Beranda / Romansa / Om-Om Pilihan Papa / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab Om-Om Pilihan Papa: Bab 21 - Bab 30

40 Bab

21. Manusia Baik

Aku makan mie untuk yang kedua kalinya hari ini, di rumah, sebenarnya aku membatasi diri untuk makan yang instan-instan begini karena, menurutku, akan lebih mudah gemuk kalau sudah makan mie. Belum lagi pencernaanku juga, sering kali kurang baik. Tapi hari ini, aku tidak memedulikan semua itu. Yang jelas, aku bisa makan, itu saja sudah harus aku syukuri "Ini, upah kamu, enggak banyak sih. Yang jelas, kalau memang besok kamu butuh kerja lagi, bisa datang. Biasanya, Ibu akan panggil orang untuk bantu-bantu cuci, tapi kalau kamu mau, kamu bisa balik." Aku tentu menganggukan kepala, menyetujui hal tersebut. "Besok saya akan balik ke sini kok Bu kalau memang bisa." "Lalu malam ini, kamu menginap di mana? Enggak mau pulang saja ke rumah?" Aku mengunyah pelan-pelan sebelum menelannya dan menatap wanita yang kini ada di sampingku. "Saya enggak tahu harus menginap di mana, tapi saya yakin, ada sebuah tempat kok yang bisa saya tinggali. Dan saya enggak punya rumah atau pun keluarga. Ma
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-29
Baca selengkapnya

22. Bertemu?

Pagi itu, dengan baju yang sama dan sedikit bau asam, aku kembali mempersiapkan diri untuk bekerja. Bagaimana pun untuk bisa tetap hidup, aku memang harus mencari uang. Lima puluh ribu yang Ibu warung berikan kemarin kepadaku, akan aku tabung agar saat aku pergi dari sini, setidaknya aku membawa sedikit uang. Bagiku dulu, uang lima puluh ribu bener-bener tidak seberapa dan tidak berharga, lagi pula, apa yang bisa aku dapat dari lima puluh ribu? Tidak ada. Makananku selalu mahal, baju-baju yang aku kenakan berjuta-juta dan untuk apa uang lima puluh ribu? Tapi sekarang, uang lima puluh ribu menjadi terasa amat sangat berharga bagiku. Di satu sisi, ini memang terasa menyedihkan, di sisi lain, aku sadar bahwa, aku memang harus pandai dalam bersyukur. Aku duduk di dalam warung yang sebelumnya sudah aku bersihkan. Bangku-bangku kuturunkan. Mangkuk-mangkuk sudah aku cuci, semua hal di sini lebih kinclong dari kemarin. Aku belajar membersihkan semuanya, memperhatikan bagiamana Ibu warun
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-29
Baca selengkapnya

23. Sekamar

Aku mengembuskan napas kesal, karena sejak tadi, Om Bian sungguhan tak meninggalkanku barang sedetikpun dari kamar. Pun kalau aku yang keluar, lelaki itu akan mengintili kemana pun aku pergi. Heran sekali, aku tak tahu harus berbuat apa dalam situasi yang menurutku, menyebalkan ini. "Lo enggak punya kamar?" tanyaku kemudian. "Enggak." "Pindah! Gue mau ganti baju, mau mandi dan semuanya, gue enggak mau lo ada di sini." "Mulai sekarang, kita akan ada di kamar yang sama. Tidur sekamar." "WHAT?!" Aku tentu berteriak. "ENGGAK! GAK MAU!" "Saya harus terus awasin kamu, kalau enggak, kamu akan menuruti pemikiran labilmu itu dan kemudian pergi lagi dari rumah. Merepotkan saya." "Gue enggak mau sekamar sama lo!" "Pernikahan kita akan terlaksana cepat." "Maksud lo?" "Papa akan pulang lusa, di hari itu, kita akan menikah. Lusa. Saya sudah persiapkan semuanya. Kita nikah secara agama terlebih dahulu sebelum menikah sah secara negara. Yang terpenting, kamu terikat dahulu dengan
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-30
Baca selengkapnya

24. Laki-Laki Terbaik?

Aku harus bagaimana sekarang? Rasanya semua jalan yang ada di depanku buntu. Waktu berjalan cepat, lebih cepat dari yang aku duga. Sampai-sampai, pernikahan yang Om Bian bilang sudah direncakan akan terlaksana esok hari. Dan selama ini, aku hanya bisa berdiam diri di kamar tanpa melakukan apapun. Karena apa? Karena Om Bian sendiri tak pernah melepaskanku untuk pergi dari pandangannya. Melepaskanku untuk sekedar keluar satu langkah dari kamar. Aku makan di kamar, melakukan semua aktivitas di ruangan ini. Rumah menjadi sebuah penjara tak kasat mata bagiku. Dan aku tidak bisa melakukan apapun untuk terlepas dari belitannya. "Gue enggak bisa." "Saya sedang bekerja, Nala." "Gue enggak mau nikah sama lo!" "Saya tahu, tapi saya enggak peduli." Dan jawaban datar nan tenang tersebut agak sedikit menyulut sisi marahku. Kenapa dia bisa begitu dalam setiap situasi? Apa karena dia tidak memiliki emosi atau dia bagus dalam menguasai emosinya? Entahlah. "Bisa enggak sih Om lo bener-b
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-11-30
Baca selengkapnya

25. Brengsek!

Aku mencoba keluar dari pelukan Om Bian, benar-benar gila, lelaki itu, meski Papa ada di rumah, dia tetap tidur di kamarku, memelukku, entah Papa tahu atau tidak kelakuannya ini, tapi kalau dia memergoki kami, aku harap, Papa akan langsung terbuka mata hati, mata batin, mata kaki, semua mata sekalian agar sadar bahwa, siapa yang telah dia pilih sekarang untuk menjadi suamiku. Sungguh, malam ini, aku tidak bisa tidur. Aku takut. Apa yang harus aku lakukan agar rencana pernikahan besok gagal? Sesaat, aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku tahu Om Bian mengunci pintu kamarku agar aku tidak bisa kabur keluar. Di wastafel, aku menyalakan keran air. Lalu mulai menangis. Ini lah ujung dari semua ledakan pemikiran yang tidak ada solusinya. Aku sungguh kesal kepada diriku yang lemah dan terbatas. Tidak bisa melakukan apapun pada orang-orang yang mencoba mengendalikan diriku, hidupku dan segala hal tentangku. Tak cukup dengan menghidupkan keran air, aku juga mengisi bathup dengan air sam
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-01
Baca selengkapnya

26. Hari Pernikahan

Pagi itu, aku mau tidak mau harus berangkat ke salah satu tempat yang sejujurnya tidak aku ketahui apa dan dimana. Hanya saja yang jelas, saat sampai ke sana, ada beberapa orang yang langsung menyeretku ke kamar, mendadaniku dengan makeup dan pakaian yang rapi dan elegan. Sedang aku? Hanya diam. Bukan pasrah, tapi aku mencoba melihat celah yang sebelumnya tak aku temui. Bagaimana pun, aku harus keluar dari dalam situasi ini. Kalau bisa kabur, aku akan kabur. Kalau bisa sembunyi, aku akan sembunyi. Meski rasanya, entah kenapa, tidak mungkin sama sekali. Dari cermin saja, aku bisa melihat beberapa laki-laki yang tengah berdiri tegap mengawasi. Orang-orang juga tak pernah lepas dariku. Memasang ini dan itu. Satu-satunya cara agar aku bisa berlari adalah ... dari kamar mandi. Ya, tadi saat masuk untuk membersihkan wajah, aku tahu ada sebuah ventilasi yang akan mengarahkanku keluar dari dalam ruangan ini. "Sebentar lagi ya, tolong jangan gerak-gerak dulu." "Sorry, gue mau buang air."
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-01
Baca selengkapnya

27. Keadaan Yang Menyebalkan

"Satu, dua, tiga." "Sakit Om Bian! Lo jangan maksain tubuh gue buat keluar. Ini harus dibongkar dulu anjir. Biar gue lebih gampang keluar." "Satu, dua, tiga." "Jangan maksain bisa enggak sih? Sialan banget, ini sakit!" "Okey, sedikit lagi. Satu, dua, tiga." "Sedikit lagi apanya sih? Gue udah bilang kalau gue enggak mungkin bisa keluar dari dalam sini, kenapa sih lo keras kepala banget? Gue enggak bisa Om Bian." "Kata siapa kamu enggak bisa? Kamu bisa, Nala." Aku enggak tahu kenapa Om Bian benar-benar bersikeras. Awas saja kalau ada tulangku yang patah, dia yang harus bertanggung jawab. "Ck, nyebelin banget sih lo jadi Om-Om." Aku memejamkan mata, lalu mencoba mengeluarkan diri dari dalam lubang ventilasi tersebut dengan bantuan tangan Om Bian dan yap, berhasil. Kok bisa? Kenapa tadi enggak bisa? Kenapa? "Kalau bisa masuk pasti bisa keluar. Dan memang begitu adanya." "Jangan pegang-pegang gue lagi! Ngambil kesempatan dalam kesempitan ya lo?" "Kita nikah sekarang
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-02
Baca selengkapnya

28. Malam Pertama

"Aturannya!" Om Bian menatapku yang baru saja mengeluarkan kata pertama setelah kami sampai di ruangan kamar kami setelah acara pernikahan selesai. "Kita enggak boleh tidur sekasur, titik!" "Mana bisa begitu, Nala. Kita kan suami-istri sekarang." "Buat lo, iya, buat gue, enggak." Kedua tangan aku lipat di depan dada, Om Bian harus tahu jika aku bersungguh-sungguh akan hal ini. "Pokoknya, pun nanti kalau di rumah, gue enggak mau ya sekamar sama lo. Gue enggak mau ngelayanin lo. Gue enggak mau masak buat lo. Gue enggak mau ngelakuin apapun yang istri-istri lain lakuin buat suaminya karena lo, enggak akan pernah jadi suami gue!" "Makin banyak bicara, kamu malah makin kelihatan gemesin tahu enggak sih?" Aku melotot. "Maksud lo? Gemesin dari mananya di saat gue lagi marah begini, Bian?" "Sekarang, saya suami kamu, kamu harus sopan kepada saya, Nala." "Lo, bukan suami gue. Gue tegasin ya Bian. Gue enggak akan pernah anggap lo sebagai suami gue. Titik, engga pake koma, engga
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-02
Baca selengkapnya

29. Coreng Nama Om Bian

Aku melirik Papa dengan sinis, laki-laki paruh baya itu baru saja datang dan duduk tepat di sisiku. Dih, Papa kenapa sih? Kenapa dia tiba-tiba ingin dekat denganku? Padahal kan keadaan kami juga tidak sedang baik-baik saja sekarang. "Kenapa kamu melihat Papa seperti itu?" "Pikir aja sendiri," ujarku pelan, supaya tidak di dengar oleh tamu-tamu yang kini datang. Bagaimana pun, aku harus tetap menjaga martabat dan harga diri Papa. "Nanti kita harus bicara, Nala." "Sorry? Aku enggak mau bicara sama Papa." "Ck, anak nakal." Aku tidak peduli dengan ucapan Papa barusan. Toh memang kan aku ini anak nakal. Aku tidak akan mengelak dari hal tersebut. "Nala, mau makan apa?" "Gue bisa ambil sendiri, Bian." Papa yang mendengarku memangil nama Om Bian tanpa embel-embel Om lagi pun melotot. Yah, dia harus tahu bahwa aku memang tidak akan pernah menghormati suamiku ini. Tidak sama sekali, tidak sampai kapanpun. "Nala, jaga ucapan kamu." "Apa sih Pa? Biasa aja kali, orang si B
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-04
Baca selengkapnya

30. Papa dan Pembicaraannya

"Apapun yang terjadi, kamu harus memperlakukan suamimu sendiri dengan hormat, sopan santun." Yah, bagus, dua orang itu akhirnya bertemu, bersatu dan semakin kuat. Aku sendirian sekarang. Aku mengembuskan napas malas. Gadis sekecilku harus berkelahi dengan dua orang seperti mereka. Dua laki-laki dewasa yang keras kepala, gila dan maunya menang sendiri. Aku mengembuskan napas keras. "Kamu harus patuh sama perintahnya, bagaimana pun, dia yang akan menemani kamu dalam melewati hari-hari berat di masa depan sana." "Justru dia sama Papa yang bikin hari-hariku berat, tahu enggak sih?" "Nala, jaga omongan kamu, Om Bian suamimu sekarang." "Kalian juga gak bisa jaga omongan, enggak bisa jaga sikap. Aku udah bilang barusan, kalau kalian mau aku hormati, kalian hanya perlu menghormatibaku dengan segala yang aku putuskan. Tapi selama ini, pernah enggak kalian ngelakuin itu? Enggak! Kalian semua malah meremehkan aku, meremehkan semua hal yang aku mau." "Ck, Papa ke sini bukan ingin ber
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-04
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status