Semua Bab CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku: Bab 71 - Bab 80

159 Bab

71. Seperti Hantu

Cheryl memoles lipstik di bibirnya sebagai sentuhan akhir, lalu sedikit memiringkan wajahnya, meneliti pantulan dirinya di cermin. Warna merah lembut itu berpadu sempurna dengan kulitnya, memberikan kesan mewah yang selama ini hanya bisa ia lihat di wajah-wajah model iklan."Lipstik mahal ternyata emang betulan sebagus ini," gumamnya pelan, seolah berbicara pada bayangannya sendiri.Tangannya terulur, meletakkan lipstik berlabel Chanel ke atas meja rias dengan hati-hati, seakan benda kecil itu lebih berharga dari semua barang yang pernah ia miliki. Deretan kosmetik mahal berjejer rapi di sana, semuanya dari brand yang tak mungkin ia beli dengan uang sendiri. Foundation, blush, eyeshadow, juga parfum dengan botol kaca elegan yang aromanya seperti perpaduan vanila lembut dan rempah eksotis.Semua ini sudah ada di sini sebelum dia datang.Cheryl menghela napas. Bara betul-betul mengontrol kebutuhannya sedetail ini. Bukan hanya tas, sepatu, atau pakaian yang tergantung di lemarinya—bah
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-26
Baca selengkapnya

72. Cincin Itu Melingkar di Jarinya

Cheryl menelan ludah, tenggorokannya terasa kering saat suara Bara masih terngiang di telinganya—rendah, tanpa intonasi, namun begitu tajam hingga menusuk ke dalam benaknya. Ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuat bulu kuduknya berdiri. Bukan hanya karena nada suaranya yang dingin, tetapi karena betapa terkontrolnya emosi di balik setiap kata yang diucapkannya. Seakan Bara tidak perlu mengancam atau meninggikan suara untuk menanamkan rasa takut di dalam dirinya.Bara tidak menyentuhnya, tetapi Cheryl merasa terkekang. Kehadiran pria itu mendominasi udara di antara mereka, menyesakkan ruang hingga terasa nyaris mustahil untuk bernapas lega. Mata tajam Bara mengunci pergerakannya, seperti predator yang menunggu mangsanya membuat kesalahan.Cheryl berusaha tetap tegak, mencoba menyangkal kegelisahan yang mencengkeramnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, namun ia menegakkan dagu, menolak tunduk di bawah tekanan yang begitu kuat."Kalau yang kamu maksud lelaki lain itu a
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-26
Baca selengkapnya

73. Drama Sarapan

Langkah Bara yang panjang dan mantap memaksa Cheryl untuk hampir setengah berlari di belakangnya. Napasnya pendek, frustrasi menggumpal di dadanya. Dengan gerakan cepat, Cheryl mencoba menarik tangannya, berusaha melepaskan diri dari genggaman pria itu.Sia-sia.Pegangan Bara kuat, tidak sekadar menahan, tetapi juga seolah mengklaim. Cheryl mendesis pelan, tatapan tajamnya menusuk punggung pria itu. “Bara, lepasin,” desisnya, suaranya penuh perlawanan.Bara tidak menjawab. Tidak juga menoleh. Langkahnya tetap stabil, ekspresinya tetap dingin—seolah keberadaan Cheryl di sebelahnya sama sekali tidak berarti.Darah Cheryl mendidih.Pria sialan.“Apa-apaan sih kamu? Enak aja main tarik-tarik tangan perempuan kayak di drama-drama murahan!” Cheryl mengomel, suaranya makin naik seiring dengan kekesalannya. “Lepasin! Tanganku pegal tahu! Kamu pikir aku ini koper yang bisa kamu seret-seret seenaknya kayak gini?”Tidak ada jawaban. Tidak ada reaksi. Langkah Bara tetap stabil, ekspresinya teta
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-27
Baca selengkapnya

74. Cucu yang Manis

Bara menatap kakeknya dengan sedikit keterkejutan, namun ia segera mengendalikan ekspresinya. Pria tua itu berdiri tegak dengan sorot mata tajam yang menyelidik, seolah sedang menilai setiap detail di ruangan itu. Meski usianya sudah lanjut, posturnya tetap tegap, mencerminkan wibawa seorang pemimpin yang tak luntur oleh waktu."Opa? Tumben mampir sepagi ini?" Bara menghampiri kakeknya dengan sikap hormat, mencoba mencari alasan di balik kedatangannya yang mendadak.Sementara itu, Cheryl yang semula bingung, kini mulai memahami situasi. Ia segera berdiri dari kursinya, mengangguk sopan kepada pria tua itu. "Selamat pagi, Tuan," sapanya dengan suara yang terdengar tenang, meskipun di dalam hatinya merasakan kegugupan luar biasa.Kakek Bara, Purnomo Sigit Wardhana atau yang biasa ia panggil dengan sebutan Opa Sigit, mengalihkan pandangannya dari Bara ke Cheryl. Tatapan tajamnya menyapu gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah sedang menilai apakah kehadirannya pantas atau
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-27
Baca selengkapnya

75. Sepanas Seduhan Kopi

Cheryl menelan ludah, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya. Sorot mata Tuan Sigit yang tajam membuatnya merasa seolah setiap gerak-geriknya tengah dinilai, diuji dalam diam oleh pria tua yang berwibawa itu. Sebagai seorang asisten pribadi, Cheryl sadar tidak boleh menunjukkan kegugupan yang terlalu mencolok. Dengan sigap, ia memanggil pelayan untuk segera membereskan meja makan.Akan tetapi, suara berat Tuan Sigit menghentikannya."Kenapa tidak kamu saja yang membereskannya sendiri, Cheryl? Bukankah ini sesuatu yang mudah dilakukan?"Cheryl tertegun. Ada tekanan dalam nada suara itu, seolah menuntut lebih dari sekadar kepatuhan. Seperti sebuah ujian terselubung yang harus ia sikapi dengan bijaksana. Dan sepertinya sekadar mengikuti perintah tanpa berpikir bukanlah jawaban yang tepat bagi seseorang seperti Tuan Sigit. Cheryl segera menyusun kalimatnya dengan hati-hati sebelum akhirnya menjawab dengan tenang."Maaf. Saya hanya mencoba bersika
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-27
Baca selengkapnya

76. Dapur yang Gerah

Cheryl meletakkan cangkir kopi di atas meja dengan gerakan terkendali, berusaha sekuat tenaga agar ekspresinya tetap netral. "Silakan, Tuan," ucapnya, suaranya terdengar stabil meski ada ketegangan samar yang menyusup di tengkuknya.Tuan Sigit mengangkat cangkir itu dengan tenang, mengendus uapnya sebelum menyesap perlahan. Sejenak, ekspresinya sulit ditebak, hanya kesunyian yang menggantung di antara mereka."Hmm," gumamnya akhirnya, senyum kecil terukir di wajahnya. "Terima kasih, Cheryl."Ada sesuatu dalam senyum itu yang terasa seperti pujian. Pujian dari seorang pria yang selama ini hanya Cheryl lihat lewat televisi nasional dan majalah bisnis."Baiklah, Tuan. Saya permisi dulu. Tuan Bara meminta saya kembali ke dapur," katanya, sedikit tergesa, ingin menjauh secepat mungkin.Tuan Sigit mengangguk, dan Cheryl segera melesat ke dapur, seakan bara api mengejarnya.Di dapur, Bara yang menyadari kedatangan Cheryl segera menoleh. "Kenapa? Wajahmu pucat begitu?" tegurnya dengan tatapan
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-02-28
Baca selengkapnya

77. Alarm Bahaya di Hatiku

Seolah tak terjadi apa-apa, Bara berkata santai, suaranya rendah dan tenang, "Nah. Makanan untuk Opa sudah siap. Bantu aku membawanya ke ruang makan."Cheryl menelan ludah, napasnya masih berantakan. Dadanya naik turun dalam ritme yang tak bisa ia kendalikan, sementara pria di depannya bertingkah seakan kejadian tadi hanyalah angin lalu. Seakan bibirnya tak baru saja dituntut dalam ciuman ringan tapi cukup memabukkan baginya. Sialan. Bara telah mencuri ciuman pertamanya—jika sentuhan bibir tadi bisa disebut ciuman.Ia bahkan masih bisa merasakan sisa panas di sana, jejak Bara yang berdenyut seperti bara api yang tak kunjung padam di permukaan bibirnya. Tangan Cheryl mengepal di sisi tubuh, berusaha meredam gejolak yang mengamuk di dalam dirinya.Dengan gerakan kasar, Cheryl menarik napas dalam, berusaha menekan debaran liar di dadanya. “Kamu baru saja melanggar perjanjian: tak ada sentuhan fisik. Ingat?” desisnya, merasa marah.Bara mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang, nyaris
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-01
Baca selengkapnya

78. Hati-Hati

Cheryl hampir membanting pintu kamarnya, lalu bersandar di baliknya, jantungnya masih berdegup kencang. Udara di dalam ruangan terasa lebih hangat dibandingkan lorong di luar, bercampur aroma lembut lavender dari diffuser di atas nakas.Sialan.Bara dan kedekatan mereka barusan terlalu berbahaya. Pria itu seperti badai yang datang tanpa aba-aba, memorak-porandakan ketenangannya sepagi ini."Dasar bajingan gila… Apa-apan sih dia?" Cheryl menggeram, suaranya hampir tertelan napasnya sendiri. "Maunya apa, sih?"Tapi bukan itu yang benar-benar mengusiknya.Bara bukan pria yang hanya sekadar menggoda untuk bersenang-senang. Ada sesuatu dalam caranya menatap, seolah menembus batas yang ia pasang di sekeliling dirinya. Seakan tahu di mana titik lemahnya.Dan yang paling mengganggunya adalah… ia tidak bisa menyangkal bahwa hal itu mengguncangnya.Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang sebelum berjalan menuju jendela. Begitu tangannya menyibak tirai, langit masih gelap dengan sembura
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-01
Baca selengkapnya

79. Terjadi Lebih Cepat

Bara melangkah cepat, menyusul kakeknya yang sudah lebih dulu memasuki Rolls-Royce hitam yang menunggu di halaman utama. Pagi masih terlalu sunyi, hanya suara angin yang mengusik keheningan ketika pintu mobil ditutup dengan lembut.Begitu ia duduk di sampingnya, Tuan Sigit langsung berbicara tanpa basa-basi, “Dari mana kamu mendapat asisten baru itu, Bara?”Tatapan pria tua itu lurus ke depan, tetapi ada ketajaman yang berpendar di balik sorot matanya yang sudah dipenuhi pengalaman hidup. “Siapa yang merekomendasikan dia kepadamu?”Bara mengatupkan rahangnya, mengulur waktu beberapa detik sebelum menjawab.Ia sudah terbiasa dengan kewaspadaan kakeknya, dengan prinsip kehati-hatiannya yang hampir obsesif dalam memilih siapa yang bisa berada di lingkaran mereka.“Aku sendiri yang memilihnya.”Hening. Tuan Sigit menghela napas perlahan, tetapi cukup dalam untuk menunjukkan ketidakpuasannya. “Sejak kapan kamu menerima pegawai tanpa jaminan? Tanpa latar belakang yang jelas?” Suaranya te
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya

80. Antara Duka dan Kelegaan

Mobil Rolls-Royce itu melambat saat memasuki kompleks pemakaman mewah yang tertata rapi, dengan pepohonan tinggi menjulang seperti penjaga bisu di antara nisan-nisan marmer.Langit yang sedikit mendung menggantung rendah, seolah meredam suasana dengan bayang-bayang suram.Rahang Bara mengencang. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Namun, tidak ada. Hanya keheningan yang menyesakkan, dan perasaan yang mencengkeramnya erat.Saat mobil berhenti, seorang pria berjas rapi menghampiri. Asisten pribadi Tuan Sigit menyodorkan buket mawar kuning—bunga favorit Sabira.Ketika mobil berhenti, seorang pria berjas rapi segera menghampiri. Asisten pribadi Tuan Sigit menyodorkan buket bunga mawar kuning untuk mereka—bunga favorit Sabira.Bara meraihnya dengan tangan yang terasa dingin. Aroma bunga itu menyengat penciumannya—terlalu familiar, terlalu mengingatkan pada sesuatu yang telah lama ia kubur dalam-dalam.Langkahnya berat saat ia
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-03-02
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
16
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status