Share

Bab 75. Komunikasi

Penulis: Eliyona
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-13 08:32:24

Siang itu, di rumah Mbah Legi yang sunyi, suara gawai milik Udin berdering nyaring, memecah keheningan. Udin, yang tengah sibuk mengutak-atik mainan di meja, mengangkat telepon itu dengan nada santai. Namun, nada bicaranya segera berubah serius setelah mendengar suara di seberang. "Oh, mandor sudah datang? Baik, saya sampaikan ke Mas Rasya," ujarnya sambil menoleh ke arah Rasya, yang duduk tak jauh darinya.

"Mas, kabar dari Amin. Mandor sudah datang untuk merobohkan rumah warisan bapak Kartika," ucap Udin, nadanya datar tapi sedikit tergesa. Rasya mengangguk pelan, ekspresinya tak berubah. "Katakan ke Amin, untuk urus semuanya. Aku percaya padanya," jawab Rasya sambil menyesap teh hangatnya.

Akan tetapi, obrolan itu tak berhenti di situ. Udin, yang terlihat ragu, tiba-tiba menambahkan dengan nada setengah berbisik, "Oh ya, Mas, Amin juga bilang... dia akan bertunangan dengan Rita, jadi dia minta Mas dan Mbak Kartika, juga pak Hendra untuk datang." Ucapannya langsung membuat suasana be
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 76. Purwati Berhasil Pergi

    Mbah Legi mengamati Mbah Kanjim yang selesai dengan ritualnya. Dengan wajah penuh tanya, Mbah Legi membuka pembicaraan, "Apa kau akan membawa Lasmini kembali ke alam manusia?"Mbah Kanjim tersenyum kecil. "Tidak, aku tidak akan menarik jiwanya langsung ke dunia manusia," jawabnya dengan nada yang tenang dan penuh arti.Mbah Legi menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Sudah kuduga. Kalau kau menariknya paksa, bisa-bisa dia malah menggantikan Purwati sebagai arwah penasaran. Dan itu hanya akan membuat keadaan sama buruknya.""Benar sekali," kata Mbah Kanjim sambil menatap lurus ke arah dupa yang mulai memudar. "Aku tidak bisa mengambil risiko sebesar itu. Lasmini harus tetap di tempatnya, di alam yang telah menjadi miliknya sekarang. Namun, bukan berarti aku tidak punya cara lain."Mbah Legi mengerutkan dahi. "Apa yang kau maksud, Kanjim?"Senyum tipis kembali muncul di wajah Mbah Kanjim. "Aku tidak akan menarik Lasmini secara langsung. Seba

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 77. Rumah Angker Warisan Bapak Lisa

    "Pergi!" Lisa berteriak keras, suaranya menggema di ruang tamu rumah mewah itu. Matanya memerah, penuh amarah yang memuncak.Candra, yang berdiri di ambang pintu, hanya menatap putri kecilnya, Cassandra, yang menggigil di sudut ruangan sambil memeluk boneka lusuhnya. Tangisan bocah itu seperti jeritan kecil di tengah badai."Aku menjual rumah gono-gini dengan Rasya gara-gara kamu!" Lisa melanjutkan teriakannya. "Dan besok... aku terpaksa kembali ke rumah warisan bapakku!""Sudahlah, Lisa. Jangan berteriak seperti ini. Apa kau tidak kasihan melihat Cassandra terus menangis?" Candra mencoba menenangkan, meski suaranya bergetar, menahan emosi yang hampir pecah."Aku gak peduli!" Lisa berbalik menatapnya tajam. "Pria sampah sepertimu tidak berhak berbicara! Aku! Aku yang selama ini memenuhi kebutuhan rumah ini! Aku tulang rusuk yang dipaksa jadi tulang punggung! Kau cuma bisa menghabiskan uang hasil kerja kerasku!""Kau menyebutku sampah? Kau sendiri a

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 78. Tangisan Dalam Pelukan Jenazah

    Tubuh Candra bergetar hebat, kakinya terasa lemas seperti tidak lagi mampu menopang tubuhnya. Pandangannya terpaku pada tubuh Lisa yang terbujur kaku di lantai, darah mengalir deras dari luka di kepala istrinya. Setrika yang tadi ia gunakan tergeletak tak jauh dari sana, berlumur darah. "Tidak... Lisa... tidak mungkin..." suaranya tercekat, nyaris berbisik. Ia mundur beberapa langkah, tubuhnya limbung dan gemetar. Air matanya mulai mengalir, bercampur dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya.Ketakutan mencengkeramnya, nafasnya memburu tak beraturan. Tangannya meremas rambutnya sendiri, seakan berharap ini hanya mimpi buruk yang bisa ia bangunkan. Namun pemandangan itu terlalu nyata. Lisa tak lagi bergerak.Tangisan Cassandra terus meraung-raung memanggil ibunya, "Mama! Mama !" menambah suasana mencekam. Gadis kecil itu memeluk tubuh Lisa yang dingin, mengguncang-guncangnya dengan tangan mungilnya. "Mama...."Candra merasakan gelombang panik yang lebih bes

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 79. Sosok Lisa

    Malam itu, Kartika berdiri di ruang tamu dengan wajah penuh simpati. "Mas, kita harus melayat ke rumah Lisa. Kasihan, anaknya masih kecil," katanya, seraya merapikan perlengkapan Cakra dan memasukkan semuanya ke dalam tas. Ada kegundahan dalam suaranya.Namun, Anis yang memperhatikan gerak-gerik menantunya langsung angkat suara. "Kartika," panggilnya dengan nada tegas, "Ibu keberatan kalau kalian mengajak Cakra ke sana."Kartika menoleh, sedikit terkejut dengan keberatan itu. "Kenapa, Bu?"Anis mendekati mereka, wajahnya serius, tatapannya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. "Cakra masih kecil. Ibu takut dia sawan kalau diajak ke sana. Apalagi, Lisa meninggal dengan cara yang tidak wajar." Suaranya bergetar saat menyebut kalimat terakhir, seolah ketakutan itu bukan hanya untuk Cakra, tetapi juga untuk sesuatu yang lebih besar.Rasya, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. "Biar sajalah, Bu. Lagian ini kan bukan sekali ini saja, kami ngajak Cakra."Anis menghela nafas

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 80. Supir Setan

    "Apa maksudmu? Jadi benar Mas Candra yang membunuhmu?" ucap Kartika dengan nada gemetar tak percaya. "Ta-pi ... ke-napa?" Kartika terdiam, tubuhnya bergetar hebat. Kata-kata Lisa seperti palu yang menghantam pikirannya. “Candra membunuhku,” ucap Lisa tanpa ragu. Mata Kartika membelalak, penuh ketidakpercayaan. “Tidak mungkin!” desisnya, suaranya nyaris lenyap. Namun, sorot dingin Lisa tak terbantahkan. Rasa takut menyelimuti Kartika, nafasnya memburu. Sorot mata penuh dendam itu, membuat bulu kuduk Kartika meremang. Tenggorokannya tercekat dan tubuhnya kaku seakan tak bisa bergerak. "Candra membunuhku Kartika! Aku ingin mendapat keadilan atas kematianku! Bantu aku Kartika ... temukan Candra!" Suara Lisa diiringi dengan Isak tangisnya bergema di keheningan malam. “Keadilan...,” bisiknya pelan, membuat siapa pun yang mendengar merasakan hawa dingin menusuk tulang. "Candra harus bertanggung jawab dan anakku ...." Lisa tak melanjutkan ucapannya, ia terus menangis. "Anakku, dia tidak me

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 81. Cucu Baru

    "Mas, bangun!" Candra membuka mata dan mendapati dua pria berseragam tengah mengguncang pundaknya. "Di mana saya?" tanyanya."Mas ada di rumah perbaikan diri. Ayo masuk, kita bicara di dalam, saya lihat, Mas ini tampak sedang tidak baik-baik saja." Polisi muda itu bersiap membantu Candra untuk berdiri. Namun belum sempat berdiri, Candra tiba-tiba menangis pilu. "Saya pembunuh!" teriaknya. "Saya sudah membunuh istri saya ...." Candra mulai histeris, tubuhnya bergetar hebat. Dua polisi itu saling pandang heran. Lalu kembali mengalihkan pandangan kepada Candra sambil berkata, "silahkan buat keterangan dulu di dalam."---Pagi harinya, Desa Lisa kembali gempar saat mobil polisi melintasi jalan utama, membawa Candra dengan wajah yang penuh penyesalan. Warga berkerumun di sekitar rumah kayu milik Lisa, berbisik-bisik dengan nada takut dan penasaran. Kartika dan Rasya yang bersiap pulang terhenti di tengah jalan, menatap pemandangan itu dengan ngeri. Di gendongannya, Cassandra merengek pela

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 82. Berita Suka Dan Duka

    "Kenapa Kartika tiba-tiba pingsan?" Anis mulai panik. "Cepat bawa masuk!"Melihat tubuh Kartika yang limbung, Rasya panik. Ia bergegas menggendong tubuh sang istri dan membaringkannya di atas kasur. Anis yang tak kalah khawatir, buru-buru mengambil minyak kayu putih dari meja. "Cepat ambil air, Rasya!" perintah Anis dengan nada cemas.Rasya berlari ke dapur, membawa segelas air dingin, sementara Anis mengusap pelipis Kartika dengan minyak kayu putih. Setelah beberapa saat, Kartika perlahan membuka mata. "Kartika, kamu kenapa?!" tanya Rasya, suaranya penuh kekhawatiran.Wajah Kartika pucat, matanya berkaca-kaca. "Aku juga tidak tahu, Mas," gumamnya dengan suara gemetar. Tangannya bergetar saat mencoba meraih tangan Rasya, tubuhnya masih terlihat lemah. Tak lama Hendra dan Cakra masuk. Melihat Cassandra, ekspresi Hendra bingung. Berbeda dengan Cakra, bocah itu tanpa aba-aba langsung menggandeng tangan Cassandra dan mengajaknya bermain. "Itu anak Lisa," celetuk Anis, seperti mengetahui

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 83. Aroma Gaib

    "Pak, apa kita akan ikut mereka takziyah. Sementara, kita kan bawa Cakra dan Sandra," bisik Anis pada sang suami. "Lha mau bagaimana, Bu, mereka juga mengajak cucunya bukan? Kita ikut bentar saja, biar bagaimanapun Lukman sudah berjasa membantu Kartika sampai sembuh," bisik Hendra.Anis tampak ragu mendengar ucapan suaminya, tapi melihat antusiasme teman-teman yang lain yang juga mengajak cucu, ia jadi tak punya alasan menolak. Akhirnya keduanya sepakat ikut rombongan. Mobil yang ditumpangi Hendra dan Anis melaju di jalan beraspal yang membelah hamparan sawah hijau di kiri-kanan. Dari dalam mobil, terlihat petani dengan caping di bawah terik matahari sedang memanen. Langit siang cerah, awan putih berarak lembut, melukis langit yang indah.Pepohonan rindang melambai ditiup angin, memberikan kesan teduh meski matahari bersinar terik. Sesekali, motor atau sepeda melintas, menambah suasana desa yang tenang. Di kejauhan, terlihat bukit-bukit kecil seperti melindungi desa. Anis memandang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19

Bab terbaru

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 102. Finish

    "Sudah jangan bertanya. Tolong kalian urus jenazah ini. Semua sudah berakhir," ucap Mbah Kanjim santai. "Anakku! Seorang wanita tua histeris saat melihat salah satu jasad yang lengkap dengan pakaiannya, terbujur kaku diantara jasad yang lain. "Ini, Suci, Pak." Wanita tua itu mulai menangis. Mendengar nama ibunya disebut, Ratih mendekatkan diri. "Nenek," ucapnya lirih. Sepasang lansia itu mengalihkan pandangan kepada Ratih. Pandangan takjub dan haru menjadi satu. "Ini Ratih. Saya anak dari ibu Suci." Ucapan Ratih hampir membuat dua orang tua itu tidak percaya. Bagaimana mungkin anaknya yang sudah mati bisa melahirkan anak. Sampai Mbah Kanjim menceritakan semuanya. Wajah Ratih yang mirip dengan Suci, membuat dua lansia itu menangis tersedu sambil memeluk Ratih. Si wanita tua itu langsung percaya kalau Ratih adalah cucunya. "Berarti mimpi ibu selama ini benar, Pak." Wanita itu terus terisak. " Ratih menjadi tumbal susuk Bu Dewi, huu... huu...."Para warga mulai saling berbisik, merek

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 101. Hampir Finish

    Ratna mendadak terhuyung masuk ke dalam rumah, seperti ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya. Melihat sang putri terdorong masuk, Dewi berteriak keras, ia berlari masuk ke dalam. "Lilis!!!!" Dewi berteriak sambil mengetuk pintu kasar. "Ratna tidak ada urusan denganmu, musuhmu adalah aku!"Tiba-tiba pintu terbuka, tak mau kecolongan Mbah Kanjim segera masuk, ia dan Dewi langsung terdorong masuk ke dalam. Sementara Hendra, Anis, dan Ratih hanya memandang dari jauh. Dalam kepanikannya, Anis mulai tersadar kalau Ayu tidak ada bersama mereka. "Ayu ke mana dia?" tanya Anis.Sementara itu di dalam rumah. Ayu terperangah melihat sosok wanita dengan tubuh yang menggerikan. "Kenapa kamu ikut masuk?" Suara Mbah Kanjim membuat Ayu tersentak. "Di sini berbahaya.""Iya, maaf, habisnya aku khawatir kalau ....""Sudah, kau tunggu saja di sini? Ingat apapun yang kau lihat, jangan kau ceritakan pada siapapun." Mbah Kanjim segera bergabung dengan Ratna dan Dewi yang ketakutan, apalagi sosok Lilis

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 100. Terpaksa

    Dewi menggeram, matanya menatap tajam penuh amarah. Ratih mencoba menenangkan ibunya, menyentuh lengannya dengan lembut, tetapi Dewi malah menepis tangan itu dengan kasar."Aku sudah muak dengan semua ini, Ratih! Kenapa kalian terus membahas Lilis? Apa tidak ada hal lain yang bisa dibicarakan?" bentaknya, suaranya bergetar dengan emosi.Ratih mundur selangkah, jelas merasa canggung dengan reaksi Dewi. Sementara itu, Hendra dan yang lainnya saling bertukar pandang, mulai menyadari ada sesuatu yang Dewi takutkan.Mbah Kanjim hanya mendesah pelan, matanya menatap Dewi seolah bisa menembus ketakutan wanita itu. "Kau tak perlu takut. Aku menjamin putrimu.""Apa kau bilang?" Dewi berjalan mendekat ke arah Mbah Kanjim, netranya menatap tajam seakan bersiap memangsa pria tua itu. "Aku tidak mengizinkan putriku ke sana, demit Lilis terkutuk itu bisa saja membuat putriku celaka!" Suara Dewi mulai meninggi. Dewi menatap Hendra dengan sinis, kedua tangannya terlipat di dada, seolah dia adalah se

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 99. Kembali Ke Rumah Dewi

    Ayu langsung bersemangat. "Apa aku boleh ikut? Mungkin aku bisa membantu, aku ingin mengasah kemampuan ku," katanya dengan antusias.Ira yang sedang menggendong Cakra langsung menoleh dengan wajah tak percaya. "Kamu yakin, Yu? Jangan sampai nyesel lho. Udah, mending di rumah aja, nemenin aku jagain bocah-bocah," bujuknya.Namun, Ayu tetap bersikeras. "Tidak! Aku harus membiasakan diriku dengan hal gaib, atau aku akan terus ketakutan setiap kali melihat sosok gaib," katanya penuh tekad.Anis yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Ya udah, kalau Ayu mau ikut, nggak masalah. Kebetulan juga Ira bisa bantu momong Sandra dan Cakra." katanya sambil melirik ke arah Ira yang hanya bisa menghela nafas pasrah. "Uti nanti yang akan menjaga Ayu, kau tak perlu khawatir." Anis memandang Ira yang khawatir dengan senyum."Terimakasih, Uti. Aku berharap bisa membantu," ucap Ayu penuh semangat.Anis lalu menatap Ayu dengan tatapan penuh arti. "Tapi kita akan ke kota dulu untuk meyakink

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 98. Mencari Cara

    Ayu dan Ira, meski masih syok, seakan bisa menangkap kode dari hendra. Ayu segera memacu motor, menyalip makhluk yang tengah bergelut dengan bayangan misterius. Sesaat sebelum mereka benar-benar meninggalkan area itu, Rasya melirik ke kaca spion, melihat genderuwo itu tersungkur ke tanah, lalu lenyap ditelan kegelapan.---Begitu keluar dari gapura hutan larangan, suasana mencekam perlahan mereda. Namun, ketegangan belum sepenuhnya hilang ketika gawai Hendra tiba-tiba bergetar di dashboard mobil."Rasya, tolong angkat telepon ayah," ujar Hendra tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. Rasya dengan sigap meraih ponsel Hendra dan melihat layar yang menampilkan nomor tak dikenal."Halo?" Rasya menjawab dengan hati-hati.Di ujung telepon, terdengar suara berat dan dengan nada serius. "Halo, Nak."Dahi Rasya berkerut. "Ada apa Mbah? Tumben telepon ayah.Namun, sebelum bisa mendapatkan jawaban, suara itu berubah menjadi gumaman aneh, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tida

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 97. Sosok Yang Belum Tenang

    Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 96. Keturunan Sakti

    Ira dan rekan perawatnya saling pandang. Keduanya tidak menyangka kalau Kartika juga seperti mereka. "Iya, Mbak," jawab Ira, setelah melakukan tugasnya, ia beranjak mendekat ke arah Kartika, lalu berbisik, "Mbak Kartika pura-pura gak dengar saja ya, sama jangan buka pintu kalau ada yang mengetuk sambil bilang kulo nuwun."Kartika mengernyit mendengar ucapan aneh Ira. "Jangan buka pintu, ada yang bilang ‘kulo nuwun’?" tanyanya, sedikit bingung.Ira hanya tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh malam. Pokoknya jangan.""Memangnya kenapa?" Kartika masih belum mengerti, tetapi perasaan was-was merayapi hatinya.Ira tidak langsung menjawab, hanya melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya berkata, "Pokoknya nurut aja, Mbak. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku ya."Sebelum Kartika sempat bertanya lebih jauh, Ira dan rekannya sudah melangkah keluar dari kamar, meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Kartika menarik nafas dalam, menatap Rasya yang masih belum sada

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 95. Reuni

    Suasana di lokasi kecelakaan begitu riuh dan panik. Beberapa warga sekitar yang mendengar benturan keras segera berlari ke arah mobil Rasya yang ringsek di pinggir jalan. Kaca depan pecah, pintu penyok, dan darah terlihat menodai kemudi.“Cepat, bantu dia keluar!” teriak seseorang.Beberapa pria dengan sigap menarik pintu mobil yang sudah sulit dibuka. Nafas Rasya lemah, kepalanya bersandar di jok dengan luka di pelipis yang terus mengeluarkan darah.Sementara itu, sirene mobil polisi terdengar mendekat. Seorang petugas segera turun dan mengamati situasi. Dia berjalan mendekat, melihat kondisi Rasya, lalu segera menghubungi ambulans.Di sela-sela kepanikan, seorang polisi lainnya melihat sesuatu di lantai mobil. Sebuah ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala. Dia mengambilnya dan segera mengamankannya ke dalam kantongnya.“Ambulans datang! Cepat angkat dia!” teriak seorang pria yang berdiri di pinggir jalan.Beberapa orang dengan hati-hati mengangkat Rasya ke atas tandu. Dara

  • Rumah Angker Warisan Bapak   Bab 94. Kedatangan Sosok Lilis

    "Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status