Seolah tak terjadi apa-apa, Bara berkata santai, suaranya rendah dan tenang, "Nah. Makanan untuk Opa sudah siap. Bantu aku membawanya ke ruang makan."Cheryl menelan ludah, napasnya masih berantakan. Dadanya naik turun dalam ritme yang tak bisa ia kendalikan, sementara pria di depannya bertingkah seakan kejadian tadi hanyalah angin lalu. Seakan bibirnya tak baru saja dituntut dalam ciuman ringan tapi cukup memabukkan baginya. Sialan. Bara telah mencuri ciuman pertamanya—jika sentuhan bibir tadi bisa disebut ciuman.Ia bahkan masih bisa merasakan sisa panas di sana, jejak Bara yang berdenyut seperti bara api yang tak kunjung padam di permukaan bibirnya. Tangan Cheryl mengepal di sisi tubuh, berusaha meredam gejolak yang mengamuk di dalam dirinya.Dengan gerakan kasar, Cheryl menarik napas dalam, berusaha menekan debaran liar di dadanya. “Kamu baru saja melanggar perjanjian: tak ada sentuhan fisik. Ingat?” desisnya, merasa marah.Bara mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang, nyaris
Cheryl hampir membanting pintu kamarnya, lalu bersandar di baliknya, jantungnya masih berdegup kencang. Udara di dalam ruangan terasa lebih hangat dibandingkan lorong di luar, bercampur aroma lembut lavender dari diffuser di atas nakas.Sialan.Bara dan kedekatan mereka barusan terlalu berbahaya. Pria itu seperti badai yang datang tanpa aba-aba, memorak-porandakan ketenangannya sepagi ini."Dasar bajingan gila… Apa-apan sih dia?" Cheryl menggeram, suaranya hampir tertelan napasnya sendiri. "Maunya apa, sih?"Tapi bukan itu yang benar-benar mengusiknya.Bara bukan pria yang hanya sekadar menggoda untuk bersenang-senang. Ada sesuatu dalam caranya menatap, seolah menembus batas yang ia pasang di sekeliling dirinya. Seakan tahu di mana titik lemahnya.Dan yang paling mengganggunya adalah… ia tidak bisa menyangkal bahwa hal itu mengguncangnya.Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang sebelum berjalan menuju jendela. Begitu tangannya menyibak tirai, langit masih gelap dengan sembura
Bara melangkah cepat, menyusul kakeknya yang sudah lebih dulu memasuki Rolls-Royce hitam yang menunggu di halaman utama. Pagi masih terlalu sunyi, hanya suara angin yang mengusik keheningan ketika pintu mobil ditutup dengan lembut.Begitu ia duduk di sampingnya, Tuan Sigit langsung berbicara tanpa basa-basi, “Dari mana kamu mendapat asisten baru itu, Bara?”Tatapan pria tua itu lurus ke depan, tetapi ada ketajaman yang berpendar di balik sorot matanya yang sudah dipenuhi pengalaman hidup. “Siapa yang merekomendasikan dia kepadamu?”Bara mengatupkan rahangnya, mengulur waktu beberapa detik sebelum menjawab.Ia sudah terbiasa dengan kewaspadaan kakeknya, dengan prinsip kehati-hatiannya yang hampir obsesif dalam memilih siapa yang bisa berada di lingkaran mereka.“Aku sendiri yang memilihnya.”Hening. Tuan Sigit menghela napas perlahan, tetapi cukup dalam untuk menunjukkan ketidakpuasannya. “Sejak kapan kamu menerima pegawai tanpa jaminan? Tanpa latar belakang yang jelas?” Suaranya te
Mobil Rolls-Royce itu melambat saat memasuki kompleks pemakaman mewah yang tertata rapi, dengan pepohonan tinggi menjulang seperti penjaga bisu di antara nisan-nisan marmer.Langit yang sedikit mendung menggantung rendah, seolah meredam suasana dengan bayang-bayang suram.Rahang Bara mengencang. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Namun, tidak ada. Hanya keheningan yang menyesakkan, dan perasaan yang mencengkeramnya erat.Saat mobil berhenti, seorang pria berjas rapi menghampiri. Asisten pribadi Tuan Sigit menyodorkan buket mawar kuning—bunga favorit Sabira.Ketika mobil berhenti, seorang pria berjas rapi segera menghampiri. Asisten pribadi Tuan Sigit menyodorkan buket bunga mawar kuning untuk mereka—bunga favorit Sabira.Bara meraihnya dengan tangan yang terasa dingin. Aroma bunga itu menyengat penciumannya—terlalu familiar, terlalu mengingatkan pada sesuatu yang telah lama ia kubur dalam-dalam.Langkahnya berat saat ia
Cheryl berdiri di depan lift, jemarinya mengusap permukaan ponsel tanpa sadar, seolah mencari pegangan dari kegelisahan yang mencengkeramnya. Napasnya tertahan, sementara layar ponsel masih menampilkan pesan dari Sofyan—hanya beberapa kata, tapi cukup untuk membangkitkan ketegangan yang merayap ke seluruh tubuhnya.Bunyi ding terdengar saat pintu lift terbuka, aroma pengharum ruangan bercampur jejak samar parfum menyergapnya begitu ia melangkah masuk. Sesaat, Cheryl memejamkan mata. Sial. Kenapa tubuhnya masih bereaksi gugup seperti ini?Mungkin karena ini hari pertamanya bekerja. Atau mungkin karena pekerjaan ini lebih dari sekadar pekerjaan—ia tahu betul bahwa ini hanya kamuflase dari hubungannya dengan Bara. Tapi, ia tidak peduli. Memiliki sesuatu untuk dikerjakan memberinya pegangan, alasan untuk tetap bertahan dalam dunianya yang terasa begitu asing.Saat lift berhenti di lantai yang dituju, ia melangkah keluar. Pantulan dirinya di pintu kaca menampilkan wajah yang lebih puc
Perhiasan itu milik... tunangan bara. Tenggorokannya terasa kering.Kilasan kenangan kembali muncul dalam benaknya—saat Bara menyematkan cincin itu ke jarinya dengan ekspresi kosong, tanpa senyum, tanpa emosi yang seharusnya menyertai momen sakral itu. Ia tidak berpikir terlalu jauh saat itu. Tidak berani. Yang ia tahu, ia telah menikah dengan Bara. Dan cincin itu… adalah tanda dari pernikahan mereka, kan?Namun ternyata… bukan. Itu bukan sesuatu yang dipilih khusus untuknya. Itu bukan sesuatu yang memiliki makna untuk mereka. Itu hanyalah sesuatu yang diambil... karena ketersediaannya.Perutnya terasa melilit. Rasa aneh menyelusup ke dalam dadanya, menciptakan sensasi tidak nyaman yang sulit ia deskripsikan."Jadi tolong," suara Sofyan terdengar kembali, lembut tetapi tegas. "Simpan itu baik-baik. Sebab jika kamu memakainya dan ada yang melihat, terutama... orang-orangnya Nona Milena, semuanya bisa berantakan. Kecuali kalau kamu memang berencana menghancurkan ketenangan hidup Pak B
Cheryl diberi tempat di ruangan yang sama dengan Sofyan, sebuah meja kecil di sudut ruang. Permukaan meja itu terbuat dari kayu mahoni berlapis finishing mengilap, dengan sudut-sudut halus yang menunjukkan desain elegan dan mahal. Diusapnya permukaan meja itu dengan ujung jarinya, iapun menyadari betapa wah rasanya duduk di tempat ini. Jika sebelumnya ia merasa posisinya tak lebih dari bayangan di kehidupan Bara, sang CEO dari perusahaan ini, kini setidaknya ia diberikan ruang yang sepadan, sebuah tempat yang mengisyaratkan bahwa pekerjaannya bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.Kursi ergonomis berbalut kulit hitam yang disediakan untuknya terasa nyaman dan kokoh, seolah dirancang khusus untuk orang-orang penting di perusahaan.Sebuah laptop kantor yang ramping sudah tersedia di mejanya, ditemani tumpukan berkas yang masih rapi, menunggu untuk ditelaah.Selain perlengkapan standar seperti notes kecil, pena, dan sticky notes berwarna kuning, ada juga agenda kulit berkelas, tempat
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, jarum jam sudah melewati angka dua belas, menandakan jam makan siang. Cheryl yang sejak tadi sibuk menyesuaikan diri dengan ritme kerja barunya akhirnya mengangkat kepala dari layar laptop, lalu melirik Sofyan yang masih fokus mengetik di meja utama."Mas Sofyan, soal makan siang buat Pak Bara gimana?" tanyanya, berusaha terdengar sigap.Sofyan hanya melirik sekilas sebelum kembali mengetik. "Pak Bara lagi nggak di kantor," sahutnya santai.Cheryl mengerjapkan mata. "Oh... begitu ya."Tapi bukannya memberi penjelasan lebih lanjut, Sofyan justru mengembuskan napas pendek dan menatapnya dengan sorot tajam. "Kamu makanya cek dong jadwalnya sewaktu-waktu, gimana sih?" omelnya dengan nada datar, tapi cukup membuat Cheryl tersentak. "Kamu tuh telat banget tanya makan siangnya Bapak jam segini, paling nggak sejak sejam yang lalu dong kamu siapin. Tanyain dulu si bapak mau menu apa, terus buruan order dan pastikan makanan tetap dalam kondisi hangat
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m
Bara menatap Valen dalam diam. Sorot matanya penuh kemarahan yang terpendam—dingin, tapi tajam seperti ujung pisau. Ia menggertakkan rahangnya perlahan, menahan dorongan untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata yang lebih kasar.Ada banyak kata yang ingin dimuntahkannya, tapi ia memilih menahannya. Bukan karena tak punya keberanian, melainkan karena ia tahu jika Valen bukan sembarang pria. Dan karena itu... ia harus lebih cerdas dari emosinya.Bara mengunci pandangannya pada Valen. “Jadi semua ini cuma karena Cheryl?” Suaranya pelan, tapi mengandung daya hantam yang tak bisa dihindari. “Bukan karena kamu memang ingin menolongku?”Lalu ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dalam hening itu, Bara membuat satu keputusan.“Terima kasih atas bantuannya, Dok. Tapi aku akan membawa Cheryl pulang. Dia istriku. Tanggung jawabku. Dan tempatnya adalah di rumah kami. Bukan di sini.”Tanpa menunggu reaksi Valen, Bara memutar badan dan membuka pintu. Suara derit engsel menjadi pe
Ruangan itu hening setelah Bara dan Valen menghilang ke balik pintu. Cheryl duduk sendirian di atas sofa yang empuk, tapi tak bisa merasa nyaman sedikit pun. Ia menghela napas berat, mencoba mengusir kegelisahan yang menyusup dalam diam. Matanya tiba-tiba menatap remote televisi di meja kecil di sebelahnya. Tangannya bergerak refleks, meraihnya dan menekan tombol power. Cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang pucat, memberikan warna pada keheningan yang menekan.Tapi Cheryl tidak benar-benar berniat menonton. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran. Menenangkan diri. Menyibukkan mata, walau pikirannya tetap berputar-putar di tempat yang sama, tentang ketegangan barusan, antara Bara dan Valen. Tapi Cheryl tak benar-benar ingin menonton. Ia hanya butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan pikirannya. Sesuatu yang bisa menenggelamkan kekacauan di kepalanya. Jempolnya menari cepat, berpindah dari satu saluran ke saluran lain—iklan, sinetron, berita politik. Tak satu pun yang mampu menahan
“Tempat ini paling aman untuk Cheryl saat ini,” ucap Valen akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung ketegasan. “Orang-orang Tuan Sigit akan menyisir semua kemungkinan jejak tentang hubungan kalian, termasuk rumahmu, bahkan mungkin rumah sakit tempat kalian dinikahkan. Tapi mereka tidak akan pernah mencari ke sini.”Bara menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau meremehkan kemampuanku melindungi istriku sendiri, Dok?”Nada bicara Bara terdengar seperti peringatan. Tegas, dingin, namun tak meledak—ia menahan diri. Tapi sorot matanya berbicara lebih dari itu: penuh perhitungan, dan tak suka diremehkan.Cheryl menegang. Jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan intensitas antara dua pria yang berdiri di hadapannya. Suasana seolah mengerucut tajam, seperti dua kekuatan besar yang siap bertabrakan dalam diam.Valen berdiri tegap. Sorot matanya tajam, dan wajahnya tak lagi menyimpan sisa-sisa gurauan seperti biasanya. Cheryl menelan ludah, sulit percaya bahwa pria yang selama in
“Halo, Dok?” sapa Bara, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan. Ia tak melepaskan pelukannya dari Cheryl. Bahkan seolah sengaja menguatkannya, seakan ingin menegaskan bahwa perempuan dalam dekapannya itu bukan sekadar rekan kerja biasa.Tatapan dokter Joshua alias Valen beralih dari Bara ke Cheryl, lalu kembali ke Bara. Ada kegamangan yang nyaris tak tersamar di balik senyumnya.“Cheryl adalah…” Bara menarik napas, lalu melanjutkan dengan mantap, “istriku. Kami menikah diam-diam sejak beberapa bulan lalu. Di salah satu rumah sakitmu.”Keheningan yang menyusul terasa menggantung di udara seperti kabut tipis yang enggan menguap.Valen mematung, menatap keduanya seolah mencoba memastikan apakah telinganya tidak salah dengar. “Di rumah sakit?” ulangnya nyaris tak percaya. Matanya berkedip cepat. “Kalian… menikah di rumah sakit?”“Ya,” jawab Bara tegas. “Semua berlangsung cepat, sederhana, tapi sah.”Valen tak langsung menjawab. Ia mengerjap, seperti mencoba menelan seluruh informasi seka
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta