalanan meninggalkan lelaki sok tahu ini. "Aku hanya perduli sama kamu, Ros!" Sayup kudengar dia berkata agak kencang. *** Dua puluh menit kemudian aku sampai di rumahnya orang tua Haris. Jaraknya lumayan jauh dari sekolah Delia, tapi t
Pekerjaanku di rumah orang tuanya Haris terbilang susah-susah gampang. Menghadapi nenek yang sudah pikun memang kadang sama saja dengan mengurus Alfan. Kadang dia lupa menaruh sesuatu dan aku kelimpungan mencarinya. Ditambah lagi beliau selalu yakin menaruh barang di suatu tempat padahal tidak ada. Sudah kukatakan tidak ada malah aku dituduh gak teliti. Duh Gusti, kalau bukan karena butuh uang, aku sudah ingin menyerah. Tapi ingat, aku butuh uang banyak untuk biaya hidup dan mengembalikan uang Arumi. Seperti siang ini dia lupa menaruh kacamatanya. Aku sudah mencarinya ke seluruh ruangan tapi tidak menemukannya. "Sudahlah Ros, nanti juga ketemu sendiri." Seperti biasa dia hanya pasrah karena akupun sudah kelewat pusing muter-muter. Lalu duduk di kursinya yang setiap hari menjadi tempatnya menghabiskan waktu selain di tempat tidur. Setengah jam kemudian kacamata ditemukan di dalam kulkas. Entah bagaimana awalnya hingga benda itu bisa betah berada di pintu kulkas bersama minuman di
Aku sendiri tak berniat lagi meladeni Eliza, toh aku merasa tidak bersalah. Dari dulu aku tak pernah memiliki perasaan istimewa pada Haris meski aku tahu Haris menyukaiku. Tapi saat ini Haris pun bisa menjaga sikap. Jadi mungkin ini kesalahan fahaman Eliza saja. Atau dia yang terlalu berlebihan karena ketakutan. Apa jangan-jangan, Eliza tahu kalau Haris pernah menyimpan rasa padaku. Entahlah. Tak kuhiraukan sepasang suami istri yang sedang diam-diaman itu, aku segera mengambil nasi dan meminta Alfan untuk duduk. Menyuruh dia membaca doa sebelum makan lalu menaruh piring di hadapannya. Alfan mulai sarapan, dia sudah aku biasakan untuk makan sendiri sejak dini. Disamping supaya mandiri, aku juga tidak akan banyak kehilangan waktu untuk mengerjakan pekerjaan yang lain. Alhamdulillah Alfan pun nurut dan mau belajar. Setelah memastikan Alfan makan dengan baik, aku beralih kepada sarapan nenek. "Nenek mau makan sendiri, atau mau disuapi?" tanyaku saat aku sudah ada di hadapannya
POV Haikal Hingga beberapa hari aku menunggu kabar Rosa pulang, tapi tidak ada. Apakah dia nekad tinggal di kontrakan tanpa uang? Masa bodoh, itu ganjaran buat orang yang keras kepala seperti Rosa. Kehidupan rumah tanggaku bersama Arumi sangat jauh berbeda ketika dengan Rosa. Arumi sangat dominan dan mengatur segala sesuatunya. Mungkin karena dia merasa punya uang jadi dia berkuasa atas apapun termasuk hidupku. Hidupku tak sebebas dulu. Rosa memang membosankan tapi setidaknya aku mencintainya dan bisa mengusir bosan dengan bermain hati di luaran. Tapi Arumi? Dia sama-sama membosankan dengan segala aturannya dan aku tidak berkutik sama sekali. Ponselku sering kali diperiksa dan dia hapus semua kontak yang dia tidak kenal termasuk para wanita yang kerap aku goda ketika aku iseng. Pergi ke mana pun hampir tak bisa leluasa, tapi bukan Haikal namanya kalau tidak punya seribu alasan. Dari grup alumni Arumi aku tahu kalau Rosa sekarang bekerja di rumah salah satu teman SMA-nya. Pantas
Pov Haikal Aku kira Rosa akan diam dan tidak berbuat apa-apa seperti yang sudah-sudah ketika aku menduakannya. Namun kali ini dia berontak, sial. Entah karena dia sudah terlalu sering menangis diam-diam, karena dia pikir aku tidak tahu. Atau karena kali ini aku bermain hati dengan Arumi, temannya sendiri. Tapi aku tidak boleh mundur, Arumi harus bisa aku kuasai. Tidak mengapa Rosa menggugat cerai aku, toh setelah aku rayu lagi dan aku serang dengan kata-kata manis pasti dia akan luluh lagi. Karena aku tahu kelemahan wanita itu tidak bisa menahan dari sanjungan dan kalimat yang menyentuh hatinya. Dan Rosa salah satunya. Selama ini Rosa sangat bergantung padaku, jadi mana bisa dia hidup sendiri tanpa aku. Apalagi sekarang dia sudah tidak punya rumah, sebentar lagi dia pasti akan mengemis kepadaku agar aku tak meninggalkannya. "Rosa pergi beberapa hari yang lalu, barang-barangnya diangkut menggunakan mobil bak. Katanya sih mau ngontrak, tapi entah dimana." Itu kata Ibu warung di seb
Menjelang Maghrib, Mas Haikal baru mengantarkan Alfan pulang. "Kamu tidak mengajakku mampir dulu, Ros?" tanyanya dengan wajah tanpa dosa. "Tidak usah Mas, istrimu mungkin sudah menunggumu," jawabku ketus. Aku meraih tangan Alfan untuk menjauh dari ayahnya. "Kamu nggak kangen sama, Mas?" Tambahnya lagi dengan suara lembut. Astaga, aku tidak boleh terjebak lagi dalam suasana seperti ini. "Aku tidak akan merindukan suami orang." Aku bersiap untuk berbalik, tapi tertahan oleh suaranya. "Mas bisa jadi suamimu lagi kalau kamu mau, lagipula Mas tidak merasa sudah menceraikanmu. Dulu kamu kan yang ngotot minta cerai. Sekarang bagaimana hidup jadi janda itu, enak nggak?" "Itu bukan urusanmu, Mas!" "Enak ya, bisa pergi dengan lelaki mana saja, antar jemput pake mobil. Bisa bebas berteman dengan siapa pun. Jadi seperti itu bebas yang kamu inginkan?" Mas Haikal sepertinya tadi mengorek informasi dari Alfan tentang siapa saja yang pernah pergi bersama kami. "Jangan sok tahu dan sok ngatur
Mulai sekarang aku harus membiasakan tutup mata tutup telinga. Setatus janda memang rentan digosipkan. Mungkin karena ulah beberapa orang yang punya status sama denganku sebelumnya, mereka berperilaku tidak baik sehingga mencoreng citra seorang janda. Padahal tidak sedikit para janda yang berjuang untuk menghidupi diri dan buah hatinya dengan cara yang halal. Tak jarang juga mereka yang bisa menjaga diri dari pergaulan bebas, tapi tetap saja status janda di masyarakat umum sudah dipandang sebelah mata. Begitu lah yang kurasakan saat ini. Meski tak enak hati, yang penting aku tidak berbuat macam-macam dan tidak merugikan orang lain. Aku harus siap dengan konsekuensinya sebagai orang tua tunggal. Biarlah mereka para tetanggaku memandang sebelah mata, aku hanya perlu menjaga diri tanpa harus terpengaruh oleh omongan miring mereka. Aku terus membuat baju-baju muslimah kalau ada waktu senggang dan uang untuk membeli kain. Baju yang ukurannya pas ditubuhku kadang untuk Delia. Setelah se
"Aku antar, ya, kasihan anak kamu harus jalan kaki panas-panas begini." Suaranya terdengar semakin keras. Dia kira aku tidak menjawab karena aku tak mendengarnya. "Aku naik angkutan umum saja!" "Ini gratis, lho." "Nggak perduli!" Mobil bak tersebut berhenti, dan Andra turun lalu menghalangi jalanku. "Alfan mau nggak naik mobil Om Andra?" Setelah dia berjongkok lalu bertanya pada Alfan. Alfan menoleh ke arahku lalu mengangguk. "Ayok!" Tanpa permisi izin dulu padaku dia meraih tangan Alfan dan membawanya pergi. "Hey! Kamu bisa aku teriaki penculik lho," ucapku agak keras. "Baiklah, tetapi aku akan bilang kalau kamu telah menyiksa anak ini dengan membawanya berjalan di bawah sinar matahari." Dia berhenti sejenak lalu kembali melangkah. Menoleh ke arah Alfan sambil tersenyum. Kulihat Abang juga terlihat bahagia karena akan naik mobil. Aku menghela panjang, karena tidak mungkin lagi menolak melihat anakku begitu gembira. "Ayok, Bu!" Alfan memang sudah akrab dengan Andra, sewa
"Ambil aja kak! Ini peluang, lho." Delia bersemangat agar aku menerima tawaran itu. Akhirnya dengan bismillah aku terima orderan Mamanya teman Delia. Sebanyak tiga set kebaya untuk seragam wisuda dan satu baju batik. Model dan warnanya beliau yang memilih. Karena tidak ada modal untuk membeli kain, akhirnya aku mengumpulkan dulu uang dari hasil buruh di kebun orang. Untuk makan sehari-hari aku terpaksa utang dulu ke warung depan. Alhamdulillah meski hampir tidak ada waktu untuk beristirahat, aku ada tambahan penghasilan. Pagi hingga sore hari aku bekerja di ladang orang dan malamnya aku mengerjakan jahitan pesanan temannya Delia. Alhamdulillah Alfan tidak rewel dan Delia juga membantu pekerjaan rumah. Meski cape tapi tidak aku rasa, mudah-mudahan pekerjaanku tidak mengecewakan. "Ini yang udah siap satu set, aku promosikan di sosial media, ya, Kak." Delia berinisiatif memproklamasikan hasil jahitanku. "Boleh. Mudah-mudahan ada yang suka," jawabku penuh harap. "Kakak berhe
"Mesin jahit itu mau diapain kak?" tanya Delia ketika aku membersihkan mesin jahit manual milik Ibu yang merupakan warisan dari nenek. "Untuk menjahit baju kamu, Dek." "Yakin kakak bisa?" Delia nampak meragukan aku. "In sha Allah. Mau memakai jasa penjahit, kakak sudah tidak ada uang lagi. Bismillah mudah-mudahan bisa." Delia mengangguk ragu. Aku juga sebenarnya ragu, tapi mau bagaimana mana lagi. Uang simpanan sisa sedikit untuk makan. Sampai saat ini aku belum ada lagi pekerjaan. Meski pun tidak pernah kursus menjahit, tapi aku rajin mengotak-atik mesin jahit warisan nenek ini. Untuk seragam sekolah aku dan Delia memang selalu ibu yang membuatnya dengan mesin ini. Aku juga beberapa kali membuat bajuku sendiri, meski tidak sebagus buatan butik tapi lumayan lah bisa sedikit menghemat. Bismillah saja, semoga hasilnya sesuai harapan. Selama dua hari aku mengotak-atik kain itu, akhirnya selesai juga. Satu set kebaya dan kain batik yang modelnya aku contek dari media sosial begitu
Sudah satu minggu aku kembali ke rumah Ibu. Ya, aku memutuskan untuk kembali, selain karena kontrakan sudah habis dan aku tidak punya pekerjaan lagi. Aku pikir lebih baik pulang dulu ke rumah lama. Untuk menghemat juga lantaran tinggal di sini tidak perlu bayar. Aku hanya memikirkan untuk makan dan kebutuhan lainnya. Uang dari Bu Widya aku gunakan untuk makan sehari-hari saja. Mungkin cukup untuk makan beberapa minggu dan biaya Delia masuk SMA ditambah tabungan selama aku bekerja di rumah Bu Widya. Untuk kedepannya aku akan mencari pekerjaan lagi yang bisa sambil menjaga Alfan. Semoga saja bisa segera mendapatkan pekerjaan lagi. Perceraianku dengan Mas Haikal sedang dalam proses, mungkin bulan depan aku sudah resmi berpisah darinya. Setelah itu aku akan benar-benar terbebas dari pria itu. Pria yang selama ini pura-pura mencintaiku dibalik kata-kata manis penuh racun. "Minggu depan acara perpisahan sekolah Kak, aku tidak punya baju yang pantas," rengek Delia sore ini. "Coba
"Rosa, saya tidak mau menuduh kamu, tapi tidak ada orang lain selain kamu disini sebelum kejadian itu." Bu Widya angkat bicara. Namun, kelihatannya dia tidak enak berbicara seperti itu padaku. "Saya berani bersumpah, Bu, saya tidak melakukan itu." "Ma, tidak mungkin Rosa. Aku tahu Rosa itu seperti apa." Haris mendekat ke arah Bu Widya. "Jadi kamu tetap membela si Rosa ini?" Mendengar Haris membelaku, Eliza makin meradang. Matanya menatap tajam ke arah Haris sementara telunjuknya lurus ke arah wajahku. "Aku lebih mengenal Rosa dari pada kamu!" Haris kembali membentak istrinya. Mereka bicara tanpa canggung, saling menunjuk, saling membentak. Apakah Haris dan Eliza sudah biasa bersitegang seperti ini? "Kalau begitu kita geledah saja tempat ini, aku yakin kita dapat menemukan petunjuk," usul Eliza berapi-api. "Saya tidak keberatan." Aku merasa tidak melakukan apapun jadi aku tidak takut jika mereka memeriksa tempat ini. Sesuai permintaan Eliza, aku tidak boleh ikut berge