Pagi itu, dengan baju yang sama dan sedikit bau asam, aku kembali mempersiapkan diri untuk bekerja. Bagaimana pun untuk bisa tetap hidup, aku memang harus mencari uang. Lima puluh ribu yang Ibu warung berikan kemarin kepadaku, akan aku tabung agar saat aku pergi dari sini, setidaknya aku membawa sedikit uang. Bagiku dulu, uang lima puluh ribu bener-bener tidak seberapa dan tidak berharga, lagi pula, apa yang bisa aku dapat dari lima puluh ribu? Tidak ada. Makananku selalu mahal, baju-baju yang aku kenakan berjuta-juta dan untuk apa uang lima puluh ribu? Tapi sekarang, uang lima puluh ribu menjadi terasa amat sangat berharga bagiku. Di satu sisi, ini memang terasa menyedihkan, di sisi lain, aku sadar bahwa, aku memang harus pandai dalam bersyukur. Aku duduk di dalam warung yang sebelumnya sudah aku bersihkan. Bangku-bangku kuturunkan. Mangkuk-mangkuk sudah aku cuci, semua hal di sini lebih kinclong dari kemarin. Aku belajar membersihkan semuanya, memperhatikan bagiamana Ibu warun
Aku mengembuskan napas kesal, karena sejak tadi, Om Bian sungguhan tak meninggalkanku barang sedetikpun dari kamar. Pun kalau aku yang keluar, lelaki itu akan mengintili kemana pun aku pergi. Heran sekali, aku tak tahu harus berbuat apa dalam situasi yang menurutku, menyebalkan ini. "Lo enggak punya kamar?" tanyaku kemudian. "Enggak." "Pindah! Gue mau ganti baju, mau mandi dan semuanya, gue enggak mau lo ada di sini." "Mulai sekarang, kita akan ada di kamar yang sama. Tidur sekamar." "WHAT?!" Aku tentu berteriak. "ENGGAK! GAK MAU!" "Saya harus terus awasin kamu, kalau enggak, kamu akan menuruti pemikiran labilmu itu dan kemudian pergi lagi dari rumah. Merepotkan saya." "Gue enggak mau sekamar sama lo!" "Pernikahan kita akan terlaksana cepat." "Maksud lo?" "Papa akan pulang lusa, di hari itu, kita akan menikah. Lusa. Saya sudah persiapkan semuanya. Kita nikah secara agama terlebih dahulu sebelum menikah sah secara negara. Yang terpenting, kamu terikat dahulu dengan
Aku harus bagaimana sekarang? Rasanya semua jalan yang ada di depanku buntu. Waktu berjalan cepat, lebih cepat dari yang aku duga. Sampai-sampai, pernikahan yang Om Bian bilang sudah direncakan akan terlaksana esok hari. Dan selama ini, aku hanya bisa berdiam diri di kamar tanpa melakukan apapun. Karena apa? Karena Om Bian sendiri tak pernah melepaskanku untuk pergi dari pandangannya. Melepaskanku untuk sekedar keluar satu langkah dari kamar. Aku makan di kamar, melakukan semua aktivitas di ruangan ini. Rumah menjadi sebuah penjara tak kasat mata bagiku. Dan aku tidak bisa melakukan apapun untuk terlepas dari belitannya. "Gue enggak bisa." "Saya sedang bekerja, Nala." "Gue enggak mau nikah sama lo!" "Saya tahu, tapi saya enggak peduli." Dan jawaban datar nan tenang tersebut agak sedikit menyulut sisi marahku. Kenapa dia bisa begitu dalam setiap situasi? Apa karena dia tidak memiliki emosi atau dia bagus dalam menguasai emosinya? Entahlah. "Bisa enggak sih Om lo bener-b
Aku mencoba keluar dari pelukan Om Bian, benar-benar gila, lelaki itu, meski Papa ada di rumah, dia tetap tidur di kamarku, memelukku, entah Papa tahu atau tidak kelakuannya ini, tapi kalau dia memergoki kami, aku harap, Papa akan langsung terbuka mata hati, mata batin, mata kaki, semua mata sekalian agar sadar bahwa, siapa yang telah dia pilih sekarang untuk menjadi suamiku. Sungguh, malam ini, aku tidak bisa tidur. Aku takut. Apa yang harus aku lakukan agar rencana pernikahan besok gagal? Sesaat, aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku tahu Om Bian mengunci pintu kamarku agar aku tidak bisa kabur keluar. Di wastafel, aku menyalakan keran air. Lalu mulai menangis. Ini lah ujung dari semua ledakan pemikiran yang tidak ada solusinya. Aku sungguh kesal kepada diriku yang lemah dan terbatas. Tidak bisa melakukan apapun pada orang-orang yang mencoba mengendalikan diriku, hidupku dan segala hal tentangku. Tak cukup dengan menghidupkan keran air, aku juga mengisi bathup dengan air sam
Pagi itu, aku mau tidak mau harus berangkat ke salah satu tempat yang sejujurnya tidak aku ketahui apa dan dimana. Hanya saja yang jelas, saat sampai ke sana, ada beberapa orang yang langsung menyeretku ke kamar, mendadaniku dengan makeup dan pakaian yang rapi dan elegan. Sedang aku? Hanya diam. Bukan pasrah, tapi aku mencoba melihat celah yang sebelumnya tak aku temui. Bagaimana pun, aku harus keluar dari dalam situasi ini. Kalau bisa kabur, aku akan kabur. Kalau bisa sembunyi, aku akan sembunyi. Meski rasanya, entah kenapa, tidak mungkin sama sekali. Dari cermin saja, aku bisa melihat beberapa laki-laki yang tengah berdiri tegap mengawasi. Orang-orang juga tak pernah lepas dariku. Memasang ini dan itu. Satu-satunya cara agar aku bisa berlari adalah ... dari kamar mandi. Ya, tadi saat masuk untuk membersihkan wajah, aku tahu ada sebuah ventilasi yang akan mengarahkanku keluar dari dalam ruangan ini. "Sebentar lagi ya, tolong jangan gerak-gerak dulu." "Sorry, gue mau buang air."
"Satu, dua, tiga." "Sakit Om Bian! Lo jangan maksain tubuh gue buat keluar. Ini harus dibongkar dulu anjir. Biar gue lebih gampang keluar." "Satu, dua, tiga." "Jangan maksain bisa enggak sih? Sialan banget, ini sakit!" "Okey, sedikit lagi. Satu, dua, tiga." "Sedikit lagi apanya sih? Gue udah bilang kalau gue enggak mungkin bisa keluar dari dalam sini, kenapa sih lo keras kepala banget? Gue enggak bisa Om Bian." "Kata siapa kamu enggak bisa? Kamu bisa, Nala." Aku enggak tahu kenapa Om Bian benar-benar bersikeras. Awas saja kalau ada tulangku yang patah, dia yang harus bertanggung jawab. "Ck, nyebelin banget sih lo jadi Om-Om." Aku memejamkan mata, lalu mencoba mengeluarkan diri dari dalam lubang ventilasi tersebut dengan bantuan tangan Om Bian dan yap, berhasil. Kok bisa? Kenapa tadi enggak bisa? Kenapa? "Kalau bisa masuk pasti bisa keluar. Dan memang begitu adanya." "Jangan pegang-pegang gue lagi! Ngambil kesempatan dalam kesempitan ya lo?" "Kita nikah sekarang
"Aturannya!" Om Bian menatapku yang baru saja mengeluarkan kata pertama setelah kami sampai di ruangan kamar kami setelah acara pernikahan selesai. "Kita enggak boleh tidur sekasur, titik!" "Mana bisa begitu, Nala. Kita kan suami-istri sekarang." "Buat lo, iya, buat gue, enggak." Kedua tangan aku lipat di depan dada, Om Bian harus tahu jika aku bersungguh-sungguh akan hal ini. "Pokoknya, pun nanti kalau di rumah, gue enggak mau ya sekamar sama lo. Gue enggak mau ngelayanin lo. Gue enggak mau masak buat lo. Gue enggak mau ngelakuin apapun yang istri-istri lain lakuin buat suaminya karena lo, enggak akan pernah jadi suami gue!" "Makin banyak bicara, kamu malah makin kelihatan gemesin tahu enggak sih?" Aku melotot. "Maksud lo? Gemesin dari mananya di saat gue lagi marah begini, Bian?" "Sekarang, saya suami kamu, kamu harus sopan kepada saya, Nala." "Lo, bukan suami gue. Gue tegasin ya Bian. Gue enggak akan pernah anggap lo sebagai suami gue. Titik, engga pake koma, engga
Aku melirik Papa dengan sinis, laki-laki paruh baya itu baru saja datang dan duduk tepat di sisiku. Dih, Papa kenapa sih? Kenapa dia tiba-tiba ingin dekat denganku? Padahal kan keadaan kami juga tidak sedang baik-baik saja sekarang. "Kenapa kamu melihat Papa seperti itu?" "Pikir aja sendiri," ujarku pelan, supaya tidak di dengar oleh tamu-tamu yang kini datang. Bagaimana pun, aku harus tetap menjaga martabat dan harga diri Papa. "Nanti kita harus bicara, Nala." "Sorry? Aku enggak mau bicara sama Papa." "Ck, anak nakal." Aku tidak peduli dengan ucapan Papa barusan. Toh memang kan aku ini anak nakal. Aku tidak akan mengelak dari hal tersebut. "Nala, mau makan apa?" "Gue bisa ambil sendiri, Bian." Papa yang mendengarku memangil nama Om Bian tanpa embel-embel Om lagi pun melotot. Yah, dia harus tahu bahwa aku memang tidak akan pernah menghormati suamiku ini. Tidak sama sekali, tidak sampai kapanpun. "Nala, jaga ucapan kamu." "Apa sih Pa? Biasa aja kali, orang si B
Ada satu hal yang membuatku selalu terdiam setelah tadi membeli bunga dan melanjutkan perjalan ke makam Mama, yaitu, ucapan Papa yang terus menguasai pikiran. Nanti kalau Papa dan Mama sudah bersama? Maksudnya itu apa sih? Apa Papa mau menyusul Mama karena terlalu pusing dengan aku? Hah! Seharusnya Papa tidak begitu, dalam hubungan ini aku yang paling terluka. Seharusnya, aku orang yang bersama Mama, bukan Papa. Dan tadi, ada baiknya bahwa aku berkata jika aku menyukai bunga mawar agar saat aku meninggal nanti, Papa bisa memberikannya ke makamku. "Nala, kenapa kamu diam sejak tadi?" Aku melirik Papa. "Ya memang aku mau bicara apa lagi? Enggak ada yang mau aku bicarakan dengan Papa." "Tentang ... mungkin pekerjaan kamu atau apa aja?" "Aku udah bicarain itu kemarin Pa." "Iya, lalu temen-temen kamu, mereka kemana?" "Aku
Ada hal yang menyebalkan pagi ini selain karena aku kalah dalam permainan semalam sehingga aku harus tidur di sofa, yaitu, dibangunkan dengan cara yang tidak biasa oleh Om Bian. Lelaki itu sungguh bisa dengan tega membopongku ke kamar mandi dan langsung menceburkan tubuhku ke dalam bathub penuh air. Dan jadinya apa? Yap, kepalaku sangat amat sakit saat ini. Rasanya seperti membawa beban berat, bertonton. "Kamu sudah siap, Nala? Tadi Bian bilang pada Papa kalau kamu sudah siap." "Papa enggak lihat sekarang Nala udah gimana?" "Iya, sudah siap, kalau begitu ada baiknya, kita turun untuk sarapan dulu di bawah. Papa tunggu." "Ck! Kita mau kemana sih Pa? Nala enggak mau lama-lama, enggak perlu sarapan-sarapan segala! Langsung aja berangkat, bisa enggak sih?" "Kamu itu harus sarapan, kita akan pergi dan p
"Kamu ke kamar duluan, saya harus bicara dengan Pak Haryn." "Lah ya emang, tanpa lo suruh juga, gue bakalan ke kamar duluan." Om Bian mengangguk tanpa amarah meski barusan, aku menjawab ucapannya dengan nada yang menyebalkan dan penuh amarah. "Bagus, bersih-bersih dulu sebelum makan." "Iya, gue mau lakuin itu kok." "Okei." Kemudian, Om Bian melenggang pergi ke ruangan Papa, mungkin sebelumnya mereka memang ada janji untuk bertemu dan mengobrolkan sesuatu. Aku sendiri tidak kepo mau apa dua manusia itu, yang jelas, obrolan mereka hanya akan diisi oleh bisnis dan pekerjaan. Masuk ke dalam kamar yang semalam lalu tidak aku tempati, buru-buru aku mandi, berendam di air hangat memang yang terbaik. Rasanya juga nyaman sekali. Rasa lelah yang sejak tadi tersimpan di setiap inci tubuhku mulai mereda. Harum dari sabun dan lilin aroma terapi sun
Mobil melaju melintasi jalanan di sore hari itu, rasanya lelah sekali setelah bekerja seharian ini. Daging dan tulangku seakan terpisah karena aku tidak diberi jeda istirahat sama sekali oleh senior di tempat kerjaku. Siapa lagi kalau bukan orang menor yang memakai bedak keputihan itu. Aku bahkan tidak sempat makan seharian ini. Untung saja aku tidak pingsan. Seharusnya tadi aku tidak menolak ajakan Papa untuk makan siang sama-sama karena ya kalau dipikir-pikir, aku memang membutuhkan hal tersebut. "Ada masalah, Nala?" Pertanyaan yang keluar dari mulut Om Bian barusan membuat aku mengembuskan napas malas. "Selalu, hidup gue enggak lepas dari masalah. Jadi jangan tanya ada masalah atau enggak.* "Kenapa, kerjaan hari ini bikin kamu capek?" "Nanya? Lo yakin masih nanya di saat wajah, badan gue dan penampilan gue sekusut ini. Gue tahu nyari dui
"Lepasin! Sakit Om!" Aku mencoba melepaskan diri dari cengkraman Om Bian saat ini, karena lelaki itu tiba-tiba saja menyeretku keluar dari dalam ruangan dimana tadi Papa dan dia tengah mengobrol. Lihat, di depan Papa loh ini, aku disakiti, aku diseret tapi lelaki paruh baya itu tak sedikitpun terlihat kasihan atau iba saat anaknya diperlakukan seperti ini! "Mau apa sih lo Om!" "Kamu di sini hanya untuk menjalankan perintah, bukan hal-hal lain yang akan menyulitkan kamu, kenapa untuk yang begitu saja kamu sulit sih, Nala!" "Karena gue enggak mau jadi OG! Gue enggak mau disuruh-suruh, gue enggak mau dipandang rendah!" "Siapa yang memandang kamu rendah? OG itu sama saja seperti pekerja yang lain yang ada di kantor ini hanya saja berbeda tugas. Saya enggak suka kalau kamu melawan begini." "Kalau gue ngelawan emang kenapa? Mau pecat gue? Oke, fine, silahkan, gue enggak keberatan sama sekali lo pecat!" Aku bisa melawan, aku tak akan diam kala aku direndahkan seperti ini. Bagaima
"Bersihin dan lap bagian sini!" Aku menatap seorang wanita yang kini nampak menor, wajahnya jutek dan sikapnya angkuh, sejak tadi, aku terus disuruh-suruh olehnya untuk melakukan ini serta itu dan entahbeknapa bagiku dia amat sangat menyebalkan. "Okei." "Yang bener dan sopan dong ngejawabnya!" Padahal dia hanya seorang OG di sini tapi berlaku seperti seorang atasan. Astaga, aku sungguhan tidak betah kerja di tempat seperti ini dan dengan posisi yang aku tempati sekarang, apakah Papa tahu anaknya menjadi OG di kantor? Ck! Aku beneran kepala kepada Om Bian. "Baik, akan saya bersihkan." Aku terus bergerak membersihkan ubin di lantai lobby. Orang-orang yang berlalu lintas tidak sepadat tadi pagi karena jam kerja sudah dimulai. Beberapa OB dan OG lain nampak tengah bekerja membersihkan barang-barang atau lantai lain agar lebih nyaman dan tenang. Beberapa lantai di area kantor ini dipakai oleh Papa. Lebih tepatnya, gedung ini sendiri punya Papa. Beberapa lantai disewakan ke
"Terus gue bakalan nempati posisi apa kalau bukan sekertaris? Direktur utama? Apa deh? Enggak bisa slo jabarin dulu biar gue di sana enggak perlu pelanga-pelongo." "Kamu pernah kerja di bidang yang kamu sukai kan?" "Gue? Kerja? Enggak, gue belum pernah kerja." "Jangan pura-pura lupa." Kedua kaki Om Bian melangkah cepat untuk keluar dari dalam rumah sementara aku yang pendek ini harus berlari-lari kecil untuk menyamakan iringan langkah kami. "Lah, lo tahu sendiri kan selama ini yang gue bisa itu cuma main, foya-foya dan belanja. Kapan gue kerja coba? Ngaco kali informasi lo! Yaudah deh, kalau lo emang mau jadiin gue sekertaris, gue ngerti. Buat menutupi aib lo yang sebenarnya mau rebut perusahaan kan?" "Saya enggak perlu menutupi hal tersebut, karena dibanding diserahkan ke kamu, orang-orang pemilik saham lebih percaya kalau Pak Haryn menyerahkan bisnis besarnya ini ke menantu yang sudah berkecimpung di dunia yang hampir sama." Mendengar penuturan tersebut, aku pun memuta
"Nala, bangun!" Perlahan, suara itu muali memasuki alam bawah sadarku, membuat aku mulai menyadarkan diri untuk kembali masuk ke dunia nyata. "Nala, bangun, ini sudah siang, kamu harus ikut saya ke kantor Nala!" '"Euuum?" Aku mulai membuka tirai mata, perlahan, lalu samar aku melihat seorang laki-laki yang kini ada di depanku. Bayangan itu semakin jelas, semakin jelas dan saat aku tahu jika sosok yang kini mengungkung tubuhku, berada telat di ataskh ternyata Om Bian. "Ngapain lo?" Tanpa sadar, aku menendang asal laki-laki itu dan ... mengenai masa depannya. Ya, masa depan yang itu. Om Bian yang tengah kesakitan kini mengerang di lantai sembari mengucapkan berbagai kata kasar yang menyakitkan kalau di dengar oleh orang waras, tapi tentu aku tidak. Karena aku tidak waras. "Kamu gila ya?" Dengan tenang aku mendudukan diri dan menganggukan kepala, masih menatap Om Bian yang nampak marah tidak karuan kepadaku. "Astaga, astaga, astaga, memang bajingan kamu Nala." "Th
"Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini, ini kamar kita." "Kamar kita?" Aku tertawa sembari menatap Om Bian sarkas. "Jangan ngada-ngada, udah gue bilang kalau gue, enggak mau, sekamar sama lo." "Saya mau sekamar sama kamu." "Enggak sudi, najis, jijik." Aku tak peduli kalau Om Bian berpikir jika, perkataanku barusan sungguh menyebalkan dan menyakitkan, yang jelas, aku tak mau, aku tak bisa dan aku tak akan pernah ingin sekamar dengan Om Bian. Aku takut kalau dia macam-macam dan merenggut kesucian serta kepolosanku yang sebenarnya sudah tidak polos ini. "Kalau kamu kayak gitu, saya makin ingin sekamar sama kamu. Saya ingin sama kamu terus." "Otak lo ada kan?" tanyaku, melihat anggukan tenang Om Bian, aku pun mendengus. "Ya kenapa lo, malah mau sekamar sama cewek yang jelas-jelas enggak sudi, gini ya Bian,