Home / Romansa / Om-Om Pilihan Papa / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Om-Om Pilihan Papa: Chapter 11 - Chapter 20

40 Chapters

11. Jebakan Itu, Memakanku

"TOLOOOOOOOONG!" Om Bian membekap mulutku sekenanya. Benar-benar sekenanya. Bahkan karena itu aku hampir saja tidak bisa bernapas. "Ikuti saya." "Enggak! Lepasin gue!" "IKUTI SAYA, NALA!" "Enggak mau, lepasin gue." Dan begitu saja, Om Bian mengambil ponsel yang tersembunyi di dalam dadaku dan meleparnya. Sialan! Dia tahu dimana ponsel itu kusembunyikan dan dia dengan tega melempar barang tersebut ke tembok sampai hancur tidak berbentuk. "HP GUE ANJIR!" "Saya akan tanggung jawab." "Dada gue
last updateLast Updated : 2024-11-24
Read more

12. Rencana Lain

"Jadi, lo hampir aja jadi santapan Om-Om itu semalam?" "Yeap! That's why gue kabur ke sini pas ada dan punya kesempatan. Gue harus memastikan diri aman dan enggak bisa dia usik lagi," ujarku pada Risa yang kini menganggukan kepala sok mengerti, aku tak tahu, dia memang benar-benar mengerti atau hanya sok iya saja. "Kalau gue digituin, gue nyerah sih." "Maksudnya?" "Gue ... pasrah aja, ganteng dia." "Gak waras lo kalau gitu." Aku sungguh tidak mengerti, kenapa di mata banyak orang, Om Bian itu terlihat menggoda, seksi dan laki-laki sekali. Berbeda jauh dengan pandanganku selama ini. Sungguhan, Om Bian adalah laki-laki yang meskipun hanya dia yang tersisa di dunia ini, aku tidak akan meliriknya, tidak akan jatuh cinta padanya dan tidak mau dinikahinya. Menurutku, perbedaan umur yang cukup jauh dengan pasangan akan menjadikan banyak hal
last updateLast Updated : 2024-11-25
Read more

13. Kenapa Bisa?

Bagaimana caranya Om Bian tahu aku ada di sini? Dan dalam situasi seperti ini, dimana ada Bunda-nya Risa di hadapanku, mana bisa aku mencak-mencak seperti biasa kepada laki-laki matang yang kini tidak banyak bereaksi saat kami berdua saling beradu tatap. Aku tersenyum kaku di balik masker wajah yang masih kukenakan. "Mmmm, aku gak bisa pulang sekarang Tante. Soalnya masih maskeran." "Loh, kata Pak Bian barusan, kalian ada acara penting ya? Apa kamu lupa?" Apa yang sebenarnya sudah Bian katakan kepada Bunda Icha? sampai paruh baya itu bisa berkata demikian dan mempercayai ucapannya? Aku mengembuskan napas, aku tidak boleh kalah. Malah lebih bagus kalau, aku bisa mendapatkan bantuan dari Tanten Icha kan? Jadi sembari menahan diri untuk tidak marah
last updateLast Updated : 2024-11-25
Read more

14. Om Bian Gila!

"Lo gila?" ucapan pertamaku menyambut Om Bian yang kini membuka pintu mobil. Iya, dia gila. Orang waras mana yang akan dengan tega menabrak mobil seorang anak kecil sepertiku selain Om Bian yang tidak memiliki otak dan tidak waras ini? "Siapa suruh kamu kabur dari saya?" "Kenapa lo tahu gue di sini?" tanyaku dengan mata melotot, masih trauma, sebenarnya aku sudah ingin menangis saja kala itu. "Saya memasang pelacak di mobil kamu," ujar Om Bian tenang dan jujur. Sungguh, tahu akan hal tersebut, aku ingin mengacak-acak wajahnya yang kini nampak tidak bersalah, dia seolah tak berdosa melakukan ini padaku. Dia berpikir seakan semuanya wajar dilakukan. "Gue benci tahu enggak sama lo." Seluruh emosi aku keluarkan melalui kata-kata barusan, entah Om Bian akan mengerti atau tidak. "Ini yang akan kamu dapat kalau
last updateLast Updated : 2024-11-26
Read more

15. Om Bian Itu Kenapa?

Saat terbangun, aku sudah ada di sebuah ruangan yang tidak asing karena berbau obat. Meski pikiranku belum kembali sepenuhnya, aku tahu kalau kini, aku tengah berada di sebuah rumah sakit. Dan nampaknya semalam aku pingsan cukup lama mengingat kala melirik pada jam dinding, waktu menunjukan pada pukul delapan pagi. Ruanganku nampak sepi, tidak ada seorang pun yang menungguiku. Entah ini bagus atau menyedihkan. Menyedihkan karena berarti, kedua temanku dan orang-orang lain tidak memedulikan keadaan dan keberadaanku. Bagus karena, Om Bian tidak nampak dipandangan dan membuat kepalaku pusing hampir pecah. Sesaat, aku mendudukan diri di atas pembaringan sembari meringis karena bagian dadaku masih sakit, ada semacam perban yang ternyata mengikat di dadaku. Seolah menahan agar tidak terlalu berguncang. Oh, su
last updateLast Updated : 2024-11-26
Read more

16. Mencari Tahu

Aku bodoh. Benar-benar bodoh, seharusnya, aku menyadari sesuatu sejak awal. Bahwa, semenjak dijodohkan dan bertemu dengan Om Bian, aku tak pernah sekalipun tahu, siapa sosok Om Bian yang sebenarnya. Seperti apa dia? Berasal dari keluarga mana? Mengurusi perusahaan apa dan lain hal. Mungkin, aku tak bisa menyerang sisi dirinya yang kini membuatku gila. Tapi aku yakin bisa menyerang sisi lain yang akan membuatnya bertekuk lutut untuk menghentikan perjodohan gila ini. Sayangnya kali ini, aku tak memiliki apapun untuk bisa mencari tahu siapa sosok Om Bian yang sebenarnya. Ponselku, tidak ada. Laptopku? Tidak ada. Aku di rumah sakit tanpa bisa melakukan apapun. Tapi, lagi, ada 1001 jalan menuju Roma. Seperti halnya tadi pagi dan tadi siang, sore ini, aku yakin si botak bertubuh besar itu akan kembali datang untuk menemuiku di sini. Dan sore itu, tebakanku benar, akhirnya, seorang laki-laki kembali masuk ke dalam kamar rawat inapku. Sesaat aku mengambil napas dalam-dalam, dadaku
last updateLast Updated : 2024-11-27
Read more

17. Jahat?

Jadi pada dasarnya, Om Bian itu memang berniat jahat kepaku ya? Dia ingin menguasai bisnis yang sudah Papa dan Kakek dirikan dengan susah payah sejak dulu begitu? Ah, tidak susah payah juga sih, aku tahu kalau Kakekku terlahir dari keluarga yang serba ada. Bisa mendanai pendidikan tujuh turunan. Jadi untuk mendirikan bisnis seperti perhotelan begini, mungkin dulu kakekku iseng-iseng. Tapi untuk berada di titik ini, titik di mana hotel Papa mendapatkan banyak apresiasi, banyak penghargaan, menjadi salah satu hotel terbaik di Asia Tenggara kan sulit sekali. Dan kalau Om Bian menikah denganku ... saat Papa tiada nanti, aku bisa saja dia tendang ke jalanan dan jadi gelandangan cantik jelita. Tidak boleh terjadi! "Enggak mungkin bisa, mana mungkin bisa lo kayak gitu, seenaknya ngambil bisnis dan perusahaan yang udah susah payah Papa bangun, gimana pun, gue punya hak waris." "Kalau kamu nikah sama saya, kamu punya hak waris itu. Tapi kalau mencoba menggagalkan terus ... ya siap-si
last updateLast Updated : 2024-11-27
Read more

18. Dunia Tak Pernah Baik

Aku menunggu dengan sabar kala telepk baruku melakukan panggilan kepada Papa. Entah sedang apa dia di sana sampai-sampai, lama sekali menjawab panggilan dari anaknya sendiri seperti ini. "Halo." "Halo, ada apa Nala?" "Papa kok lama banget sih jawab telepon Nala?" "Kamu pikir Papa di sini lagi liburan? Leha-leha di atas pembaringan atau apa?" "Ya enggak tapi kan—udah Pa, jangan ngajakin ngomong hal-hal enggak penting, Nala cuma mau ngasih tahu sesuatu ke Papa." "Apa?" "Pa, Om Bian itu enggak baik, beneran enggak baik. Nala ngomong begini bukan karena Nala enggak mau dijodohkan dengan Om Bian, tapi Nala tahu dia sosok yang seperti apa. Begini, Papa boleh jodohkan Nala dengan laki-laki lain, laki-laki manapun, Nala akan tunduk dan patuh asal jangan Om Bian." "Kamu ini bicara apa? mana mungkin Bian macam-macam, dia orang yang persrinsip dan baik. Papa udah kenal dengan Bian sejak lama. Bahkan di saat umurnya baru menginjak 22 tahun. Mana mungkin dia begitu." "Jadi Papa
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

19. Peduli?

"Maksudnya gini loh Ma." Aku menghapus air mataku dengan tangan kotor yang sejak tadi terus menyentuh tanah kuburan Mama. "Aku tuh enggak punya Mama dan enggak pernah ngerasain gimana diurus sama Mama, berdua sama Mama sejak lahir. Dalam hati terdalam, aku kan selalu bilang, aku juga pengen disayang, dikecup, dibacain buku cerita, dibuatin sarapan sebelum berangkat sekolah, dianter dan dijemput, diambilin rapot-nya. Dibantu buat pilih baju, dibantu buat jadi cewek. Tapi aku enggak pernah kesel ke Mama. Karena apa? Mama udah enggak mungkin bisa begitu, Mama udah diambil Tuhan. Tapi Papa!" Aku menangis keras terlebih dahulu. Menuju sore, gerimis, di kuburan sendirian. Kalau dalam keadaan waras, aku tentu akan takut setengah mati. Tapi aku kacau saat ini. Aku enggak takut sama hantu, yang terpenting, aku bisa bicara dengan Mama. "Papa masih ada, raganya masih di sini sama Nala, masih bisa ngusahain apapun buat Nala. Papa kalau mau mungkin bisa anter juga jemput Nala sekolah, tapi en
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more

20. Pertolongan

Aku bersembunyi dengan masuk ke dalam gerbang salah satu rumah yang aku temui setelah susup sana-sini sampai nampaknya orang-orang yang sebelumnya mengejarku kehilangan jejak. Napasku masih tidak beraturan kala aku berjongkok di halaman sana, menyembunyikan diri di balik gerbang hitam yang untungnya di bagian bawah tertutup rapat. Sesaat aku mendengar suara ribut-ribut orang berlari, seolah mencari-cari sesuatu. Ya memang, mereka pasti tengah mencariku, deru napas sudah tidak karuan kala itu, rasanya dada sesak, pikiran kalut dan aku ingin kembali menangis di detik itu juga. Sekitar pukul lima pagi, aku keluar dari dalam gerbang tersebut. Hari belum terang dengan baik, namun setidaknya, ada banyak orang yang berlalu lalang dan memulai aktivitas mereka. Kembali aku berjalan, bajuku belum sepenuhnya kering, namun peluh sudah membasahi keningku, entah karena apa? Mungkin aku yang kurang fit dan kurang sehat. Jalanan mulai dilalui kendaraan, aku kembali menyusuri trotoar de
last updateLast Updated : 2024-11-28
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status