All Chapters of Gairah Panas Suami (Pura-pura) Buta: Chapter 71 - Chapter 80

100 Chapters

Bab 71

Emily menatap adegan di depannya dengan mata yang membelalak terkejut. Elizabeth berada di atas William, wajah mereka begitu dekat, jelas itu tidak boleh!Tubuh William tampak lunglai, sementara Elizabeth terlihat seperti seseorang yang tengah menikmati keintiman yang sedang terjadi. “Dokter Elizabeth! Apa yang sedang kau lakukan?!” suara Emily memecah keheningan, meluncur tajam seperti pisau. Elizabeth tersentak, wajahnya langsung berubah pucat pasi. Dengan tergesa, dia bangkit dari posisi yang mencurigakan itu, merapikan bajunya sambil berusaha menjelaskan. “Maaf, Nyonya muda Emily. Ini hanya kesalahpahaman saja. Saya tadi sedang membantunya duduk, tapi tidak sengaja terjatuh... dan, ya, posisi kami jadi seperti itu.” Emily memicingkan matanya, tatapannya penuh dengan amarah serta kecurigaan yang terpendam. Penjelasan Elizabeth barusan terdengar terlalu sempurna, seperti sudah disiapkan sebelumnya.
last updateLast Updated : 2025-01-30
Read more

Bab 72

Hari itu benar-benar terasa lebih panjang dari biasanya bagi Emily. Kamar yang biasanya terasa hangat kini seolah mencekam dengan keheningan. Emily berjalan mondar-mandir di ruang tengah, menggigit bibirnya untuk menahan rasa gelisah yang terus merayapi pikirannya. William tidak biasanya seperti ini. Jika memang dia sibuk sekalipun, dia akan menyempatkan diri untuk mengirim pesan atau menelepon, setidaknya memberi tahu keadaannya maupun aktivitasnya. Tapi kali ini, benar-benar tidak ada sepatah kata pun sejak pagi tadi. Emily mencoba menenangkan dirinya. Mungkin dia sedang benar-benar sibuk. Ada rapat mendadak, atau sesuatu yang tidak bisa dia tinggalkan. Dia berusaha menanamkan pemikiran itu dalam benaknya, tapi kegelisahannya tidak juga mereda. Menjelang malam, kekhawatiran Emily semakin menjadi. Ia duduk di sofa dengan ponsel di tangannya, mengamati layar yang tetap kosong dari notifikasi apa pun d
last updateLast Updated : 2025-01-30
Read more

Bab 73

Pagi itu langit terlihat begitu mendung, seolah menggambarkan suasana hati Emily yang tengah dirundung kekhawatiran. Saat ia bangun dari tidurnya, matanya langsung melirik ke sisi ranjang. Kosong. Lagi-lagi, William tidak ada di sana. Emily duduk di tepian ranjang, tangannya mengusap wajahnya yang terlihat mulai lelah. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa William terus menjauh darinya? Meski ia berusaha terus berpikir positif, semua ini mulai terasa seperti sebuah pola yang sengaja diciptakan untuk menjauhkan mereka berdua. Emily bangkit, menarik napas panjang. Dia ingin mencari William di rumah, memastikan bahwa suaminya benar-benar pulang semalam. Namun, langkahnya terhenti ketika ponselnya berdering di meja samping ranjang. Nama Tuan Xavier terpampang jelas di layar. “Paman Xavier?” gumam Emily sambil meraih ponselnya cepat. Segera menjawab
last updateLast Updated : 2025-01-31
Read more

Bab 74

Pagi itu, Emily berdiri di depan pintu besar rumah orang tuanya. Tangannya menggenggam gagang tas dengan erat, pikirannya dipenuhi perasaan campur aduk. Permintaan mereka agar dia pulang sebentar akhirnya dia kabulkan setelah mereka berjanji tidak akan menahannya lebih lama. “Hah...... sebenarnya aku malas, tapi yah...” Emily melangkah masuk dan mendapati Johan dan Julia, duduk di ruang keluarga. Wajah mereka terlihat lesu, seolah ada banyak beban pikiran. “Ayah tidak pergi bekerja?” tanya Emily, keheranan. Johan menggelengkan kepalanya. “Tidak, Ayah sedang tidak ada mood.” Emily memilih duduk di seberang mereka, suasana hening sesaat sebelum Johan membuka pembicaraan. “Emily,” Johan memulai dengan suara rendah, “Ayah rugi hampir satu juta dolar karena skandal Hendrick. Semua ini menghancurkan hubungan kerja sama yang selama ini menopang bisnis
last updateLast Updated : 2025-01-31
Read more

Bab 75

Masih tidak berani keluar, Emily bertahan di dalam lemari. Tubuhnya kehilangan energi, habis untuk menangis. Kenyataan yang tidak masuk akal ini rasanya enggan untuk ia terima. Tapi, siapa yang akan bisa mengelak kebenaran? Sudah tidak perlu lagi menutup mulutnya karena takut akan menimbulkan suara, bahkan Emily tidak memiliki secuil tenaga guna membuka mulutnya. “William, aku mengerti aku pernah melakukan kesalahan sebelumnya. Tapi, kenapa kau juga seperti itu? Sekarang, siapa yang bisa aku percaya? Aku tidak tahu siapa yang tulus dan jujur padaku. Kalian semua... apakah sangat menikmati kebodohanku selama ini?” ucap Emily pilu, di dalam hatinya. Hanya sebuah boneka, Emily jelas tidak lebih dari itu. Keluarganya Hendrick, keluarganya Emily sendiri, William, Jessica dan Ayahnya, mereka semua yang dekat dengannya hanya memanfaatkannya saja.
last updateLast Updated : 2025-02-01
Read more

Bab 76

Emily menyeka air matanya. Menghentikan tawanya dan tinggal isak tangisnya saja. William mencengkram tingkat penuntun. Perasaannya begitu tidak tenang. Ingin sekali melihat ekspresi wajah Emily, tapi dia juga tidak berani melakukan itu di dekat Nyonya besar. Nyonya besar masih menatap Emily dengan tatapan kesal. “Nek, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Kalau Nenek dan William mau melakukan itu, maka lakukan saja,” ungkap Emily pasrah. “Aku tidak mau mengatakan apapun lagi sekarang.” Nyonya besar memukul meja, namun tuda kuat mengingat ia sudah cukup tua untuk itu. Brak! “Lancang!” kesalnya. “Apa ini caramu untuk protes? Apakah kau ingin William buta selamanya?!” Emily lagi-lagi tersenyum. Menggeleng kepala keheranan. “Masih bagus aku tidak menghalangi pernikahan kalian dulu, jadi jangan banyak tingkah!” peringat Nyonya besar. “Nek, tolong jangan memulai pembicaraan itu lagi,” c
last updateLast Updated : 2025-02-01
Read more

Bab 77

William baru saja akan meninggalkan ruang rapat terakhirnya untuk hari itu. Dia ingin segera sampai di rumah, menemui Emily. “Aku harus bicara dengannya,” batin William. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Emily. Untungnya dia benar-benar berkonsentrasi untuk semua pekerjaan hari ini. Perasaan bersalah terus menghantui setiap langkahnya, membuat dia semakin tidak sabar untuk segera pulang ke rumah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Robert menjawab panggilan telepon dengan ekspresi yang serius. Wajah Robert berubah menjadi pucat. Setelah menutup telepon, dia mendekati William dengan wajah cemas itu. “Tuan William,” suara Robert terdengar gugup, “Nyonya Emily... jatuh dari tangga rumah. Kondisinya cukup parah, dan sekarang dia sudah dilarikan ke rumah sakit oleh para pelayan.” Dunia William seolah berhenti berputar. Kata-kata itu seperti palu baja yang menghantam jantun
last updateLast Updated : 2025-02-02
Read more

Bab 78

Di rumah keluarga William, Emily berada di sana setelah kedua orang tuanya menitipkan sebentar untuk melakukan sesuatu yang penting. Ruangan itu penuh dengan nada-nada indah yang dimainkan dengan jemari kecil Emily yang lincah di atas tuts piano. Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu begitu menikmati setiap alunan melodi yang tercipta oleh lihainya jarinya. Senyumnya lebar, mencerminkan kebahagiaan murni dari seorang anak yang tenggelam dalam dunia musiknya sendiri. Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Dari kejauhan, suara anjingnya menggonggong dengan keras, memecah konsentrasi Emily saat itu.“Lucky, apa dia lapar?” pikirnya. Gonggongan itu pun berubah menjadi suara rintihan kesakitan. Emily berhenti bermain, alisnya berkerut. “Lucky?” panggilnya.Tidak ada jawaban, hanya rintihan yang semakin terdengar lirih. Emily segera turun dari kursi pianonya, kakinya yang kecil melangkah
last updateLast Updated : 2025-02-02
Read more

Bab 79

Emily masih kembali ke masa kecilnya. Kenangan demi kenangan bermunculan, seolah ingin memberitahunya sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut pikirannya. Begitu banyak hal yang tidak ia duga. Dia melihat dirinya yang masih kecil, duduk di sudut ruangan sambil menangis. Masih di rumah William yang dulu. Di depan Emily kecil, Hendrick berdiri dengan wajah dingin, tangannya masih menggenggam sebuah mainan yang baru saja dia patahkan. “Jangan cengeng, Emily. Mainan itu hanya sampah,” kata Hendrick dengan nada acuh. Tak terlihat bersalah. Emily kecil memeluk lututnya erat, air matanya terus mengalir. Hendrick pun mendekat, dan sebelum Emily sempat bereaksi, tangan Hendrick mengayun lantang, mendarat di lengannya dengan kasar. Plak!“Diam, jangan menangis, berisik sekali!” desis Hendrick. Tapi sebelum Hendrick bisa melakukan lebih jauh, sebuah suara tenang namun tegas menghentikannya. “Hentikan, Hendric
last updateLast Updated : 2025-02-03
Read more

Bab 80

Ruangan itu dipenuhi suara alat pendeteksi jantung yang semakin melemah, membuat suasana semakin mencekam. Tubuh William gemetar, takut. Emily masih terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya pucat dan tidak bergerak. William menggenggam erat jemari Emily yang dingin. “Emily... tolong bertahan, aku mohon...” suara William bergetar penuh rasa takut. Air mata menetes tanpa permisi, mencerminkan kepanikan dan penyesalan yang ia pendam. Dokter dan perawat di ruangan itu cekatan bergerak, mencoba menstabilkan kondisi Emily yang kian menurun. “Kita hampir kehilangan dia!” teriak salah seorang perawat sambil menyesuaikan alat bantu pernapasan. “Bergerak lebih cepat!” William tidak lagi peduli pada keributan di sekitarnya. Fokusnya hanya pada Emily seorang. Dia berlutut di sisi ranjang, mendekatkan wajahnya ke tangan Emily yang mulai terasa dingin. “Emily, aku mohon... Jangan pergi. Aku but
last updateLast Updated : 2025-02-03
Read more
PREV
1
...
5678910
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status