Home / Horor / Rumah Angker Warisan Bapak / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Rumah Angker Warisan Bapak: Chapter 71 - Chapter 80

89 Chapters

Bab 70. Jiwa Yang Pendendam

Angin malam berhembus lembut, tetapi ada hawa dingin yang merayap di tengkuk Kartika saat ia berdiri sendirian di luar rumah. Rasya baru saja masuk ke dalam untuk memberitahu Anis dan Hendra kabar duka yang baru mereka terima. Kartika masih terpaku, pikirannya penuh gejolak, hingga sebuah suara yang familiar tiba-tiba terdengar."Kartika ...." suara itu lirih namun jelas, menyelinap di antara desiran angin.Kartika memutar kepala, tubuhnya menegang. "Ibu?" tanyanya dengan napas tercekat.Bayangan samar mulai terbentuk di hadapannya, berubah menjadi sosok yang sangat dikenalnya—Lasmini, ibunya. Kartika terisak kecil, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Takdir memang tak dapat dihindari. Mungkin memang sudah waktunya, Nak," ucap Lasmini dengan suara lembut, tetapi ada nada tegas di dalamnya. "Purwati sudah lama menderita stroke. Dia terpeleset di kamar mandi, dan sekarang ... dia telah pergi."Kartika terdiam, hatinya diliputi keraguan. "Apa aku harus pergi ke sana, Bu?" tanyanya
last updateLast Updated : 2025-01-09
Read more

Bab 71. Pagar Gaib Rumah Warisan Bapak

Hendra mengangguk, tapi tak mampu berkata apa-apa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Perlahan, ia berdiri dan menuju pintu depan dengan langkah berat. Tangan Hendra gemetar saat meraih gagang pintu, tapi ia mencoba memberanikan diri untuk membukanya.Ketika pintu terbuka, sosok Purwati tampak berdiri di luar pagar. Wajahnya menyeramkan—kulitnya pucat kehijauan seperti mayat yang membusuk, matanya melotot dengan bola mata hampir keluar dari rongganya, dan mulutnya menyeringai lebar hingga menampakkan deretan gigi yang hitam legam. Rambutnya yang panjang kusut menjuntai seperti tali jerat. Tatapannya penuh amarah, menembus pandangan siapa pun yang melihatnya."Keluar kamu!" suara Purwati terdengar parau, bercampur gema mistis yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. "Kalian pikir pagar gaib ini bisa menghentikanku?! Aku akan masuk dan menghancurkan semuanya!"Hendra dan Anis saling pandang bingung. "Apa kau memasang pagar gaib, Pak?" tanya Anis. Hendra hanya menggeleng pelan,
last updateLast Updated : 2025-01-10
Read more

Bab 72. Rahasianya

Mbah Kanjim mengangkat wajahnya, sorot matanya tajam namun penuh arti. "Nak Hendra," gumamnya pelan, "dendam seperti api, makin dibiarkan, makin membakar. Tapi terkadang, api hanya bisa padam jika yang membawanya bersedia menyerah. Dyah tak bisa pergi sebelum menerima bahwa hidupnya telah selesai... dan itu bukan perkara mudah."Hendra terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di kejauhan, suara tawa Udin dan Pak Iman masih terdengar, tetapi di dalam hati Hendra, perasaan mencekam kembali menyelimuti.---Rasya berdiri mematung di tengah ruangan, matanya mengamati setiap sudut rumah yang tampak usang. Sorot matanya berhenti pada dinding penuh coretan, salah satunya bertuliskan: "Kartika ♥ Candra." Wajahnya berubah tegang, rahangnya mengatup. Nafasnya terdengar berat, terutama saat ia melihat lebih banyak nama "Candra" tertulis di sana, bercampur dengan nama Kartika."Mas," suara lirih Kartika memecah lamunannya. Rasya menoleh, tatapannya tajam, menyiratkan emosi yang sulit disembunyikan.Ka
last updateLast Updated : 2025-01-11
Read more

73. Arwah Purwati

Hendra menelan ludah. "Lalu bagaimana, Mbah? Apa cara menanganinya berbeda?" Mbah Kanjim menatap Hendra dalam. "Berdasarkan penerawanganku, jiwa Purwati masih tertahan di dunia. Sementara Lasmini sudah pergi dengan tenang. Mungkin karena tak puas, Purwati mengalihkan dendamnya kepada Kartika." Mbah Kanjim berdiri perlahan. "Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga. Sebelum malam turun sepenuhnya, demit golongan apapun kalau malam hari memiliki energi yang kuat."Hendra mengangguk. Begitupun Kartika dan Rasya. Keduanya segera bergegas memberi tahu Anis yang sedang menidurkan Cakra di kamar.Perjalanan menuju desa Kenikir terasa sunyi. Lampu-lampu jalan yang minim hanya menyinari sebagian kecil jalan, menciptakan bayangan panjang di aspal. Rasya memegang kemudi dengan tenang, tapi pikirannya penuh dengan rencana besar yang baru saja ia mulai. Di jok belakang, Udin duduk dengan santai, sesekali melirik keluar jendela, sementara Mbah Kanjim terdiam dengan mata tertutup,
last updateLast Updated : 2025-01-12
Read more

Bab 74. Tidak Ada Solusi

Sepanjang perjalanan menuju rumah Purwati, jalanan desa terlihat senyap. Semua pintu rumah tampak tertutup. Setelah sampai di depan rumah milik Purwati. Mbah Kanjim mendorongkan energinya.“Pergilah ke tempatmu yang semestinya. Jangan kembali untuk mengganggu!”Sosok Purwati menghilang dalam kabut hitam. Mbah Kanjim terengah-engah melafalkan mantra untuk memberi pagar gaib.“Sudah selesai?” tanya Hendra, suaranya masih terdengar gemetar.Belum sempat mendapat jawaban, suara teriakan menggema dari dalam rumah Purwati. Suaranya memecah malam, penuh amarah dan kebencian, seperti ribuan paku yang menghantam telinga. "Kurang ajar! Pria tua sialan! Lepaskan aku! Bahkan aku tidak mengenalmu! Kenapa kau ikut campur dengan urusanku!" Suara itu bergetar, bergema seperti tidak berasal dari satu arah, melainkan dari seluruh penjuru.Mbah Kanjim berdiri tegak di depan rumah, wajahnya penuh konsentrasi. Ia telah menyelesaikan rapalan segelnya, dan tangan kanannya terangkat, memegang keris kecil yan
last updateLast Updated : 2025-01-13
Read more

Bab 75. Komunikasi

Siang itu, di rumah Mbah Legi yang sunyi, suara gawai milik Udin berdering nyaring, memecah keheningan. Udin, yang tengah sibuk mengutak-atik mainan di meja, mengangkat telepon itu dengan nada santai. Namun, nada bicaranya segera berubah serius setelah mendengar suara di seberang. "Oh, mandor sudah datang? Baik, saya sampaikan ke Mas Rasya," ujarnya sambil menoleh ke arah Rasya, yang duduk tak jauh darinya."Mas, kabar dari Amin. Mandor sudah datang untuk merobohkan rumah warisan bapak Kartika," ucap Udin, nadanya datar tapi sedikit tergesa. Rasya mengangguk pelan, ekspresinya tak berubah. "Katakan ke Amin, untuk urus semuanya. Aku percaya padanya," jawab Rasya sambil menyesap teh hangatnya.Akan tetapi, obrolan itu tak berhenti di situ. Udin, yang terlihat ragu, tiba-tiba menambahkan dengan nada setengah berbisik, "Oh ya, Mas, Amin juga bilang... dia akan bertunangan dengan Rita, jadi dia minta Mas dan Mbak Kartika, juga pak Hendra untuk datang." Ucapannya langsung membuat suasana be
last updateLast Updated : 2025-01-13
Read more

Bab 76. Purwati Berhasil Pergi

Mbah Legi mengamati Mbah Kanjim yang selesai dengan ritualnya. Dengan wajah penuh tanya, Mbah Legi membuka pembicaraan, "Apa kau akan membawa Lasmini kembali ke alam manusia?"Mbah Kanjim tersenyum kecil. "Tidak, aku tidak akan menarik jiwanya langsung ke dunia manusia," jawabnya dengan nada yang tenang dan penuh arti.Mbah Legi menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Sudah kuduga. Kalau kau menariknya paksa, bisa-bisa dia malah menggantikan Purwati sebagai arwah penasaran. Dan itu hanya akan membuat keadaan sama buruknya.""Benar sekali," kata Mbah Kanjim sambil menatap lurus ke arah dupa yang mulai memudar. "Aku tidak bisa mengambil risiko sebesar itu. Lasmini harus tetap di tempatnya, di alam yang telah menjadi miliknya sekarang. Namun, bukan berarti aku tidak punya cara lain."Mbah Legi mengerutkan dahi. "Apa yang kau maksud, Kanjim?"Senyum tipis kembali muncul di wajah Mbah Kanjim. "Aku tidak akan menarik Lasmini secara langsung. Seba
last updateLast Updated : 2025-01-14
Read more

Bab 77. Rumah Angker Warisan Bapak Lisa

"Pergi!" Lisa berteriak keras, suaranya menggema di ruang tamu rumah mewah itu. Matanya memerah, penuh amarah yang memuncak.Candra, yang berdiri di ambang pintu, hanya menatap putri kecilnya, Cassandra, yang menggigil di sudut ruangan sambil memeluk boneka lusuhnya. Tangisan bocah itu seperti jeritan kecil di tengah badai."Aku menjual rumah gono-gini dengan Rasya gara-gara kamu!" Lisa melanjutkan teriakannya. "Dan besok... aku terpaksa kembali ke rumah warisan bapakku!""Sudahlah, Lisa. Jangan berteriak seperti ini. Apa kau tidak kasihan melihat Cassandra terus menangis?" Candra mencoba menenangkan, meski suaranya bergetar, menahan emosi yang hampir pecah."Aku gak peduli!" Lisa berbalik menatapnya tajam. "Pria sampah sepertimu tidak berhak berbicara! Aku! Aku yang selama ini memenuhi kebutuhan rumah ini! Aku tulang rusuk yang dipaksa jadi tulang punggung! Kau cuma bisa menghabiskan uang hasil kerja kerasku!""Kau menyebutku sampah? Kau sendiri a
last updateLast Updated : 2025-01-15
Read more

Bab 78. Tangisan Dalam Pelukan Jenazah

Tubuh Candra bergetar hebat, kakinya terasa lemas seperti tidak lagi mampu menopang tubuhnya. Pandangannya terpaku pada tubuh Lisa yang terbujur kaku di lantai, darah mengalir deras dari luka di kepala istrinya. Setrika yang tadi ia gunakan tergeletak tak jauh dari sana, berlumur darah. "Tidak... Lisa... tidak mungkin..." suaranya tercekat, nyaris berbisik. Ia mundur beberapa langkah, tubuhnya limbung dan gemetar. Air matanya mulai mengalir, bercampur dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya.Ketakutan mencengkeramnya, nafasnya memburu tak beraturan. Tangannya meremas rambutnya sendiri, seakan berharap ini hanya mimpi buruk yang bisa ia bangunkan. Namun pemandangan itu terlalu nyata. Lisa tak lagi bergerak.Tangisan Cassandra terus meraung-raung memanggil ibunya, "Mama! Mama !" menambah suasana mencekam. Gadis kecil itu memeluk tubuh Lisa yang dingin, mengguncang-guncangnya dengan tangan mungilnya. "Mama...."Candra merasakan gelombang panik yang lebih bes
last updateLast Updated : 2025-01-16
Read more

Bab 79. Sosok Lisa

Malam itu, Kartika berdiri di ruang tamu dengan wajah penuh simpati. "Mas, kita harus melayat ke rumah Lisa. Kasihan, anaknya masih kecil," katanya, seraya merapikan perlengkapan Cakra dan memasukkan semuanya ke dalam tas. Ada kegundahan dalam suaranya.Namun, Anis yang memperhatikan gerak-gerik menantunya langsung angkat suara. "Kartika," panggilnya dengan nada tegas, "Ibu keberatan kalau kalian mengajak Cakra ke sana."Kartika menoleh, sedikit terkejut dengan keberatan itu. "Kenapa, Bu?"Anis mendekati mereka, wajahnya serius, tatapannya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Cakra masih kecil. Ibu takut dia sawan kalau diajak ke sana. Apalagi, Lisa meninggal dengan cara yang tidak wajar." Suaranya bergetar saat menyebut kalimat terakhir, seolah ketakutan itu bukan hanya untuk Cakra, tetapi juga untuk sesuatu yang lebih besar.Rasya, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Biar sajalah, Bu. Lagian ini kan bukan sekali ini saja, kami ngajak Cakra."Anis menghela nafas
last updateLast Updated : 2025-01-17
Read more
PREV
1
...
456789
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status