Home / Romansa / Bukan Bunga Bakung / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Bukan Bunga Bakung: Chapter 1 - Chapter 10

19 Chapters

Bab 1 - Setelah Sepuluh Tahun Lebih

Sabda masih terus mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka, Dua kali, empat kali dan sudah berpuluh kali, tapi tak juga dibuka. Lalu perlahan, ia kuak pintu kayu yang tampak berat namun ternyata terasa empuk itu perlahan.“Dreed……,” Perlahan dan lembut pintu yang ternyata tak terkunci itu terbuka. Nampak hening dan angina sejuk berhembus dari arah dalam.Setelah pintu terbuka dan tatapan Sabda mulai beradaptasi dari benderang matahari ke temaram ruang dalam, betapa terkejutnya Sabda. Di ruang dalam ia dapati seorang perempuan tengah duduk di sofa dengan tenang menatap pintu yang baru dibuka. Wajahnya telah begitu ia kenal melalui berbagai podcast, media masa, televise, maupun poster-poster seminar dan juga foto yang diberikan bosnya, bu Retno.“Maaf, saya sudah berulangkali mencoba mengetuk, tapi tak dibuka. Lalu saya coba buka pintu yang ternyata tak terkunci,” gelagap Sabda menutupi gugupnya.“Tak apa, masuklah. Saya sudah sedari tadi duduk di sini, mendengar ketukanmu yang berkali-ka
last updateLast Updated : 2024-10-20
Read more

Bab 2 - Kopi Luwak dan Pesona Diandra

Beberapa saat usai tuan rumah masuk ke ruang dalam, seorang pembantu rumah Diandra tampak membawa nampan dengan kopi yang tampak mengepulkan asap dengan aroma yang segera mengisi ruang. Secangkir kopi panas, dua tungku biscuit dan segelas air putih dingin tersaji di meja Sabda memantik selera.“Silahkan diminum,” ucap sang pembawa nampan yang kemudian bergegas kembali masuk ruang dalam.“Trimakasih,” Sabda pun menjawab ramah.Aroma kopi itu luar biasa menggoda untuk diraih dan meminumnya, tapi juga menarik-narik Sabda pada nenek dan kakeknya. Ya, aroma kopi Luwak. Kopi yang biasa kakek suguhkan bila Sabda bertandang ke rumah kakek di Banyuwangi.Ingatan Sabda pun terseret pada kakeknya yang petani kopi sejati. Kakeknya yang juga memelihara sejumlah Musang/Luwak yang dikandangkan di kebun belakang rumah itu selalu bangga dengan kopi yang kata beliau buah karya nenek moyang orang Jawa yang luar biasa dan tidak ada tandingnya. Meski kini konon ada yang mencoba mengganti keberadaan Luwak
last updateLast Updated : 2024-10-20
Read more

Bab 3 - Dari Kemang Menuju Bogor

Gegas Sabda menuju taxi on-line yang menunggu di halaman rumah Diandra yang teduh. Halamannya yang luas dipenuhi dengan tumbuhan dan aneka tanaman hias di sudut-sudutnya. Tampak juga mini green house dengan aneka tanaman hias nan cantik. Petugas keamanan tampak sigap membukakan pintu buat Sabda.“Silahkan mas. Selamat jalan,” ucapnya ramah.“Terimakasih,” jawab Sabda yang terus menjerembabkan diri persis di belakang sopir.“Pak, saya di belakang sambil baca-baca ya,” ucap Sabda kepada sang sopir.“Siap. Silahkan mas……kita langsung ke Bogor mas ya,” Tanya sang sopir.“Iya pak….ada e-toll mas. Nanti untuk e-toll saya bayar setelah sampai,” pinta Sabda pada pak sopir sambil memberi isyarat agar tidak diganggu selama perjalanan.“Siap mas,” jelas sopir lagi sambil terus melaju merayapi kemacetan yang mulai menyesaki jalanan sekitaran Kemang pagi itu.Di belakang sopir, Sabda mencoba membuka satu per satu berkas yang tertata rapi. Tapi otaknya samasekali tidak singgah di berkas yang tengah
last updateLast Updated : 2024-10-27
Read more

Bab 4 - Tadi yang Kirim Mama

Beep…beep….terdengar suara lembut di genggaman tangan Diandra. Sebuah pesan masuk di telpon genggamnya….dari Retno sahabatnya.Kemudian, sebuah foto pohon besar dan lumayan tua, perlahan terbuka. Batangnya coklat tua, teguh menyangga sejumlah cabang dan dedaunan di atasnya. Dikeliling pohon yang bagi Retno, Diandra dan sejumlah kawannya sebagai pohon legendaris itu, tampak tembok pendek untuk duduk-duduk yang di sana-sini sudah tampak gompal. Di belakang pohon tua berbingkai itu tampak sebuah bangunan yang dulu digunakan sebagai ruang kuliah. Retno menyelipkan sebuah caption di bawahnya.“Ingat…….dulu sekali, kita hampir selalu duduk di bawah pohon ini setiap penat merayapi kepala kita sehabis ujian….”Sontak ingatan Diandra melayang jauh ke belakang. Waktu awal kuliah dulu. Ketika kerap berdesak di Bemo dengan baju dan rambut setengah basah. Ketika letih menyergap sehabis ujian di sore hari dan kemudian di seputaran pohon itu mencoba mendengarkan nafas yang ketika di dalam kelas di d
last updateLast Updated : 2024-10-27
Read more

Bab 5 - Bertemu Sahabat Lama

Bu Marlina Sumardi, ibunya Retno dulunya seorang dosen di Perguruan Tinggi kenamaan di Bandung. Begitu pula Pak Sumardi, bapaknya Retno. Mereka tinggal di Bandung bersama tiga anak mereka, Sunarti, Retno, dan satu adik lelakinya Permana. Mereka pindah ke Bogor tidak lama setelah adik lelakinya, Permana meninggal karena kecelakaan lalu lintas.Dipilihnya Bogor karena kebetulan di kota hujan ini kakak kandung bu Marlina telah sejak lama menetap di Bogor. Ketika mereka pindah, Retno baru tamat SMP, sehingga praktis SMA Retno di Bogor. Adapun mba Narti saat mereka pindah masih semester IV, tetap tinggal di Bandung.Rumah mereka di Bogor berada di tanah yang cukup luas. Satu bangunan rumah induk dengan halaman luas yang sebagian kemudian dijadikan kos-kosan mahasiwa. Separuh kos-kosan yang kemudian digunakan untuk kosan putri punya halaman yang sama dengan rumah induk. Adapun separuh lagi untuk kosan putra menghadap ke jalan utama dengan halaman tersendiri.Pak Purwono, ayah Diandra mengen
last updateLast Updated : 2024-10-27
Read more

Bab 6 - Pada Sebuah Nama

Beranda rumah pak Sumardi masih dipenuhi keriuhan orang-orang dari masa lalu, Pak Mardi, Pak Pur, Bu Malina, dan Bu Ratih yang masih silih berganti menuturkan cerita mereka tentang waktu lalu juga tentang mimpi mereka. Ramai dan seru tentu saja. Tapi tentu tidak bagi Diandra dan Retno, orang-orang masa kini yang masih meraba-raba aneka cerita dari masa-masa yang tak terjamah oleh mereka, walau bahkan dalam mimpi.Dari pembicaraan para orang tua mereka, anak-anak muda itu setidaknya mendapat insight, bahwa bunga mekar itu memang membutuhkan waktu, begitu pula keindahan butuh kesabaran dan ketelatenan menunggu juga menjaganya agar bisa kita gapai.“Ayo mas, ulangi lagi cerita tentang seorang senopati perempuan asal Madiun yang bernama Retno Dumilah itu, biar anak-anak pada ngerti,” pinta pak Pur pada pak Mardi yang membuat Diandra dan Retno yang pada asyik sendiri tiba-tiba menjadi begitu berminat mengikuti ceritanya.“Wah, gimana tuh yah ceritanya?,” Tanya Retno pada sang Ayah antusias
last updateLast Updated : 2024-10-27
Read more

Bab 7 - Memberi Itu Tenangkan Hati

Sejak pertemuan tidak sengaja dua sahabat lama itu agaknya terjalin pula persahabatan antara anak-anak mereka, Diandra dan Retno. Dan cuaca Bogor hari itu mengiringinya dengan hujan cukup deras sehingga pak Pur dan kelurga menunda kepulangan mereka.“Dik, kalian menginap aja malam ini di sini ya,” ajak tulus bu Marlina pada ibunya Diandra.“Waduh mbakyu, agaknya belum bisa malam ini, meski kita bisa saja nanti pamit agak sedikit malam dari sini. Gitu mbakyu,” terang bu Rarah, ibunya Diandra.Ibunya Retno agaknya cepat memahami bahwa ia tidak mungkin memaksa sahabat lamanya itu untuk menginap barang semalam di rumahnya.“Oh ya, sebentar ya. Ini kan Diandra nanti gak bakal dilaju dari Jakarta kalau sudah kuliah? Gimana kalau kamu tinggal disini. Nanti bisa bareng Retno kalau kuliah,” ajak pak Mardi, ayahnya Retno.Kedua orang tua Diandra tampak setuju. Tapi mereka masih merasa perlu bertanya pada anaknya dulu,“Gimana nduk. Gak mau dilaju Jakarta-Bogornya kan?” canda sang ibu pada anakn
last updateLast Updated : 2024-11-10
Read more

Bab 8 - Duka Kematian dan Titik Balik Kehidupan

Sejak pertemuan tidak sengaja dua sahabat lama itu agaknya terjalin pula persahabatan antara anak-anak mereka, Diandra dan Retno. Dan cuaca Bogor hari itu mengiringinya dengan hujan cukup deras sehingga pak Pur dan kelurga menunda kepulangan mereka.“Dik, kalian menginap aja malam ini di sini ya,” ajak tulus bu Marlina pada ibunya Diandra.“Waduh mbakyu, agaknya belum bisa malam ini, meski kita bisa saja nanti pamit agak sedikit malam dari sini. Gitu mbakyu,” terang bu Rarah, ibunya Diandra.Ibunya Retno agaknya cepat memahami bahwa ia tidak mungkin memaksa sahabat lamanya itu untuk menginap barang semalam di rumahnya.“Oh ya, sebentar ya. Ini kan Diandra nanti gak bakal dilaju dari Jakarta kalau sudah kuliah? Gimana kalau kamu tinggal disini. Nanti bisa bareng Retno kalau kuliah,” ajak pak Mardi, ayahnya Retno.Kedua orang tua Diandra tampak setuju. Tapi mereka masih merasa perlu bertanya pada anaknya dulu,“Gimana nduk. Gak mau dilaju Jakarta-Bogornya kan?” canda sang ibu pada anakn
last updateLast Updated : 2024-11-10
Read more

Bab 9 - Semalam di Singapura

Jam 09.13, mobil perlahan meninggalkan halaman rumah Diandra. Perjalanan dari Kemang, Jakarta Selatan menuju bandara Soekarno-Hatta telah mulai sarat dengan kemacetan. Prediksi waktu untuk sampe bandara 2 jam 20 menit. Sebagian penggal jalan tampak agak macet, tapi masih cukup waktu, keberangkatan pesawat Diandra jam 13.35.Hati Diandra masih melompat-lompat antara Retno, mamanya Retno dan rencana pertemuan petang nanti di Singapura. Diandra cukup gembira, sejumlah nama dari Negara-negara Asean sudah memastikan akan menghadiri pertemuan petang nanti.Tapi ingatan Diandra pada bu Marlina, ibu dari sahabatnya yang juga sudah seperti ibu kandung sendiri itu cukup mengoyak-oyak hatinya. Ingin rasanya menelpon, tapi kuatir karena pagi jam segini beliau biasanya tengah sibuk. Selain itu, ada rasa gak enak sama sopir taxi on-line yang pasti akan mendengar pembicaraannya. Akhirnya, ia lebih memilih menulis pesan lewat whattApp.“Pagi ma. Maafin Diandra yang sudah agak lama gak datang ke Bogor
last updateLast Updated : 2024-11-10
Read more

Bab 10 - Terjebak Bemo di Hari Hujan

Patung Proklamator RI yang ada di pelataran Bandara Soekarno-Hatta itu seperti menyambut siapapun yang memasuki Bandara. Gagah sekaligus seakan mengajak kita untuk memandang jauh kedepan juga tinggi menjulang.Namun kali ini, seperti juga yang kerap terjadi sebelumnya, Diandra justru diseret kembali ke masa lalunya. Kenangannya ke masa-masa kuliah, setelah Diandra dan Retno memilih jurusan berbeda, sesuai dengan minatnya masing-masing.Setelah pisah jurusan, mereka kini susah mencari waktu bercengkerama. Meski sebetulnya ada waktu selepas jam 8 malam atau di akhir pekan. Tapi selepas jam 8 malam, selain sudah disekap lelah, tugas esok juga mesti dijamah. Di akhir pekan, Diandra kerap harus pulang ke Jakarta, kangen ibu dan bapak.Akibatnya, Diandra dan Retno kadang baru bisa asyik bercengkerama setelah satu bulan berlalu, atau bahkan kadang lebih. Gundukan cerita, resah, gelisah juga mimpi yang diceritakan pun begitu melimpah. Kadang centang-perentang tapi kadang juga saling berhimpit
last updateLast Updated : 2024-11-10
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status