Semua Bab Rumah Angker Warisan Bapak: Bab 61 - Bab 70

89 Bab

Bab 61. Pengaruh

Sepanjang perjalanan menuju arah kembali, Mita dan Rita berjalan beriringan. Awalnya, percakapan mereka ringan, sebatas basa-basi. Namun, Mita terus memancing Rita untuk bercerita lebih lanjut mengenai bayi dalam kandungannya. Sebab terakhir ia melihat Rita, tidak tampak tanda kalau gadis itu tengah hamil. Dengan kelihaiannya, Rita akhirnya terpancing. Pancingan Mita menunjukkan hasilnya. Dengan senyuman ramah dan nada suara yang penuh perhatian, Mita berhasil membuat Rita merasa nyaman.“Jadi, benar kamu sedang hamil?” tanya Mita, seolah membaca tubuh Rita yang sedikit berbeda. "Berapa bulan?" Sosok Dyah mulai merintah mencium aroma darah bayi dari perut Rita yang sedikit membuncit.Rita, yang awalnya terkejut,
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-31
Baca selengkapnya

Bab 62. Takut

Mita menggenggam tangan Rita dengan kuat, menyeretnya ke depan dengan tatapan yang semakin gelap. Rita mencoba melepaskan cengkeraman itu, tetapi tenaga Mita begitu kuat.“Aku menginginkan jabang bayi dalam perutmu!” suara Mita berubah serak, hampir seperti bukan manusia.Rita tersentak. “Apa maksudmu? Kau... kau tidak waras!” jeritnya dengan napas tersengal. Ia mulai menyadari ada sesuatu yang tidak wajar pada sosok di depannya.Mita berhenti sejenak, menatap Rita dengan tatapan yang begitu dalam hingga membuat wanita muda itu gemetar. “Bukankah kau sendiri bilang tidak menginginkan bayi itu? Berikan dia padaku... akan aku bantu kau menyingkirkan bayi itu!” suara parau itu terdengar seperti gema di telinga Rita, penuh ancaman dan kegilaan.“Tidak! Kau gila! Lepaskan aku!” Rita berteriak histeris, mencoba melawan, tetapi cengkeraman Mita semakin kuat. Dengan paksa, Mita menyeret Rita hingga ke depan pagar ru
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-01
Baca selengkapnya

Bab 63. Penolakan

Sesampainya di rumah Udin, suasana terasa semakin mencekam. Rumah itu kecil dan suram, penerangannya hanya berasal dari lampu minyak yang menyala redup di atas meja kayu usang. Di sudut ruangan, seorang pria tua berjanggut putih yang dikenal sebagai Mbah Kanjim sedang duduk bersila di atas tikar. Wajahnya serius, seolah tahu ada hal buruk yang dibawa ketiga orang itu.Udin, Rita, dan Amin masuk dengan napas terengah-engah. Tanpa basa-basi, Udin membuka pembicaraan. "Mbah, kami butuh bantuan. Ini soal rumah kontrakan itu... dan Mbak Mita," ujarnya tergagap sambil melirik Rita yang wajahnya sudah pucat pasi.Rita akhirnya angkat bicara, suaranya gemetar. "Mbah... saya... saya rasa ada yang nggak beres. Bayi di kandungan Mita... saya yakin bayi itu sudah..." Ia berhenti, menelan ludah dengan susah payah, lalu melanjutkan, "sudah tidak ada. Saya rasa... bayi itu jadi tumbal sesuatu di rumah itu. Saya juga melihat arwah wanita bernama Mita."Ucapan Rita membuat Udin dan Amin membelalak nge
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-02
Baca selengkapnya

Bab 64. Penemuan Jenazah

Mbah Kanjim menghela napas panjang, tubuhnya sedikit bergoyang saat sukmanya berhasil kembali ke raga. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, menunjukkan betapa berat perjalanan di alam gaib tadi. Rita, Udin, dan Amin yang sejak tadi gelisah menunggu, langsung mendekat dengan wajah penuh tanya.“Bagaimana, Mbah? Apa Mita selamat?” desak Rita dengan suara cemas. "Apa kau berhasil membawanya pulang seperti kau membawaku dulu? Bagaimana keadaanya?" Rita terus memberondong pria tua itu dengan pertanyaan.“Apa Dyah akan muncul, Kek?” Udin menambahkan, matanya melirik penuh ketakutan ke arah pintu, seolah Dyah bisa tiba kapan saja. "Aku takut."Mbah Kanjim mengangkat tangan, meminta mereka diam. Ia mengambil napas panjang, lalu berkata dengan suara berat, “Maaf, aku tidak bisa menyelamatkannya.”Ucapan itu membuat suasana ruangan seketika tegang. Angin dingin yang entah dari mana mulai merayap masuk, menusuk kulit mereka.“Tidak bisa, Mbah? Kenapa?!” tanya Amin, suaranya setengah berbisik,
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-03
Baca selengkapnya

Bab 65. Perjanjian

Malam itu begitu sunyi, hanya suara jangkrik dan angin yang menggoyang dedaunan di sekitar mushola yang terdengar. Mbah Kanjim duduk di beranda rumahnya, tangannya sibuk memutar-mutar tasbih kayu tua yang warnanya sudah pudar. Pemakaman Mita tadi sore berjalan lancar, tapi perasaan ganjil masih menyelimuti dirinya. Ia tahu, sesuatu belum selesai.Tiba-tiba, angin dingin berembus masuk ke dalam rumah. Lampu minyak di meja bergoyang-goyang hingga hampir padam. "Siapa di sana?" Mbah Kanjim berdiri, menggenggam tasbihnya lebih erat.Suara isakan pelan terdengar, makin lama makin jelas. Di sudut ruangan, perlahan-lahan muncul sosok Mita. Rambutnya terurai panjang, wajahnya pucat dengan mata sembab akibat tangis. “Mbah... tolong aku,” ucapnya, suaranya serak dan bergetar.Mbah Kanjim mematung sejenak, lalu berkata dengan tenang meski jantungnya berdegup kencang. “Apa kau Mbak Mita? Apa yang terjadi? Kenapa kau masih di sini? Bukankah kau sudah dimakamkan dengan layak?”Mita menggeleng, air
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-04
Baca selengkapnya

Bab 66. Amarah Seorang Ibu

Pagi itu, kampung Sidodadi diselimuti kabut tipis, udara dingin menggigit hingga ke tulang. Jalanan masih lengang, hanya beberapa ayam berlarian di antara reruntuhan daun kering. Seorang wanita muda dengan wajah cemas berjalan tergesa, diikuti seorang pria tampan yang tampak menjaga jarak. Mereka berhenti di depan sebuah warung sederhana yang sudah ramai dengan pelanggan, aroma makanan hangat menyeruak dari dalamnya.Wanita itu masuk tanpa ragu, langsung melangkah ke arah seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. “Ibu kok ada di sini?” tanyanya dengan nada tegas. Wanita itu rupanya berniat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan.Astutik, perempuan paruh baya itu, mendongak sekilas sambil melanjutkan pekerjaannya. “Iya, aku di sini. Ada apa kau datang ke kampung ini?” suaranya dingin, tanpa sedikit pun emosi.Wanita muda itu terlihat kesal. “Ibu masih bisa bersikap seperti itu? Saya datang karena ada urusan penting.”Astutik tersenyum tipis, lebih seperti menge
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-05
Baca selengkapnya

Bab 66. Amarah Seorang Ibu

Pagi itu, kampung Sidodadi diselimuti kabut tipis, udara dingin menggigit hingga ke tulang. Jalanan masih lengang, hanya beberapa ayam berlarian di antara reruntuhan daun kering. Seorang wanita muda dengan wajah cemas berjalan tergesa, diikuti seorang pria tampan yang tampak menjaga jarak. Mereka berhenti di depan sebuah warung sederhana yang sudah ramai dengan pelanggan, aroma makanan hangat menyeruak dari dalamnya.Wanita itu masuk tanpa ragu, langsung melangkah ke arah seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. “Ibu kok ada di sini?” tanyanya dengan nada tegas. Wanita itu rupanya berniat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan.Astutik, perempuan paruh baya itu, mendongak sekilas sambil melanjutkan pekerjaannya. “Iya, aku di sini. Ada apa kau datang ke kampung ini?” suaranya dingin, tanpa sedikit pun emosi.Wanita muda itu terlihat kesal. “Ibu masih bisa bersikap seperti itu? Saya datang karena ada urusan penting.”Astutik tersenyum tipis, lebih seperti menge
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-05
Baca selengkapnya

Bab 67. Ketakutan

Pagi itu, Wulan berdiri gemetar di tengah kegelapan rumah suwung. Meski matahari bersinar terang di luar, suasana di dalam rumah terasa seperti malam pekat. Bau busuk menyengat hidung, hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Tubuhnya seolah terkunci, matanya menatap sosok di depannya—Dyah, kakaknya yang telah berubah menjadi iblis.“Ti…tidak…,” bisik Wulan, suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia mencoba mundur perlahan, namun kakinya seperti meja kayu usang.Dyah tertawa, cekikikan yang menggema di seluruh ruangan, menyeramkan seperti cakar-cakar yang mencakar dinding. "Kau takut padaku, Wulan?" suara parau itu memenuhi udara. "Padahal, kita saudara. Kau adikku... yang menghancurkan kehidupan!""Apa maksudmu?" tanya Wulan, mencoba tegar meski tubuhnya gemetar.Dyah melangkah maju, wajahnya kini terlihat jelas di bawah redupnya cahaya yang menembus jendela pecah. Kulitnya kelabu, matanya merah menyala, dan bibirnya yang robek tersenyum lebar. "Gara-gara kau, aku tak pernah menikah. Gara
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-06
Baca selengkapnya

Bab 68. Sosok Ayah

"Dyah, ini tidak benar!" Suara Bambang menggema di lorong-lorong gelap, membawa aura dingin yang menusuk. Sosoknya melayang perlahan mendekati putrinya, dengan sorot mata tajam yang bercampur amarah dan kesedihan. "Kenapa kau gunakan tubuh adikmu sebagai alat balas dendam?" tanya Bambang dengan nada tegas, namun mengguratkan luka yang dalam. Sosok Wulan—atau lebih tepatnya Dyah dalam tubuh Wulan—menggeleng pelan, seakan berusaha membela dirinya sendiri. "Aku mau hidup kembali! Aku ingin balas dendam pada Alfian!" teriaknya, suara itu penuh dengan kemarahan dan kepedihan yang tak terkatakan.Bambang hanya menggeleng perlahan, wajahnya tampak putus asa. "Dendam ini hanya akan menghancurkanmu, Dyah. Jangan libatkan Wulan. Dia tidak pantas menanggung dosamu. Kembalikan jiwa Wulan, dia belum waktunya meninggalkan dunia."Namun, sosok Wulan seakan tidak mendengar. Dengan langkah cepat, ia berbalik dan berlari meninggalkan sosok ayahnya. Bambang hanya berdiri di tempatnya, tatapannya kosong
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-08
Baca selengkapnya

Bab 69. Menemui Kartika

Di tengah ruangan yang sunyi dan pengap, suara Bambang bergema penuh wibawa. "Wulan, dengarkan Ayah. Ayah akan membantumu kembali ke dalam ragamu, tapi dengan syarat." Sosok gaib Bambang melayang mendekati Wulan yang berdiri memudar, tubuhnya seperti asap yang hampir lenyap. "Kau harus meminta maaf pada ibumu. Dia tidak pantas menerima perlakuanmu. Juga, kembalikan rumah ini pada Kartika."Wulan menatap ayahnya dengan mata penuh air mata. "Tapi, Ayah, rumah ini sebagian besar hak waris dadi Mbak Dyah. Mbak Kartika sudah menerima uang, masa aku harus mengembalikannya?" Wulan mendengus kesal. Bambang menggeleng pelan, sorot matanya tegas. "Kartika itu orang baik. Bapakmu ini yakin, dia pasti akan mengembalikan 70% hak Dyah. Yang penting sekarang adalah kau bertanggung jawab atas kesalahanmu."Belum sempat Wulan menjawab, suara pintu yang berderit keras memotong percakapan mereka. Semua kepala menoleh, dan di sana, berdiri sosok Wulan lainnya—atau lebih tepat
last updateTerakhir Diperbarui : 2025-01-09
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status