Beranda / Horor / Rumah Angker Warisan Bapak / Bab 74. Tidak Ada Solusi

Share

Bab 74. Tidak Ada Solusi

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-13 08:25:35

Sepanjang perjalanan menuju rumah Purwati, jalanan desa terlihat senyap. Semua pintu rumah tampak tertutup. Setelah sampai di depan rumah milik Purwati. Mbah Kanjim mendorongkan energinya.

“Pergilah ke tempatmu yang semestinya. Jangan kembali untuk mengganggu!”

Sosok Purwati menghilang dalam kabut hitam. Mbah Kanjim terengah-engah melafalkan mantra untuk memberi pagar gaib.

“Sudah selesai?” tanya Hendra, suaranya masih terdengar gemetar.

Belum sempat mendapat jawaban, suara teriakan menggema dari dalam rumah Purwati. Suaranya memecah malam, penuh amarah dan kebencian, seperti ribuan paku yang menghantam telinga. "Kurang ajar! Pria tua sialan! Lepaskan aku! Bahkan aku tidak mengenalmu! Kenapa kau ikut campur dengan urusanku!" Suara itu bergetar, bergema seperti tidak berasal dari satu arah, melainkan dari seluruh penjuru.

Mbah Kanjim berdiri tegak di depan rumah, wajahnya penuh konsentrasi. Ia telah menyelesaikan rapalan segelnya, dan tangan kanannya terangkat, memegang keris kecil yan
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 75. Komunikasi

    Siang itu, di rumah Mbah Legi yang sunyi, suara gawai milik Udin berdering nyaring, memecah keheningan. Udin, yang tengah sibuk mengutak-atik mainan di meja, mengangkat telepon itu dengan nada santai. Namun, nada bicaranya segera berubah serius setelah mendengar suara di seberang. "Oh, mandor sudah datang? Baik, saya sampaikan ke Mas Rasya," ujarnya sambil menoleh ke arah Rasya, yang duduk tak jauh darinya."Mas, kabar dari Amin. Mandor sudah datang untuk merobohkan rumah warisan bapak Kartika," ucap Udin, nadanya datar tapi sedikit tergesa. Rasya mengangguk pelan, ekspresinya tak berubah. "Katakan ke Amin, untuk urus semuanya. Aku percaya padanya," jawab Rasya sambil menyesap teh hangatnya.Akan tetapi, obrolan itu tak berhenti di situ. Udin, yang terlihat ragu, tiba-tiba menambahkan dengan nada setengah berbisik, "Oh ya, Mas, Amin juga bilang... dia akan bertunangan dengan Rita, jadi dia minta Mas dan Mbak Kartika, juga pak Hendra untuk datang." Ucapannya langsung membuat suasana be

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-13
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 76. Purwati Berhasil Pergi

    Mbah Legi mengamati Mbah Kanjim yang selesai dengan ritualnya. Dengan wajah penuh tanya, Mbah Legi membuka pembicaraan, "Apa kau akan membawa Lasmini kembali ke alam manusia?"Mbah Kanjim tersenyum kecil. "Tidak, aku tidak akan menarik jiwanya langsung ke dunia manusia," jawabnya dengan nada yang tenang dan penuh arti.Mbah Legi menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Sudah kuduga. Kalau kau menariknya paksa, bisa-bisa dia malah menggantikan Purwati sebagai arwah penasaran. Dan itu hanya akan membuat keadaan sama buruknya.""Benar sekali," kata Mbah Kanjim sambil menatap lurus ke arah dupa yang mulai memudar. "Aku tidak bisa mengambil risiko sebesar itu. Lasmini harus tetap di tempatnya, di alam yang telah menjadi miliknya sekarang. Namun, bukan berarti aku tidak punya cara lain."Mbah Legi mengerutkan dahi. "Apa yang kau maksud, Kanjim?"Senyum tipis kembali muncul di wajah Mbah Kanjim. "Aku tidak akan menarik Lasmini secara langsung. Seba

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 1: Kembali ke Rumah Lama

    Lisa meletakkan piring kotor ke wastafel dengan agak kasar, gerakannya tampak kesal. Sementara itu, Anis duduk di meja makan, mengamati gerak-gerik menantunya dengan tatapan yang sudah lama memendam perasaan. Keduanya sudah lama tak berbicara langsung sejak ketegangan antara mereka meningkat."Bu, aku perlu bicara," kata Lisa tiba-tiba, sambil memutar tubuhnya menghadap Anis. Anis mengangguk perlahan. "Apa yang ingin kau bicarakan, Nak?" tanya Anis lembut.Lisa menghela napas panjang sebelum berbicara. "Aku ingin Mas Rasya dan aku menjalani hidup kami sendiri. Kami sudah menikah, dan aku pikir... kehadiran Ibu di sini mengganggu. Aku butuh privasi, dan aku merasa tidak bisa hidup bersama seperti ini."Anis menatap Lisa dengan tatapan tajam. "Mengganggu? Aku adalah ibu dari Rasya danibu sudah nenganggapmu sebagai anak ibu sendiri."Lisa menggertakkan giginya, mencoba menahan emosinya. "Ini bukan soal Ibu sebagai orang tua. Ini soal ruang. Rumah ini terasa semakin kecil. Aku ingin menga

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 2 : Peringatan Warga

    Hendra menepuk pelan pundak Anis yang tertidur gelisah di atas ranjang kayu tua mereka. "Ada apa?" tanyanya Hendra sambil mengguncang pundak sang istri. Hendra terlihat panik, sebab Anis terus berceloteh dalam tidurnya, kata-katanya tak jelas namun penuh kecemasan. Perlahan, matanya terbuka, dan tubuhnya tersentak. Anis tercekat, matanya memandang sekeliling ruangan dengan penuh kebingungan. "Ternyata mimpi," gumamnya lirih, "tapi rasanya seperti nyata." Ia mencoba mengatur napasnya yang memburu, tangan gemetarnya mengusap wajah.Hendra duduk di sisi ranjang, mengelus lengan istrinya dengan lembut. "Mungkin kau lelah," ucapnya, berusaha menenangkan. "Sejak kita datang ke sini, kau belum benar-benar istirahat." Hendra menoleh ke jendela, cahaya matahari yang mulai condong menandakan hari sudah sore. "Aku ingin keluar sebentar untuk menemui Pak Kartijan," lanjutnya sambil bangkit berdiri, menyiratkan niatnya untuk menyelesaikan beberapa urusan desa.Namun, sebelum Hendra melangkah lebih

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 3 : Malam Pertama Di Rumah Suwung

    Anis merasa ada yang tidak beres begitu ia melihat pintu rumah dalam keadaan terbuka. Angin dingin dari luar berhembus pelan, membuat tubuhnya merinding. Bagaimana bisa pintu itu terbuka? Ia jelas-jelas mengunci pintu tadi setelah mereka keluar, dan kuncinya masih ada di dalam tas yang ia simpan dengan rapi. Anis meraba tas kecil yang selalu dibawanya, memastikan kunci itu masih ada di sana, dan benar, kunci itu tetap di tempatnya. Hendra melirik ke arah sang istri yang seperti kebingungan dan dengan santai berkata, “Mungkin Kau lupa menguncinya, Bu.”“Lupa?” Anis menatap suaminya dengan bingung. “Aku yang mengunci pintunya, Mas, dan kuncinya masih ada di tasku.”Hendra tertawa kecil, menepuk pundak Anis dengan lembut. “Ya sudahlah, mungkin karena faktor usia, kadang kita bisa sedikit pikun.”Ucapan itu membuat Anis merasa kesal. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bukan seorang pelupa. Ia yakin betul bahwa tadi sudah mengunci pintu, dan ia tidak mungkin salah. Tapi Anis memendam

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 4 : Suara Malam Yang Menghantui

    Anis yang ketakutan menggedor pintu rumah dengan panik. “Pak! Pak!” ia memanggil suaminya, merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setiap detik terasa seperti satu jam, dan perasaan takut menyelimuti pikirannya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Anis menghela napas lega sekaligus terkejut melihat Hendra berdiri di balik pintu dengan wajah bingung.“Kamu kok di luar, Bu?” tanya Hendra, tatapannya beralih dari pintu ke wajah Anis yang pucat.“Apa Bapak mendengar suara tangisan?” Anis bertanya dengan suara bergetar, berhambur ke arah sang suami seolah ingin mencari perlindungan. Hendra menajamkan pendengarannya, berusaha mendengarkan suara yang dimaksud.“Tidak,” jawabnya singkat, namun jawaban itu membuat Anis merasa semakin cemas. Ia mengapit kuat lengan Hendra, seolah tak ingin melepaskannya.“Aku takut,” lirih Anis, tubuhnya bergetar. Hendra merasa khawatir melihat kondisi istrinya yang tampak berbeda dari biasanya.“Sudahlah, Bu. Coba tenangkan dirimu. Baca doa, yuk,” kat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 5 : Putra Yang Datang

    Anis mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk Hendra. Benar saja, di pojok ruang yang gelap, dekat jendela yang tertutup gorden, terdapat sebuah ranjang bayi yang tampak usang. Hati Anis berdegup kencang, rasa penasaran dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. Ia mulai melangkah mendekat, meninggalkan Hendra yang tertegun di belakang. Dengan tangan yang bergetar, Anis mengulurkan tangan ke arah ranjang, bersiap membuka selimut yang menutupi. Jantungnya berdebar, dan saat selimut itu tersingkap, terjadilah sesuatu yang tak terduga."Slashhhhhhh!" Suara kain yang tersingkap menggema dalam keheningan malam, dan saat Anis melihat isi dalam keranjang, jeritan meluncur dari bibirnya. Ia melihat sesuatu yang tampak seperti bayi, tetapi dengan wajah yang tidak manusiawi—kulitnya pucat dan matanya hitam kosong. Ketakutan mendorongnya pingsan, jatuh tak berdaya ke lantai. Hendra, yang bingung dengan teriakan istrinya, segera mendekat. Namun, saat ia melihat apa yang membuat Anis pingsan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 6. Suara Yang Sama

    Rasya memutuskan untuk mencari boneka aneh itu di sudut-sudut ruangan. Matanya menyapu setiap sudut, mengamati rak-rak kayu yang dipenuhi sarang laba-laba dan lantai yang dilapisi debu tebal. Aroma apek memenuhi udara, menambah suasana seram yang sudah terasa menyesakkan. Tapi sejauh matanya memandang, boneka yang ia cari tetap tidak terlihat."Ah, sudahlah," gumamnya pelan, "lebih baik aku letakkan ranjang bayi ini dulu. Besok pagi aku akan mencarinya lagi."Dengan langkah pelan, Rasya berbalik, meninggalkan ruangan tua yang terasa begitu mencekam. Ia menutup pintu dengan hati-hati, memastikan semuanya tertutup rapat. Namun, tepat saat daun pintu tertutup sempurna, di balik pintu yang baru saja ia tinggalkan, sebuah bayangan samar muncul perlahan. Siluet tangan kecil, ringkih, dan menyeramkan, tampak merangkak dari kegelapan, perlahan-lahan menggapai ranjang bayi yang ditinggalkan Rasya. Lalu, dengan gerakan perlahan dan hidup, tangan itu meletakkan kembali boneka rusak tersebut di te

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-07

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 76. Purwati Berhasil Pergi

    Mbah Legi mengamati Mbah Kanjim yang selesai dengan ritualnya. Dengan wajah penuh tanya, Mbah Legi membuka pembicaraan, "Apa kau akan membawa Lasmini kembali ke alam manusia?"Mbah Kanjim tersenyum kecil. "Tidak, aku tidak akan menarik jiwanya langsung ke dunia manusia," jawabnya dengan nada yang tenang dan penuh arti.Mbah Legi menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Sudah kuduga. Kalau kau menariknya paksa, bisa-bisa dia malah menggantikan Purwati sebagai arwah penasaran. Dan itu hanya akan membuat keadaan sama buruknya.""Benar sekali," kata Mbah Kanjim sambil menatap lurus ke arah dupa yang mulai memudar. "Aku tidak bisa mengambil risiko sebesar itu. Lasmini harus tetap di tempatnya, di alam yang telah menjadi miliknya sekarang. Namun, bukan berarti aku tidak punya cara lain."Mbah Legi mengerutkan dahi. "Apa yang kau maksud, Kanjim?"Senyum tipis kembali muncul di wajah Mbah Kanjim. "Aku tidak akan menarik Lasmini secara langsung. Seba

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 75. Komunikasi

    Siang itu, di rumah Mbah Legi yang sunyi, suara gawai milik Udin berdering nyaring, memecah keheningan. Udin, yang tengah sibuk mengutak-atik mainan di meja, mengangkat telepon itu dengan nada santai. Namun, nada bicaranya segera berubah serius setelah mendengar suara di seberang. "Oh, mandor sudah datang? Baik, saya sampaikan ke Mas Rasya," ujarnya sambil menoleh ke arah Rasya, yang duduk tak jauh darinya."Mas, kabar dari Amin. Mandor sudah datang untuk merobohkan rumah warisan bapak Kartika," ucap Udin, nadanya datar tapi sedikit tergesa. Rasya mengangguk pelan, ekspresinya tak berubah. "Katakan ke Amin, untuk urus semuanya. Aku percaya padanya," jawab Rasya sambil menyesap teh hangatnya.Akan tetapi, obrolan itu tak berhenti di situ. Udin, yang terlihat ragu, tiba-tiba menambahkan dengan nada setengah berbisik, "Oh ya, Mas, Amin juga bilang... dia akan bertunangan dengan Rita, jadi dia minta Mas dan Mbak Kartika, juga pak Hendra untuk datang." Ucapannya langsung membuat suasana be

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 74. Tidak Ada Solusi

    Sepanjang perjalanan menuju rumah Purwati, jalanan desa terlihat senyap. Semua pintu rumah tampak tertutup. Setelah sampai di depan rumah milik Purwati. Mbah Kanjim mendorongkan energinya.“Pergilah ke tempatmu yang semestinya. Jangan kembali untuk mengganggu!”Sosok Purwati menghilang dalam kabut hitam. Mbah Kanjim terengah-engah melafalkan mantra untuk memberi pagar gaib.“Sudah selesai?” tanya Hendra, suaranya masih terdengar gemetar.Belum sempat mendapat jawaban, suara teriakan menggema dari dalam rumah Purwati. Suaranya memecah malam, penuh amarah dan kebencian, seperti ribuan paku yang menghantam telinga. "Kurang ajar! Pria tua sialan! Lepaskan aku! Bahkan aku tidak mengenalmu! Kenapa kau ikut campur dengan urusanku!" Suara itu bergetar, bergema seperti tidak berasal dari satu arah, melainkan dari seluruh penjuru.Mbah Kanjim berdiri tegak di depan rumah, wajahnya penuh konsentrasi. Ia telah menyelesaikan rapalan segelnya, dan tangan kanannya terangkat, memegang keris kecil yan

  • Rumah Angker Warisan Bapak   73. Arwah Purwati

    Hendra menelan ludah. "Lalu bagaimana, Mbah? Apa cara menanganinya berbeda?" Mbah Kanjim menatap Hendra dalam. "Berdasarkan penerawanganku, jiwa Purwati masih tertahan di dunia. Sementara Lasmini sudah pergi dengan tenang. Mungkin karena tak puas, Purwati mengalihkan dendamnya kepada Kartika." Mbah Kanjim berdiri perlahan. "Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga. Sebelum malam turun sepenuhnya, demit golongan apapun kalau malam hari memiliki energi yang kuat."Hendra mengangguk. Begitupun Kartika dan Rasya. Keduanya segera bergegas memberi tahu Anis yang sedang menidurkan Cakra di kamar.Perjalanan menuju desa Kenikir terasa sunyi. Lampu-lampu jalan yang minim hanya menyinari sebagian kecil jalan, menciptakan bayangan panjang di aspal. Rasya memegang kemudi dengan tenang, tapi pikirannya penuh dengan rencana besar yang baru saja ia mulai. Di jok belakang, Udin duduk dengan santai, sesekali melirik keluar jendela, sementara Mbah Kanjim terdiam dengan mata tertutup,

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 72. Rahasianya

    Mbah Kanjim mengangkat wajahnya, sorot matanya tajam namun penuh arti. "Nak Hendra," gumamnya pelan, "dendam seperti api, makin dibiarkan, makin membakar. Tapi terkadang, api hanya bisa padam jika yang membawanya bersedia menyerah. Dyah tak bisa pergi sebelum menerima bahwa hidupnya telah selesai... dan itu bukan perkara mudah."Hendra terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di kejauhan, suara tawa Udin dan Pak Iman masih terdengar, tetapi di dalam hati Hendra, perasaan mencekam kembali menyelimuti.---Rasya berdiri mematung di tengah ruangan, matanya mengamati setiap sudut rumah yang tampak usang. Sorot matanya berhenti pada dinding penuh coretan, salah satunya bertuliskan: "Kartika ♥ Candra." Wajahnya berubah tegang, rahangnya mengatup. Nafasnya terdengar berat, terutama saat ia melihat lebih banyak nama "Candra" tertulis di sana, bercampur dengan nama Kartika."Mas," suara lirih Kartika memecah lamunannya. Rasya menoleh, tatapannya tajam, menyiratkan emosi yang sulit disembunyikan.Ka

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 71. Pagar Gaib Rumah Warisan Bapak

    Hendra mengangguk, tapi tak mampu berkata apa-apa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Perlahan, ia berdiri dan menuju pintu depan dengan langkah berat. Tangan Hendra gemetar saat meraih gagang pintu, tapi ia mencoba memberanikan diri untuk membukanya.Ketika pintu terbuka, sosok Purwati tampak berdiri di luar pagar. Wajahnya menyeramkan—kulitnya pucat kehijauan seperti mayat yang membusuk, matanya melotot dengan bola mata hampir keluar dari rongganya, dan mulutnya menyeringai lebar hingga menampakkan deretan gigi yang hitam legam. Rambutnya yang panjang kusut menjuntai seperti tali jerat. Tatapannya penuh amarah, menembus pandangan siapa pun yang melihatnya."Keluar kamu!" suara Purwati terdengar parau, bercampur gema mistis yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. "Kalian pikir pagar gaib ini bisa menghentikanku?! Aku akan masuk dan menghancurkan semuanya!"Hendra dan Anis saling pandang bingung. "Apa kau memasang pagar gaib, Pak?" tanya Anis. Hendra hanya menggeleng pelan,

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 70. Jiwa Yang Pendendam

    Angin malam berhembus lembut, tetapi ada hawa dingin yang merayap di tengkuk Kartika saat ia berdiri sendirian di luar rumah. Rasya baru saja masuk ke dalam untuk memberitahu Anis dan Hendra kabar duka yang baru mereka terima. Kartika masih terpaku, pikirannya penuh gejolak, hingga sebuah suara yang familiar tiba-tiba terdengar."Kartika ...." suara itu lirih namun jelas, menyelinap di antara desiran angin.Kartika memutar kepala, tubuhnya menegang. "Ibu?" tanyanya dengan napas tercekat.Bayangan samar mulai terbentuk di hadapannya, berubah menjadi sosok yang sangat dikenalnya—Lasmini, ibunya. Kartika terisak kecil, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Takdir memang tak dapat dihindari. Mungkin memang sudah waktunya, Nak," ucap Lasmini dengan suara lembut, tetapi ada nada tegas di dalamnya. "Purwati sudah lama menderita stroke. Dia terpeleset di kamar mandi, dan sekarang ... dia telah pergi."Kartika terdiam, hatinya diliputi keraguan. "Apa aku harus pergi ke sana, Bu?" tanyanya

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 69. Menemui Kartika

    Di tengah ruangan yang sunyi dan pengap, suara Bambang bergema penuh wibawa. "Wulan, dengarkan Ayah. Ayah akan membantumu kembali ke dalam ragamu, tapi dengan syarat." Sosok gaib Bambang melayang mendekati Wulan yang berdiri memudar, tubuhnya seperti asap yang hampir lenyap. "Kau harus meminta maaf pada ibumu. Dia tidak pantas menerima perlakuanmu. Juga, kembalikan rumah ini pada Kartika."Wulan menatap ayahnya dengan mata penuh air mata. "Tapi, Ayah, rumah ini sebagian besar hak waris dadi Mbak Dyah. Mbak Kartika sudah menerima uang, masa aku harus mengembalikannya?" Wulan mendengus kesal.Bambang menggeleng pelan, sorot matanya tegas. "Kartika itu orang baik. Bapakmu ini yakin, dia pasti akan mengembalikan 70% hak Dyah. Yang penting sekarang adalah kau bertanggung jawab atas kesalahanmu."Belum sempat Wulan menjawab, suara pintu yang berderit keras memotong percakapan mereka. Semua kepala menoleh, dan di sana, berdiri sosok Wulan lainnya—atau lebih tepat

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 68. Sosok Ayah

    "Dyah, ini tidak benar!" Suara Bambang menggema di lorong-lorong gelap, membawa aura dingin yang menusuk. Sosoknya melayang perlahan mendekati putrinya, dengan sorot mata tajam yang bercampur amarah dan kesedihan. "Kenapa kau gunakan tubuh adikmu sebagai alat balas dendam?" tanya Bambang dengan nada tegas, namun mengguratkan luka yang dalam. Sosok Wulan—atau lebih tepatnya Dyah dalam tubuh Wulan—menggeleng pelan, seakan berusaha membela dirinya sendiri. "Aku mau hidup kembali! Aku ingin balas dendam pada Alfian!" teriaknya, suara itu penuh dengan kemarahan dan kepedihan yang tak terkatakan.Bambang hanya menggeleng perlahan, wajahnya tampak putus asa. "Dendam ini hanya akan menghancurkanmu, Dyah. Jangan libatkan Wulan. Dia tidak pantas menanggung dosamu. Kembalikan jiwa Wulan, dia belum waktunya meninggalkan dunia."Namun, sosok Wulan seakan tidak mendengar. Dengan langkah cepat, ia berbalik dan berlari meninggalkan sosok ayahnya. Bambang hanya berdiri di tempatnya, tatapannya kosong

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status