Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / Chapter 201 - Chapter 210

All Chapters of Pesugihan Genderuwo: Chapter 201 - Chapter 210

221 Chapters

201. Tekanan Semakin Kuat

Pagi yang muram menyelimuti desa. Matahari baru saja naik, tetapi sinarnya terasa suram, seolah enggan menyentuh bumi. Bagas terbangun di lantai dengan tubuh yang terasa kaku. Semalaman dia tertidur di sana setelah menyaksikan perubahan yang terus menghantuinya. Bayangannya sendiri yang bergerak tanpa kendali. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "Ah, pagi ini aku harus apa?" gumamnya sambil merenggangkan tubuh. Bagas menatap kedua tangannya. Bulu-bulu kasar masih memenuhi kulitnya, dan wajahnya terasa lebih berat, seperti semakin tua dan berkerut. "Aku nggak bisa terus seperti ini—" Dia menatap sekeliling rumahnya yang berantakan, penuh dengan pecahan cermin dan sisa-sisa amukan frustrasinya semalam. "Aku harus ke ladang! Siapa tahu harapan masih berpihak kepadaku!" katanya pada diri sendiri, mencoba membangun semangat yang hampir musnah. Bagas mengenakan pakaian lengan panjang dan celana panjang, berusaha menutupi bulu-bulu aneh yang terus tumbuh di tub
last updateLast Updated : 2025-02-02
Read more

202. Rumor kutukan

"Kamu lebih baik pergi dari desa, Bagas!" Bagas terngiang perkataan Mbah Damar. Dia merasa Mbah Damar memang menginginkan dirinya pergi dari desa. "Bagaiamana aku bisa pergi? Aku mau tinggal dimana? sekarang semua udah bukan kaya dulu lagi! Bahkan Ki Praja juga aku tidak tau dimana keberadaannya!" keluh Bagas di tengah perjalanannya ke pasar.Sejak rumor tentang kutukan keluarganya menyebar, dia jarang ke sana. Namun, hari ini dia kehabisan bahan makanan dan terpaksa keluar dari rumah. Saat dia memasuki pasar, suara berbisik-bisik langsung terdengar. Sejumlah pedagang menatapnya dengan tatapan sinis. Seorang ibu-ibu yang sedang memilih sayur berbisik kepada temannya. "Lihat siapa yang datang ... kutukan berjalan." "Berani juga dia muncul setelah semua yang terjadi," sahut yang lain. Bagas berusaha mengabaikan mereka dan berjalan ke lapak sayur milik Bu Sarmi. Namun, sebelum dia bisa membuka mulut, Bu Sarmi buru-buru memasukkan dagangannya ke dalam keranjang dan menatapnya tajam.
last updateLast Updated : 2025-02-03
Read more

203. Tanda Tanya

"Mas, bangun!" Suara itu terdengar sayup, diiringi sentuhan lembut di pipinya. Bagas mengerjap pelan, merasakan kesadaran yang masih setengah tersadar. Cahaya temaram dari lampu gantung menerangi wajah seseorang yang sedang menatapnya. Ratih. "Ra—Ratih?" Bagas menyipitkan matanya, mencoba menyesuaikan pandangannya yang masih buram. "Kamu kenapa?" tanya Ratih, tangannya terulur menyentuh kening Bagas, seolah memastikan apakah dia demam atau tidak. Bagas terdiam beberapa saat, merasakan sakit yang menjalar di tengkuknya. Kepalanya masih berdenyut, dan tubuhnya terasa lemah. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Ini… rumah kontrakannya. Bagaimana bisa dia ada di sini? Bukankah tadi dia masih berada di luar, di depan rumah? "Ti—tidak, tidak apa-apa," katanya akhirnya, meskipun suaranya terdengar lemah. Dengan susah payah, dia duduk tegak di kursi kayu. Ratih menghela napas, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada sorot kasihan di matanya. Tanpa berkata apa-apa, dia berba
last updateLast Updated : 2025-02-04
Read more

204. Kebencian Ratih pada Kehamilannya

"Tunggu, Ratih!" Bagas berteriak saat Ratih perlahan menghilang di tengah derasnya hujan. Hatinya dipenuhi kecurigaan. Ada yang tidak beres. 'Itu bukan anakku ... kan?' Pikiran itu menghantamnya tanpa ampun. Dadanya terasa sesak. Matanya menerawang, mengingat kembali kejadian mengerikan yang pernah terjadi pada Ratih. "Ratih … menjadi syarat pesugihan itu!" Bagas menelan ludah. Napasnya memburu. Sebuah kemungkinan mengerikan terlintas di kepalanya. "Apakah mungkin … itu adalah anak Genderuwo?" Tiba-tiba— GURRRR… DUMMMM! Guntur menggelegar di langit, menyusul kilatan petir yang membelah gelapnya malam. Bagas terlonjak, telinganya berdenging. "Astaga, pertanda apa ini?" desisnya, meremas dadanya yang berdebar hebat. "Jangan-jangan, i—ini benar!" Hujan semakin deras. Pikiran Bagas semakin kacau. Dia harus mengejar Ratih. Dengan gerakan cepat, Bagas meraih jaketnya dan melangkah keluar rumah. Namun, baru saja ia ingin berlari, suara parau menghentikannya. "Bagas,
last updateLast Updated : 2025-02-05
Read more

205. Rasa benci pada diri sendiri

"Neng, sudah sampai!" Suara tukang becak itu mengingatkan Ratih dari lamunannya. Dia terbangun dengan kaget, tubuhnya basah kuyup akibat hujan deras yang terus mengguyur sepanjang perjalanan. "Terima kasih ya, Kang!" katanya pelan dan lemah. Ratih merasakan dingin menusuk tulang, dan perutnya mulai terasa bergejolak. Bayi di dalamnya seolah-olah menuntut perhatian, meminta makanan, namun Ratih merasa mual hanya dengan memikirkan itu. "Anak ini lapar! Tapi—aku nggak mau makan itu lagi!" keluhnya sambil melihat perut buncitnya. Begitu sampai di rumah kontrakan, Ratih segera masuk dan menutup pintu dengan kasar. Dia menanggalkan pakaian basahnya dan berjalan menuju dapur, berusaha mengalihkan perasaannya. Kehamilannya—yang tak pernah dia inginkan—terus menghantuinya. Bayi itu seperti kutukan yang harus dia tanggung. "Entah, aku nggak mau anak ini lahir!" Perasaan Ratih semakin teriris setiap kali melihat kehamilannya. Perutnya masih menuntut makanan, meskipun hati kecilnya menola
last updateLast Updated : 2025-02-06
Read more

206. Malapetaka diciptakan Bagas

"Ratih, kenapa kamu selalu menghindar?!" Bagas berjalan lunglai di tengah derasnya hujan. Bajunya sudah basah kuyup, rambutnya lepek menempel di dahi, dan tubuhnya gemetar. Bukan karena kedinginan, tapi karena penyesalan yang menyesakkan dadanya. Dia mengingat kembali masa-masa bahagianya bersama Ratih. Meski mereka hidup di ambang kemiskinan, Ratih selalu berada di sisinya. Dulu, Ratih adalah cahaya dalam hidupnya. Seorang istri yang setia, yang tak pernah mengeluh meskipun hidup mereka penuh dengan kesulitan. Namun, ketulusan itu Bagas sia-siakan hanya karena satu keputusan bodohnya—melakukan pesugihan. Demi uang, demi hidup yang lebih baik, Bagas telah menukar sesuatu yang jauh lebih berharga: cinta dan kebahagiaannya sendiri. Dia berpikir pesugihan akan membawa kemakmuran bagi keluarganya, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Ratih berubah. Matanya yang dulu penuh kasih kini dipenuhi ketakutan dan kebencian. Tatapannya yang dulu teduh kini terasa dingin dan kosong. "
last updateLast Updated : 2025-02-07
Read more

207. Dosa Tak terampuni

"Mana bisa saya memaafkan manusia seperti dia, Bah!" Feri hampir kehilangan kendali. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan luapan emosi yang sejak lama ia pendam. Tangannya menunjuk-nunjuk wajah Bagas, seakan ingin menusukkan setiap kata kebenciannya langsung ke hati pria itu. Bagas tak bergeming. Dia tetap duduk diam, membiarkan hujatan itu menghantamnya. Kyai Ahmad, yang sejak tadi mengamati, mencoba menenangkan situasi. "Feri, istighfar! Jangan begitu. Semua orang bisa berubah. Siapa kita sampai berhak menutup pintu taubat bagi orang lain?" suara Kyai terdengar lembut, tapi tegas. Namun, Feri tak terima. Matanya memerah, penuh dendam yang tak bisa dipulihkan hanya dengan kata-kata. "Nggak, Bah! Dia tidak akan pernah bisa berubah!" teriaknya, tangannya mengepal. Feri mendekat, berdiri tepat di depan Bagas. Rahangnya mengeras, pandangan matanya dingin. Cuh! Ludahnya jatuh tepat di lantai di hadapan Bagas. "Sampai dia mati pun, saya nggak akan pernah memaafkan manusia
last updateLast Updated : 2025-02-08
Read more

208. Terhalang

Bagas menunduk dalam-dalam, suaranya bergetar saat dia akhirnya mengakui sesuatu yang selama ini dia pendam. "Saya seorang pembunuh, Kyai!" Tangannya mengepal di atas lutut, tubuhnya berguncang. Air matanya jatuh, bercampur dengan sisa air hujan yang masih menempel di wajahnya. Di hadapannya, Kyai Ahmad menghela napas panjang. Sorot matanya tajam, penuh pertimbangan. Dia tahu Bagas bukan hanya sekadar pendosa biasa. Bagas adalah pria yang telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kubangan dosa, melakukan pesugihan yang telah merenggut nyawa banyak orang. Warga kehilangan keluarga mereka. Harta mereka lenyap dan desa ini perlahan-lahan berubah menjadi tempat yang penuh kutukan. Namun, di balik dosa-dosa itu, Kyai Ahmad melihat sesuatu dalam diri Bagas—sesuatu yang mungkin bisa diselamatkan. "Jangan bicara begitu, Bagas." Kyai berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya ada keraguan yang tak bisa ia pungkiri. "Semua orang punya kesalahan. Sekarang kamu sudah mau bertaubat, k
last updateLast Updated : 2025-02-09
Read more

209. Kutukan dalam Kandungan

"Kamu pernah menyadari sesuatu, tidak, Nak Bagas?" Pertanyaan Kyai Ahmad membuat Bagas terdiam sejenak, kebingungan. "Maksud Kyai apa?" tanyanya, mencoba memahami arah pembicaraan Kyai. Kyai Ahmad tidak langsung menjawab. Dia berdiri, mengambil sesuatu dari meja di dekatnya, lalu menyerahkannya pada Bagas. Sebuah kain putih yang sudah menguning, terikat rapat. Saat Bagas menerimanya dan membuka lipatannya, bau busuk menyengat langsung menyerbu hidungnya. "Em—!" Bagas buru-buru menutup hidung, wajahnya meringis jijik. "Baunya busuk sekali, Kyai!" Kyai Ahmad menghela napas panjang. "Itu adalah muntahan istrimu, Ratih." Bagas tersentak. Matanya membesar, tangannya yang memegang kain itu sedikit gemetar. "Apa...?" suaranya melemah. Ratih mengalami hal seperti ini? Kyai Ahmad mengangguk. "Beberapa hari lalu, dia datang kepadaku. Dalam keadaan lemah, wajahnya pucat, dan tubuhnya menggigil." Bagas semakin cemas. "Kenapa dia nggak bilang ke saya, Kyai?" "Karena dia takut
last updateLast Updated : 2025-02-10
Read more

210. Kutukan dari Ki Raden Praja

"Ya. Kemungkinan buruk lainnya, anak itu memiliki sifat iblis!" Bagas dan Kyai menceritakan kehamilan Ratih yang mungkin akan membahayakan bagi manusia. "Aku yakin! kamu tau akan seperti ini, Nak Bagas!" kata Kyai. Bagas menghela napas panjang. "Ya. Aku udah menduganya, Kyai! Karena akulah hal ini menimpa Ratih! ini memang kebodohanku!" jawab Bagas sambil tertunduk menyesal. "Aku juga yakin, bahwa tubuhmu sekarang ini telah di gerogoti oleh sesuatu!" ucap Kyai sambil menatap Bagas dengan prihatin. "Bagaimana Kyai tau?" tanya Bagas mulai tertarik dengan ucapan Kyai. karena dia memang telah ingin menemui Kyai Ahmad dan membicarakan persoalan bulu-bulu halus yang ada di badannya. "Aku udah mengira akan terjadi seperti itu, Bagas! Karena dulu aku pernah menemukan pasien yang seperti itu!" jawab Kyai. Bagas langsung menaikan kepalanya. dia semakin tertarik dengan ucapan Kyai Ahmad. "Lalu, apa Kyai bisa menolong orang itu?" tanya Bagas. "Tidak—" jawaban singkat Kyai. "Aku tidak
last updateLast Updated : 2025-02-11
Read more
PREV
1
...
181920212223
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status