*** "Tumben Alfan jajan banyak banget? Atau Mas Haikal sedang kesambet ya beliin jajanan banyak begitu," seru Delia ketika melihat kami datang menenteng makanan pemberian Mas Dika. "Bukan dari Mas Haikal," jawabku malas. "Terus?" "Aku dikasih Om Dika," seru Alfan girang. "Om Dika? Siapa?" Delia menatapku dan Alfan bergantian. Lalu aku ceritakan perihal pertemuanku dengan Mas Dika di trotoar tadi. "Terus Mas Haikal? Kakak bertemu dia kan?" tanya Delia lagi antusias. Aku menggeleng lemah. Dan menceritakan semua yang kudengar dari satpam rumah Arumi. "Tidak bisa dibiarkan Kak. Mereka harus diberi pelajaran." "Tenang, Del. Jangan terburu nafsu." "Gimana mau tenang Kak? Mas Haikal sudah berkhianat. Mbak Arumi juga diam-diam pagar makan tanaman. Nggak bisa dibiarkan lah. Kakak jangan kelewat sabar, nanti mereka makin semena-mena!" Nafas Delia terdengar tak beraturan. Aku juga kecewa, marah, dan ada rasa ingin membalas mereka. Tapi aku pikir lagi dendam itu tidak akan menyelesai
Aku sering mengecek ponsel Mas Haikal apakah sudah aktif atau belum. Bukan karena rindu atau pun cemburu, meski tidak dipungkiri rasa itu masih ada. Tapi sekarang aku lebih memikirkan pada nasib rumah kami kedepannya. Kalau utang itu tidak segera dilunasi maka tanah ini akan berpindah tangan kepada Juragan Sidik. Lalu kami akan tinggal dimana? "Mas Haikal sudah bisa dihubungi Kak?" tanya Delia pagi ini sebelum berangkat ke sekolah. Tiga hari setelah kepergian Ibu, yang berarti tiga hari pula mereka berada di Bali. "Masih belum aktif." "Terus bagaimana nasib rumah ini Kak? Lagipula aku tidak yakin Mas Haikal bisa membantu, lebih baik Kakak mencari pinjaman atau bantuan kepada orang lain," saran Delia lagi. "Siapa Del? Keluarga kita itu sama saja dengan kita. Siapa yang akan memberikan pinjaman sebesar itu? Kalaupun ada, bagaimana kita harus mengembalikannya?" Aku membuang nafas kasar, meski tidak yakin Mas Haikal akan bisa memberikan solusi tapi setidaknya kami bisa saling
"Ini ada sedikit uang untuk ongkos." Paman menyelipkan lembaran merah ke dalam genggamanku. Matanya sesekali melirik ke arah rumah, sepertinya aksinya ini tidak diketahui oleh Bibi. Aku tahu Bibi sangat dominan dalam kehidupan rumah tangga mereka. "Terima kasih, paman." "Sudahlah, hati-hati!" Aku mengangguk lalu melangkah lagi dan Paman pun bergegas kembali ke dalam rumah. Lalu aku harus kemana lagi? Paman adalah satu-satunya kerabat yang bisa aku harapkan, lainnya sama saja sepertiku. "Bu, aku haus .... " Alfan menarik-narik tanganku. "Alfan mau minum apa?" "Es krim." "Es krim itu bukan minuman, Fan. Jadi tidak bakalan menghilangkan haus. Teh dingin saja ya!" "Es krim." "Katanya mau minum." "Om Dika rumahnya dimana ya, Bu?" tanya Alfan spontan. Sejenak aku menautkan alis. "Kok Om Dika?" "Aku mau minta dibeliin es krim lagi sama Om Dika, kalau Ibu nggak mau beliin." Aku menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. "Sayang, tidak boleh begitu ya! Tidak ba
"Kamu jangan ngaco, Rumi! Mas Haikal itu suamiku dan ayahnya Alfan. Kamu jangan seenaknya berkata seperti itu!" ucapku geram. "Itu sih, terserah kamu Ros. Aku tidak akan merasa rugi sedikitpun. Sekarang tinggal kamu pikirkan saja. Kamu melepaskan Mas Haikal dan rumah itu akan kamu miliki selamanya. Atau membiarkan rumah itu jatuh ke tangan Juragan Sidik tapi Mas Haikal akan tetap bersamaku. Apapun pilihanmu Mas Haikal akan tetap bersamaku. Tapi jika kamu melepaskannya setidaknya kamu akan tetap punya tempat tinggal," ucapnya santai. "Kamu jangan memanfaatkan kelemahanku untuk kepentingan pribadimu! Aku memang miskin tapi tidak akan pernah mempertaruhkan pernikahanku demi rupiah." "Jadi kamu memilih kehilangan rumah?" "Aku lebih baik kehilangan harta benda daripada harus menjual pernikahanku." "Tapi ingat, Mas Haikal akan tetap bersamaku karena dia sudah tidak tahan hidup kekurangan bersamamu. Jangan pernah menyesal kamu, Ros!" "Kalaupun aku harus kehilangan Mas Haikal, ak
[Serly, dia sedang pulang kampung.] Serly adalah teman kami yang pindah ke Jogja ikut dengan suaminya. Meski tak seroyal Arumi, Serly termasuk teman yang berkantong tebal. Tak heran kalau berbalas pesan di grup Serly dan Arumi terkesan saling pamer kekayaan masing-masing. Sebuah panggilan video masuk dari nomor Serly, bagaimana ini? Kalau aku terima tentu akan ketahuan kalau aku sedang di dekat lokasi mereka. Kalau tidak maka aku takut dikatakan sombong. Akhirnya aku menggeser layar ponsel yang berwarna hijau. "Hai, Ros!" Serly melambaikan tangannya yang kemudian aku balas dengan gerakan yang sama. "Loh, kamu dimana?" "Aku ... di .... " "Ros, kamu di terminal angkutan kota ya, sini lah. Udah deket, masa tega sih nggak bertemu kita." Tiba-tiba Ranti muncul di samping Serly. "Iya, tapi ... aku .... " "Tidak ada tapi-tapian, kamu jangan kemana-mana! Aku jemput ke sana," seru Ranti, kemudian dia menghilang dari layar ponsel sepertinya memang benar akan menjemput ke sini. "Oke, k
Sepertinya Arumi mengadu perihal poto-potoku ketika di cafe tadi. Atau mungkin saja Mas Haikal membuka ponsel Arumi dan membaca pesan di grup. Aku tahu Mas Haikal sangat rajin mengecek ponselku dulu sementara ponsel dia sendiri menggunakan kata sandi. Serly memang mengunggah poto-poto itu beberapa menit yang lalu. Mungkin Mas Haikal baru saja mengetahuinya. Terserah, Mas Haikal mau marah atau apapun. Dalam hal ini memang aku yang salah, tapi Mas Haikal tidak bisa memarahiku seperti itu. Besok adalah batas waktu yang diberikan Juragan Sidik agar aku bisa melunasi utang Ibu. Aku sudah pasrah jika aku harus kehilangan rumah dan tanah ini. Soal nanti aku akan tinggal dimana, nanti saja aku pikirkan lagi. Aku sudah terbiasa hidup sederhana bersama orang tuaku dulu. Setelah menikah dengan Mas Haikal pun tidak begitu jauh berbeda. Uang yang diberikan oleh Mas Haikal hanya cukup untuk makan, tidak lebih. *** Pagi-pagi sekali Juragan Sidik sudah datang. Sebagian barang-barangku suda
Sorenya ketika Delia sudah ada di rumah, aku menceritakan tentang rumah ini kepadanya. "Sudah seharusnya memang Mas Haikal melakukan ini, kak." "Itu uang Arumi, bukan Mas Haikal." "Sama saja, bukankah mereka suami istri? Bagus malahan, berarti kak Arumi peduli sama kita." "Barusan kakak bicara dengannya, kalau kita tinggal di sini berarti kita menumpang pada Arumi. Kakak tidak mau berhutang pada dia. Makanya kita harus pergi dari sini." "Aku tidak mau." Aku membuang nafas kasar, Delia memang sangat keras kepala. "Baiklah, kamu boleh tinggal di sini tapi kakak akan pergi sampai kakak punya uang untuk mengganti uang itu pada Arumi." "Kakak mau kemana? Mau dapat uang dari mana?" "Kerja." "Terus Alfan?" "Nanti kakak pikirkan." Segera aku menghubungi Wika, untuk bertanya barangkali dia tahu ada kontrakan di sekitar rumahnya. "Kamu yakin, Ros?" "Iya. Aku yakin, mulai saat ini aku akan kerja dan tidak bergantung lagi pada siapapun. Aku harus mengembalikan uang Arumi." "Arumi
"Ros ... buka dulu pintunya! Mas belum selesai berbicara." Terdengar suaranya dari balik pintu. Aku pura-pura tak mendengar saja lalu berdiri dan hendak berjalan ke kamar. "Mas tidak akan berhenti berteriak, Ros. Biarlah semua tetangga tahu." Aku menghentikan langkah. Apa jadinya jika Mas Haikal terus menerus berkata di depan pintu dan menggedor-gedor pintu seperti itu. Kedatangan Juragan Sidik dan kabar utang itu pun sudah mampu membuat kasak-kusuk diantara para tetanggaku yang sangat perhatian. Bagaimana kalau kabar pernikahan Mas Haikal dengan Arumi juga diketahui oleh mereka. Akan semakin panas telingaku. Aku berbalik dan kembali membuka pintu. Begitu pintu terbuka Mas Haikal langsung menerobos masuk dan segera menutup kembali pintu. Kemudian tanpa jeda dia memelukku erat, mengecup pucuk kepalaku berkali-kali. "Mas, minta maaf, Sayang, ini semua demi kebaikan kita." Tangisku semakin menjadi di dadanya, perlahan aku meronta dan memukul pelan dadanya. Cintaku pada Mas Haikal
Beberapa hari setelah itu aku pindah ke rumah yang tempo hari Mas Dika tunjukkan. Tempatnya tidak jauh dari sekolah Delia. Rumah lamaku, sekarang dijadikan sebagai tempat para penjahitku bekerja. Jadi aku masih harus sering ke sana untuk memantau pekerjaan mereka. Sementara Mas Dika juga masih bolak balik ke luar kota mengurusi tokonya. Meski hanya dua kali dalam seminggu. "Sayang, Mas ada ide nih. Tapi sepertinya kamu juga bakalan suka." Sore ini ketika kami berkumpul sambil menunggu adzan magrib, Mas Dika sepertinya berbicara agak serius. Aku pun menatapnya serius sebentar. "Ide apa, Mas?" tanyaku seraya menambahkan gula pada teh hangat yang baru saja kuseduh. "Bagiamana kalau uang yang tempo hari itu kita gunakan untuk membeli ruko di dekat pasar." "Ruko yang masih dalam proses pembangunan itu, Mas." "Iya, kebetulan tempatnya strategis, jadi bisa untuk mengembangkan usahamu. Siapa tahu kedepannya bisa menjadi butik yang besar." Aku berpikir sejenak, meski usahaku sekarang
Aku segera menggeser kursi yang sedang kududuki bermaksud hendak menyapanya. Lalu dengan isyarat aku mengajak Mas Dika untuk ikut berdiri. Meski terlihat bingung tapi Mas Dika akhirnya ikut berdiri dan mengikutiku melangkah mendekati lelaki itu. "Mas Rizal," sapaku. Merasa dipanggil namanya lelaki itu menoleh lalu terlihat sedikit bingung. Baru beberapa detik kemudian dia tersenyum. "Rosa!" serunya. "Iya, Mas. Maaf, mengganggu. Apa kabar Mas?" "Seperti yang kamu lihat Ros, alhamdulillah baik. Kamu sendiri?" "Alhamdulillah baik juga, Mas. Oh ya, kenalkan ini Mas Dika, suamiku." Aku menunjuk Mas Dika, lalu keduanya bersalaman. "Saya Rizal, mantan suaminya Arumi. Saya dan Rosa mungkin senasib." Mas Rizal tertawa kecil sambil mempersilahkan kami duduk. Awalnya aku menolak karena tak enak, tapi Mas Dika mengiyakan. Akhirnya kami bergabung ke meja Mas Rizal bersama wanita yang semula kusangka istrinya, tapi ternyata adiknya Mas Rizal. Sejak terjadi pengkhianatan itu, ba
Aku tersenyum lebar mendengarnya. Jadi selama ini dia tidak pernah membahas Mas Haikal bukan karena menjaga perasaannya? Tapi karena untuk lebih menjaga perasaanku. "Loh, kita mau kemana Mas?" Aku merasa heran ketika Mas Dika mengambil jalur lurus sementara untuk menuju rumahku seharusnya belok kiri. "Mas mau nunjukin sesuatu," "Apa?" "Kejutan dong," "Baiklah, kalau begitu aku tutup mata." "Ide bagus," ucapnya kemudian. Aku menutup mataku dengan kedua telapak tangan. Terlihat lucu memang, karena dia yang akan memberi kejutan tapi aku yang punya inisiatif untuk menutup mata. Aku masih menutup mataku ketika aku merasa mobil berhenti. "Bentar." Mas Dika terdengar membuka pintu di sebelahnya lalu berjalan memutar untuk membukakan pintu disebelahku. "Ayah, ini rumah siapa?" tanya Alfan ketika aku baru saja turun. "Rumah?" Aku bergumam. "Iya," jawab Mas Dika. Lalu aku merasa dia meraih tanganku yang menutupi mata. "Sudah, buka saja. Toh Alfan sudah ngomong kita sedang berada
"Ehem, kayaknya drama pelukannya diskip dulu, deh." Aku terkejut mendengar deheman Serly, lupa kalau kami sedang berada di rumah orang. "Makasih, ya, Ser. Karena kamu sudah bisa menjaga rahasia ini," kata Mas Dika." "Perjuangan banget, Mas. Aku sering hampir keceplosan ngomongin Mas Dika," kekeh Serly. Aku juga tak sadar ikut tertawa, begitupun Mas Dika dan Mas Helmi. "Oh ya, Mas. Berarti uang ini aku kembalikan sama Mas Dika ya?" Aku mengambil amplop yang sudah aku simpan di meja tadi lalu menyerahkannya pada Mas Dika. Tapi Mas Dika malah tertawa kecil membuat aku menautkan alis. Sementara tanganku masih terulur. "Baiklah, karena ini ijab qobulnya pinjaman, maka Mas akan terima uangnya." Akhirnya Mas Dika menerima amplop tersebut. "Terima kasih, Mas. Meski secara sembunyi-sembunyi tapi Mas Dika sudah sangat peduli sama aku. Sekarang utangku sudah lunas, ya." "Iya, sayang. Itulah enaknya punya penggemar rahasia," kekehnya lagi. "Apa pun namanya, aku sangat bersyukur diperte
"Yang ini 'kan?" tanya Mas Dika sambil memelankan laju mobil. "Iya." Kami bermaksud menemui Serly di rumah orang tuanya. Aku mendapat kabar kalau Serly baru tiba tadi pagi. Aku mengajak Mas Dika untuk menemuinya sekarang karena aku berniat mengembalikan uang Serly yang dulu aku gunakan untuk menebus surat tanah pada Arumi. Kebetulan jumlahnya baru terkumpul sekarang. Sebenarnya di awal pernikahan aku sudah membahas ini dengan Mas Dika dan beliau sudah berniat menambah uangnya agar cepat lunas katanya. Tapi aku menolak karena tidak ingin merepotkan dia. "Ya bukan merepotkan, dong. Mas kan suamimu. Kita selesaikan bersama masalah ini." "Aku mohon, tolong ridhoi aku, ya." Aku merajuk agar diizinkan untuk tidak menerima bantuannya. "Baiklah, terserah kamu saja." Seperti biasa, Mas Dika hanya mengiyakan tanpa protes lagi. "Paling juga satu bulan lagi jumlahnya akan genap," jawabku setelah menghitung dalam hati. "Oke, Mas ikut yang menurut kamu baik saja. Ternyata benar juga apa
Mas Dika menatapku seakan bertanya siapa wanita yang berdiri tak jauh dari kami itu. "Arumi," bisikku pada Mas Dika, membuat lelaki itu mengangguk samar. Penampilan Arumi sangat jauh berbeda dengan dahulu sewaktu mengambil Mas Haikal dariku. Badannya terlihat agak kurus dan wajahnya penuh bintik hitam, sepertinya kurang terawat. Pakaiannya pun terlihat biasa saja, padahal dulu dia paling fashionable. Kami hanya diam menunggu reaksi wanita di hadapanku itu. Arumi berjalan perlahan mendekati kami dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Yang jelas dia tidak terlihat bersahabat atau pun baik-baik saja. "Hebat kamu Ros, setelah berhasil mengambil semua hartaku lewat Mas Haikal, sekarang kamu menikah dengan lelaki lain. Apakah aku harus bilang selamat atau justru menyebutmu payah?" Tanpa basa-basi dia langsung melontarkan kata-kata yang menurutku isinya fitnah semua. Mas Haikal hanya sekali mengajak Alfan jalan-jalan dan membelikan mainan serta makanan yang ternyata dijadikan alasan s
Berselang dua minggu setelahnya, hari pernikahanku dengan Mas Dika dilaksanakan secara sederhana di kediamanku. Hanya kerabat dekat dan teman-teman dekatku saja yang menghadiri. Satu minggu kemudian kami mengadakan resepsi di gedung. Ini karena keinginan Mamanya Mas Dika karena Mas Dika adalah anak pertama di keluarga mereka. Kata ibu mertuaku itu ini adalah pernikahan yang sudah lama ditunggu-tunggu maka mereka ingin mengadakan pesta yang cukup meriah. Orang tua Mas Dika sendiri merasa kaget ketika aku diperkenalkan kepada mereka. "Ini Rosa yang langganan kain, kan?" "I-iya, Bu." "Masya Allah, kalian kenal dimana?" pekiknya setelah dipastikan bahwa aku adalah langganan kain di toko mereka. Senyumnya terpancar. Saking seringnya berbelanja, aku memang sudah akrab dengan beliau. "Kami dipertemukan Allah dengan cara yang tidak disangka-sangka," jawab Mas Dika saat itu. Alhamdulillah keluarga Mas Dika mau menerimaku juga Alfan. Sedikitnya memang mereka kenal denganku karena Andra
Sejak dalam mobil hingga kami duduk berhadapan yang hanya terhalang meja kecil ini, aku maupun Mas Dika masih banyak diam. Entah apa yang lelaki itu pikirkan. Apakah mungkin sama dengan yang ada di dalam otakku? Kejadian tadi sebelum berangkat membuat aku benar-benar tak enak hati. Bagiamana tidak, kencan pertama kami harus diawali dengan perselisihan dengan mantan suamiku. Padahal ini bisa dibilang sebagai momen yang penting bagi kelangsungan hubungan aku dan Mas Dika. Selain merasa tidak enak hati, aku juga merasa malu ketika terpaksa aku harus mengatakan bahwa Mas Dika calon suamiku. Padahal diantara kami belum ada pembicaraan ke sana. "Mmm ... Mas, aku minta maaf atas kejadian tadi." "Ah iya, tidak apa-apa. Anggap saja itu tidak terjadi, kecuali satu hal." Mas Dika tersenyum penuh arti. "Apa itu?" "Kamu sungguh-sungguh dengan ucapanmu tadi?" tanyanya masih dalam senyuman. Aku menautkan alis, meski aku mengerti tapi aku takut salah faham. "Yang mana?" Akhirnya aku bertanya
Namun penampilannya sekarang tidak se-rapi beberapa bulan yang lalu ketika awal-awal dia bertemu Arumi. Sekarang bajunya lusuh dan rambutnya pun berantakan. "Mas Haikal?" gumamku. Lalu aku menoleh ke arah lelaki di sampingku yang nampak heran. "Ros! Aku mau ngomong sama kamu," ucap Mas Haikal sambil berjalan ke arahku. "Ngomong saja, Mas!" jawabku datar sebab punya firasat kalau kedatangan pria ini tidak punya maksud baik. Terlihat dari cara dia menatap Mas Dika. "Hanya berdua," lanjutnya sambil melirik sinis ke arah Mas Dika. "Aku tunggu di mobil, ya." Paham dengan apa yang dimaksud oleh Mas Haikal, akhirnya Mas Dika berjalan memutar ke belakang mobil lalu masuk dan duduk di belakang kemudi. "Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi pada Mas Haikal. "Aku mau minta maaf sama kamu Ros, bukankah dari dulu aku tidak pernah ada niat untuk menceraikan kamu? Jadi sampai kapan pun aku selalu sayang sama kamu." Aku membuang pandangan mendengar ucapan Mas Haikal. "Aku sudah memaafkanmu dari