Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / 202. Rumor kutukan

Share

202. Rumor kutukan

Author: Wenchetri
last update Last Updated: 2025-02-03 19:18:51

"Kamu lebih baik pergi dari desa, Bagas!"

Bagas terngiang perkataan Mbah Damar. Dia merasa Mbah Damar memang menginginkan dirinya pergi dari desa.

"Bagaiamana aku bisa pergi? Aku mau tinggal dimana? sekarang semua udah bukan kaya dulu lagi! Bahkan Ki Praja juga aku tidak tau dimana keberadaannya!" keluh Bagas di tengah perjalanannya ke pasar.

Sejak rumor tentang kutukan keluarganya menyebar, dia jarang ke sana. Namun, hari ini dia kehabisan bahan makanan dan terpaksa keluar dari rumah.

Saat dia memasuki pasar, suara berbisik-bisik langsung terdengar. Sejumlah pedagang menatapnya dengan tatapan sinis. Seorang ibu-ibu yang sedang memilih sayur berbisik kepada temannya.

"Lihat siapa yang datang ... kutukan berjalan."

"Berani juga dia muncul setelah semua yang terjadi," sahut yang lain.

Bagas berusaha mengabaikan mereka dan berjalan ke lapak sayur milik Bu Sarmi. Namun, sebelum dia bisa membuka mulut, Bu Sarmi buru-buru memasukkan dagangannya ke dalam keranjang dan menatapnya tajam.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pesugihan Genderuwo   203. Tanda Tanya

    "Mas, bangun!" Suara itu terdengar sayup, diiringi sentuhan lembut di pipinya. Bagas mengerjap pelan, merasakan kesadaran yang masih setengah tersadar. Cahaya temaram dari lampu gantung menerangi wajah seseorang yang sedang menatapnya. Ratih. "Ra—Ratih?" Bagas menyipitkan matanya, mencoba menyesuaikan pandangannya yang masih buram. "Kamu kenapa?" tanya Ratih, tangannya terulur menyentuh kening Bagas, seolah memastikan apakah dia demam atau tidak. Bagas terdiam beberapa saat, merasakan sakit yang menjalar di tengkuknya. Kepalanya masih berdenyut, dan tubuhnya terasa lemah. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar. Ini… rumah kontrakannya. Bagaimana bisa dia ada di sini? Bukankah tadi dia masih berada di luar, di depan rumah? "Ti—tidak, tidak apa-apa," katanya akhirnya, meskipun suaranya terdengar lemah. Dengan susah payah, dia duduk tegak di kursi kayu. Ratih menghela napas, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ada sorot kasihan di matanya. Tanpa berkata apa-apa, dia berba

    Last Updated : 2025-02-04
  • Pesugihan Genderuwo   204. Kebencian Ratih pada Kehamilannya

    "Tunggu, Ratih!" Bagas berteriak saat Ratih perlahan menghilang di tengah derasnya hujan. Hatinya dipenuhi kecurigaan. Ada yang tidak beres. 'Itu bukan anakku ... kan?' Pikiran itu menghantamnya tanpa ampun. Dadanya terasa sesak. Matanya menerawang, mengingat kembali kejadian mengerikan yang pernah terjadi pada Ratih. "Ratih … menjadi syarat pesugihan itu!" Bagas menelan ludah. Napasnya memburu. Sebuah kemungkinan mengerikan terlintas di kepalanya. "Apakah mungkin … itu adalah anak Genderuwo?" Tiba-tiba— GURRRR… DUMMMM! Guntur menggelegar di langit, menyusul kilatan petir yang membelah gelapnya malam. Bagas terlonjak, telinganya berdenging. "Astaga, pertanda apa ini?" desisnya, meremas dadanya yang berdebar hebat. "Jangan-jangan, i—ini benar!" Hujan semakin deras. Pikiran Bagas semakin kacau. Dia harus mengejar Ratih. Dengan gerakan cepat, Bagas meraih jaketnya dan melangkah keluar rumah. Namun, baru saja ia ingin berlari, suara parau menghentikannya. "Bagas,

    Last Updated : 2025-02-05
  • Pesugihan Genderuwo   205. Rasa benci pada diri sendiri

    "Neng, sudah sampai!" Suara tukang becak itu mengingatkan Ratih dari lamunannya. Dia terbangun dengan kaget, tubuhnya basah kuyup akibat hujan deras yang terus mengguyur sepanjang perjalanan. "Terima kasih ya, Kang!" katanya pelan dan lemah. Ratih merasakan dingin menusuk tulang, dan perutnya mulai terasa bergejolak. Bayi di dalamnya seolah-olah menuntut perhatian, meminta makanan, namun Ratih merasa mual hanya dengan memikirkan itu. "Anak ini lapar! Tapi—aku nggak mau makan itu lagi!" keluhnya sambil melihat perut buncitnya. Begitu sampai di rumah kontrakan, Ratih segera masuk dan menutup pintu dengan kasar. Dia menanggalkan pakaian basahnya dan berjalan menuju dapur, berusaha mengalihkan perasaannya. Kehamilannya—yang tak pernah dia inginkan—terus menghantuinya. Bayi itu seperti kutukan yang harus dia tanggung. "Entah, aku nggak mau anak ini lahir!" Perasaan Ratih semakin teriris setiap kali melihat kehamilannya. Perutnya masih menuntut makanan, meskipun hati kecilnya menola

    Last Updated : 2025-02-06
  • Pesugihan Genderuwo   206. Malapetaka diciptakan Bagas

    "Ratih, kenapa kamu selalu menghindar?!" Bagas berjalan lunglai di tengah derasnya hujan. Bajunya sudah basah kuyup, rambutnya lepek menempel di dahi, dan tubuhnya gemetar. Bukan karena kedinginan, tapi karena penyesalan yang menyesakkan dadanya. Dia mengingat kembali masa-masa bahagianya bersama Ratih. Meski mereka hidup di ambang kemiskinan, Ratih selalu berada di sisinya. Dulu, Ratih adalah cahaya dalam hidupnya. Seorang istri yang setia, yang tak pernah mengeluh meskipun hidup mereka penuh dengan kesulitan. Namun, ketulusan itu Bagas sia-siakan hanya karena satu keputusan bodohnya—melakukan pesugihan. Demi uang, demi hidup yang lebih baik, Bagas telah menukar sesuatu yang jauh lebih berharga: cinta dan kebahagiaannya sendiri. Dia berpikir pesugihan akan membawa kemakmuran bagi keluarganya, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Ratih berubah. Matanya yang dulu penuh kasih kini dipenuhi ketakutan dan kebencian. Tatapannya yang dulu teduh kini terasa dingin dan kosong. "

    Last Updated : 2025-02-07
  • Pesugihan Genderuwo   207. Dosa Tak terampuni

    "Mana bisa saya memaafkan manusia seperti dia, Bah!" Feri hampir kehilangan kendali. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan luapan emosi yang sejak lama ia pendam. Tangannya menunjuk-nunjuk wajah Bagas, seakan ingin menusukkan setiap kata kebenciannya langsung ke hati pria itu. Bagas tak bergeming. Dia tetap duduk diam, membiarkan hujatan itu menghantamnya. Kyai Ahmad, yang sejak tadi mengamati, mencoba menenangkan situasi. "Feri, istighfar! Jangan begitu. Semua orang bisa berubah. Siapa kita sampai berhak menutup pintu taubat bagi orang lain?" suara Kyai terdengar lembut, tapi tegas. Namun, Feri tak terima. Matanya memerah, penuh dendam yang tak bisa dipulihkan hanya dengan kata-kata. "Nggak, Bah! Dia tidak akan pernah bisa berubah!" teriaknya, tangannya mengepal. Feri mendekat, berdiri tepat di depan Bagas. Rahangnya mengeras, pandangan matanya dingin. Cuh! Ludahnya jatuh tepat di lantai di hadapan Bagas. "Sampai dia mati pun, saya nggak akan pernah memaafkan manusia

    Last Updated : 2025-02-08
  • Pesugihan Genderuwo   208. Terhalang

    Bagas menunduk dalam-dalam, suaranya bergetar saat dia akhirnya mengakui sesuatu yang selama ini dia pendam. "Saya seorang pembunuh, Kyai!" Tangannya mengepal di atas lutut, tubuhnya berguncang. Air matanya jatuh, bercampur dengan sisa air hujan yang masih menempel di wajahnya. Di hadapannya, Kyai Ahmad menghela napas panjang. Sorot matanya tajam, penuh pertimbangan. Dia tahu Bagas bukan hanya sekadar pendosa biasa. Bagas adalah pria yang telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kubangan dosa, melakukan pesugihan yang telah merenggut nyawa banyak orang. Warga kehilangan keluarga mereka. Harta mereka lenyap dan desa ini perlahan-lahan berubah menjadi tempat yang penuh kutukan. Namun, di balik dosa-dosa itu, Kyai Ahmad melihat sesuatu dalam diri Bagas—sesuatu yang mungkin bisa diselamatkan. "Jangan bicara begitu, Bagas." Kyai berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya ada keraguan yang tak bisa ia pungkiri. "Semua orang punya kesalahan. Sekarang kamu sudah mau bertaubat, k

    Last Updated : 2025-02-09
  • Pesugihan Genderuwo   209. Kutukan dalam Kandungan

    "Kamu pernah menyadari sesuatu, tidak, Nak Bagas?" Pertanyaan Kyai Ahmad membuat Bagas terdiam sejenak, kebingungan. "Maksud Kyai apa?" tanyanya, mencoba memahami arah pembicaraan Kyai. Kyai Ahmad tidak langsung menjawab. Dia berdiri, mengambil sesuatu dari meja di dekatnya, lalu menyerahkannya pada Bagas. Sebuah kain putih yang sudah menguning, terikat rapat. Saat Bagas menerimanya dan membuka lipatannya, bau busuk menyengat langsung menyerbu hidungnya. "Em—!" Bagas buru-buru menutup hidung, wajahnya meringis jijik. "Baunya busuk sekali, Kyai!" Kyai Ahmad menghela napas panjang. "Itu adalah muntahan istrimu, Ratih." Bagas tersentak. Matanya membesar, tangannya yang memegang kain itu sedikit gemetar. "Apa...?" suaranya melemah. Ratih mengalami hal seperti ini? Kyai Ahmad mengangguk. "Beberapa hari lalu, dia datang kepadaku. Dalam keadaan lemah, wajahnya pucat, dan tubuhnya menggigil." Bagas semakin cemas. "Kenapa dia nggak bilang ke saya, Kyai?" "Karena dia takut

    Last Updated : 2025-02-10
  • Pesugihan Genderuwo   210. Kutukan dari Ki Raden Praja

    "Ya. Kemungkinan buruk lainnya, anak itu memiliki sifat iblis!" Bagas dan Kyai menceritakan kehamilan Ratih yang mungkin akan membahayakan bagi manusia. "Aku yakin! kamu tau akan seperti ini, Nak Bagas!" kata Kyai. Bagas menghela napas panjang. "Ya. Aku udah menduganya, Kyai! Karena akulah hal ini menimpa Ratih! ini memang kebodohanku!" jawab Bagas sambil tertunduk menyesal. "Aku juga yakin, bahwa tubuhmu sekarang ini telah di gerogoti oleh sesuatu!" ucap Kyai sambil menatap Bagas dengan prihatin. "Bagaimana Kyai tau?" tanya Bagas mulai tertarik dengan ucapan Kyai. karena dia memang telah ingin menemui Kyai Ahmad dan membicarakan persoalan bulu-bulu halus yang ada di badannya. "Aku udah mengira akan terjadi seperti itu, Bagas! Karena dulu aku pernah menemukan pasien yang seperti itu!" jawab Kyai. Bagas langsung menaikan kepalanya. dia semakin tertarik dengan ucapan Kyai Ahmad. "Lalu, apa Kyai bisa menolong orang itu?" tanya Bagas. "Tidak—" jawaban singkat Kyai. "Aku tidak

    Last Updated : 2025-02-11

Latest chapter

  • Pesugihan Genderuwo   266. Desa Pesugihan

    "Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar

  • Pesugihan Genderuwo   265. Kehancuran Desa Karangjati

    "Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok

  • Pesugihan Genderuwo   264. Penyebab

    "Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba

  • Pesugihan Genderuwo   263. Pembantaian

    “Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.

  • Pesugihan Genderuwo   262. Teror

    “Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te

  • Pesugihan Genderuwo   261. Bisikan Balita IBlis

    "“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a

  • Pesugihan Genderuwo   260. Kebenaran Terkubur

    "“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik

  • Pesugihan Genderuwo   259. Amarah

    Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku

  • Pesugihan Genderuwo   258. Pembalasan

    “Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status