Pagi itu, kampung Sidodadi diselimuti kabut tipis, udara dingin menggigit hingga ke tulang. Jalanan masih lengang, hanya beberapa ayam berlarian di antara reruntuhan daun kering. Seorang wanita muda dengan wajah cemas berjalan tergesa, diikuti seorang pria tampan yang tampak menjaga jarak. Mereka berhenti di depan sebuah warung sederhana yang sudah ramai dengan pelanggan, aroma makanan hangat menyeruak dari dalamnya.Wanita itu masuk tanpa ragu, langsung melangkah ke arah seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. “Ibu kok ada di sini?” tanyanya dengan nada tegas. Wanita itu rupanya berniat sarapan sebelum melanjutkan perjalanan.Astutik, perempuan paruh baya itu, mendongak sekilas sambil melanjutkan pekerjaannya. “Iya, aku di sini. Ada apa kau datang ke kampung ini?” suaranya dingin, tanpa sedikit pun emosi.Wanita muda itu terlihat kesal. “Ibu masih bisa bersikap seperti itu? Saya datang karena ada urusan penting.”Astutik tersenyum tipis, lebih seperti menge
Pagi itu, Wulan berdiri gemetar di tengah kegelapan rumah suwung. Meski matahari bersinar terang di luar, suasana di dalam rumah terasa seperti malam pekat. Bau busuk menyengat hidung, hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Tubuhnya seolah terkunci, matanya menatap sosok di depannya—Dyah, kakaknya yang telah berubah menjadi iblis.“Ti…tidak…,” bisik Wulan, suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia mencoba mundur perlahan, namun kakinya seperti meja kayu usang.Dyah tertawa, cekikikan yang menggema di seluruh ruangan, menyeramkan seperti cakar-cakar yang mencakar dinding. "Kau takut padaku, Wulan?" suara parau itu memenuhi udara. "Padahal, kita saudara. Kau adikku... yang menghancurkan kehidupan!""Apa maksudmu?" tanya Wulan, mencoba tegar meski tubuhnya gemetar.Dyah melangkah maju, wajahnya kini terlihat jelas di bawah redupnya cahaya yang menembus jendela pecah. Kulitnya kelabu, matanya merah menyala, dan bibirnya yang robek tersenyum lebar. "Gara-gara kau, aku tak pernah menikah. Gara
"Dyah, ini tidak benar!" Suara Bambang menggema di lorong-lorong gelap, membawa aura dingin yang menusuk. Sosoknya melayang perlahan mendekati putrinya, dengan sorot mata tajam yang bercampur amarah dan kesedihan. "Kenapa kau gunakan tubuh adikmu sebagai alat balas dendam?" tanya Bambang dengan nada tegas, namun mengguratkan luka yang dalam. Sosok Wulan—atau lebih tepatnya Dyah dalam tubuh Wulan—menggeleng pelan, seakan berusaha membela dirinya sendiri. "Aku mau hidup kembali! Aku ingin balas dendam pada Alfian!" teriaknya, suara itu penuh dengan kemarahan dan kepedihan yang tak terkatakan.Bambang hanya menggeleng perlahan, wajahnya tampak putus asa. "Dendam ini hanya akan menghancurkanmu, Dyah. Jangan libatkan Wulan. Dia tidak pantas menanggung dosamu. Kembalikan jiwa Wulan, dia belum waktunya meninggalkan dunia."Namun, sosok Wulan seakan tidak mendengar. Dengan langkah cepat, ia berbalik dan berlari meninggalkan sosok ayahnya. Bambang hanya berdiri di tempatnya, tatapannya kosong
Di tengah ruangan yang sunyi dan pengap, suara Bambang bergema penuh wibawa. "Wulan, dengarkan Ayah. Ayah akan membantumu kembali ke dalam ragamu, tapi dengan syarat." Sosok gaib Bambang melayang mendekati Wulan yang berdiri memudar, tubuhnya seperti asap yang hampir lenyap. "Kau harus meminta maaf pada ibumu. Dia tidak pantas menerima perlakuanmu. Juga, kembalikan rumah ini pada Kartika."Wulan menatap ayahnya dengan mata penuh air mata. "Tapi, Ayah, rumah ini sebagian besar hak waris dadi Mbak Dyah. Mbak Kartika sudah menerima uang, masa aku harus mengembalikannya?" Wulan mendengus kesal.Bambang menggeleng pelan, sorot matanya tegas. "Kartika itu orang baik. Bapakmu ini yakin, dia pasti akan mengembalikan 70% hak Dyah. Yang penting sekarang adalah kau bertanggung jawab atas kesalahanmu."Belum sempat Wulan menjawab, suara pintu yang berderit keras memotong percakapan mereka. Semua kepala menoleh, dan di sana, berdiri sosok Wulan lainnya—atau lebih tepat
Angin malam berhembus lembut, tetapi ada hawa dingin yang merayap di tengkuk Kartika saat ia berdiri sendirian di luar rumah. Rasya baru saja masuk ke dalam untuk memberitahu Anis dan Hendra kabar duka yang baru mereka terima. Kartika masih terpaku, pikirannya penuh gejolak, hingga sebuah suara yang familiar tiba-tiba terdengar."Kartika ...." suara itu lirih namun jelas, menyelinap di antara desiran angin.Kartika memutar kepala, tubuhnya menegang. "Ibu?" tanyanya dengan napas tercekat.Bayangan samar mulai terbentuk di hadapannya, berubah menjadi sosok yang sangat dikenalnya—Lasmini, ibunya. Kartika terisak kecil, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Takdir memang tak dapat dihindari. Mungkin memang sudah waktunya, Nak," ucap Lasmini dengan suara lembut, tetapi ada nada tegas di dalamnya. "Purwati sudah lama menderita stroke. Dia terpeleset di kamar mandi, dan sekarang ... dia telah pergi."Kartika terdiam, hatinya diliputi keraguan. "Apa aku harus pergi ke sana, Bu?" tanyanya
Hendra mengangguk, tapi tak mampu berkata apa-apa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Perlahan, ia berdiri dan menuju pintu depan dengan langkah berat. Tangan Hendra gemetar saat meraih gagang pintu, tapi ia mencoba memberanikan diri untuk membukanya.Ketika pintu terbuka, sosok Purwati tampak berdiri di luar pagar. Wajahnya menyeramkan—kulitnya pucat kehijauan seperti mayat yang membusuk, matanya melotot dengan bola mata hampir keluar dari rongganya, dan mulutnya menyeringai lebar hingga menampakkan deretan gigi yang hitam legam. Rambutnya yang panjang kusut menjuntai seperti tali jerat. Tatapannya penuh amarah, menembus pandangan siapa pun yang melihatnya."Keluar kamu!" suara Purwati terdengar parau, bercampur gema mistis yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. "Kalian pikir pagar gaib ini bisa menghentikanku?! Aku akan masuk dan menghancurkan semuanya!"Hendra dan Anis saling pandang bingung. "Apa kau memasang pagar gaib, Pak?" tanya Anis. Hendra hanya menggeleng pelan,
Mbah Kanjim mengangkat wajahnya, sorot matanya tajam namun penuh arti. "Nak Hendra," gumamnya pelan, "dendam seperti api, makin dibiarkan, makin membakar. Tapi terkadang, api hanya bisa padam jika yang membawanya bersedia menyerah. Dyah tak bisa pergi sebelum menerima bahwa hidupnya telah selesai... dan itu bukan perkara mudah."Hendra terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di kejauhan, suara tawa Udin dan Pak Iman masih terdengar, tetapi di dalam hati Hendra, perasaan mencekam kembali menyelimuti.---Rasya berdiri mematung di tengah ruangan, matanya mengamati setiap sudut rumah yang tampak usang. Sorot matanya berhenti pada dinding penuh coretan, salah satunya bertuliskan: "Kartika ♥ Candra." Wajahnya berubah tegang, rahangnya mengatup. Nafasnya terdengar berat, terutama saat ia melihat lebih banyak nama "Candra" tertulis di sana, bercampur dengan nama Kartika."Mas," suara lirih Kartika memecah lamunannya. Rasya menoleh, tatapannya tajam, menyiratkan emosi yang sulit disembunyikan.Ka
Hendra menelan ludah. "Lalu bagaimana, Mbah? Apa cara menanganinya berbeda?" Mbah Kanjim menatap Hendra dalam. "Berdasarkan penerawanganku, jiwa Purwati masih tertahan di dunia. Sementara Lasmini sudah pergi dengan tenang. Mungkin karena tak puas, Purwati mengalihkan dendamnya kepada Kartika." Mbah Kanjim berdiri perlahan. "Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga. Sebelum malam turun sepenuhnya, demit golongan apapun kalau malam hari memiliki energi yang kuat."Hendra mengangguk. Begitupun Kartika dan Rasya. Keduanya segera bergegas memberi tahu Anis yang sedang menidurkan Cakra di kamar.Perjalanan menuju desa Kenikir terasa sunyi. Lampu-lampu jalan yang minim hanya menyinari sebagian kecil jalan, menciptakan bayangan panjang di aspal. Rasya memegang kemudi dengan tenang, tapi pikirannya penuh dengan rencana besar yang baru saja ia mulai. Di jok belakang, Udin duduk dengan santai, sesekali melirik keluar jendela, sementara Mbah Kanjim terdiam dengan mata tertutup,
"Pergi!" Lisa berteriak keras, suaranya menggema di ruang tamu rumah mewah itu. Matanya memerah, penuh amarah yang memuncak.Candra, yang berdiri di ambang pintu, hanya menatap putri kecilnya, Cassandra, yang menggigil di sudut ruangan sambil memeluk boneka lusuhnya. Tangisan bocah itu seperti jeritan kecil di tengah badai."Aku menjual rumah gono-gini dengan Rasya gara-gara kamu!" Lisa melanjutkan teriakannya. "Dan besok... aku terpaksa kembali ke rumah warisan bapakku!""Sudahlah, Lisa. Jangan berteriak seperti ini. Apa kau tidak kasihan melihat Cassandra terus menangis?" Candra mencoba menenangkan, meski suaranya bergetar, menahan emosi yang hampir pecah."Aku gak peduli!" Lisa berbalik menatapnya tajam. "Pria sampah sepertimu tidak berhak berbicara! Aku! Aku yang selama ini memenuhi kebutuhan rumah ini! Aku tulang rusuk yang dipaksa jadi tulang punggung! Kau cuma bisa menghabiskan uang hasil kerja kerasku!""Kau menyebutku sampah? Kau sendiri a
Mbah Legi mengamati Mbah Kanjim yang selesai dengan ritualnya. Dengan wajah penuh tanya, Mbah Legi membuka pembicaraan, "Apa kau akan membawa Lasmini kembali ke alam manusia?"Mbah Kanjim tersenyum kecil. "Tidak, aku tidak akan menarik jiwanya langsung ke dunia manusia," jawabnya dengan nada yang tenang dan penuh arti.Mbah Legi menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. "Sudah kuduga. Kalau kau menariknya paksa, bisa-bisa dia malah menggantikan Purwati sebagai arwah penasaran. Dan itu hanya akan membuat keadaan sama buruknya.""Benar sekali," kata Mbah Kanjim sambil menatap lurus ke arah dupa yang mulai memudar. "Aku tidak bisa mengambil risiko sebesar itu. Lasmini harus tetap di tempatnya, di alam yang telah menjadi miliknya sekarang. Namun, bukan berarti aku tidak punya cara lain."Mbah Legi mengerutkan dahi. "Apa yang kau maksud, Kanjim?"Senyum tipis kembali muncul di wajah Mbah Kanjim. "Aku tidak akan menarik Lasmini secara langsung. Seba
Siang itu, di rumah Mbah Legi yang sunyi, suara gawai milik Udin berdering nyaring, memecah keheningan. Udin, yang tengah sibuk mengutak-atik mainan di meja, mengangkat telepon itu dengan nada santai. Namun, nada bicaranya segera berubah serius setelah mendengar suara di seberang. "Oh, mandor sudah datang? Baik, saya sampaikan ke Mas Rasya," ujarnya sambil menoleh ke arah Rasya, yang duduk tak jauh darinya."Mas, kabar dari Amin. Mandor sudah datang untuk merobohkan rumah warisan bapak Kartika," ucap Udin, nadanya datar tapi sedikit tergesa. Rasya mengangguk pelan, ekspresinya tak berubah. "Katakan ke Amin, untuk urus semuanya. Aku percaya padanya," jawab Rasya sambil menyesap teh hangatnya.Akan tetapi, obrolan itu tak berhenti di situ. Udin, yang terlihat ragu, tiba-tiba menambahkan dengan nada setengah berbisik, "Oh ya, Mas, Amin juga bilang... dia akan bertunangan dengan Rita, jadi dia minta Mas dan Mbak Kartika, juga pak Hendra untuk datang." Ucapannya langsung membuat suasana be
Sepanjang perjalanan menuju rumah Purwati, jalanan desa terlihat senyap. Semua pintu rumah tampak tertutup. Setelah sampai di depan rumah milik Purwati. Mbah Kanjim mendorongkan energinya.“Pergilah ke tempatmu yang semestinya. Jangan kembali untuk mengganggu!”Sosok Purwati menghilang dalam kabut hitam. Mbah Kanjim terengah-engah melafalkan mantra untuk memberi pagar gaib.“Sudah selesai?” tanya Hendra, suaranya masih terdengar gemetar.Belum sempat mendapat jawaban, suara teriakan menggema dari dalam rumah Purwati. Suaranya memecah malam, penuh amarah dan kebencian, seperti ribuan paku yang menghantam telinga. "Kurang ajar! Pria tua sialan! Lepaskan aku! Bahkan aku tidak mengenalmu! Kenapa kau ikut campur dengan urusanku!" Suara itu bergetar, bergema seperti tidak berasal dari satu arah, melainkan dari seluruh penjuru.Mbah Kanjim berdiri tegak di depan rumah, wajahnya penuh konsentrasi. Ia telah menyelesaikan rapalan segelnya, dan tangan kanannya terangkat, memegang keris kecil yan
Hendra menelan ludah. "Lalu bagaimana, Mbah? Apa cara menanganinya berbeda?" Mbah Kanjim menatap Hendra dalam. "Berdasarkan penerawanganku, jiwa Purwati masih tertahan di dunia. Sementara Lasmini sudah pergi dengan tenang. Mungkin karena tak puas, Purwati mengalihkan dendamnya kepada Kartika." Mbah Kanjim berdiri perlahan. "Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga. Sebelum malam turun sepenuhnya, demit golongan apapun kalau malam hari memiliki energi yang kuat."Hendra mengangguk. Begitupun Kartika dan Rasya. Keduanya segera bergegas memberi tahu Anis yang sedang menidurkan Cakra di kamar.Perjalanan menuju desa Kenikir terasa sunyi. Lampu-lampu jalan yang minim hanya menyinari sebagian kecil jalan, menciptakan bayangan panjang di aspal. Rasya memegang kemudi dengan tenang, tapi pikirannya penuh dengan rencana besar yang baru saja ia mulai. Di jok belakang, Udin duduk dengan santai, sesekali melirik keluar jendela, sementara Mbah Kanjim terdiam dengan mata tertutup,
Mbah Kanjim mengangkat wajahnya, sorot matanya tajam namun penuh arti. "Nak Hendra," gumamnya pelan, "dendam seperti api, makin dibiarkan, makin membakar. Tapi terkadang, api hanya bisa padam jika yang membawanya bersedia menyerah. Dyah tak bisa pergi sebelum menerima bahwa hidupnya telah selesai... dan itu bukan perkara mudah."Hendra terdiam, merenungkan kata-kata itu. Di kejauhan, suara tawa Udin dan Pak Iman masih terdengar, tetapi di dalam hati Hendra, perasaan mencekam kembali menyelimuti.---Rasya berdiri mematung di tengah ruangan, matanya mengamati setiap sudut rumah yang tampak usang. Sorot matanya berhenti pada dinding penuh coretan, salah satunya bertuliskan: "Kartika ♥ Candra." Wajahnya berubah tegang, rahangnya mengatup. Nafasnya terdengar berat, terutama saat ia melihat lebih banyak nama "Candra" tertulis di sana, bercampur dengan nama Kartika."Mas," suara lirih Kartika memecah lamunannya. Rasya menoleh, tatapannya tajam, menyiratkan emosi yang sulit disembunyikan.Ka
Hendra mengangguk, tapi tak mampu berkata apa-apa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Perlahan, ia berdiri dan menuju pintu depan dengan langkah berat. Tangan Hendra gemetar saat meraih gagang pintu, tapi ia mencoba memberanikan diri untuk membukanya.Ketika pintu terbuka, sosok Purwati tampak berdiri di luar pagar. Wajahnya menyeramkan—kulitnya pucat kehijauan seperti mayat yang membusuk, matanya melotot dengan bola mata hampir keluar dari rongganya, dan mulutnya menyeringai lebar hingga menampakkan deretan gigi yang hitam legam. Rambutnya yang panjang kusut menjuntai seperti tali jerat. Tatapannya penuh amarah, menembus pandangan siapa pun yang melihatnya."Keluar kamu!" suara Purwati terdengar parau, bercampur gema mistis yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. "Kalian pikir pagar gaib ini bisa menghentikanku?! Aku akan masuk dan menghancurkan semuanya!"Hendra dan Anis saling pandang bingung. "Apa kau memasang pagar gaib, Pak?" tanya Anis. Hendra hanya menggeleng pelan,
Angin malam berhembus lembut, tetapi ada hawa dingin yang merayap di tengkuk Kartika saat ia berdiri sendirian di luar rumah. Rasya baru saja masuk ke dalam untuk memberitahu Anis dan Hendra kabar duka yang baru mereka terima. Kartika masih terpaku, pikirannya penuh gejolak, hingga sebuah suara yang familiar tiba-tiba terdengar."Kartika ...." suara itu lirih namun jelas, menyelinap di antara desiran angin.Kartika memutar kepala, tubuhnya menegang. "Ibu?" tanyanya dengan napas tercekat.Bayangan samar mulai terbentuk di hadapannya, berubah menjadi sosok yang sangat dikenalnya—Lasmini, ibunya. Kartika terisak kecil, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya."Takdir memang tak dapat dihindari. Mungkin memang sudah waktunya, Nak," ucap Lasmini dengan suara lembut, tetapi ada nada tegas di dalamnya. "Purwati sudah lama menderita stroke. Dia terpeleset di kamar mandi, dan sekarang ... dia telah pergi."Kartika terdiam, hatinya diliputi keraguan. "Apa aku harus pergi ke sana, Bu?" tanyanya
Di tengah ruangan yang sunyi dan pengap, suara Bambang bergema penuh wibawa. "Wulan, dengarkan Ayah. Ayah akan membantumu kembali ke dalam ragamu, tapi dengan syarat." Sosok gaib Bambang melayang mendekati Wulan yang berdiri memudar, tubuhnya seperti asap yang hampir lenyap. "Kau harus meminta maaf pada ibumu. Dia tidak pantas menerima perlakuanmu. Juga, kembalikan rumah ini pada Kartika."Wulan menatap ayahnya dengan mata penuh air mata. "Tapi, Ayah, rumah ini sebagian besar hak waris dadi Mbak Dyah. Mbak Kartika sudah menerima uang, masa aku harus mengembalikannya?" Wulan mendengus kesal.Bambang menggeleng pelan, sorot matanya tegas. "Kartika itu orang baik. Bapakmu ini yakin, dia pasti akan mengembalikan 70% hak Dyah. Yang penting sekarang adalah kau bertanggung jawab atas kesalahanmu."Belum sempat Wulan menjawab, suara pintu yang berderit keras memotong percakapan mereka. Semua kepala menoleh, dan di sana, berdiri sosok Wulan lainnya—atau lebih tepat